Elsy mengabaikan sindiran Cheryl. Dia mendelik Gavin, lalu lanjut menonton film.Tak lama kemudian, Gavin kembali menendang kursinya. Elsy kesal dan langsung berbalik."Gavin, kamu sengaja?"Saking marahnya, Elsy tidak mengendalikan suaranya. Orang-orang di sekitar menatapnya dengan kesal dan wajahnya pun memerah.Gavin mengangkat alis ke arahnya sambil berkata dengan penuh maksud, "Elsy, kamu yang ajak aku bicara. Jangan lupa menggonggong.""Menggonggong? Kenapa dia harus menggonggong?"Cheryl mendengus dingin sambil bertanya pada Gavin dengan centil.Gavin mencubit dagu Cheryl.Dia berkata dengan bangga, "Karena ada yang melanggar peraturan."Mendengar percakapan mereka, amarah Elsy membara. Saat ini, layar ponselnya menyala, ibunya mengirimkan pesan."Elsy, kalau sudah melihat pesan, segera telepon Ibu. Ada urusan penting."Elsy mengerutkan kening, suatu firasat buruk muncul di hatinya. Dia berpamitan dengan Jason, lalu keluar dari studio.Begitu Elsy menelepon, ibunya langsung menj
Ucapan Elsy bagaikan sambaran petir.Nesya menentang."Elsy, jangan asal berbicara. Kamu belum cukup umur!"Elsy memandang semua orang dengan serius."Beberapa waktu yang lalu, aku genap dua puluh tahun dan sudah cukup umur buat menikah."Timo berpikir sejenak."Nggak boleh. Nona Merlyn yang bertunangan dengan Louis, kalau tiba-tiba digantikan oleh Nona Elsy, apa yang akan dipikirkan orang luar?"Setelah dipikir-pikir, Timo tidak menyetujui usulan ini."Menurutku, sebaiknya Pak Darwis segera temukan Nona Merlyn."Melihat semua orang menentang usulannya, Elsy agak panik. Dia menaruh semua harapannya pada Louis yang belum mengutarakan pendapat."Kak Louis, bagaimana menurutmu? Kalau kamu setuju, kita langsung pergi daftarkan pernikahan, nggak bakal ada kejadian berubah pikiran."Mata semua orang tertuju pada Louis. Louis menyesap seteguk teh, lalu perlahan-lahan meletakkan cangkir di meja. Saat ini, suatu emosi melintas di mata Louis."Bolehkah kita mengobrol berdua?"...Setengah jam ke
Setelah menghibur Nesya sejenak, Elsy mengakhiri panggilan.Ketika makan siang bersama Helen, Gavin membawa nampan dan duduk di depan mereka.Helen mengerutkan kening."Hei, bukannya ini si berengsek Gavin? Kok hari ini punya waktu datang ke kantin? Nggak temani pacarmu?"Gavin melirik Elsy, nada bicaranya sangat santai."Sudah putus.""Pu ... putus?"Helen hampir menyemburkan sup di mulutnya. Mengingat taruhan semalam, dia menjadi sangat bersemangat.Dia diam-diam mengamati Elsy yang sedang makan dengan serius."Elsy, kamu dengar? Si berengsek Gavin bilang dia ...."Elsy mengangkat kepalanya dengan acuh tak acuh."Nggak perlu diulangi, aku punya telinga."Helen tersedak, dia menatap Gavin."Gavin, kalian pacaran nggak sampai dua bulan, 'kan? Kok cepat sekali putusnya?"Gavin menyilangkan kakinya sambil berkata dengan penuh maksud."Apa boleh buat? Elsy nggak suka mantanku."Helen diam-diam melirik Elsy."Kamu yang pacaran, apa hubungannya dengan Elsy?"Gavin mengerutkan bibirnya denga
Elsy tercengang.Jantungnya berdebar kencang, dia pun terbata-bata."Bolehkah ditunda? Aku belum siap tinggal bersamamu."Seiring berbicara, suaranya menjadi makin pelan dan kepalanya pun tertunduk.Dari sudut pandang Louis, Louis melihat pipi dan ujung telinganya memerah serta bulu matanya yang lentik bergetar, seperti seekor kupu-kupu yang sedang mengepakkan sayap."Berapa lama?"Louis berbicara dengan suara berat.Elsy mengangkat kepalanya dengan heran. Dia tampak agak kebingungan.Louis menarik kerah bajunya, jakunnya berguling ke bawah."Mau tunda berapa lama?"Elsy menggigit bibirnya sehingga bibirnya pun memerah."Setidaknya sampai semester ini berakhir. Aku nggak mungkin tiba-tiba pindah dari asrama."Louis mengerti."Kamu berencana sembunyikan pernikahan kita?"Elsy segera menjelaskan."Nggak, aku cuma mau hindari masalah. Mahasiswa suka bergosip."Louis setuju."Kalau begitu, pindahlah dari asrama setelah semester ini berakhir. Tapi, setiap libur, aku berharap kamu pulang ke
