Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya.
"Darwin?" tanyanya terkejut.Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya.
"Darwin?" tanyanya terkejut.
Seketika, ia mematikan ponselnya. Ia tak mau berbicara ataupun mendengar suara dari Darwin. Ia ingin melupakan semuanya.
Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya mendekap guling membelakangi Intan. Ia mulai memejamkan matanya kembali.
Intan melirik sahabatnya yang terlihat muram dan tak bersemangat.
"Chel," lirih Intan mencoba menggagalkan tidur sahabatnya itu.
"Hem," lirih Rachel dengan mata yang masih tertutup.
"Bagaimana? Apa kamu di terima?" tanya Intan penasaran. Saking penasarannya, ia beralih untuk duduk dan membangunkan Rachel.
"Apaan, sih?" rengek Rachel dengan malesnya.
"Cerita dulu, bagaimana apa kamu ketrima kerja?" tanya Intan memegang bahu Rachel.
"Iya, aku ketrima. Besok saja, aku ceritakan. Saat ini aku benar-benar ngantuk berat," lirih Rachel kembali membanting tubuhnya begitu saja di tempat tidur.
"Syukurlah, jika kamu ketrima bekerja. Jadi aku tak pusing sendirian membayar kontrakan ini," kata Intan tersenyum senang.
Keesokan harinya, matahari bersinar begitu cerah. Sinarnya mulai menembus dinding jendela kamar mengenai wajah cantik Rachel.
Udaranya yang sejuk, membuatnya sangat betah untuk tinggal di kota itu. Ia juga mulai melupakan apa yang terjadi pada dirinya sebelumnya.
Dengan semangat dan penuh percaya diri, Rachel merias dirinya dengan paduan makeup untuk mempercantik wajahnya. Jari jemari tanganya juga begitu lihai dalam mengikat rambutnya agar tetap anggun terlihat.
Intan mengerling saat melihat sahabatnya yang terlihat begitu keren dengan mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang seperti jaman sekolahnya dulu. Tapi, itu tak mengurangi aura kecantikan sahabatnya.
"Wow, ternyata kamu juga masih cocok jadi anak sekolah!" puji Intan menghampiri sahabatnya yang memakai sepatu.
"Ah, bisa aja kamu, Tan. Padahal, aku ingin sekali memakai pakaian seperti kamu," lirik Rachel dengan wajah cemberut melihat setelan jas wanita yang Intan kenakan.
Intan tersenyum tipis seraya mengusap pundak sahabatnya itu dengan hangat.
"Kamu tenang saja, seminggu lagi pasti kamu akan mengenakan pakaian sepertiku ini. Dan pokoknya, kamu harus semangat dan rajin bekerja, Ok!" kata Intan menyemangati sahabatnya itu.
"Aku yakin, kamu akan betah bekerja di kantor. Kamu tau kenapa?" tanya Intan tersenyum tipis melihat sahabatnya menggelengkan kepala.
"Ya, karena di sana banyak pemuda-pemuda tampan melebihi ketampanan Darwin. Apalagi kalo kamu bertemu dengan pak boss besar. Pasti, kamu akan klepek-klepek dibuatnya," tutur Intan mengernyitkan dahinya ketika melihat raut muka Rachel cemberut.
"Sudahlah, daripada kamu bicara yang tak jelas. Mending, kita berangkat sekarang! Aku tak mau telat di hari pertama kerja," kata Rachel bersiap untuk pergi.
"Ok! Let's go!"
****
Di kantor, Intan terkejut ketika Rachel melepas tangannya seraya melambaikan tangan untuknya. Ia terperangah, kedua matanya mengerling melihat sahabatnya berjalan menuju ruang cleaning servis.
"Kenapa Rachel masuk ke ruang cleaning servis? Jangan-jangan dia?" tanya Intan seketika menutup mulutnya
Ia tak mau apa yang ia pikirkan terjadi pada sahabatnya. Dengan langkah yang pasti dan rasa keingintahuannya, Intan mulai berjalan menuju ruangan tersebut.
Ternyata dugaannya benar. Ia seakan tak percaya jika sahabat terbaiknya menjadi seorang cleaning servis di kantornya.
Lentik indah matanya tak berhenti memandang Rachel yang mengenakan seragam cleaning servis.
Sesaat, senyum manis Rachel memudar ketika melihat sahabatnya berdiri terpaku di balik pintu kaca yang menjadi pintu masuk ruangan tersebut.
"Intan? Kenapa dia tidak di tempat kerjanya?" gumam batin Rachel berjalan menghampiri sahabatnya itu.
