Home / Romansa / Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati / Bertemu Dengan Seorang Malaikat

Share

Bertemu Dengan Seorang Malaikat

Author: Rinos
last update Last Updated: 2021-12-18 11:56:40

Bus yang aku tumpangi sudah berhenti di Terminal Arjosari Malang. Semua penumpang mulai turun dari bus itu, begitu juga aku. Aku mulai berjalan untuk turun dari bus dengan berhati-hati. Setelah aku turun dari bus, aku mulai menepi.

Di sana aku tampak kebingungan, hendak kemana kah diriku?

Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan ku coba untuk memantapkan hatiku agar hati ini bisa menuntun kakiku melangkah ke tempat aman bagi diriku yang hanya seorang diri di kota pelarian.

Ku pegang erat tasku dan mulai ku langkahkan kakiku. Aku pun berniat untuk menaiki salah satu angkutan umum. Angkutan umum yang dapat membawaku ke lokasi yang dekat salah satu Universitas ternama di kota itu.

“Universitas Branijaya, Pak?” Aku memastikan bahwa angkutan umum yang akan aku tumpangi adalah benar.

“Ya, Mbak!”

Setelah Bapak Sopir mengiyakan pertanyaanku barulah aku masuk ke dalam mobil angkutan umum dan akupun memilih bangku paling depan, di samping Pak Sopir.

Aku duduk dengan diam sambil menunggu angkutan mulai berjalan.

Setelah beberapa lama, mobil angkutan umum yang aku tumpangipun mulai berjalan. Di saat penumpang sudah memenuhi bangku–bangkunya. Di dalam perjalanan itu aku pun mulai menengok ke kiri dan ke kanan.

Udara di kota itu memang segar tak seperti di kota asal ku. Bahkan, banyak sekali pohon–pohon hijau yang tumbuh di sana.

“Mbak, mau ke Universitas Branijaya?” tanya Pak Sopir kepadaku.

Akupun segera menganggukkan kepalaku tanpa mengalihkan pandanganku yang penuh ke kaguman dengan apa yang aku lihat di kota itu.

“Mbaknya lagi kuliah di sana?” tanya Bapak Sopir itu kembali.

Aku mulai mengalihkan pandanganku kepada Pak Sopir kemudian aku menggelengkan kepalaku. “Nggak, Pak. Aku tidak kuliah.”

“Kerja?” tanya Pak Sopir kembali.

Aku menjadi bingung, akankah aku menjawab sejujurnya kepada orang yang tak aku kenal? Sedangkan aku harus lebih berhati–hati dan waspada tinggal di kota pelarian tanpa ada teman atau kerabat satupun.

“Ehm,” jawabku dengan menganggukkan kepalaku.

Untunglah Bapak Sopir itu percaya dengan pengakuanku dan tak kembali menanyaiku.

Perjalanan dari terminal menuju ke lokasi Universitas Branijaya sedikit memakan waktu, belum lagi ketika angkutan umum harus berhenti beberapa menit untuk menunggu penumpang. Namun, aku tetap bersyukur karena akhirnya aku bisa sampai di tempat yang aku inginkan dengan selamat.

Aku mulai membuka dompetku dan aku serahkan beberapa lembar uang kertas kepada Bapak Sopir angkutan umum. “Terima kasih, Pak.”

Bapak Sopir itu menganggukkan kepalanya dan setelah itu melajukan kembali mobil angkutan untuk mengantarkan penumpang–penumpang yang lain.

Sepeninggal mobil angkutan aku kembali berjalan seorang diri.

Berjalan menyusuri jalanan di dekat gedung–gedung besar yang indah.

Di saat aku berjalan di sana tiba–tiba perutku mulai berunjuk rasa. Ya, aku sedang merasakan lapar. Kembali ku tengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan untuk membeli makanan. Akhirnya, akupun menjatuhkan pilihanku untuk menuju ke sebuah warung yang ada di pinggir jalan.

“Mas, Ayam lalapan satu porsi,” kataku kepada penjual makanan di sana.

“Makan di sini, Mbak?” tanya Mas pemilik warung.

“Ya,” jawabku, “Minumnya, jeruk hangat saja ya, Mas?”

“Baik, silahkan duduk, Mbak.”

Aku segera mencari tempat duduk yang kosong dan setelah itu aku segera menempatinya. Ku taruhkan tasku di samping bangku ku dan setelah itu aku mulai terdiam. “Hari sudah malam, aku harus mencari rumah kos dimana?” pikirku.

