"What? Kecopetan? Yang bener? Kamu nggak becanda 'kan?" cecar Intan memastikan.
"Maaf, Tan. Emang itu kenyataannya," jawab Rachel tertunduk seraya memayunkan bibirnya.
"Oh My God!" teriak Intan yang membuat Rachel dengan cepat menutup kedua telinganya.
Rasanya seperti petir yang menyambar di siang hari. Rachel hanya memayunkan bibirnya seraya meremas-remas bajunya. Ia hanya menatap Intan yang terlihat begitu kecewa padanya. Tatapan mata Intan yang tajam, membuatnya memilih untuk menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang saat hentakan kaki sahabatnya mulai berjalan menghampirinya.
"Kalo kamu tidak punya uang, bagaimana kamu hidup di sini?" kata Intan yang mengejutkan Rachel.
"Udahlah, Tan. Jangan marah gitu! Serem tau!" pinta Rachel memegang tangan sahabatnya itu.
"Aku pusing, Chel. Bagaimana caranya aku membayar kontrakan ini? Jika aku tak membayarnya sekarang, bisa-bisa kita akan terusir dari sini dan menjadi gelandangan," ucap Intan yang membuat Rachel terperangah.
"Gelandangan?" gumam batin Rachel menggigit bibirnya yang mungil.
"INTAN ...," teriak ibu kontrakan yang membuat mereka tercengang.
"Aduh, gimana nih?" keluh Intan mondar-mandir ke sana kemari bingung harus bagaimana.
Rachel terdiam. Kedua matanya mengerling melihat sahabatnya mengintip ke arah luar jendela. Terlihat begitu jelas wanita bertubuh besar berdiri di depan pintu.
'Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan untuk membantu Intan?'
Rachel berpikir dan menatap ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya
"Aduh, gimana nih? Masa' iya, aku harus jadi gelandangan?" gumam Intan terkejut saat Rachel membuka pintu menghampiri ibu kontrakan yang super duper cerewet.
"Mau apa dia?" tanya Intan penasaran dengan apa yang akan di lakukan Rachel.
Ceklek!
Tatapan matanya yang tajam membuat Rachel sempat ketakutan melihat ibu kontrakan itu. Dengan senyum manisnya, Rachel mulai bernegosiasi dengan ibu kontrakan itu agar memberikan sedikit kelonggaran waktu.
"I-bu," sapa Rachel.
"Siapa kamu?" tanya Ibu itu dengan nada yang sinis.
"Kenalkan saya Rachel, sahabatnya Intan dari Jakarta." Rachel mencoba mengulurkan tangannya. Dengan tatapan yang masih sinis, ibu itu membalas uluran tangan Rachel yang putih mulus dan berbeda jauh darinya.
"Ngomong-ngomong, ibu umurnya berapa?" tanya Rachel yang membuat ibu itu sontak menatapnya dengan mata melotot.
"Maaf, jika kata-kata saya menyinggung perasaan ibu. Tapi, saya penasaran dengan penampilan ibu yang terlihat seperti anak jaman now," lirih Rachel yang membuat ibu kontrakan itu sedikit tersenyum akan pujian yang ia berikan. Senyum yang tak pernah tertoreh dari diri ibu kontrakan, kini mulai mengembang akan pujian yang diberikan Rachel kepadanya.
"Saya kagum akan penampilan Ibu. Kenapa ibu tidak buka butik saja atau ikut fashion show gitu?"
"Ah, kamu ada-ada saja. Mana ada yang mau menerima saya menjadi model," ucapnya menyenggol tubuh langsing Rachel hingga sedikit tergeser.
"Kata siapa Bu, tak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha. Apalagi ibu sangat baik hati dan tidak sombong," puji Rachel yang selalu memujinya tiada henti.
"Mana Intan? Ada hal yang perlu saya bicarakan dengannya," kata ibu itu yang mengingat tujuan awalnya ia datang. Dari dalam, Intan hanya bisa menggigit bibirnya seraya melihat Rachel menghadapi ibu kontrakan yang terkenal begitu kikir dan galak kepadanya.
"Ya Tuhan, aku mohon lindungilah aku dari nenek lampir itu," gumam batin Intan seraya memejamkan matanya.
"Kebetulan, perut Intan lagi bermasalah. Jika ada sesuatu, ibu bisa bicara dengan saya," ucap Rachel berbohong.
