POV : SamSejujurnya aku memahami mengapa ayah sampai bersikap seprotektif itu terhadap perusahaan. Ayah adalah Baroto Putra Baskara, putra tunggal pengusaha furniture besar di Indonesia dengan merk dagang yang sudah dikenal bahkan ke mancanegara, dulunya! Ayah adalah harapan keluarga, calon pewaris serta penerus generasi yang akan mengelola perusahaan keluarga. Namun saat ayah menginjak usia kuliah, di kampusnya ayah bertemu ibu dan jatuh cinta setengah mati pada ibu. Lebih tepatnya mereka saling mencintai.Padahal sejak remaja Ayah Baroto sudah dijodohkan bahkan bertunangan, dengan putri dari salah satu relasi bisnis ayahnya ayahku yang adalah kakekku, Banyu Tirta Baskara. Namun cinta ayah terhadap ibu membuatnya menjadi putra pembangkang yang keras kepala. Ayah kemudian secara sepihak membatalkan pertunangannya dengan perempuan pilihan Kakek Baskara. Selain melukai hati tunangannya beserta keluarganya, tindakan ayah juga telah mencoreng nama baik keluarga sehingga bahkan menciptaka
POV : SamSepeninggal ayah, aku berdiri cukup lama di depan pintu kaca. Menatap sedih sosok Mala di meja kerjanya yang tengah sibuk merapihkan dokumen laporannya yang tidak lagi tersusun dengan benar. Perempuan itu sudah membuat jantungku berdebar bahkan sejak usiaku meginjak 15 tahun. Mungkin Mala tidak mengingatnya, bahkan tidak menyadarinya. Tapi aku yakin aku tidak salah, aku bisa mengingat Mala dari sejak pertama melihatnya. Mala memang tidak banyak berubah, dia hanya bertambah tinggi dan bertambah umurnya saja. Wajahnya masih seperti itu, dari dia berusia 15 tahun sampai sekarang dia berusia 27 tahun, wajahnya tak banyak berubah. Tetap manis dan cantik dengan tipe wajah baby face.Aku dan Mala seperti ditarik ulur oleh takdir. Meski Mala tetap di tempatnya seperti pantai yang selalu indah, sedang aku yang harus terombang-ambing oleh ombak kehidupan! Sesaat mendekat kepadanya dan sesaat kemudian harus terseret arus lantas menjauh ke tengah laut, sampai tiba-tiba angin membawaku ke
Handphoneku bergetar, kulihat nama Sam tertera di sana. Aku tidak langsung mengangkatnya dan lantas menoleh ke ruangan Sam, tampak di balik pintu kacanya Sam menatapku seraya menempelkan handphone ke telinganya, cukup terlihat jelas karena Sam berdiri tepat di depan pintu dengan kondisi ruangan yang menyala terang. Aku menduga ini prihal laporan yang tadi diminta Sam sebelum Pak Baroto datang, yang memang belum sempat dilaporkan dan ditinjau olehnya.Aku mengambil berkas yang sudah kususun rapi, dan segera ke ruangan Sam. Kulirik kursi Nia kosong, entah dia ke toilet atau kemana, aku tidak tahu pasti. Saat aku datang, Sam lekas membuka pintu kaca ruangannya sebelum aku sempat mendorongnya.“Permisi.” ucapku formal seraya menganggukkan kepala sopan.Sam berbalik dan melangkah ke kursi kerjanya, sedang tirai masih menutup seluruh jendela kaca ruangannya, kecuali pintu yang memang tak ada tirai penutup untuk itu.“Duduk!” titah Sam.Dengan patuh aku duduk di kursi depan meja kerja Sam, d
