Bab 3

Keesokan hatinya, Elsy keluar dari kelas sambil membahas pelajaran dengan seorang teman laki-laki.

Gavin melihat adegan ini dari kejauhan. Saking kesalnya, dia langsung menarik Elsy.

"Kemarilah, ada yang ingin kukatakan."

Elsy kebetulan ingin mengembalikan kalung itu. Jadi, dia mengajak teman laki-lakinya untuk lanjut membahas pelajaran di kantin.

Melihat pria itu pergi, ekspresi Gavin berubah muram. Dia mengerutkan kening sambil mendecakkan lidah.

"Elsy, siapa dia?"

Nada bicara Elsy sangat dingin.

"Nggak ada hubungannya denganmu."

Kerutan di kening Gavin makin dalam.

"Aku cuma peringatkan kamu buat jauhi para laki-laki itu, niat mereka nggak baik."

Gavin sering mengucapkan kata-kata seperti ini. Dulu, Elsy mengira Gavin melarangnya berinteraksi dengan laki-laki karena menyukainya.

Jadi, dia menuruti permintaan Gavin. Dia bahkan senang dengan sikap posesif Gavin.

Sekarang, dia merasa sangat konyol. Nada bicaranya menjadi makin dingin.

"Jadi, siapa yang harus kudekati? Kamu?"

Gavin kesal dengan reaksi Elsy, nada bicaranya berubah.

"Elsy, apa maksudmu? Aku cuma peringatkan kamu. Selain itu, kenapa semalam kamu pergi tanpa berpamitan? Aku ajak begitu banyak teman datang rayakan ulang tahunmu, loh."

Elsy membawa beberapa buku, dia langsung berjalan menuruni tangga.

"Maaf, ada urusan, lupa berpamitan."

"Apa ada yang lebih penting dari rayakan ulang tahunmu?"

Elsy tidak menghentikan langkahnya.

"Cuma ulang tahun doang, nggak begitu penting."

Sejak kecil hingga dewasa, Gavin dan Elsy sering bertengkar. Namun, ini adalah pertama kalinya Elsy bersikap seperti ini.

"Bisakah bicara baik-baik?"

Elsy menghentikan langkahnya dan menatap Gavin.

"Apa ada yang salah dengan ucapanku? Tanyakan pada dirimu sendiri. Kemarin, kamu mau rayakan ulang tahunku atau cari alasan buat perkenalkan pacarmu?"

Suatu cahaya melintas di mata Gavin.

"Emang tidak bisa keduanya. Elsy, kamu dan Cheryl sama-sama penting bagiku. Kukira kamu akan senang kalau kukenalkan dengannya di hari ulang tahunmu."

Elsy tidak tahu Gavin benar-benar polos atau berpura-pura bodoh, dia pun tertawa.

"Aku sangat senang. Terima kasih atas perhatianmu."

Setelah berkata demikian, Elsy berjalan melewati Gavin. Gavin tertegun selama beberapa detik, lalu mengejarnya dan meraih lengannya.

"Elsy, jangan-jangan mereka benar? Kamu menyukaiku? Jadi, kamu cemburu pada Cheryl?"

Suara Gavin cukup keras, orang-orang di sekitar pun menoleh ke arah mereka. Wajah Elsy memerah, dia langsung menghempaskan tangan Gavin.

"Siapa menyukaimu? Jangan nggak tahu malu!"

Mendengar ucapan ini, Gavin menghela napas lega. Dia menggerakkan ujung lidahnya dengan marah.

"Sudah kubilang, kamu nggak mungkin punya niat lain padaku. Kita sudah lama berteman, pertemanan kita sangat murni. Kita ini sobat karib, nggak bakal ada percintaan dalam hubungan kita."

Mendengar ucapan ini, hati Elsy makin sesak. Dia mengeluarkan kalung itu dari sakunya.

"Jadi, kedepannya, jangan berikan benda seperti ini padaku."

Gavin menatap kalung itu dengan bingung.

"Apa ada yang salah dengan kalung ini? Kenapa nggak boleh kuberikan padamu?"

Elsy mengerutkan kening.

"Menurutmu? Lambang hati, apa ada orang yang hadiahkan kalung berlambang hati pada sahabatnya?"

Gavin membuka kotak perhiasan itu dan melihat kalung berlambang hati. Dia langsung menepuk keningnya.

"Sial, ini salahku. Aku cuma bilang mau beli buat wanita, suruh pegawai toko pilihkan. Aku nggak tahu dia bakal pilihkan kalung berlambang hati."

Hati Elsy seolah-olah tenggelam ke dasar laut, rasanya sangat sesak. Ternyata hadiah yang sudah lama dia nantikan tidak dipilih secara langsung oleh Gavin. Bahkan setelah dipilihkan oleh pegawai toko itu, Gavin sama sekali tidak melihat isinya.

Saat ini, Elsy pun mengerti. Sepertinya selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan.

Gavin masih membahas soal kalung.

"Tunggu aku. Malam ini, aku pergi ke toko perhiasan itu buat ganti kalung ini. Kali ini, bakal kuawasi. Aku nggak bakal membiarkannya pilih yang aneh-aneh."

"Nggak usah."

Elsy mengerutkan kening.

"Cuma kalung. Lagian, aku nggak kekurangan perhiasan macam ini."

