Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.
Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.
Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.
“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.
Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali, aku menjadi kembali mengingat permasalahanku di rumah.
“Sedang apakah ibuku sekarang? Apakah mereka sedang mencari keberadaanku?” pikirku dari dalam hati, “Semoga saja ibuku tak berlarut–larut dalam kesedihan setelah kepergianku.”
Aku menjadi sulit tertidur saat memikirkan Ibuku. Rasa kantuk yang tadi aku rasakan kini telah sirna, Padahal aku sangat merasakan lelah setelah seharian aku tak beristirahat.
Ku paksakan mataku untuk terpejam dan ku alihkan pikiranku kepada hal–hal yang menyenangkan agar aku bisa segera tertidur dan tenggelam dalam mimpi–mimpi nan indah.
**
Keesokan harinya.
Aku bangun kesiangan, mungkin karena aku yang terlalu lelah dan juga karena tidurku yang terlalu larut malam.
“Ah, andaikan aku masih berada di rumah dengan Ibu pasti aku tak akan bangun sesiang ini karena Ibuku pasti akan membangunkan aku. Oh Ibu, aku merindukanmu,” gumamku dari dalam hati.
Aku pun sekarang mulai beranjak dari tempat tidurku dan mulai membuka–buka tasku. Ku ambil pakaianku dan juga peralatan mandiku. Ku bawa semua itu untuk pergi ke kamar mandi yang terletak di sebelah kamarku.
Rumah kost itu tampak begitu sepi seperti tidak ada bedanya antara suasana di malam hari dan juga siang hari. Akan tetapi, aku tiba–tiba teringat kalau sekarang adalah hari aktif. Dimana di hari aktif seperti ini semua orang pastinya sedang bekerja ataupun sekolah, nggak kayak aku yang sekarang sudah menjadi pengangguran.
Aku pun mulai mandi dan sedikit mempercepat kegiatanku. Entah mengapa aku sedikit merasakan takut di dalam rumah kost sebesar itu dan hanya aku yang sedang ada di sana sekarang.
Beberapa menit kemudian, aku yang sudah memakai baju lengkap dan segera berlari ke dalam kamarku kembali. Ku tutupnya dan ku kunci kamarku setelah itu aku berjalan ke depan cermin untuk berdandan.
Jadwalku setelah ini adalah mencari sarapan dan setelah itu segera membeli beberapa amplop coklat untuk aku gunakan melamar pekerjaan. Ya, aku akan mulai mencari pekerjaan di kota ini. Aku tidak mungkin hanya mengandalkan sisa tabunganku dengan duduk diam di dalam kamar kos.
Ku langkahkan kakiku untuk keluar dari kamarku dan tanganku mulai menenteng tas ranselku yang belum aku gantung di punggungku. Aku berjalan dengan semangat untuk menempuh hari pertamaku di sini. Bahkan, aku berusaha untuk melupakan masalahku di sana.
Baru saja kakiku menginjak halaman rumah kosku, aku di buat terkejut dengan kehadiran Syarif di sana. Dia tampak tersenyum ke arahku. Akupun membalas senyuman laki-laki yang menjadi malaikat penyelamatku semalam.
“Hai, ngapain kamu di sini?” tanyaku kepada Syarif.
“Mengunjungimu,” jawab Syarif.
Ku kerutkan keningku tanda aku merasa heran dengan jawaban yang terlontar dari mulut Syarif. “Mengunjungiku?”
“Ya, aku memang kesini untuk mengunjungimu dan ingin tahu keadaanmu,” kata Syarif.
“Terima kasih,” jawabku. Senang sekali rasanya mendapatkan perhatian dari seseorang di saat diri ini sedang sendiri di kota pelarian.
Syarif terlihat sedang melihatku kemudian dia bertanya, “Kamu mau kemana?”
“Ehm, aku ingin membeli amplop coklat dan juga ingin jalan–jalan di sekitar sini, kali aja aku menemukan sebuah tempat yang lagi membuka lowongan kerja untuk pegawai baru.”
“Lowongan kerja?” tanya Syarif, “Memangnya kamu ingin kerja apa?”
“Aku punya pengalaman kerja sebagai pramuniaga di sebuah toko. Jadi, aku ingin mencari pekerjaan yang sama dengan pengalaman kerjaku,” jelasku.
“Baiklah, ayo aku antarkan dulu untuk membeli amplop coklat setelah itu kita jalan–jalan ke dalam Mall yang ada di pinggir jalan itu. Di sana banyak sekali toko yang membuka lowongan pekerjaan.”
“Benar?” tanyaku dengan kegirangan.
Syarif menganggukkan kepalanya. “Ayo!” ajak Syarif.
Aku pun dengan senang dan juga semangatnya berangkat untuk membeli amplop. Aku di antarkan oleh Syarif dengan menggunakan motor. Ya, aku sangat bersyukur sekali karena aku bertemu dengan Syarif.
**
Di dalam perjalanan, Syarif tak henti – hentinya menunjukkan kepadaku tempat–tempat yang ada di sana dan juga nama dari tempat itu. Wah, sungguh tak kalah indah kota ini dengan kota asalku. Bahkan aku lebih merasa betah tinggal di kota ini, karena udaranya yang dingin.
“Kita beli di sini,” kata Sayarif dengan mulai memarkirkan motornya. “Ini adalah toko ATK, jadi kamu bisa membeli apa yang kamu butuhkan di sini.”