"Duluan ya, mau jemput Kayas!" bisikku pada Nia yang masih tampak fokus pada layar komputernya.Nia menoleh, tampak sedikit terkejut dengan aku yang tiba-tiba sudah di sebelahnya."Oh oke, aku masih harus menyiapkan beberapa dokumen untuk besok. Kalau misal ada pekerjaan yang perlu bantuan untuk kusiapkan, bilang saja ya!" ucap Nia seraya tersenyum.Senyumannya selalu manis dan terlihat tulus, tapi entah mengapa selalu menimbulkan perasaan bersalah pada diriku. Padahal sungguh, jika ada yang salah dengan Sam, itu murni kesalahan Sam! Aku tidak berniat buruk sedikitpun terhadap Nia serta hubungannya dengan Sam!"Aman." jawabku lantas melambaikan tangan dan berlalu pergi. Semua pekerjaan yang sudah dijabarkan Nia untuk persiapan ke Bali besok, sudah ada di flasdisk kerja yang selalu kubawa di dalam tas kerjaku. Hanya perlu revisi sedikit di beberapa bagiannya saja.Aku naik taxi dan langsung menuju ke rumah ibu karena Kayas ada di sana. Ben masih belum pulang, sehingga saat jam pulang s
Ketika aku tahu pikiran gilamu, sedang kamu tidak menyadari hatiku yang menggila. Sialan kamu, Sam!!!Dan malam itu, disebuah kamar hotel bintang 5 tipe Deluxe aku terjebak diantara sepasang suami istri yang bersetubuh untuk pertama kalinya diusia enam bulan pernikahan mereka. GILA! Aku tak menyangka Sam telah menyusun rencana gila dalam kepalanya dengan melibatkan aku di dalamnya.Pukul 07.15 malam. Aku sedang asyik scroll I*******m setelah sebelumnya menelepon suami dan anakku di rumah untuk melepaskan rindu dan sekadar berbagi kabar, dengan santainya telentang di sofa samping jendela kaca yang menampakkan suasana malam kota Surabaya di ketinggian lantai 32. Sementara Nia, rekan kerjaku yang berada di kamar hotel yang sama, tampak berbaring nyaman di kasur. Sampai tiba-tiba terdengar dering handphone milik Nia, dia tampak terkejut melihat nama si penelepon lantas terduduk dengan cepat.“Ya, Mas?” sapa Nia, dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutan dalam nada bicaranya.Aku menol
“Apa?! Mas ada di depan pintu kamar?!” pekik Nia kaget, yang sontak membuatku ikut terhenyak juga mendengarnya.Nia sangat terkejut dan gugup, dia loncat dari tempat tidur dan menghambur ke pintu tanpa melihatku terlebih dahulu.“Aku rindu.” suara berat Sam terdengar jelas saat Nia telah membuka pintu.“Apa-apaan dia?” pikirku canggung, bukannya dia tahu ada aku disini?!Sam merangkul Nia masuk dan mendudukkannya di ranjang.“Mas, ada Mala disini.” gumam Nia pelan namun masih bisa kudengar.Aku yang merasa canggung hanya bisa pura-pura tertidur dengan hati jengkel.“Jangan berisik, Mala juga tidur.” jawab Sam santai, dia bahkan tidak mencoba memelankan suaranya.“Maasss.” protes Nia terdengar resah dengan suara pelan.Entah apa yang tengah mereka lakukan, tubuhku mendadak beku, aku bahkan tak tenang meski sekadar untuk bernapas.“Kenapa? Aku ingin memelukmu, apa tidak boleh?” tanya Sam, lagi-lagi terdengar santai dengan nada suara normal seolah aku benar-benar tidak ada disana.“Aku m
Tak berapa lama suasana terasa hening, mungkin mereka telah menyelesaikan adegannya. Terdengar pintu terbuka dan tertutup, entah siapa yang masuk ke kamar mandi? Mungkin Nia, mungkin Sam, atau bahkan keduanya. Aku menahan diri untuk tetap membatu, namun tubuhku mulai pegal, hatiku juga gatal oleh rasa penasaran. Akhirnya aku membuka mata dan berbalik. Dan aku terhenyak refleks mengumpat kasar.“Sialan! Iiissh!!!” aku memaki geram seraya berbalik cepat dan menutup mata rapat-rapat. Bagaimana tidak?! Saat pertama yang kulihat adalah Sam yang telanjang dan bersedekap, berdiri tegap dan menatapku! Dasar gila. Aku semakin yakin Sam gila! Dalam hati aku terus mengutuk perbuatan gila Sam, sampai tiba-tiba sebuah selimut menutupi tubuhku. Terasa lembut dan hangat. Aku masih memilih tak bergerak dan tetap memejamkan mata, meringkuk di sofa dengan frustrasi. Sementara Sam terkekeh geli. Fix, dia sakit! Sam kali ini benar-benar diluar nalar! Aku tak menyangka Sam bisa bertindak gila!Aku tak tah
