"What? Kecopetan? Yang bener? Kamu nggak becanda 'kan?" cecar Intan memastikan.
"Maaf, Tan. Emang itu kenyataannya," jawab Rachel tertunduk seraya memayunkan bibirnya.
"Oh My God!" teriak Intan yang membuat Rachel dengan cepat menutup kedua telinganya.
Rasanya seperti petir yang menyambar di siang hari. Rachel hanya memayunkan bibirnya seraya meremas-remas bajunya. Ia hanya menatap Intan yang terlihat begitu kecewa padanya. Tatapan mata Intan yang tajam, membuatnya memilih untuk menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang saat hentakan kaki sahabatnya mulai berjalan menghampirinya.
"Kalo kamu tidak punya uang, bagaimana kamu hidup di sini?" kata Intan yang mengejutkan Rachel.
"Udahlah, Tan. Jangan marah gitu! Serem tau!" pinta Rachel memegang tangan sahabatnya itu.
"Aku pusing, Chel. Bagaimana caranya aku membayar kontrakan ini? Jika aku tak membayarnya sekarang, bisa-bisa kita akan terusir dari sini dan menjadi gelandangan," ucap Intan yang membuat Rachel terperangah.
"Gelandangan?" gumam batin Rachel menggigit bibirnya yang mungil.
"INTAN ...," teriak ibu kontrakan yang membuat mereka tercengang.
"Aduh, gimana nih?" keluh Intan mondar-mandir ke sana kemari bingung harus bagaimana.
Rachel terdiam. Kedua matanya mengerling melihat sahabatnya mengintip ke arah luar jendela. Terlihat begitu jelas wanita bertubuh besar berdiri di depan pintu.
'Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan untuk membantu Intan?'
Rachel berpikir dan menatap ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya
"Aduh, gimana nih? Masa' iya, aku harus jadi gelandangan?" gumam Intan terkejut saat Rachel membuka pintu menghampiri ibu kontrakan yang super duper cerewet.
"Mau apa dia?" tanya Intan penasaran dengan apa yang akan di lakukan Rachel.
Ceklek!
Tatapan matanya yang tajam membuat Rachel sempat ketakutan melihat ibu kontrakan itu. Dengan senyum manisnya, Rachel mulai bernegosiasi dengan ibu kontrakan itu agar memberikan sedikit kelonggaran waktu.
"I-bu," sapa Rachel.
"Siapa kamu?" tanya Ibu itu dengan nada yang sinis.
"Kenalkan saya Rachel, sahabatnya Intan dari Jakarta." Rachel mencoba mengulurkan tangannya. Dengan tatapan yang masih sinis, ibu itu membalas uluran tangan Rachel yang putih mulus dan berbeda jauh darinya.
"Ngomong-ngomong, ibu umurnya berapa?" tanya Rachel yang membuat ibu itu sontak menatapnya dengan mata melotot.
"Maaf, jika kata-kata saya menyinggung perasaan ibu. Tapi, saya penasaran dengan penampilan ibu yang terlihat seperti anak jaman now," lirih Rachel yang membuat ibu kontrakan itu sedikit tersenyum akan pujian yang ia berikan. Senyum yang tak pernah tertoreh dari diri ibu kontrakan, kini mulai mengembang akan pujian yang diberikan Rachel kepadanya.
"Saya kagum akan penampilan Ibu. Kenapa ibu tidak buka butik saja atau ikut fashion show gitu?"
"Ah, kamu ada-ada saja. Mana ada yang mau menerima saya menjadi model," ucapnya menyenggol tubuh langsing Rachel hingga sedikit tergeser.
"Kata siapa Bu, tak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha. Apalagi ibu sangat baik hati dan tidak sombong," puji Rachel yang selalu memujinya tiada henti.
"Mana Intan? Ada hal yang perlu saya bicarakan dengannya," kata ibu itu yang mengingat tujuan awalnya ia datang. Dari dalam, Intan hanya bisa menggigit bibirnya seraya melihat Rachel menghadapi ibu kontrakan yang terkenal begitu kikir dan galak kepadanya.
"Ya Tuhan, aku mohon lindungilah aku dari nenek lampir itu," gumam batin Intan seraya memejamkan matanya.