Aku mulai merasa gelisah dan akupun menjadi ketakutan. Ah, nyaliku mudah sekali terjun ke titik yang paling bawah.

“Permisi, apakah bangku ini kosong?”

Aku segera melihat ke asal suara yang ada di sampingku. “Oh, ya. Silahkan …” Aku pun mempersilahkannya dan mulai mengambil tasku. “Hufh, ada bangku kosong yang lain, tapi mengapa harus duduk di dekatku sih lelaki ini?” Aku mulai menggerutu di dalam hatiku.

Ku taruh di atas pangkuanku sekarang, tasku yang tadi terletak di samping bangkuku. Berat dan membuatku menjadi tak leluasa, tapi harus bagaimana lagi karena aku tak mungkin menaruh tasku yang berisi baran– barangku ini di tempat lain. Aku takut jikalau ada orang yang berniat untuk mengambilnya. Bisa habis hidupku di kota ini.

Makanan yang aku pesan sudah di sajikan tepat di depanku, aku pun tak mau menunggu lama lagi untuk menyantapnya. Maklumlah, perutku sudah berunjuk rasa mulai tadi, aku pun juga masih harus mencari rumah kost untuk tempat bermalamku.

Aku makan dengan lahap. “Hemh, nikmatnya makanan ini,” gumamku dalam hati. Aku tak memperdulikan sekelilingku, yang mungkin mereka sedang mengamatiku dan bergumam dalam hatinya masing–masing bahwa aku adalah seorang perempuan yang tengah kelaparan. Ah, bodo amat!

**

Sesudah aku menyelesaikan makan malamku, aku pun segera menghampiri pemilik warung yang sedang duduk di meja dengan kalkulator di sampingnya. “Berapa, Mas?” tanyaku.

“Mbaknya pesan apa saja?”

“Ayam lalapan satu porsi dan minumnya jeruk hangat.”

“Sebentar ya, Mbak.” Pemilik warung yang bertugas menjadi seorang kasir itupun mulai mengetikkan angka–angka ke mesin kalkulatornya dan setelah itu, “Tiga puluh satu ribu rupiah …”

Aku segera mengambil dompetku dan kuambilkan beberapa uang kertas sepuluh ribuan dan juga seribuan. “Ini ya, Mas.”

“Baik, terima kasih.”

Aku pun sekarang pergi meninggalkan warung tersebut. Aku berjalan menyusuri jalanan dan mulai memasuki gang yang ada di sana. Aku berfikir bahwa di dalam gang tersebut pastilah banyak rumah yang di kos kan oleh pemiliknya, mengingat rumah–rumah di sana berada dekat dengan lokasi dua perguruan tinggi ternama.

Aku mencoba untuk menoleh kesana kemari untuk mencari sebuah rumah kos dan akhirnya aku menemukan sebuah rumah kos yang tak jauh dari tempatku sekarang berdiri. Ku langkahkan kakiku untuk pergi ke rumah itu, sesampainya di sana aku mulai menekan bel yang ada di tembok pagar rumah itu.

Ku tunggu seseorang untuk membukakan pintu untukku.

“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?”

“Oh, iya. Maaf, apakah saya bisa untuk kos di rumah ini?” tanyaku kepada seorang ibu paruh baya yang sedang menemuiku.

“Maaf, kamar–kamarnya sudah penuh.”

“Oh, begitu, ya? Baiklah, terima kasih.”

“Ya, sama–sama.”

Aku pun kembali melangkahkan kakiku dengan perasaan sedikit kecewa. “Ah, aku harus kemana lagi, ini juga sudah malam.” Di saat aku merasa resah dan gelisah, aku menjadi mengingat ibuku yang ada di rumah. “Ibu, maafin aku, mungkin aku telah berdosa kepadamu sehingga aku sekarang tak menemukan sebuah tempat untuk bermalam. Ibu, aku takut …” gumamku dalam hati.

Di saat aku kembali menyusuri jalan untuk mencari sebuah rumah kos yang mungkin masih ada sisa kamar buat aku tempati tiba–tiba aku mendengar langkah kaki seseorang yang ada di belakangku.

Aku menjadi semakin takut saja, tapi ku coba untuk melawan rasa takut itu. ku tolehkan kepalaku ke belakang. “Bukannya dia lelaki yang duduk di sampingku saat aku makan di warung tadi?” pikirku, “Ah, syukurlah aku menjadi mempunyai teman berjalan karena sepertinya dia adalah lelaki yang baik.”