Rachel membuka dan menutup kembali pintu tersebut. Ia menarik tangan Intan agar bergeser tak menghalangi jalan.
"Kenapa kamu masih di sini? Bukankah kamu bilang, pekerjaan kamu sangat banyak dan harus berangkat pagi-pagi?" tanya Rachel dengan nada rendah.
"Kenapa kamu memakai baju seperti ini?" tanya Intan menunjuk seragam yang ia kenakan.
"Emang aku harus memakainya."
"Jangan bilang, kamu bekerja menjadi seorang cleaning servis?" Intan yang semakin tak percaya lagi akan anggukan kepala dari sahabatnya itu.
"Chel, kenapa kamu terima, sih?" tanya Intan mendesah akan keputusan Rachel.
"Kan, kamu sendiri yang bilang, untuk terima apapun pekerjaan yang mereka tawarkan," jawab Rachel dengan wajah melasnya.
"Iya, tapi nggak cleaning servis juga kali, Chel. Kemampuan kamu itu di atas kemampuan aku, lho! Dan seharusnya kamu itu menjadi salah satu staff IT atau sekertaris pak Satria," sesal Intan seraya menopangkan kedua tangan di pinggangnya.
"Sudah, nggak apa. Semua sudah terlanjur. Jika nanti, ada pekerjaan yang lebih baik lagi. Aku akan tinggalkan pekerjaan ini. Yang terpenting sekarang, aku bisa bekerja membantu kamu. Benar 'kan? Daripada aku nggak kerja?" ucap Rachel mengembangkan senyumnya.
"Maafin, aku, ya? Gara-gara aku, kamu harus menjadi cleaning servis seperti ini," sesal Intan yang merasa sangat bersalah.
"It's Ok!"
****
Dengan penuh semangat, Rachel mulai mengerjakan tugasnya. Senyum manis ia selalu tujukan kepada semua orang.
"Kalo bekerja seperti ini, mah. Aku bisa banget. Cuma ngelap-ngelap doang," gumam batin Rachel tersenyum seraya menata sedikit rambutnya yang berlari ke arah matanya.
"Untuk membersihkan kaca yang atas, kamu pakai tangga, ya? Tangganya ada di ruang pojok sana!" tunjuk Hanum pada salah satu tangga yang ada di pojok.
"Pakai tangga, Kak?" tanya Rachel mengernyitkan keningnya saat seniornya menganggukkan kepala.
"Tapi, jika kamu sampai. Nggak usah pakai tangga juga nggak apa," ledek Hanum seraya memegang perutnya yang membesar.
"Mana mungkin sampai, Kak? Kak Hanum, ada-ada saja, deh!" kata Rachel tersenyum tipis.
"Ya, makanya pakai tangga biar sampai," kata Hanum membersihkan jendela kaca yang letaknya agak jauh dari Rachel.
Sejenak, Rachel memegang pinggangnya dan menatap kaca bagian atas.
"Ya Tuhan, untuk pertama kalinya aku akan menjadi seorang Spiderman." Rachel menghela nafas seraya memandang ke arah kaca yang harus di bersihkan.
"Harus bisalah, masa' nggak bisa?" tutur Rachel mulai mengambil tangga. Sejenak, ia berpikir untuk memilih yang mana dengan dua tangga yang tergeletak itu. Rachel mengangkat tangga yang bebannya sedikit berat baginya.
Tapi, dia sadar. Dia bukan anak manja lagi yang selalu bergantung pada orang lain. Dengan semangat dan penuh percaya diri, Rachel menata letak tangga tersebut.
"Ah, jadi teringat pak Daman," kata Rachel bersiap untuk memanjat menaiki tangga.
"Hati-hati, ya!" teriak Hanum tersenyum melihat partner kerjanya mengacungkan jempol kepadanya.
Dari kejauhan, Satria berjalan diikuti beberapa staff IT dan sekertaris pribadinya. Mereka baru selesai meeting dengan beberapa clien yang bekerjasama dengan perusahaannya.
Sesaat, Langkah Satria terhenti dan membalikkan badan tepat di depan karyawannya. Tanpa sadar, ia memegang tangga tanpa melihat ada orang di atasnya. Semua mata hanya tertuju pada cleaning servis yang bisa-bisanya duduk di atas pemilik "Angkasa Group" itu.
Dari kejauhan, Hanum terperangah dan tak percaya jika Pak Satria berdiri di bawah tangga tanpa melihat ada orang atau tidak di atasnya.