Pagi ini aku benar-benar melampiaskan stress di kepalaku dengan berbelanja menggunakan kartu kredit dari Sam. Aku tak peduli! Aku membeli gaun mahal, sepatu cantik, tas branded, dan perhiasan, juga jam tangan untuk Ben, suamiku. Tak lupa kubelikan juga gaun cantik untuk putriku. Nia juga kupaksa membeli gaun dan perhiasan, meski dia menolak aku tetap mengambil untuknya dan membayarnya.“Mal, aku tak memerlukannya!” Nia menolak dengan halus.“Jangan bercanda! Perempuan mana yang tidak menyukai gaun cantik dan perhiasan?” tanyaku kesal.“Aku bukan bilang tidak menyukai, aku hanya tidak memerlukannya.” ujarnya lemah.“Ayolah Nai!” begitu biasa aku memanggil Nia, itu panggilan persahabatan dan hanya aku yang memanggil Nia begitu. “Kau harus lebih menghargai dirimu sendiri, kau berharga dan pantas mendapatkan semua kemewahan ini. Anggap saja privilege sebagai istri CEO kaya raya.” cerocosku gemas.“Aku tidak ingin diingat Sam sebagai istri yang hanya memanfaatkannya.” Nia tertunduk sedih.
"Duluan ya, mau jemput Kayas!" bisikku pada Nia yang masih tampak fokus pada layar komputernya.Nia menoleh, tampak sedikit terkejut dengan aku yang tiba-tiba sudah di sebelahnya."Oh oke, aku masih harus menyiapkan beberapa dokumen untuk besok. Kalau misal ada pekerjaan yang perlu bantuan untuk kusiapkan, bilang saja ya!" ucap Nia seraya tersenyum.Senyumannya selalu manis dan terlihat tulus, tapi entah mengapa selalu menimbulkan perasaan bersalah pada diriku. Padahal sungguh, jika ada yang salah dengan Sam, itu murni kesalahan Sam! Aku tidak berniat buruk sedikitpun terhadap Nia serta hubungannya dengan Sam!"Aman." jawabku lantas melambaikan tangan dan berlalu pergi. Semua pekerjaan yang sudah dijabarkan Nia untuk persiapan ke Bali besok, sudah ada di flasdisk kerja yang selalu kubawa di dalam tas kerjaku. Hanya perlu revisi sedikit di beberapa bagiannya saja.Aku naik taxi dan langsung menuju ke rumah ibu karena Kayas ada di sana. Ben masih belum pulang, sehingga saat jam pulang s
Handphoneku bergetar, kulihat nama Sam tertera di sana. Aku tidak langsung mengangkatnya dan lantas menoleh ke ruangan Sam, tampak di balik pintu kacanya Sam menatapku seraya menempelkan handphone ke telinganya, cukup terlihat jelas karena Sam berdiri tepat di depan pintu dengan kondisi ruangan yang menyala terang. Aku menduga ini prihal laporan yang tadi diminta Sam sebelum Pak Baroto datang, yang memang belum sempat dilaporkan dan ditinjau olehnya.Aku mengambil berkas yang sudah kususun rapi, dan segera ke ruangan Sam. Kulirik kursi Nia kosong, entah dia ke toilet atau kemana, aku tidak tahu pasti. Saat aku datang, Sam lekas membuka pintu kaca ruangannya sebelum aku sempat mendorongnya.“Permisi.” ucapku formal seraya menganggukkan kepala sopan.Sam berbalik dan melangkah ke kursi kerjanya, sedang tirai masih menutup seluruh jendela kaca ruangannya, kecuali pintu yang memang tak ada tirai penutup untuk itu.“Duduk!” titah Sam.Dengan patuh aku duduk di kursi depan meja kerja Sam, d