"Ngapain Rachel bilang kalo aku sakit perut segala. Bisa-bisanya dia mendoakan aku sakit perut. Tapi, tak apalah dia kan, sangat jago beralasan," tutur Intan tersenyum tipis.
"Ah, tak mungkin juga aku bilang kalo mau menagih uang kontrakan di depan gadis cantik ini. Dia kan, orang pertama yang memuji penampilanku ini," gumam batin ibu kontrakan tersebut.
"Lain kali saja, saya datang ke sini. Kalo begitu saya pulang dulu, ya? Senang bertemu dengan kamu, cantik!" tutur ibu itu membelai rambut indah milik Rachel. Dalam hati kecilnya, Rachel tersenyum senang akhirnya dia bisa membuat orang itu pergi juga.
"Saya juga. See you!" kata Rachel melambaikan tangannya seraya menatap ibu kontrakan itu mulai pergi meninggalkannya.
Rachel menghela nafas panjang. Tangan kanannya tak berhenti memegang dada yang berdegup kencang karena panik.
Intan tak menyangka jika sahabatnya mampu mengusir orang yang membuatnya ketakutan.
"Syukurlah, akhirnya aku bisa membuatnya pergi tanpa harus menyerahkan jam tangan kesayanganku ini," kata Rachel mencium jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesaat, kedua matanya mengerling ketika ada pelukan hangat yang mendekapnya begitu erat dari belakang.
"Thanks you so much, sahabat terbaikku." Intan yang mengejutkan Rachel.
"Lepaskan! Sesak tau!" kata Rachel memberontak terlepas dari pelukan.
"Aku tak habis pikir, kalo kamu berhasil mengusir nenek lampir itu tanpa ada sedikitpun pertengkaran," kata Intan tersenyum senang seraya memegang kedua tangan sahabatnya itu.
"Syukurlah, akhirnya Intan tidak marah lagi. Jadi aku bisa numpang di sini," gumam batin Rachel senang. Sejenak, Rachel mengernyitkan dahi ketika melihat sahabatnya menatapnya dengan tajam.
"Kamu bilang, kamu kecopetan. Trus kamu nggak punya uang sama sekali?" tanya Intan melihat Rachel menganggukkan kepalanya.
"Jika kamu tidak punya uang sama sekali, bagaimana kamu bisa tinggal di sini? Kamu tau kan, aku baru saja kerja belum gajian lagi. Apa nggak sebaiknya kamu pulang saja, nggak usah kabur-kaburan seperti ini," pinta Intan memegang pundak Rachel.
"Nggak, aku nggak mau pulang. Jika aku pulang, itu sama saja aku menerima perjodohan itu. Aku nggak mau!" keluh Rachel menopangkan kedua tangan di dada seraya memayunkan bibirnya.
"Trus, emangnya kamu siap serba kekurangan di saat kamu nggak megang uang sama sekali? Kalo kamu masih berhubungan dengan Reyhan, mungkin kamu bisa bertahan," kata Intan menggodanya.
"Apaan, sih!" lirih Rachel terdiam sejenak untuk berpikir. Intan hanya menghela nafas dan duduk di samping sahabatnya.
"Maaf, jika aku mengingatkanmu pada dia. Aku tak bermaksud seperti itu, serius!" ujar Intan seraya mengacungkan jari tengah dan telunjuk hingga berbentuk huruf " V".
"Iya, nggak apa," jawab Rachel mulai tersenyum kembali.
"Nah, gitu dong! Bagaimana jika kamu melamar pekerjaan di kantor tempat aku bekerja? Siapa tau keterima, apalagi kamu memiliki kemampuan di atasku," usul Intan.
"Boleh juga, tuh!" jawab Rachel tersenyum senang akan pendapat dari sahabatnya itu.
****
Sesak dan penuh, itulah yang terjadi saat ini pada bus yang di tumpangi Rachel dan Intan. Rachel tak berhenti mengipas-ngipaskan tangannya ke arah wajah cantiknya.
"Tan, turun yuk! Kan, kita bisa naik taksi?" lirih Rachel yang tidak tahan dengan keadaan bus itu.
"Emang kamu ada uang? Kalo kamu ada uang, nggak apa kita turun," bisik Intan menatap Rachel cemberut. Sesaat, Intan menatap wajah sahabatnya yang terlihat begitu tersiksa. Rasa kasihan mulai muncul dalam dirinya. Gadis kaya yang biasa dimanja oleh kedua orangtuanya, kini harus berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Ya Tuhan, mungkin ini kali pertamanya ia merasa serba kekurangan. Tapi, bagaimana lagi, aku juga nggak punya uang. Uangku habis untuk pengobatan ibu di kampung," gumam batin Intan tersenyum tipis ketika dirinya kepergok diam-diam menatap Rachel.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ada yang lucu? Bagian yang mana?" kata Rachel dengan spontan mengambil kaca kecil yang ada di tas miliknya.
