Bab 8

Elsy mengabaikan sindiran Cheryl. Dia mendelik Gavin, lalu lanjut menonton film.

Tak lama kemudian, Gavin kembali menendang kursinya. Elsy kesal dan langsung berbalik.

"Gavin, kamu sengaja?"

Saking marahnya, Elsy tidak mengendalikan suaranya. Orang-orang di sekitar menatapnya dengan kesal dan wajahnya pun memerah.

Gavin mengangkat alis ke arahnya sambil berkata dengan penuh maksud, "Elsy, kamu yang ajak aku bicara. Jangan lupa menggonggong."

"Menggonggong? Kenapa dia harus menggonggong?"

Cheryl mendengus dingin sambil bertanya pada Gavin dengan centil.

Gavin mencubit dagu Cheryl.

Dia berkata dengan bangga, "Karena ada yang melanggar peraturan."

Mendengar percakapan mereka, amarah Elsy membara. Saat ini, layar ponselnya menyala, ibunya mengirimkan pesan.

"Elsy, kalau sudah melihat pesan, segera telepon Ibu. Ada urusan penting."

Elsy mengerutkan kening, suatu firasat buruk muncul di hatinya. Dia berpamitan dengan Jason, lalu keluar dari studio.

Begitu Elsy menelepon, ibunya langsung menjawab panggilan. Nesya terdengar sangat panik.

"Elsy, apa hari ini Merlyn menghubungimu?"

Elsy menjawab, "Nggak. Ada apa?"

Nesya mengembuskan napas panjang.

"Merlyn mau batalkan pertunangan. Setelah bilang begitu, dia menghilang. Aku dan ayahmu nggak bisa hubungi dia, usahakan luangkan waktu buat pulang."

Elsy merasa lega.

Ketika Elsy mengusulkan Merlyn membatalkan pertunangan, Merlyn tidak menanggapi Elsy. Sepertinya dalam beberapa hari ini, dia sudah harus mendaftarkan pernikahannya dengan Louis.

Elsy mengkhawatirkan Merlyn dan berencana untuk menghubungi Merlyn dalam waktu dekat. Tak disangka, Merlyn sudah beraksi.

Sekarang, situasi di rumah sangat kacau. Elsy mengiakan, lalu mengakhiri panggilan dan keluar dari bioskop.

Entah sejak kapan Gavin keluar dari studio, dia menghentikan Elsy.

"Mau kabur? Ingkar janji?"

Elsy meronta, tetapi tidak bisa melepaskan diri.

"Siapa ingkar janji? Kalau bukan karena kamu tendang kursiku, aku nggak bakal bicara denganmu. Kamu yang harus menggonggong!"

Gavin mendengus dingin. Matanya tertuju pada Elsy, seketika, suatu perasaan nostalgia muncul di hatinya.

Mengingat Elsy bercanda tawa dengan Jason di dalam studio, dia pun kesal.

"Hei, kamu pacaran dengan mahasiswa jurusan hukum itu?"

Elsy mengerutkan kening.

"Apa ada hubungannya denganmu?"

Gavin menggerakkan lidahnya dengan kesal.

"Tentu saja, ada hubungannya denganku. Kita tumbuh besar bersama, aku harus tahu pergaulanmu, terutama pacarmu."

Elsy terdiam. Kata "tumbuh besar bersama" membuatnya teringat akan betapa memalukan dirinya di hari ulang tahunnya.

"Nggak usah repot-repot. Lagian, kamu juga nggak tanya pendapatku waktu mau pacaran dengan wanita lain."

Mata Gavin bersinar.

"Pendapatmu? Oke, lain kali sebelum pacaran, aku tanyakan pendapatmu dulu."

Lan kali?

"Bukannya kamu dan Cheryl sangat mesra?"

Gavin tersenyum nakal.

"Hanya pacaran satu kali seumur hidup? Lagi pula, bukannya kamu nggak cocok dengannya? Aku bakal cari pacar lain yang cocok denganmu."

