Maafkan aku! Aku tak bisa menceritakannya sama kamu. Aku tak mau gara-gara aku, hubungan kamu dan oma menjadi renggang! gumam batin Rachel mengusap air matanya yang sempat terjatuh.
Sejenak, sudut mata Satria mengerut melihat apa yang terjadi di layar ponselnya. Kata-kata oma terdengar begitu pedas dan melukai hati istrinya.
Satria menoleh. Lagi dan lagi, istrinya menyembunyikan sesuatu hal yang seharusnya ia ketahui. Tanpa banyak buang waktu, Satria menghubungi Dinda untuk mengatur jadwal konferensi pers untuknya.
"Iya. Satu jam lagi, semuanya harus siap!" perintah Satria yang mengejutkan Rachel."Doni, kita langsung ke GM Grand!"
"Ok!" jawab Doni memutar arah.
Rachel penasaran dan bingung dengan apa yang akan di lakukan suaminya. Perlahan, jari jemari tangannya mulai meraih tangan Satria yang berdiam di sampingnya.
"Sayang, kita ngapain ke GM Grand? Bukankah kita mau ke rumah oma?" tanya Rachel penasaran.
"Kit
Rachel tak habis pikir jika suaminya akan membahas tentang masalah yang ia hadapi di depan semua orang. Ia menoleh ke arah oma yang terdiam dan memilih sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.Maafkan Rachel, oma. Cucu oma terlalu jenius hingga aku tak bisa menyembunyikan rahasia ini! gumam hati Rachel.Sesaat, kedua mata Rachel mengerling menatap orang yang tersenyum manis ke arahnya."Kak Sakti?" tanya batin Rachel menyeringai.****"Ini sudah malam. Lebih baik oma pulang sekarang!" pinta Satria mencium punggung tangan sang Oma."Satria, maafkan oma, ya! Oma tak bermaksud membuat Rachel tertekan. Oma hanya tak mau saja semua orang bilang kalo kamu hanya dijadikan kacung olehnya. Sebagai seorang suami tidak wajib membawa anak dalam bekerja!" tutur oma menjelaskan alasannya.Satria menghela nafas panjang."Yang bilang Satria seperti itu hanya oma saja. Oma dengar 'kan? Tadi mereka bilang apa? Bahkan beberapa pihak agensi menginginkan j
Kak Sakti calling ..."Ngapain pagi-pagi menelpon istri orang?" tanya batin Satria mendesah dan mulai mengangkat telepon dari Sakti.Dengan gayanya yang perfect, Satria menyilangkan kedua kakinya dan bersiap mendengar apa yang akan dibicarakan Sakti pada istrinya.(Rachel, apa Satria sudah berangkat? Aku sudah mencoba menghubunginya tapi tidak ada jawaban!) Perkataan Sakti membuat Satria mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengernyit dan tak habis pikir jika Sakti benar-benar menghubungi dirinya."Sayang siapa?" tanya Rachel mengejutkan Satria.Rachel mengernyit menatap suaminya melempar ponsel miliknya di atas tempat tidur."Sayang, kenapa kamu melemparnya?" Rachel tak berhenti mengerjap saat suaminya berjalan mendekati dirinya."Bagaimana bisa ada nomor asing masuk ke nomor kamu? Apa kamu berusaha mengkhianatiku?" tanya Satria memicing dan terlihat seperti singa yang sedang marah."M
Jari jemari manis Rachel begitu lihai dalam menata rambutnya yang panjang. Ia bergegas mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper. "Pa, ma, maafin Rachel, ya. Rachel terpaksa harus pergi dari rumah ini. Maafkan Rachel yang tak mau menuruti keinginan papa dan mama," ucap Rachel mencium foto keluarganya itu. Selembar kertas ia letakkan di meja sebagai pengganti ucapan perpisahan untuk kedua orangtuanya. Secara perlahan, Rachel menoleh ke sana kemari dan mulai melangkah mengendap-endap seperti maling di rumahnya sendiri. Kedua matanya berputar dan memastikan kalo situasinya sedang berpihak padanya. "Syukurlah, mereka belum bangun. Aku harus cepat-cepat meninggalkan rumah ini," gegas Rachel keluar dari rumah. Tepat jam 09.00 WIB, Semua orang bersiap untuk menjamu tamu dari pihak laki-laki yang akan melamar Rachel. Semua keluarga Rachel begitu kompak dalam mengenakan pakaian yang sudah disediakan oleh keluarga konglomer