"Chel, kayaknya aku nggak bisa tinggal sama kamu! Alangkah baiknya, jika kamu tinggal ngontrak sendiri saja!" ucap Intan yang membuat Rachel terkejut mendengarnya.
"Jangan bercanda deh, Tan? Bagaimana kamu menyuruhku untuk mengontrak sendiri di saat aku tak punya uang?" Rachel memanyunkan bibirnya. Ia tak bisa bayangkan jika ia hidup seorang diri tanpa uang sepersenpun. Gelak tawa Intanpun pecah melihat kelucuan sahabatnya itu. Rachel mengernyit memicing menatap Intan yang benar-benar menguji kesabarannya. Tepukan keraspun melayang di bahu Intan. Buk "Apaan sih? Sakit tau nggak?" keluh Intan memegang bahunya. "Kamu 'tuh yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu menggodaku seperti ini," kata Rachel kembali menatap wajahnya ke arah kaca kecil yang masih ada di tangan kirinya. Intan hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang dari dulu tidak berubah. Selalu membawa kaca kesayangannya ke manapun pergi. "Rachel-Rachel, berapa tahun kaca ini bersama kamu?" tanya Intan meledek sembari menunjuk kaca jadul itu. "Apaan, sih!" ujar Rachel memasukkan kacanya kembali.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" gumam batin Rachel mendesah dan melangkah pergi meninggalkan kantor tersebut. Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala seraya menopangkan kedua kakinya tepat di atas meja. Perlahan, Ia mulai mengendorkan dasinya. Ia mendesah sebal jika teringat perkataan mamanya yang selalu membahas tentang calon tunangannya. "Siapa cewek itu? Berani-beraninya, dia malah kabur di hari yang sangat spesial," desah Satria memejamkan matanya sejenak. "Untung saja, para wartawan tidak tau masalah ini. Jika ada salah satu media mengetahuinya, mau taruh dimana mukaku ini," gerutu Satria beralih berdiri seraya mondar-mandir ke sana kemari dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya. "Mama juga, kenapa nggak dibatalkan saja pertunangan ini? Kenapa malah di tunda segala? Secara tidak langsung, cewek itu menolakku secara mentah-mentah," ucap Satria geram. Tok tok tok Satria menoleh.
"Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya itu. Kedua matanya terbelalak kaget saat Rachel menoleh ke arahnya. "Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya. Sesaat, senyum Darwin memudar ketika wanita yang ia kira Rachel adalah orang lain. "Hah, bicara apa aku ini. Mana mungkin dia ada di sini? Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain," gumam batin Darwin memakai kacamatanya kembali. "Papa Darwin liatin apa?" tanya anak kecil tersebut yang bernama Olivia, putri dari atasannya. "Ti-dak. Om Darwin hanya melihat kucing sedang menyeberang jalan," jawab Darwin berbohong. Sesaat, Darwin mengkode Olivia untuk diam. Dia tak mau, jika at
Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut.Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut. Seketika, ia mematikan ponselnya. Ia tak mau berbicara ataupun mendengar suara dari Darwin. Ia ingin melupakan semuanya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya mendekap guling membelakangi Intan. Ia mulai memejamkan matanya kembali. Intan melirik sahabatnya yang terlihat muram dan tak bersemangat. "Chel," lirih Intan mencoba menggagalkan tidur sahabatnya itu. "Hem," lirih Rachel dengan mata yang masih tertutup. "Bagaimana? Apa kamu di terima?" tanya Intan penasaran. Saking penasarannya, ia beralih untuk duduk dan membangunkan Rachel. "Apaan, sih?" rengek Rachel dengan malesnya. "Cerita dulu, bagaimana apa kamu ket