POV : SamSepeninggal ayah, aku berdiri cukup lama di depan pintu kaca. Menatap sedih sosok Mala di meja kerjanya yang tengah sibuk merapihkan dokumen laporannya yang tidak lagi tersusun dengan benar. Perempuan itu sudah membuat jantungku berdebar bahkan sejak usiaku meginjak 15 tahun. Mungkin Mala tidak mengingatnya, bahkan tidak menyadarinya. Tapi aku yakin aku tidak salah, aku bisa mengingat Mala dari sejak pertama melihatnya. Mala memang tidak banyak berubah, dia hanya bertambah tinggi dan bertambah umurnya saja. Wajahnya masih seperti itu, dari dia berusia 15 tahun sampai sekarang dia berusia 27 tahun, wajahnya tak banyak berubah. Tetap manis dan cantik dengan tipe wajah baby face.Aku dan Mala seperti ditarik ulur oleh takdir. Meski Mala tetap di tempatnya seperti pantai yang selalu indah, sedang aku yang harus terombang-ambing oleh ombak kehidupan! Sesaat mendekat kepadanya dan sesaat kemudian harus terseret arus lantas menjauh ke tengah laut, sampai tiba-tiba angin membawaku ke
POV : SamSejujurnya aku memahami mengapa ayah sampai bersikap seprotektif itu terhadap perusahaan. Ayah adalah Baroto Putra Baskara, putra tunggal pengusaha furniture besar di Indonesia dengan merk dagang yang sudah dikenal bahkan ke mancanegara, dulunya! Ayah adalah harapan keluarga, calon pewaris serta penerus generasi yang akan mengelola perusahaan keluarga. Namun saat ayah menginjak usia kuliah, di kampusnya ayah bertemu ibu dan jatuh cinta setengah mati pada ibu. Lebih tepatnya mereka saling mencintai.Padahal sejak remaja Ayah Baroto sudah dijodohkan bahkan bertunangan, dengan putri dari salah satu relasi bisnis ayahnya ayahku yang adalah kakekku, Banyu Tirta Baskara. Namun cinta ayah terhadap ibu membuatnya menjadi putra pembangkang yang keras kepala. Ayah kemudian secara sepihak membatalkan pertunangannya dengan perempuan pilihan Kakek Baskara. Selain melukai hati tunangannya beserta keluarganya, tindakan ayah juga telah mencoreng nama baik keluarga sehingga bahkan menciptaka
POV : Sam"Dia bisa membuatmu gila!" ulang ayah, dengan intonasi yang lebih ditekankan.Aku tercekat, menelan ludah. Padahal sudah sering sebelumnya aku membayangkan hari seperti ini datang. Dimana ayah dan aku berbicara mengenai Mala, perempuan yang paling kuinginkan lebih dari siapapun. Namun, meski sering kali aku merasa mampu melakukannya dalam bayanganku. Merasa siap baik keadaan maupun mentalku untuk menjelaskan dan bersikeras tentang Mala kepada ayah. Nyatanya aku masih ketar-ketir di hadapan ayah! Kebrengsekkanku bahkan belum cukup besar saat di depan Ayah!"Sam." panggil Ayah, membuyarkan pikiranku.“Kau tahukan kalau perusahaan ini adalah hal berharga yang Ayah miliki?" tanya Ayah."Aku tahu pasti, bahkan perusahaan ini jauh lebih berharga bagi Ayah dibanding aku yang adalah putra satu-satunya!" pikirku miris.Sementara aku diam tak menimpali apapun atas perkataan Ayah. Tapi aku sudah tahu apa yang akan ayah katakan, beliau akan bercerita mengenai flashback kehidupannya di ma
Aku menoleh terkejut, pun dengan Pak Baroto yang menatap keheranan, matanya bergulir bergantian menatap tajam antara Sam dan aku.“Kamu mau kemana bahkan saat dokumenmu masih berserakan di lantai?” tanya Sam, nada bicaranya terdengar lembut, selembut mata coklatnya yang menatapku lekat.Dadaku sontak berdesir, dan aku mengutuknya dalam hati. "Bisa-bisanya perasaan bodoh itu muncul di saat suasana genting begini!"“Maaf, Pak, “ucapku pada Pak Baroto yang duduk di sofa, lantas aku berjongkok dengan sopan dan memunguti berkas yang berceceran di lantai. Aku marasa gugup, aku sadar Pak Baroto tengah menatapku tajam penuh selidik.Tidak seperti terhadap Sam, tatapan Pak Baroto rasanya bisa dengan mudah kubaca. Dan aku mengerti maksud tatapannya terhadapku. Dan sialnya Sam memperparah keadaan dengan ikut berjongkok di depanku serta membantuku memunguti berkas-berkas itu.“Kamu menyukainya, Sam?” Tanya Pak Baroto tajam.Aku yang terhenyak, refleks melempar berkas yang telah kupunguti tepat ke