Mata Louis berubah gelap."Kamu panggil apa?"Elsy tersadar, wajahnya sontak memerah."Maaf, sudah terbiasa."Louis mengiakan, matanya tertuju pada pipi Elsy yang memerah."Jangan salah panggil lagi."Setelah Louis melepaskannya, Elsy pun lega dan langsung melarikan diri.Hari ini, dia mengenakan gaun berwarna putih dan berkucir kuda. Dipadukan dengan buket bunga di tangannya, dia tampak seperti peri yang tersesat ke dunia.Louis mengetukkan jarinya ke arah jendela dengan penuh maksud, lalu mengalihkan pandangannya."Bagaimana keadaan Apartemen Nuansa?"Jeff Galio, asisten Louis yang duduk di kursi penumpang sedikit memiringkan kepalanya."Sudah beres, bisa ditempati kapan saja."Louis mengangguk."Siapkan kebutuhan wanita, termasuk pakaian musiman dan lain sebagainya."Jeff berpikir sejenak."Buat Nyonya?"Louis melepas kacamatanya dan mengusap pangkal hidungnya."Apa ada wanita lain di sekitarku?"Jeff mengalihkan pandangannya. Benar, Apartemen Nuansa terletak di dekat Universitas Ar
Saat ini, seseorang sedang marah-marah."Buk." Dia melemparkan ponselnya ke meja."Nggak mau main lagi, tim payah. Bukannya serang!"Javis Warsana mengejek Gavin."Gavin, hari ini kamu nggak fokus. Biasanya kamu nggak selemah ini."Gavin pun tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sejak melihat Elsy kembali dengan membawa bunga, suasana hatinya sangat kacau.Wanita ini seperti tidak pernah mendapatkan bunga dari pria. Bisa-bisanya langsung memposting foto di Instagram."Javis, menurutmu, kenapa seorang pria kesal melihat seorang wanita menerima bunga dari pria lain?"Mendengar ucapan ini, Javis menarik kursi dan duduk di hadapan Gavin."Gavin, kamu diselingkuhi Cheryl?"Gavin menendang kursinya."Sialan, aku sudah lama putus dengan Cheryl, bagaimana mungkin diselingkuhi?"Javis kebingungan."Sudah putus? Kalau begitu, wanita cantik mana yang buat kamu cemburu?"Cemburu?Gavin agak tidak berdaya."Maksudmu, aku cemburu?""Ya. Kalau nggak cemburu, kenapa kamu marah melihat wanita itu m
Takut padanya?Elsy menggigit bibirnya."Aku cuma nggak terbiasa."Dua orang yang tidak terlalu akrab harus menghabiskan banyak waktu bersama.Membayangkan dirinya harus tidur bersama Louis di malam hari, entah mengapa dia merasa gugup. Bahkan jantungnya pun berdebar kencang, seolah-olah akan meledak kapan saja.Louis memahami ketakutannya.Dia mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang pada Elsy."Elsy, aku suamimu. Kalau kamu nggak mau, aku nggak bakal memaksamu."Mendengar ucapan ini, Elsy mengembuskan napas lega, seolah-olah diberi amnesti.Kemudian, suasana menjadi canggung.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Kalau begitu, bolehkah aku tidur di kamar lain?"Louis mengusap alisnya dengan tertekan. Elsy tampak seperti gadis penakut, tetapi sebenarnya dia terus menguji kesabaran Louis.Dia tidak akan menuruti keinginan Elsy."Nggak. Bukannya aku sudah bilang aku cari pasangan hidup?"Elsy tertekan. Suami istri memang tidak seharusnya pisah kamar.Namun, Louis berjanji tidak akan men