Hati Elsy tersentak.

"Aku nggak bermaksud seperti itu, jangan anggap serius. Selain itu, ke depannya, kamu mau pacari siapa pun, nggak ada hubungannya denganku, jangan kaitkan denganku."

Melalui sudut mata, Elsy melihat seorang wanita cantik keluar dari studio. Elsy langsung menghempaskan tangan Gavin.

"Ada urusan penting, aku pergi dulu."

Gavin mengejarnya.

"Sepenting apa? Sampai nggak punya waktu buat bicara denganku?"

Elsy malas berbasa-basi dengannya.

"Urusan keluarga, aku harus pulang."

Melihat Elsy begitu serius, Gavin mengeluarkan kunci mobil.

"Biar kuantar."

Elsy hendak menolak dan mengatakan bahwa dirinya bisa naik taksi, tetapi terdengar suara sepatu hak tinggi dari belakang.

Cheryl berlari mendekat dan langsung menggandeng lengan Gavin.

"Bukannya kamu pergi ke toilet? Kok ada di sini, aku cariin loh."

Gavin menanggapinya dengan santai.

"Kembalilah menonton, aku mau antar Elsy pulang. Nanti, aku jemput kamu."

Cheryl mengentakkan kakinya.

"Nggak, aku sudah lama menantikan film ini. Kamu janji bakal temani aku menonton film ini."

Gavin mengerutkan kening dengan sabar.

"Kalau begitu, kali ini kamu tonton sendirian dulu. Lain kali, kutemani tonton film lain, oke?"

Cheryl menolak, dia menggenggam erat lengan baju Gavin.

"Nggak mau. Pokoknya hari ini kamu harus temani aku."

Sebelumnya, trik ini sangat ampuh dalam meluluhkan Gavin. Gavin menyukai wanita manja seperti ini.

Namun beberapa hari ini, Gavin agak sensitif. Bahkan sebelum Cheryl merayunya, dia sudah merasa tidak nyaman dan mencoba untuk melepaskan genggaman Cheryl.

"Sudah kubilang, setelah kuantar Elsy, aku bakal datang menjemputmu. Berhentilah bersikap seperti ini."

Setelah berkata demikian, Gavin menoleh ke belakang. Bagaimana mungkin Elsy masih berada di depan bioskop?

Dia bergegas mengejar Elsy dan melihat Elsy menutup pintu taksi.

"Sialan!"

Gavin menendang batu dengan sekuat tenaga, hatinya dipenuhi dengan amarah.

...

Sesampai di rumah, Elsy melihat beberapa mobil terparkir di depan rumah.

Elsy menarik napas dalam-dalam, lalu masuk.

Begitu masuk, hawa di dalam rumah sangat mencekam.

Di ruang tamu, Darwis dan Nesya duduk di sofa dengan cemas. Sedangkan Louis duduk di sisi lain dengan tenang dan bermartabat. Dia bahkan memegang segelas teh dan menyesap teh itu dengan elegan.

Beberapa orang tua duduk di sampingnya. Mereka terus menyudutkan Darwis dan Nesya.

"Pernikahan itu masalah besar, bukan hal sepele! Kalau dari awal nggak mau, kenapa menyetujui perjodohan bisnis ini? Sekarang, pernikahan sudah ditetapkan, tapi calon pengantin malah melarikan diri. Keluarga Dagon sungguh nggak becus!"

Darwis mengerutkan kening, seperti sedang memikirkan sesuatu. Nesya berusaha untuk menenangkan mereka.

"Pak Timo, jangan marah. Merlyn mungkin pergi ke luar negeri buat menenangkan diri. Dia akan pulang dalam beberapa hari."

"Pulang dalam beberapa hari? Hmph!"

Pria bernama Timo itu melambaikan tangannya.

"Pesan yang dia tinggalkan buat Louis sudah cukup jelas. Dia mau batalkan pertunangan, kenapa kamu masih mencoba untuk menutupi masalah ini?"