"Kenapa bengong?" tanya Satria seraya menopangkan kedua tangan di dada. "Serius?" tanya Dinda seakan tak percaya. "Kalian tau, saya tak suka mengulang perkataan saya lagi," ketus Satria. "Ya, Pak!" jawab mereka serempak. "Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut saat suara teriakan tertuju padanya. "Pak Satria," teriak mereka serempak. Brak! Semua mata tertuju pada CEO yang terjatuh dan tertindih oleh cleaning servis tepat di atasnya. Ya, siapa lagi kalo bukan Rachel. Rachel tak berhenti berkedip ketika semua orang menatap dirinya dengan wajah yang terlihat begitu syok. Tangannya gemetar, ia melepas lap dan alat pembersih kaca itu dari tangannya. Jantungnya berdetak begitu kencang saat ia berada tepat di atas tubuh seseorang. "Kenapa kalian diam saja! Singkirkan orang yang menindihku ini!" ketus Satria dengan posisi yang tengkurap dan tak tau kalo seoran
"Tapi, kenapa aku merasa mengenal postur tubuh cleaning servis itu.Trus, kenapa dia terdiam saat aku bertanya padanya? Apa aku mengenalnya?" katanya berpikir sejenak. Iapun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Tanpa senyum, pandangan yang lurus membuat Satria tak merespon Dinda yang bertanya kepadanya. "Mau kemana? Tumben, dia pergi tak memberitahuku dulu? Apa mungkin, dia akan pulang? Tapi, jika dia pulang sekarang bukan Satria namanya. Dia 'kan, selalu pulang kerja di saat semua staf kantor pulang," gumam Dinda berpikir sejenak dan merapikan kembali laporan yang tertumpuk di meja kerjanya. Satria menuju ruang cctv yang letaknya dekat dengan receptionist. Ia berniat untuk melihat siapa cleaning servis yang menimpanya itu. Pikirannya selalu ada tanda tanya tentang cleaning servis itu. Ceklek! Suara pintu ruang cctv membuat dua karyawan yang bertugas di sana terkejut ketika atasannya berdiri dengan wajah yang
Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?"Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?" tanya Satria penasaran. Drt ... Drt ... Satria mengangkat telepon dari klien dan meninggalkan mereka. Mama Rita mennghela nafas panjang, ia tak menyangka jika putranya benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. "Ini sudah malam, tapi dia tetap saja mengurus pekerjaannya," keluh mama Rita yang seakan tak ada waktu untuk berbicara dengan putranya. "Ma, alangkah baikny
Sesaat, kedua matanya mengerling dan terkejut ketika melihat foto cewek yang begitu tak asing baginya, terpampang jelas dengan senyum manis bak seperti model. "Bukankah cewek ini?" tunjuk Satria yang mengingat momen pertemuan mereka. Sejenak, senyum yang tak pernah tertoreh di dirinya, kini sedikit tertoreh saat melihat beberapa foto Rachel yang membuatnya sedikit terpesona. "Jika, diperhatikan cewek ini cantik juga," gumam batin Satria yang selalu melihat foto Rachel selanjutnya. Senyum itu hilang seketika saat menyadari dirinya hanyut dalam perasaan. Ia memilih menjauh dari laptopnya seraya mendengus sebal. "Bicara apa aku ini? Bisa-bisanya, aku bilang cewek bawel dan manja itu cantik," gumam Satria mematikan laptopnya. *** Di satu sisi, Pak Dirga terkejut ketika mendengar kabar kalo putrinya pergi ke kota Bogor. Ia tak menyangka, jika Rachel benar-benar tak memperdulikan perasaan keluarganya. Kabur dari
Kak Sakti calling ..."Ngapain pagi-pagi menelpon istri orang?" tanya batin Satria mendesah dan mulai mengangkat telepon dari Sakti.Dengan gayanya yang perfect, Satria menyilangkan kedua kakinya dan bersiap mendengar apa yang akan dibicarakan Sakti pada istrinya.(Rachel, apa Satria sudah berangkat? Aku sudah mencoba menghubunginya tapi tidak ada jawaban!) Perkataan Sakti membuat Satria mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengernyit dan tak habis pikir jika Sakti benar-benar menghubungi dirinya."Sayang siapa?" tanya Rachel mengejutkan Satria.Rachel mengernyit menatap suaminya melempar ponsel miliknya di atas tempat tidur."Sayang, kenapa kamu melemparnya?" Rachel tak berhenti mengerjap saat suaminya berjalan mendekati dirinya."Bagaimana bisa ada nomor asing masuk ke nomor kamu? Apa kamu berusaha mengkhianatiku?" tanya Satria memicing dan terlihat seperti singa yang sedang marah."M