Dia menatap sekeliling."Malam ini, kamu mau masak sendiri?"Louis mengiakan."Ada yang ingin kamu makan? Biar kumasakkan.""Semuanya boleh?"Louis tersenyum."Asalkan nggak terlalu sulit."Elsy memikirkan dengan serius."Aku mau makan iga asam manis, kol gurih dan udang sambal matah."Louis tersenyum."Tunggulah di luar."Reaksinya begitu tenang, sepertinya dia memang bisa memasak.Elsy pergi ke ruang tamu dan langsung memainkan ponselnya.Setengah jam kemudian, Helen mengirimkannya pesan. "Elsy, ada yang mau kukatakan padamu. Aku disuap."Setelah membaca pesan itu, Elsy membelalakkan matanya. "Helen, ada apa?"Helen membalas, "Jason memberiku sekotak coklat merek kesukaanku. Aku nggak sanggup menolaknya."Elsy mengembuskan napas lega. "Apa hubungannya dengan suap?"Helen membalas, "Tentu ada hubungan! Aku menerima hadiah darinya, berarti aku harus membantunya mendekatimu. Elsy, maafkan aku ...."Elsy membalas, "..."Helen kebingungan. "Elsy, kenapa nggak katakan sesuatu? Kamu kecewa
Menghiburnya?Mata Elsy tertuju pada Louis."Bagaimana caranya?"Louis mencondongkan badannya, napasnya yang harum menyelimuti pipi Elsy. Nada bicaranya sangat lembut."Kamu masih ingat bagaimana kamu memanggilku semalam?Semalam?Semalam, dia memanggil Louis apa?Elsy mengingat dengan hati-hati. Tiba-tiba, sebuah kata melintas di benaknya. Pipinya terasa panas.Louis tahu bahwa dia sudah mengingat kata itu, nada bicaranya agak manja."Ayo, panggilah sekali lagi?"Elsy sangat malu.Dia memanggil Louis seperti itu karena pengaruh alkohol. Sekarang, dia sudah sadarkan diri. Dia tidak sanggup memanggil Louis seperti itu.Ketika dia sedang memikirkan cara untuk mengalihkan topik pembicaraan, terdengar suara mengeong dari samping kakinya.Mata Elsy bersinar, dia segera melepaskan diri dari genggaman Louis dan menggendong "si penyelamat kecil"."Hei! Tara, kapan kamu keluar?"Louis kecewa. Melihat Elsy bermain di atas karpet dengan Tara, dia sungguh tidak berdaya.Saat ini, Jeff menelepon da
Louis mengerutkan bibirnya."Setelah mandi, turunlah untuk sarapan."Elsy mengiakan dan berjalan menuju kamar mandi.Setelah mengunci pintu kamar mandi, Elsy memegang wajahnya sambil mengembuskan napas panjang.Gawat. Sekarang, setiap melihat Louis, dia akan teringat pada momen Louis menciumnya.Pipinya memerah, kakinya melemas, dia bahkan tidak berani bertatapan dengan Louis.Elsy curiga bahwa ini adalah gejala samping dari berciuman.Setelah menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, dia mengambil sweter berwarna pink dan celana kain berwarna krem. Dia mengganti pakaian, lalu berkaca di depan cermin.Kemudian, dia keluar dari kamar mandi.Louis sudah menunggunya di meja makan.Elsy hendak berjalan ke kursi di seberang Louis, tetapi Louis mengisyaratkan Elsy untuk duduk di sampingnya. Nada bicaranya sangat lembut."Kemarilah, duduk di sampingku."Elsy mengiakan dan berjalan ke arah Louis.Keduanya makan dengan tenang.Louis tidak mempunyai selera makan. Setelah memakan sedikit, dia mel
Ketika melihat Louis, Elsy masih teringat pada ciuman itu. Dia diam-diam mencengkeram baju tidurnya."Butuh waktu buat mengeringkannya. Aku sudah ngantuk dan ingin tidur, nanti juga kering sendiri."Louis melangkah maju, lalu menariknya ke samping kasur."Tidur dengan rambut basah bisa membuatmu sakit kepala. Berbaringlah, biar kukeringkan."Elsy berbaring di kasur dan kepalanya bertumpu di kaki Louis. Begitu merasakan angin hangat yang berembus di kepalanya, dia pun tertidur....Keesokan paginya, Elsy dibangunkan oleh dering ponsel.Dia mengambil ponselnya dengan mata tertutup.Begitu panggilan tersambung, terdengar suara nyaring Helen."Ah! Elsy, gawat, gawat!"Rasa kantuk Elsy langsung menghilang, dia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya."Helen, masih pagi, kenapa teriak-teriak?"Sepertinya Helen berada di jalan raya, suasana di sekitarnya agak berisik."Aku pun nggak percaya. Semalam, aku tidur dengan Jason. Tidur!"Tidur?Sekarang, Elsy sudah sepenuhnya bangun."Kalian?