Setelah berkata demikian, dia mengabaikan Gavin dan melangkah maju.

Beberapa hari ini, Elsy menghindari tempat-tempat yang mungkin dikunjungi Gavin dan mencoba untuk mengurangi pertemuan mereka.

Gavin mengirimkannya pesan, mengajaknya pergi ke perpustakaan dan kantin. Namun, Elsy hanya melihat sekilas dan langsung menghapus semua pesan itu.

Hari raya tiba, para murid diliburkan. Begitu keluar dari kampus, Elsy melihat Gavin bersandar di mobil, ditemani oleh Cheryl yang memakai gaun rajut berbahan tipis.

Keduanya memiliki paras yang memukau. Didukung dengan mobil sport Gavin, mereka menarik perhatian banyak mahasiswa.

Elsy melihat dari kejauhan. Tepat ketika dia hendak menghindari mereka, Gavin memanggilnya dan menghampirinya.

"Kenapa menghindar? Aku sudah lama menunggumu, ayo makan bersama."

Elsy menolak dengan tegas.

"Nggak, ada urusan."

"Jangan cari alasan, urusan apa?"

Sembari berbicara, Gavin menariknya ke arah mobil.

"Sebelumnya, kamu tiba-tiba pergi, Cheryl nggak sempat mengobrol denganmu. Hari ini, dia datang buat menemuimu, kita bertiga harus makan bersama."

Elsy berpikir dalam hati, 'Ya sudah kalau kalian mau pacaran, kenapa harus ajak aku? Aku nggak mau jadi nyamuk tanpa sadar menarik tangan dari Gavin .'

"Aku nggak bisa pergi, Paman Nolan akan jemput aku."

"Aku sudah suruh Paman Nolan pulang. Setelah makan, kita pulang bersama."

Elsy tidak bisa berkata-kata. Cheryl sudah berada di hadapannya, dia harus menghargai Cheryl.

"Oke, aku pergi. Lepaskan aku, dilihat orang."

Gavin melepaskan tangan Elsy dengan enggan. Mendengar Elsy bersedia makan bersama mereka, dia pun tersenyum.

"Memangnya kenapa? Ini bukan pertama kalinya aku pegang tanganmu."

"Bukan pertama kali, tapi terakhir kali."

Gavin tidak mendengar jelas ucapannya.

"Apa katamu?"

Elsy mengusap tangannya yang kesakitan.

"Aku bilang, kamu sudah punya pacar. Harus jaga perasaannya, jangan memegang tanganku lagi."

Kata "jaga perasaan" yang dilontarkan oleh Elsy membuat Gavin merasa ada yang aneh. Seolah-olah ada sesuatu yang menghilang dari hatinya dan tidak dapat didapatkan kembali.

Namun, emosi ini hanya berlangsung beberapa detik. Ketika Cheryl menggandeng lengannya, dia sudah melupakan emosi buruk itu.

Mereka pergi ke sebuah restoran terkenal.

Cheryl dan Gavin seperti kembar siam, mereka bahkan menyuapi satu sama lain.

Elsy benar-benar tidak mengerti. Apa mereka menyuruhnya datang untuk menyaksikan kemesraan mereka?

Elsy sangat kesal, dia ingin segera pulang.

Setelah selesai makan, Gavin pergi ke kasir untuk membayar tagihan. Elsy dan Cheryl menunggunya di depan restoran.

"Elsy, kamu menyukai Gavin?"

Tiba-tiba, Cheryl bertanya pada Elsy. Senyuman manis di wajahnya menghilang, digantikan oleh ekspresi serius.

Elsy memandang Cheryl dengan heran. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ini.

Cheryl mengangkat mata indahnya.

"Waktu rayakan ulang tahunmu, aku sudah tahu. Kenapa? Jangan-jangan kamu pikir Gavin mau menyatakan cinta ke kamu?"

Wajah Elsy memucat. Mendengar Cheryl membongkar isi hatinya, dia sangat malu.

"Sebaiknya singkirkan niatmu. Lihatlah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Nggak ada daya tarik, pantas Gavin cuma anggap kamu teman."

Elsy tidak menyangka wanita secantik Cheryl akan mengucapkan kata-kata seperti ini.

Akal sehatnya memberitahunya untuk tidak bertengkar di pinggir jalan.

"Ucapanmu ini membuatku merasa kamu nggak yakin dengan hubungan kalian. Kalau begitu, nggak usah serang aku, fokuslah pada Gavin."

Setelah berkata demikian, Elsy hendak pergi. Tak disangka, Cheryl tersinggung. Dia teringat akan momen Gavin menggandeng tangan Elsy di depan kampus, rasa cemburu pun muncul.

Dia meraih tangan Elsy.

"Kamu terlalu memandang tinggi diri sendiri. Teman masa kecil? Hmph, tepatnya, ban serap!"

"Kamu!"

Saking marahnya, wajah Elsy memerah. Dia mengerahkan sedikit tenaga untuk melepaskan diri dari genggaman Cheryl. Tak disangka, Cheryl tiba-tiba terjatuh ke tanah.

Kebetulan, Gavin sudah selesai membayar tagihan dan keluar dari restoran. Melihat Cheryl terbaring di tanah, dia bergegas memapah Cheryl.

"Cheryl, kamu baik-baik saja?"