"Kebetulan, perut Intan lagi bermasalah. Jika ada sesuatu, ibu bisa bicara dengan saya," ucap Rachel berbohong.
"Ngapain Rachel bilang kalo aku sakit perut segala. Bisa-bisanya dia mendoakan aku sakit perut. Tapi, tak apalah dia kan, sangat jago beralasan," tutur Intan tersenyum tipis.
"Ah, tak mungkin juga aku bilang kalo mau menagih uang kontrakan di depan gadis cantik ini. Dia kan, orang pertama yang memuji penampilanku ini," gumam batin ibu kontrakan tersebut.
"Lain kali saja, saya datang ke sini. Kalo begitu saya pulang dulu, ya? Senang bertemu dengan kamu, cantik!" tutur ibu itu membelai rambut indah milik Rachel. Dalam hati kecilnya, Rachel tersenyum senang akhirnya dia bisa membuat orang itu pergi juga.
"Saya juga. See you!" kata Rachel melambaikan tangannya seraya menatap ibu kontrakan itu mulai pergi meninggalkannya.
Rachel menghela nafas panjang. Tangan kanannya tak berhenti memegang dada yang berdegup kencang karena panik.
Intan tak menyangka jika sahabatnya mampu mengusir orang yang membuatnya ketakutan.
"Syukurlah, akhirnya aku bisa membuatnya pergi tanpa harus menyerahkan jam tangan kesayanganku ini," kata Rachel mencium jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesaat, kedua matanya mengerling ketika ada pelukan hangat yang mendekapnya begitu erat dari belakang.
"Thanks you so much, sahabat terbaikku." Intan yang mengejutkan Rachel.
"Lepaskan! Sesak tau!" kata Rachel memberontak terlepas dari pelukan.
"Aku tak habis pikir, kalo kamu berhasil mengusir nenek lampir itu tanpa ada sedikitpun pertengkaran," kata Intan tersenyum senang seraya memegang kedua tangan sahabatnya itu.
"Syukurlah, akhirnya Intan tidak marah lagi. Jadi aku bisa numpang di sini," gumam batin Rachel senang. Sejenak, Rachel mengernyitkan dahi ketika melihat sahabatnya menatapnya dengan tajam.
"Kamu bilang, kamu kecopetan. Trus kamu nggak punya uang sama sekali?" tanya Intan melihat Rachel menganggukkan kepalanya.
"Jika kamu tidak punya uang sama sekali, bagaimana kamu bisa tinggal di sini? Kamu tau kan, aku baru saja kerja belum gajian lagi. Apa nggak sebaiknya kamu pulang saja, nggak usah kabur-kaburan seperti ini," pinta Intan memegang pundak Rachel.
"Nggak, aku nggak mau pulang. Jika aku pulang, itu sama saja aku menerima perjodohan itu. Aku nggak mau!" keluh Rachel menopangkan kedua tangan di dada seraya memayunkan bibirnya.
"Trus, emangnya kamu siap serba kekurangan di saat kamu nggak megang uang sama sekali? Kalo kamu masih berhubungan dengan Reyhan, mungkin kamu bisa bertahan," kata Intan menggodanya.
"Apaan, sih!" lirih Rachel terdiam sejenak untuk berpikir. Intan hanya menghela nafas dan duduk di samping sahabatnya.
"Maaf, jika aku mengingatkanmu pada dia. Aku tak bermaksud seperti itu, serius!" ujar Intan seraya mengacungkan jari tengah dan telunjuk hingga berbentuk huruf " V".
"Iya, nggak apa," jawab Rachel mulai tersenyum kembali.
"Nah, gitu dong! Bagaimana jika kamu melamar pekerjaan di kantor tempat aku bekerja? Siapa tau keterima, apalagi kamu memiliki kemampuan di atasku," usul Intan.
"Boleh juga, tuh!" jawab Rachel tersenyum senang akan pendapat dari sahabatnya itu.
****
Sesak dan penuh, itulah yang terjadi saat ini pada bus yang di tumpangi Rachel dan Intan. Rachel tak berhenti mengipas-ngipaskan tangannya ke arah wajah cantiknya.