Rachel tak habis pikir jika suaminya akan membahas tentang masalah yang ia hadapi di depan semua orang. Ia menoleh ke arah oma yang terdiam dan memilih sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.Maafkan Rachel, oma. Cucu oma terlalu jenius hingga aku tak bisa menyembunyikan rahasia ini! gumam hati Rachel.Sesaat, kedua mata Rachel mengerling menatap orang yang tersenyum manis ke arahnya."Kak Sakti?" tanya batin Rachel menyeringai.****"Ini sudah malam. Lebih baik oma pulang sekarang!" pinta Satria mencium punggung tangan sang Oma."Satria, maafkan oma, ya! Oma tak bermaksud membuat Rachel tertekan. Oma hanya tak mau saja semua orang bilang kalo kamu hanya dijadikan kacung olehnya. Sebagai seorang suami tidak wajib membawa anak dalam bekerja!" tutur oma menjelaskan alasannya.Satria menghela nafas panjang."Yang bilang Satria seperti itu hanya oma saja. Oma dengar 'kan? Tadi mereka bilang apa? Bahkan beberapa pihak agensi menginginkan j
Maafkan aku! Aku tak bisa menceritakannya sama kamu. Aku tak mau gara-gara aku, hubungan kamu dan oma menjadi renggang! gumam batin Rachel mengusap air matanya yang sempat terjatuh.Sejenak, sudut mata Satria mengerut melihat apa yang terjadi di layar ponselnya. Kata-kata oma terdengar begitu pedas dan melukai hati istrinya.Satria menoleh. Lagi dan lagi, istrinya menyembunyikan sesuatu hal yang seharusnya ia ketahui. Tanpa banyak buang waktu, Satria menghubungi Dinda untuk mengatur jadwal konferensi pers untuknya."Iya. Satu jam lagi, semuanya harus siap!" perintah Satria yang mengejutkan Rachel."Doni, kita langsung ke GM Grand!""Ok!" jawab Doni memutar arah.Rachel penasaran dan bingung dengan apa yang akan di lakukan suaminya. Perlahan, jari jemari tangannya mulai meraih tangan Satria yang berdiam di sampingnya."Sayang, kita ngapain ke GM Grand? Bukankah kita mau ke rumah oma?" tanya Rachel penasaran."Kit
Akhirnya kamu pulang juga!" kata Doni mengejutkan Satria."Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada istri dan anakku?" tanya Satria penasaran."Aku juga tidak tau! Yang jelas, tadi oma datang ke sini dan terlihat seperti orang marah," tutur Doni yang membuat Satria terkejut."Marah?" tanya Satria mengernyit heran."Iya, dan aku lihat! Rachel dan junior menangis tiada henti saat oma pulang." Kata-kata Doni membuat Satria berpikir sejenak. Apa yang di katakan oma sehingga membuat Rachel dan putranya menangis.Apa oma menyudutkannya lagi? tanya batin Satria mendesah sebal. Sudut matanya mengerut menatap ke arah kamarnya. Wanita yang ia cintai duduk termenung menatap ke arah jendela. Tanpa banyak buang waktu, Satria bergegas masuk ke dalam rumah.Sesaat, langkah Satria terhenti melihat Bayu dan Fajar bermain dengan junior di teras rumahnya. Tawa kecil junior membuat rasa rindu Satria terobati."Selamat sore, Pak!" jawab mereka berdiri meny
Duduk! Oma ingin bicara sama kamu!" ketus oma yang mengejutkan Rachel.Kenapa oma terlihat begitu marah padaku? batin Rachel bertanya. Perlahan, ia mulai duduk tepat di depan sang oma. Tenggorokannya seakan kering dan tak mampu menegak salivanya sendiri. Tatapan sang oma membuatnya begitu takut."Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Oma memicing."Terjadi apa, Oma?" tanya Rachel bingung dan tak mengerti apa maksud sang Oma."Bagaimana bisa kamu berbohong padaku?" ucap Oma terlihat begitu emosi. Rachel terdiam dan mulai memikirkan sesuatu yang membuat sang oma marah kepadanya."Bondan, perlihatkan vidionya!" perintah Oma."Siap, Oma!" jawab Bondan memperlihatkan vidio Satria dan junior pada Rachel."Apa ada masalah di antara kalian? Sehingga kamu meninggalkan junior dan membiarkannya bersama Satria?" cecar Oma yang memang benar adanya.Rachel seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Mulutnya seakan terkunci dan tak mampu menja