“Pagi, Pak.” sapaku, seraya menganggukkan kepala sopan.Aku lantas bergerak menjauhi sosok Sam dan memilih untuk berdiri di sisi lift lainnya. Perasaan tidak nyaman itu muncul kembali, tatapan Sam dengan mata coklatnya yang seolah sangat dalam dan tak berdasar, menimbulkan perasaan aneh dalam diriku."Kenapa harus kebetulan banget bareng CEO saat naik lift sih?! Ketika aku bahkan terlambat sampai di kantor?! Apes banget!“ aku merutuk dalam hati.Pikiranku berusaha memusatkan rasa tidak nyaman yang muncul dalam diriku pada alasan itu. Padahal ketidak nyamanan itu muncul bukan hanya karena kesiangan semata, tapi muncul karena sepasang mata coklat pekat yang seperti lumpur hisap, pekatnya membuatku tidak dapat membaca emosi apapun disana, atau bahkan sekadar menerkanya saja aku bahkan merasa tak mampu. Tatapan Sam selalu misterius dan selalu saja berhasil membuatku menjadi bodoh!Aku memilih untuk diam, dan berpura-pura tak menyadari tatapan lekat Sam terhadapku. Berusaha tetap berdiri te
Aku terbangun saat alarm handphone berdering nyaring, tepat pukul 4 pagi. Kulihat Kayas masih terlelap di sampingku. Semalam aku tertidur di kamar Kayas, selain karena Ben memang tidak ada, rasa lelah juga membuatku rindu untuk tidur bersama putriku. Aku meraih handphone dan mematikan alarm, kulihat pesanku untuk Ben masih ceklis satu. Aku kembali mencoba menelepon Ben, namun masih belum bisa dihubungi. Biasanya setelah bangun aku melakukan banyak hal, mempersiapkan baju kerja dan keperluan sekolah Kayas serta sarapan juga bekal makan siang untuk di sekolah Kayas. Terkadang juga membersihkan rumah jika mood sedang baik, bahkan tak jarang berolahraga 30 menit meski sekadar peregangan otot atau senam kegel.Namun kali ini rasa malas membuatku kembali meringkuk di balik selimut bersama Kayas yang selalu kupeluk dan kuciumi. Baru saja beberapa menit aku terpejam, handphoneku bergetar. Dengan malas aku bangkit dan meraih handphone, seketika kantukku langsung hilang saat kulihat nama Ben ter
"Saku Belakang?" tanya Sam mengulangi."Saku depan." jawabku risih, seraya berbalik mengahadap ke sosok Sam, menghindari bokongku untuk ditatap Sam dengan teliti.Sam lagi-lagi menatapku aneh! Aku deg-degan. Firasatku buruk tentang ini!"Kanan atau kiri?" tanya Sam lagi."Kenapa Pak Sam harus menanyakan itu?!" seruku kesal dan risih."Lalu maksudmu aku harus memeriksa kedua saku depan jeansmu?"Aku menatap Sam frustrasi. "Maksudku, Pak Sam tidak perlu melakukannya. Aku sungguh bisa sendiri."Seperti mengabaikanku, Sam bergerak maju mendekatiku. Hatiku mencelos, mendadak aku speechless! Apalagi saat tiba-tiba dan tanpa aba-aba Sam mengulurkan lengannya dan meraba saku celana jeans yang kukenakan, bergantian kiri dan kanan. Aku yang terlalu terkejut hanya mematung bahkan tidak mampu untuk sekadar refleks berteriak. Sam gila sih!!!Sam menatapku lagi, mata coklatnya terlihat kelam dan dalam, seolah menyedot kesadaranku dan membuatku dunia disekitarku menjadi seperti mengabur."Saku kanan