"Tan, turun yuk! Kan, kita bisa naik taksi?" lirih Rachel yang tidak tahan dengan keadaan bus itu.
"Emang kamu ada uang? Kalo kamu ada uang, nggak apa kita turun," bisik Intan menatap Rachel cemberut. Sesaat, Intan menatap wajah sahabatnya yang terlihat begitu tersiksa. Rasa kasihan mulai muncul dalam dirinya. Gadis kaya yang biasa dimanja oleh kedua orangtuanya, kini harus berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Ya Tuhan, mungkin ini kali pertamanya ia merasa serba kekurangan. Tapi, bagaimana lagi, aku juga nggak punya uang. Uangku habis untuk pengobatan ibu di kampung," gumam batin Intan tersenyum tipis ketika dirinya kepergok diam-diam menatap Rachel.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ada yang lucu? Bagian yang mana?" kata Rachel dengan spontan mengambil kaca kecil yang ada di tas miliknya.
"Chel, kayaknya aku nggak bisa tinggal sama kamu! Alangkah baiknya, jika kamu tinggal ngontrak sendiri saja!" ucap Intan yang membuat Rachel terkejut mendengarnya.
"Jangan bercanda deh, Tan? Bagaimana kamu menyuruhku untuk mengontrak sendiri di saat aku tak punya uang?" Rachel memanyunkan bibirnya. Ia tak bisa bayangkan jika ia hidup seorang diri tanpa uang sepersenpun. Gelak tawa Intanpun pecah melihat kelucuan sahabatnya itu. Rachel mengernyit memicing menatap Intan yang benar-benar menguji kesabarannya. Tepukan keraspun melayang di bahu Intan. Buk "Apaan sih? Sakit tau nggak?" keluh Intan memegang bahunya. "Kamu 'tuh yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu menggodaku seperti ini," kata Rachel kembali menatap wajahnya ke arah kaca kecil yang masih ada di tangan kirinya. Intan hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang dari dulu tidak berubah. Selalu membawa kaca kesayangannya ke manapun pergi. "Rachel-Rachel, berapa tahun kaca ini bersama kamu?" tanya Intan meledek sembari menunjuk kaca jadul itu. "Apaan, sih!" ujar Rachel memasukkan kacanya kembali.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" gumam batin Rachel mendesah dan melangkah pergi meninggalkan kantor tersebut. Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala seraya menopangkan kedua kakinya tepat di atas meja. Perlahan, Ia mulai mengendorkan dasinya. Ia mendesah sebal jika teringat perkataan mamanya yang selalu membahas tentang calon tunangannya. "Siapa cewek itu? Berani-beraninya, dia malah kabur di hari yang sangat spesial," desah Satria memejamkan matanya sejenak. "Untung saja, para wartawan tidak tau masalah ini. Jika ada salah satu media mengetahuinya, mau taruh dimana mukaku ini," gerutu Satria beralih berdiri seraya mondar-mandir ke sana kemari dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya. "Mama juga, kenapa nggak dibatalkan saja pertunangan ini? Kenapa malah di tunda segala? Secara tidak langsung, cewek itu menolakku secara mentah-mentah," ucap Satria geram. Tok tok tok Satria menoleh.
"Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya itu. Kedua matanya terbelalak kaget saat Rachel menoleh ke arahnya. "Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya. Sesaat, senyum Darwin memudar ketika wanita yang ia kira Rachel adalah orang lain. "Hah, bicara apa aku ini. Mana mungkin dia ada di sini? Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain," gumam batin Darwin memakai kacamatanya kembali. "Papa Darwin liatin apa?" tanya anak kecil tersebut yang bernama Olivia, putri dari atasannya. "Ti-dak. Om Darwin hanya melihat kucing sedang menyeberang jalan," jawab Darwin berbohong. Sesaat, Darwin mengkode Olivia untuk diam. Dia tak mau, jika at
Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut.Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut. Seketika, ia mematikan ponselnya. Ia tak mau berbicara ataupun mendengar suara dari Darwin. Ia ingin melupakan semuanya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya mendekap guling membelakangi Intan. Ia mulai memejamkan matanya kembali. Intan melirik sahabatnya yang terlihat muram dan tak bersemangat. "Chel," lirih Intan mencoba menggagalkan tidur sahabatnya itu. "Hem," lirih Rachel dengan mata yang masih tertutup. "Bagaimana? Apa kamu di terima?" tanya Intan penasaran. Saking penasarannya, ia beralih untuk duduk dan membangunkan Rachel. "Apaan, sih?" rengek Rachel dengan malesnya. "Cerita dulu, bagaimana apa kamu ket
"Kenapa bengong?" tanya Satria seraya menopangkan kedua tangan di dada. "Serius?" tanya Dinda seakan tak percaya. "Kalian tau, saya tak suka mengulang perkataan saya lagi," ketus Satria. "Ya, Pak!" jawab mereka serempak. "Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut saat suara teriakan tertuju padanya. "Pak Satria," teriak mereka serempak. Brak! Semua mata tertuju pada CEO yang terjatuh dan tertindih oleh cleaning servis tepat di atasnya. Ya, siapa lagi kalo bukan Rachel. Rachel tak berhenti berkedip ketika semua orang menatap dirinya dengan wajah yang terlihat begitu syok. Tangannya gemetar, ia melepas lap dan alat pembersih kaca itu dari tangannya. Jantungnya berdetak begitu kencang saat ia berada tepat di atas tubuh seseorang. "Kenapa kalian diam saja! Singkirkan orang yang menindihku ini!" ketus Satria dengan posisi yang tengkurap dan tak tau kalo seoran
"Tapi, kenapa aku merasa mengenal postur tubuh cleaning servis itu.Trus, kenapa dia terdiam saat aku bertanya padanya? Apa aku mengenalnya?" katanya berpikir sejenak. Iapun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Tanpa senyum, pandangan yang lurus membuat Satria tak merespon Dinda yang bertanya kepadanya. "Mau kemana? Tumben, dia pergi tak memberitahuku dulu? Apa mungkin, dia akan pulang? Tapi, jika dia pulang sekarang bukan Satria namanya. Dia 'kan, selalu pulang kerja di saat semua staf kantor pulang," gumam Dinda berpikir sejenak dan merapikan kembali laporan yang tertumpuk di meja kerjanya. Satria menuju ruang cctv yang letaknya dekat dengan receptionist. Ia berniat untuk melihat siapa cleaning servis yang menimpanya itu. Pikirannya selalu ada tanda tanya tentang cleaning servis itu. Ceklek! Suara pintu ruang cctv membuat dua karyawan yang bertugas di sana terkejut ketika atasannya berdiri dengan wajah yang
Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?"Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?" tanya Satria penasaran. Drt ... Drt ... Satria mengangkat telepon dari klien dan meninggalkan mereka. Mama Rita mennghela nafas panjang, ia tak menyangka jika putranya benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. "Ini sudah malam, tapi dia tetap saja mengurus pekerjaannya," keluh mama Rita yang seakan tak ada waktu untuk berbicara dengan putranya. "Ma, alangkah baikny
Sesaat, kedua matanya mengerling dan terkejut ketika melihat foto cewek yang begitu tak asing baginya, terpampang jelas dengan senyum manis bak seperti model. "Bukankah cewek ini?" tunjuk Satria yang mengingat momen pertemuan mereka. Sejenak, senyum yang tak pernah tertoreh di dirinya, kini sedikit tertoreh saat melihat beberapa foto Rachel yang membuatnya sedikit terpesona. "Jika, diperhatikan cewek ini cantik juga," gumam batin Satria yang selalu melihat foto Rachel selanjutnya. Senyum itu hilang seketika saat menyadari dirinya hanyut dalam perasaan. Ia memilih menjauh dari laptopnya seraya mendengus sebal. "Bicara apa aku ini? Bisa-bisanya, aku bilang cewek bawel dan manja itu cantik," gumam Satria mematikan laptopnya. *** Di satu sisi, Pak Dirga terkejut ketika mendengar kabar kalo putrinya pergi ke kota Bogor. Ia tak menyangka, jika Rachel benar-benar tak memperdulikan perasaan keluarganya. Kabur dari