"Anak manja! Jika tak mempunyai uang, jangan jajan di sini!" Satria yang pergi meninggalkan Rachel begitu saja. Rachel hanya mendesah dan tak habis pikir, dengan perkataan Satria kepadanya. "Sialan, bisa-bisanya dia mengatai diriku anak manja. Siapa dia?"gumam batin Rachel greget melihat Satria yang menghilang dari hadapannya. Intan Prameswari, sahabat Rachel yang berbadan besar. Ia telah tiba di tempat di mana mereka janjikan. Kedua matanya berputar mencari keberadaan sahabatnya itu. Tubuhnya yang besar, membuat dirinya tak berhenti mengipas-ngipaskan kertas ke arah wajahnya. "Aduh, kemana dia? Katanya sudah ada di sini, tapi kok nggak ada?" ujar Intan terkejut saat ada orang yang secara tiba-tiba menepuk pundaknya. "Eh, copot!" ucap Intan dengan latah. Rachelpun tertawa begitu renyahnya melihat kelucuan sahabatnya itu. Hampir setahun ia tak bertemu langsung dengan Intan. Komunikasi jarak jauh adalah alat yang mem
"What? Kecopetan? Yang bener? Kamu nggak becanda 'kan?" cecar Intan memastikan. "Maaf, Tan. Emang itu kenyataannya," jawab Rachel tertunduk seraya memayunkan bibirnya. "Oh My God!" teriak Intan yang membuat Rachel dengan cepat menutup kedua telinganya. Rasanya seperti petir yang menyambar di siang hari. Rachel hanya memayunkan bibirnya seraya meremas-remas bajunya. Ia hanya menatap Intan yang terlihat begitu kecewa padanya. Tatapan mata Intan yang tajam, membuatnya memilih untuk menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang saat hentakan kaki sahabatnya mulai berjalan menghampirinya. "Kalo kamu tidak punya uang, bagaimana kamu hidup di sini?" kata Intan yang mengejutkan Rachel. "Udahlah, Tan. Jangan marah gitu! Serem tau!" pinta Rachel memegang tangan sahabatnya itu. "Aku pusing, Chel. Bagaimana caranya aku membayar kontrakan ini? Jika aku tak membayarnya sekarang, bisa-bisa kita akan terusir dari sini dan menjad
"Jangan bercanda deh, Tan? Bagaimana kamu menyuruhku untuk mengontrak sendiri di saat aku tak punya uang?" Rachel memanyunkan bibirnya. Ia tak bisa bayangkan jika ia hidup seorang diri tanpa uang sepersenpun. Gelak tawa Intanpun pecah melihat kelucuan sahabatnya itu. Rachel mengernyit memicing menatap Intan yang benar-benar menguji kesabarannya. Tepukan keraspun melayang di bahu Intan. Buk "Apaan sih? Sakit tau nggak?" keluh Intan memegang bahunya. "Kamu 'tuh yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu menggodaku seperti ini," kata Rachel kembali menatap wajahnya ke arah kaca kecil yang masih ada di tangan kirinya. Intan hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang dari dulu tidak berubah. Selalu membawa kaca kesayangannya ke manapun pergi. "Rachel-Rachel, berapa tahun kaca ini bersama kamu?" tanya Intan meledek sembari menunjuk kaca jadul itu. "Apaan, sih!" ujar Rachel memasukkan kacanya kembali.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" gumam batin Rachel mendesah dan melangkah pergi meninggalkan kantor tersebut. Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala seraya menopangkan kedua kakinya tepat di atas meja. Perlahan, Ia mulai mengendorkan dasinya. Ia mendesah sebal jika teringat perkataan mamanya yang selalu membahas tentang calon tunangannya. "Siapa cewek itu? Berani-beraninya, dia malah kabur di hari yang sangat spesial," desah Satria memejamkan matanya sejenak. "Untung saja, para wartawan tidak tau masalah ini. Jika ada salah satu media mengetahuinya, mau taruh dimana mukaku ini," gerutu Satria beralih berdiri seraya mondar-mandir ke sana kemari dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya. "Mama juga, kenapa nggak dibatalkan saja pertunangan ini? Kenapa malah di tunda segala? Secara tidak langsung, cewek itu menolakku secara mentah-mentah," ucap Satria geram. Tok tok tok Satria menoleh.
"Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya itu. Kedua matanya terbelalak kaget saat Rachel menoleh ke arahnya. "Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya. Sesaat, senyum Darwin memudar ketika wanita yang ia kira Rachel adalah orang lain. "Hah, bicara apa aku ini. Mana mungkin dia ada di sini? Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain," gumam batin Darwin memakai kacamatanya kembali. "Papa Darwin liatin apa?" tanya anak kecil tersebut yang bernama Olivia, putri dari atasannya. "Ti-dak. Om Darwin hanya melihat kucing sedang menyeberang jalan," jawab Darwin berbohong. Sesaat, Darwin mengkode Olivia untuk diam. Dia tak mau, jika at