Sedangkan Rachel juga sangat menikmati pekerjaannya itu dengan mengenakan headset yang menutupi telinganya.
"Untuk hari ini, kerja kalian sangat bagus," puji Satria yang terlihat begitu bahagia.
"Sat?" tanya Dinda yang ingin memberitahukan tentang posisinya yang tak nyaman bagi seorang CEO. Tapi, Dinda hanya menghela nafas ketika sahabatnya menyuruhnya agar tidak memotong pembicaraannya.
"Dan tak ada salahnya jika kita makan siang di cafe," kata Satria yang membuat mereka terkejut akan perkataan yang terlontar dari mulut boss cueknya itu.
"Beneran? Kamu nggak bercanda 'kan?" tanya Dinda memastikan kalo sahabatnya tidak membohongi mereka lagi.
"Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut ketika suara teriakan tertuju padanya.
Brak!
"Kenapa bengong?" tanya Satria seraya menopangkan kedua tangan di dada. "Serius?" tanya Dinda seakan tak percaya. "Kalian tau, saya tak suka mengulang perkataan saya lagi," ketus Satria. "Ya, Pak!" jawab mereka serempak. "Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut saat suara teriakan tertuju padanya. "Pak Satria," teriak mereka serempak. Brak! Semua mata tertuju pada CEO yang terjatuh dan tertindih oleh cleaning servis tepat di atasnya. Ya, siapa lagi kalo bukan Rachel. Rachel tak berhenti berkedip ketika semua orang menatap dirinya dengan wajah yang terlihat begitu syok. Tangannya gemetar, ia melepas lap dan alat pembersih kaca itu dari tangannya. Jantungnya berdetak begitu kencang saat ia berada tepat di atas tubuh seseorang. "Kenapa kalian diam saja! Singkirkan orang yang menindihku ini!" ketus Satria dengan posisi yang tengkurap dan tak tau kalo seoran
"Tapi, kenapa aku merasa mengenal postur tubuh cleaning servis itu.Trus, kenapa dia terdiam saat aku bertanya padanya? Apa aku mengenalnya?" katanya berpikir sejenak. Iapun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Tanpa senyum, pandangan yang lurus membuat Satria tak merespon Dinda yang bertanya kepadanya. "Mau kemana? Tumben, dia pergi tak memberitahuku dulu? Apa mungkin, dia akan pulang? Tapi, jika dia pulang sekarang bukan Satria namanya. Dia 'kan, selalu pulang kerja di saat semua staf kantor pulang," gumam Dinda berpikir sejenak dan merapikan kembali laporan yang tertumpuk di meja kerjanya. Satria menuju ruang cctv yang letaknya dekat dengan receptionist. Ia berniat untuk melihat siapa cleaning servis yang menimpanya itu. Pikirannya selalu ada tanda tanya tentang cleaning servis itu. Ceklek! Suara pintu ruang cctv membuat dua karyawan yang bertugas di sana terkejut ketika atasannya berdiri dengan wajah yang
Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?"Sayang, tadi waktu perjalanan ke sini. Mama lihat Rachel," tutur mama yang membuat satria mengernyit mendengar nama yang sangat asing baginya. "Rachel? Siapa Rachel?" tanya Satria penasaran. Drt ... Drt ... Satria mengangkat telepon dari klien dan meninggalkan mereka. Mama Rita mennghela nafas panjang, ia tak menyangka jika putranya benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. "Ini sudah malam, tapi dia tetap saja mengurus pekerjaannya," keluh mama Rita yang seakan tak ada waktu untuk berbicara dengan putranya. "Ma, alangkah baikny
Sesaat, kedua matanya mengerling dan terkejut ketika melihat foto cewek yang begitu tak asing baginya, terpampang jelas dengan senyum manis bak seperti model. "Bukankah cewek ini?" tunjuk Satria yang mengingat momen pertemuan mereka. Sejenak, senyum yang tak pernah tertoreh di dirinya, kini sedikit tertoreh saat melihat beberapa foto Rachel yang membuatnya sedikit terpesona. "Jika, diperhatikan cewek ini cantik juga," gumam batin Satria yang selalu melihat foto Rachel selanjutnya. Senyum itu hilang seketika saat menyadari dirinya hanyut dalam perasaan. Ia memilih menjauh dari laptopnya seraya mendengus sebal. "Bicara apa aku ini? Bisa-bisanya, aku bilang cewek bawel dan manja itu cantik," gumam Satria mematikan laptopnya. *** Di satu sisi, Pak Dirga terkejut ketika mendengar kabar kalo putrinya pergi ke kota Bogor. Ia tak menyangka, jika Rachel benar-benar tak memperdulikan perasaan keluarganya. Kabur dari