Aku mulai turun dari motor Syarif dan mengalihkan pandanganku kepada toko yang di tunjuk oleh Syarif untuk aku membeli amplop.
“Ayo, masuk!” Syarif mulai mengajakku untuk masuk ke dalam toko itu.
Aku berjalan secara berdampingan dengan Syarif, bahkan aku tak mau untuk jauh–jauh dari Syarif. Maklumlah aku masih takut berada di sana. Tempat itu masih asing bagiku.
“Dimana tempat amplop coklat?” tanyaku kepada Syarif.
“Ehm,” Syarif mulai menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mencari–cari rak tempat amplop terletak. “Oh, itu dia!” Syarif menunjukkan tangannya pada rak yang ada tak jauh dari tempat kita berdiri.
“Oh ya …” Senyuman langsung menghiasi wajahku. Aku dan Syarif pun langsung berjalan ke sana.
Ku ambil satu plastik amplop coklat besar kemudian aku masukkan dalam kantong. “Kalau bolpoin dan alat tulis yang lain, dimana ya tempatnya?” tanyaku kepada Syarif.
Syarif langsung memegang tanganku dan menarikku untuk pergi ke tempat bolpoin dan kawan–kawannya berada.
Aku mengikuti langkah Syarif dengan tanganku berada di genggamannya. Di saat aku dan Syarif sudah sampai di rak itu, Syarif tiba–tiba melepaskan pegangan tangannya.
“Maaf, aku tidak bermaksud untuk memegang tanganmu secara sengaja,” ucap Syarif.
Aku yang tadinya tidak menyadari akan hal itu, jadi mulai tersadar kalau tangan Syarif tadi sedang menggenggam tanganku. “Oh, tidak apa–apa,” jawabku dengan malu. Aku pun segera menundukkan pandanganku dan berpura-pura untuk memilih bolpoin yang sekarang sudah ada di hadapanku.
Lama kita berdua ada di toko ATK dan setelah keperluanku sudah terpenuhi semua. Aku dan Syarifpun hendak pergi ke mall untuk mencari lowongan kerja bagiku. Akan tetapi, perutku mulai berunjuk rasa. Aku yang bersemangat untuk mencari amplop malah melupakan tujuan pertamaku, yaitu mencari sarapan.
Aku terdiam sebentar dan memegang perutku yang terasa perih.
“Kenapa?”tanya Syarif, “Kamu belum sarapan, ya?”
Aku menganggukkan kepala.
“Ayo, kita beli makan dulu!”
“Nggak usahlah, aku tambah ngerepotin kamu.” Aku tidak enak hati kalau terus saja meminta antar Syarif.
“Nanti kamu sakit, baru juga datang di kota Malang masa sudah harus sakit begitu saja?!”
“Baiklah, tapi sebelum beli sarapan antarkan aku untuk membeli kartu perdana dulu, ya?” pintaku.
“Memangnya nomer ponselmu kenapa? Kok harus beli?” tanya Syarif.
Aku tertawa kecut karena pertanyaan Syraif mengingatkanku pada permasalahan yang ada di rumah. “Aku ingin ganti nomer saja, nggak ada alasan lain.” Aku pun terpaksa membohongi Syarif.
Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s
Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b
Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba
Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia
Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya
Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan
Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la
Menahan air mata untuk tidak terjun bebas dari sudut-sudut mata itu sangatlah sulit sekali. Akan tetapi, aku terus berusaha untuk menahannya agar butiran air yang bening itu tidak akan meluncur jatuh.Ini mungkin hari yang bahagia untuk mantan kekasihku, Reyhan. Dia menikah dengan kekasihnya yang bernama Helia, padahal hubungan cinta mereka masih seumur jagung, yakni 4 bulan berpacaran dan setelah itu mereka langsung memantapkan hubungannya di jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.Terlihat senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Beda halnya denganku, aku hanya bisa membuat senyuman palsu di wajahku. Hubunganku yang begitu lama dengan Reyhan, yaitu 3 tahun berpacaran harus kandas akibat restu orang tuaku yang tak bisa aku dapatkan.Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ayahku sehingga tak mau merestui hubunganku dengan Reyhan, padahal Reyhan adalah laki–laki yang baik dan bertanggung jawab.Aku menundukkan kepalaku karena aku mencoba untuk m
Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la
Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan
Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya
Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia
Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba
Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b
Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s
Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali,
Bus yang aku tumpangi sudah berhenti di Terminal Arjosari Malang. Semua penumpang mulai turun dari bus itu, begitu juga aku. Aku mulai berjalan untuk turun dari bus dengan berhati-hati. Setelah aku turun dari bus, aku mulai menepi.Di sana aku tampak kebingungan, hendak kemana kah diriku?Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan ku coba untuk memantapkan hatiku agar hati ini bisa menuntun kakiku melangkah ke tempat aman bagi diriku yang hanya seorang diri di kota pelarian.Ku pegang erat tasku dan mulai ku langkahkan kakiku. Aku pun berniat untuk menaiki salah satu angkutan umum. Angkutan umum yang dapat membawaku ke lokasi yang dekat salah satu Universitas ternama di kota itu.“Universitas Branijaya, Pak?” Aku memastikan bahwa angkutan umum yang akan aku tumpangi adalah benar.“Ya, Mbak!”Setelah Bapak Sopir mengiyakan pertanyaanku barulah aku masuk ke dalam mobil angkutan umum dan akupun memilih bangku paling d