Rachel memicing dan yakin kalo suara itu adalah suara Laura.Laura? Ngapain dia ingin bertemu dengan suamiku? batin Rachel bertanya. Wajahnya yang cantik mulai muram mendengar suara orang yang membuat dirinya cemburu.Rachel, hilangkan rasa cemburu kamu ini. Kamu tau 'kan? Suami kamu tak mungkin melakukan hal yang menyakiti dirimu! gumam batin Rachel menarik nafas dalam-dalam."Rachel, nanti kita sambung lagi, ya! Ada klien yang datang," bisik Dinda berbohong."Iya," jawab Rachel seakan tak percaya kalo suara yang ia duga Laura adalah suara klien.Dinda menghela nafas panjang. Perlahan, ia meletakkan ponselnya seraya melirik Laura yang sedari tadi berdiri di depannya."Apa kamu sudah janji untuk bertemu dengannya?" tanya Dinda yang membuat Laura terkekeh."Kamu itu apa-apaan, sih, Din. Aku 'kan bukan orang lain," ujar Laura duduk di depan Dinda.Dinda menghela nafas panjang. Sudut matanya mengerut, kedua tangannya menopang di d
Keesokan harinya, Oma terperangah melihat Satria presentasi sambil menggendong junior."Apa-apaan ini? Kenapa cicit oma bisa ikut kerja? Bukankah kemarin, Junior berada di rumah?" ketus Oma marah."Bondan, kita ke rumah pak Satria sekarang!" perintah sang oma seraya menutup teleponnya."Berani-beraninya, dia membohongiku!" gumam oma memicing.Seperti biasa, Rachel mempersiapkan setelan jas untuk sang suami. Senyum manis mulai terpancar di raut wajah mereka. Pelukan hangat Satria membuat Rachel tak bisa melepaskannya."Apa aku boleh kerja?" tanya Satria yang masih mengenkan kimono. Dengan lembut, ia mencium pipi istrinya.Rachel menyeringai, secara spontan tangan kanannya terbiasa mencubit pinggang Satria."Kamu tuh, ya? Hobi banget menggodaku!" kata Rachel mencubit pinggang suaminya."Sayang, sakit!" keluh Satria kesakitan."Biarin! Habisnya, suka banget godain aku. Sudah tau, punya istri cemburuan. Trus aja diledeki
"Aku salah lagi menilainya? Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Tak seharusnya aku menuduh suamiku yang bukan-bukan!" gumamnya seraya menutup wajah cantiknya dengan kedua tangannya."Apa dia mau memaafkan aku?" kata Rachel membuka ponselnya. Jari jemari tangannya dengan cepat mencari kontak Satria. Tapi, ia terhenti saat rasa gengsi menghampiri dirinya."Masa' aku harus minta maaf? Dia juga salah. Tak seharusnya dia menangkap tubuh Laura seperti kemarin. Apa dia lupa jika jiwa dan raganya adalah milikku?" gumam Rachel yang masih saja cemburu buta."Tapi, apa yang di katakan Doni memang benar. Dia tak mungkin melakukannya! Kalo aku tidak minta maaf, yang ada aku juga tidak akan dengar dia untuk mengucapkan kata maaf. Apalagi, dia 'kan sangat kekeh dengan pendiriannya. Kalo dia nggak salah ia nggak mungkin meminta maaf," gumamnya cemberut.Drt ...Rachel melirik ke arah ponselnya. Kedua matanya mengerling saat Intan mengirimkan pesan untuknya.
Intan yang melihatnyapun terbelalak kaget. Ia seakan tak percaya melihat pemandangan yang mustahil terjadi pada atasannya itu. Kenapa pak Satria bawa junior? Ke mana Rachel? Apa dia sakit? batin Intan bertanya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.Senyum Dinda selalu tertoreh saat melihat junior ikut datang ke kantor. Wajahnya yang imut menggemaskan dengan senyum kecil indahnya membuat Dinda tak mau jauh dari Junior."Sat, biar aku gendong!" kata Dinda merentangkan kedua tangannya dan bersiap menggendong junior."Sayang, ikut aunty dulu, ya!" ucap Dinda yang terlihat begitu bahagia."Ini sudah siap semua?" tanya Satria membuka berkas-berkas yang tertumpuk di meja."Iya, kamu tinggal revisi saja!" jawab Dinda seraya memegang pipi chubby junior."Sayang, kamu ganteng banget, sih?"Sesaat, Dinda melirik Satria yang terdiam memikirkan sesuatu. Dengan hati-hati, ia mulai mempertanyakan apa yang terjadi pada sahabatnya."Apa semua baik-baik saja? Ap