"Rachel Anastasya?" kata Satria datar dan membuat Rachel terkejut ketika atasan yang terbilang sangat kejam mengetahui nama lengkapnya. Lentik indah matanya terbelalak kaget, bibir mungilnya yang merah sedikit bergetar dan menggigitnya dengan pelan. Ia mencoba menahan kata-kata yang ingin terlontar dari mulutnya saat Satria bersiap mencecarnya. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Satria duduk di kursi putarnya seraya menatap Rachel dari bawah sampai ke atas. "Bukankah kamu terlahir dari orang yang berada?" tanya Satria yang membuat Rachel semakin bingung saatsSatria mengetahui semua tentang dirinya. "Kenapa dia tau tentang diriku? Apa dia tau tentang aku yang kabur dari rumah?" tebak Rachel dalam hati. "Kenapa kamu diam? Apa nada bicara saya kurang jelas?" Pertanyaan Satria yang benar-benar membuat kesabaran Rachel habis. Rachel menghela nafas panjang dan mencoba untuk tersenyum menghadapi Satria. "Maaf,
"Intan, apa yang kamu lakukan?" keluh Rachel. "Ada pak Satria, singkirkan earphone kamu!" kata Intan yang membuat Rachel dengan cepat menyembunyikan earphonenya. Rachel merapikan bajunya dan berdiri tegak menyambut kedatangan Satria. Intan terkekeh melihat tingkah lucu sahabatnya itu. "Kenapa ketawa?" tanya Rachel melirik Intan yang tak berhenti menertawakannya. Sejenak, Rachel berpikir. Ia merasa kalo Intan sedang menggoda dirinya. Perlahan, kedua mata Rachel mulai berputar mencari keberadaan Satria. Tak ada siapapun yang melintas. Rachel mendesah dan memicing ke arah sahabatnya itu. "Kamu membohongiku?" Intan tersenyum seraya mengacungkan jari tengah dan telunjuk hingga berbentuk huruf'v'. "Kalo bekerja, jangan pakai seperti ini! Kalonpak boss tau, bisa-bisa kamu akan di tendang dari kantor ini. Kamu siap, kehilangan pekerjaan dan setiap hari harus menahan lapar?" gerutu Intan yang menasehati Rac
Perlahan, Satria membuka kotak makanan tersebut. Kedua matanya mengerling dan seketika mendongak ke arah Rachel. "Kenapa dia menatapku seperti itu?" tanya batin Rachel.Perlahan, Satria membuka kotak makanan tersebut. Kedua matanya mengerling dan seketika mendongak ke arah Rachel. "Kenapa dia menatapku seperti itu?" tanya batin Rachel. Tenggorokannya pun kering dan seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. "Kenapa kamu masih di sini?" tanya Satria mengagetkan Rachel. "Ya," lirih Rachel datar. "Keluar!" usir Satria. "Tapi, Pak. Uang gantinya mana?" tanya Rachel yang membuat Satria tersenyum sinis akan tingkah dari Rachel tersebut. "Maaf, Pak. Jika saya lancang sama Bapak. Tapi, jika Bapak tak menggantinya, nanti saya nggak bisa pulang. Uang saku saya habis buat beli makanan untuk Bapak," kata Rachel dengan polosnya. Tanpa banyak bicar
Monica tersenyum senang melihat putrinya duduk bersama salah seorang wanita yang sangat cantik menunggu dirinya. "Olivia," panggil Monica yang mengagetkan mereka. Rachel menoleh ke arah model cantik yang merupakan ibu dari Olivia. Mama ...," teriak Olivia memeluk mamanya. Rachel tersenyum senang melihatnya. Tapi, senyum itu kembali redup saat ia melihat Darwin, mantan kekasihnya. Darwin tersenyum tipis, ia tak menyangka wanita yang begitu ia rindukan kini berdiri di depannya. Tatapan lembut dan penuh kerinduan telah terpancar di wajahnya. 'Rachel.' Ingin rasanya Darwin memeluk dan menyentuh kedua pipi mantan kekasihnya. Tapi, itu tak mungkin lagi. Perlahan, senyum Darwin hilang saat Rachel memalingkan wajahnya. "Papa," kata Olivia beralih memeluk Darwin. Deg! Hati Rachel berdesir begitu hebat, kedua matanya tak mampu berkedip saat gadis kecil itu memanggil Darwin dengan sebutan 'papa'.