"Nggak akan terjadi."

Darwis yang sedari tadi diam angkat bicara.

"Pak Timo, jangan khawatir. Sekalipun dia nggak mau, aku bakal paksa dia pulang."

"Kenapa paksa dia pulang?"

Elsy tiba-tiba mengajukan pertanyaan. Saat ini, semua orang menyadari keberadaannya.

Nesya menghampiri Elsy dan menariknya ke samping.

"Orang tua sedang berbicara, anak kecil jangan ikut campur!"

Elsy berdiri diam, nada bicaranya sangat lembut, tetapi tegas.

"Kak Merlyn nggak mau menikah, sekalipun dia pulang, keputusannya nggak bakal berubah."

Sembari berbicara, Elsy mengalihkan pandangannya ke Louis.

"Kak Louis begitu kompeten, kamu bisa dapatkan wanita mana pun yang kamu inginkan. Kenapa kamu harus menikahi wanita yang nggak mencintaimu dan menyiksa satu sama lain?"

"Elsy!"

Darwis tidak menyangka putri bungsunya yang selalu bersikap patuh akan mengucapkan kata-kata seperti ini di depan umum, dia berdiri dengan marah.

"Jaga ucapanmu, kembali ke kamarmu."

Darwis jarang menegur Elsy. Saking kagetnya, bulu mata Elsy bergetar.

Namun, dia tetap memberanikan diri untuk membela kakaknya.

"Kak Louis, kamu bilang kamu menyukai Kak Merlyn karena dia adalah calon istrimu. Kalau begitu, bolehkah kamu ganti pasangan? Aku yakin, kamu bakal menyukai gadis itu seperti kamu menyukai Kak Merlyn."

"Lancang!"

Timo Harson mengerutkan keningnya dengan kuat. Ketika dia hendak menegur Elsy, Louis menghentikannya.

Dia memandang Elsy dengan lembut, suaranya sangat hangat.

"Aku memang pernah bilang begitu. Tapi, ada yang nggak kukatakan."

"Aku menyukainya bukan hanya karena dia adalah calon istriku, juga karena dia adalah putri Keluarga Dagon."

Putri Keluarga Dagon ....

Elsy menggigit bibirnya berulang kali. Jantungnya yang sebelumnya masih hangat pun merinding.

Artinya, Louis hanya akan menikahi putri Keluarga Dagon?

Ketika Elsy termenung, Darwis mendelik Nesya.

"Bawa dia ke atas!"

Nesya menghela napas, lalu berjalan menghampiri Elsy.

"Elsy, ini perjanjian nenek moyang Keluarga Harson dan Keluarga Dagon, menyangkut kehormatan dan masa depan kedua keluarga. Kamu masih muda, nggak mengerti."

Sembari berbicara, Nesya membawa Elsy naik ke atas.

Sekujur tubuh Elsy melemas. Elsy teringat akan momen Merlyn duduk di jendela dengan linglung, seolah-olah jiwanya akan hanyut kapan saja.

Elsy bisa membayangkan betapa bahagianya Merlyn saat menghabiskan waktu bersama pria yang dia cintai.

Kalau dia dipaksa pulang di saat seperti ini, dia pasti akan kehilangan tujuan hidup.

Elsy tidak ingin kakaknya hidup terpuruk. Kalau memungkinkan, dia ingin kakaknya menjalani hidup dengan bahagia.

Ayahnya kembali berjanji pada Keluarga Harson.

"Aku, Darwis Dagon janji bakal bawa Merlyn pulang dalam tiga hari. Saat itu tiba, kalian bisa langsung daftarkan pernikahan!"

Elsy menghentikan langkahnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia perlahan-lahan berbalik dan menatap Louis.

"Kalau Kak Louis bersikeras ingin menikahi putri Keluarga Dagon, bolehkah aku gantikan Kak Merlyn?"