"Maaf, aku nggak sengaja. Keningku agak keras. Dulu, waktu berlaga kepala dengan ayahku, ayahku selalu kalah."Louis tertawa pelan. Elsy yang mabuk lebih menawan dari biasanya."Kenapa tertawa? Sudah berdarah, masih tertawa."Elsy berlutut tegak agar tingginya seimbang dengan Louis yang sedang berdiri di samping kasur."Sini, kutiup."Setelah berkata demikian, dia memanyunkan bibirnya dan meniup dengan lembut. Aroma anggur pun menyebar.Jakun Louis berguling, tatapannya menjadi makin dalam.Elsy tidak menyadari perubahan Louis, dia masih meniup bibir Louis. Dia tiba-tiba diselimuti oleh suatu bayangan.Detik berikutnya, suatu hawa panas menyelimuti bibirnya. Elsy mengedipkan matanya dengan heran, dia tidak bereaksi. Tiba-tiba, sebuah tangan menarik kepalanya.Kemudian, Louis mengecup bibirnya. Suatu hawa panas mengalir di sepanjang garis bibirnya. Tubuh Elsy seolah-olah tersengat listrik, dia pusing dan melemas."Tarik napas."Louis mengingatkannya dengan suara serak. Kemudian, hawa pa
Mendengar ucapan ini, Elsy langsung menoleh ke arahnya. Karena terlalu kuat, Elsy makin pusing."Kenapa kamu marah?"Louis menatap Elsy dengan galak."Sebagai wanita yang sudah menikah, kamu menerima bunga dari pria lain dan minum-minum dengan pria yang ingin mengejarmu. Kalau nggak bertemu aku, mungkin dia sudah menggendongmu sampai rumah. Menurutmu, bukankah wajar kalau aku marah?"Louis berbicara dengan sangat jelas dan teratur, setiap perkataannya masuk akal.Mendengar ucapan Louis, Elsy menyingkirkan ekspresi marahnya dan nada bicaranya melembut."Kamu melihat Gavin memberiku bunga?"Melihat Louis menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Elsy makin merasa bersalah. Dia memanyunkan bibirnya."Aku bisa jelaskan ...."Louis sudah mempersiapkan diri."Kalau begitu, jelaskan."Elsy mengusap pelipisnya. Karena mabuk, suaranya agak lembut."Tapi, sekarang aku sakit kepala, nggak ingin bicara. Bolehkah ditunda sampai besok?"Mendengar ucapan ini, Louis kecewa. Awalnya, dia ingin mem
Meskipun Elsy agak pusing, dia masih sadarkan diri. Dia pun tidak menyangka akan bertemu Louis di sini. Melihat ekspresi Louis, dia takut Louis akan menyalahkan Helen dan yang lainnya."Kami memainkan permainan, yang kalah minum. Mereka mengalah padaku dan aku minum paling sedikit, aku yang nggak kuat minum."Louis mengiakan, nada bicaranya menjadi lebih lembut."Sudah tahu nggak kuat minum, masih saja minum sebanyak itu.""Ayo, kuantar pulang."Setelah berkata demikian, dia mengulurkan tangan untuk mengambil Elsy dari Gavin dan Helen.Gavin menggenggam erat lengan Elsy, dia tidak ingin menyerahkan Elsy pada Louis."Kak Louis, nggak usah repot-repot. Lagian aku juga mau pulang, aku sekalian antar Elsy pulang."Louis mengangkat kelopak matanya dan menatap Gavin selama beberapa detik. Tatapannya sangat dingin dan mencekam."Kamu juga minum, harus cari sopir pengganti. Aku nggak tenang serahkan Elsy padamu."Gavin membuka mulutnya, dia merasa ucapan Louis sungguh kasar."Kak Louis, aku tu
Setelah beberapa saat, Helen mendengar Jason melontarkan satu kata."Ya."Helen mengangguk bahagia. Untungnya, Jason tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dia ciptakan."Pertanyaan kedua, apakah orang yang kamu sukai berada di sini?'Ekspresi Gavin berubah muram, dia teringat Jason pernah menonton film bersama Elsy."Helen, kuperingatkan jangan macam-macam!"Helen mengabaikannya dan terus memberikan isyarat pada Jason."Abaikan dia, jawab pertanyaanku."Mereka saling bertatapan. Wajah Jason memerah, dia tampak sangat malu."Ya."Helen diam-diam berseru dalam hati, seolah-olah dirinya berhasil menjalankan misi."Kalau begitu, apa orang yang kamu sukai adalah Elsy?"Katakan ya! Cepat!Helen menatap Jason dengan penuh harapan. Kalau sekarang dia tidak menyatakan cinta, dia tidak memiliki kesempatan lagi!"Bukan."Bukan?Ekspresi Helen membeku, dia hampir terjatuh ke lantai. Dia berusaha keras menciptakan kesempatan buat Jason, alhasil, Jason takut? Menyerah?Sulit dipercaya!Melihat Jason
Meskipun Elsy terlihat tidak senang, Elsy tetap menerima bunga darinya. Dalam sekejap, Gavin tersenyum cerah. Sepertinya usahanya dalam beberapa hari ini tidak sia-sia.Setelah mereka memasuki restoran, sebuah Maybach yang terparkir tidak jauh menurunkan kaca jendela. Terlihat sebuah wajah dingin.Tak lama kemudian, Louis memalingkan wajah dan memasukkan sebatang rokok ke mulutnya. Dia memiringkan kepala sambil mengisap rokok itu.Jeff duduk di kursi penumpang dengan tenang, dia tidak berani mengeluarkan sedikit pun suara. Seketika, suhu di dalam mobil seolah-olah menurun drastis. Dia mengintip Louis melalui kaca spion sambil menelan air liur."Pak Louis, Pak Lonel sudah tiba sepuluh menit yang lalu. Kita mau masuk sekarang atau ...."Louis mengisap rokok, lalu mengembuskan asap rokok secara perlahan-lahan."Sepertinya belakangan ini Keluarga Lorenzo agak santai. Selidiki bisnis mereka, carikan kesibukan buat mereka."Jeff mengangguk, dia teringat akan adegan Gavin memberikan hadiah pa
Ketika Elsy dan Helen tiba di restoran, Jason sudah tiba.Dia berdiri di depan pintu restoran dengan mengenakan kaus berwarna krem dan celana jin berwarna biru. Didukung dengan parasnya yang tampan, keberadaannya sangat menarik perhatian.Saat Elsy dan Helen hendak menghampiri Jason, dua gadis berpakaian seksi sedang berbicara dengannya."Kak, kamu terlihat seperti calon pacarku. Bolehkah kita bertukar kontak?"Jason tidak menyangka kedua gadis itu akan begitu terus terang, dia mundur dua langkah."Maaf, aku sudah menyukai orang lain.""Apa hubungannya denganku? Kamu menyukai orang lain, bukan berarti aku nggak boleh menyukaimu. Aku nggak keberatan."Gadis itu sangat kukuh. Jason yang lugu pun tidak berdaya.Emosi Helen terpancing, dia bergegas maju untuk melindungi Jason."Dik, berapa umurmu? Sudah selesai kerjakan PR?"Gadis yang menggoda Jason itu memanyunkan bibir."Bibi, siapa kamu? Kok tiba-tiba muncul?"Helen hampir memuntahkan seteguk darah. Bibi?"Aku? Tentu saja, aku adalah .