Aku melangkahkan kakiku dengan tenang, namun tiba–tiba saja seorang lelaki lain datang dan langsung berjalan di sampingku.

“Hai, kamu dari mana saja?” tanya lelaki yang ada di sampingku, “Aku mulai tadi mencarimu di kos, tapi kamu belum datang–datang juga!”

“Dia siapa?” pikirku. Aku langsung ketakutan dan Jantungku mulai berdegup kencang, tangan–tanganku mendadak merasa kedinginan, keringat–keringatpun bermunculan. Aku takut dan bingung dengan situasiku sekarang ini.

“Lari?” pikirku, “Tapi, aku tak mungkin bisa lepas dari lelaki yang ada di sampingku.” Aku terus memikirkan akan bertindak seperti apa. “Teriak dan minta tolong lelaki yang ada di belakangku tadi? Akan tetapi, maukah dia menolongku lepas dari lelaki yang sekarang ada di sampingku.”

Aku hanya bisa melirikkan mataku ke lelaki yang ada di sampingku. Dia sepertinya mencoba untuk menengok ke belakang. “Ah, jangan–jangan dia ingin memastikan apakah masih ada orang di belakangku dan berniat untuk menjahatiku.” Aku menjadi semakin berfikiran negatif kepada orang yang ada di sampingku.

“Syukurlah, dia sudah tidak ada …” gumam lelaki yang ada di sampingku dan aku mendengarnya.

Aku pun segera berlari dengan kencang saat mengetahui lelaki itu sedang memastikan lingkungan yang ada di sekelilingku.

“Mbak, tunggu …”

Aku tak memperdulikan teriakan lelaki itu karena selagi ada kesempatan untuk diriku kabur darinya, aku akan lakukan itu.

“Mbak!” Lelaki itu berhasil mengejarku dan menarik tanganku.

“Lepasin! Lepasin! Kalau kamu tidak lepasin, aku akan teriak!” ancamku kepada lelaki itu dan dengan diriku yang memberontak.

“Jangan teriak dong, Mbak! Aku hanya mau nolongin Mbaknya, sumpah!” lelaki itu sampai bawa–bawa kata–kata ‘sumpah’ untuk meyakinkan aku.

Akupun segera berhenti dan tidak memberontak kembali. Ku amati terus wajah dan gerak-gerik lelaki yang sekarang sedang berdiri di hadapanku.

“Mbak nya tidak punya tempat tinggal? Karena aku mulai tadi melihat Mbak kok hanya muter-muter saja dan tampak kebingungan.”

Aku tidak menjawab iya ataupun tidak, aku tak mungkin berkata jujur kalau aku sedang tak ada tempat tinggal di kota itu terlebih kepada orang yang tak aku kenal.

“Kalau memang Mbaknya belum memiliki tempat tinggal, ayo aku antarkan ke romah kos milik temanku yang ada di dekat sini.”

Aku tetap saja terdiam dan tak mau percaya begitu saja kepada orang asing yang menurutku lagi berpura–pura baik kepadaku.

“Ayo, aku antar!” paksa lelaki itu.

Aku tetap saja mematung.

“Baiklah, kalau tidak mau. Aku sendiri juga tidak mungkin kalau harus diam di sini menemani kamu,” ucap lelaki itu, “aku jalan dulu …”

Lelaki itu mulai pergi meninggalkanku sehingga membuatku berfikir sekali lagi dan mulai berubah fikiran. “Mas …” panggilku dan aku mulai berlari untuk mengejarnya.

Lelaki itupun mulai berhenti berjalan. “Ya?”

“Minta tolong antarkan aku ke rumah kos milik teman kamu itu,” pintaku.

“Baiklah,” jawab lelaki itu.

“Jalanlah terlebih dahulu karena aku akan mengikutimu dari belakang!”

“Ok.”

Lelaki itu mulai berjalan lebih dahulu dari pada aku. Aku memang sengaja mengatur seperti itu karena aku tetap harus waspada dan juga harus selalu mengamati gerak–gerik lelaki itu.

Related chapters

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Bertemu Dengan Seorang Malaikat Bagian II

    Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali,

    Last Updated : 2021-12-19
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

    Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s

    Last Updated : 2021-12-19
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama Bagian II

    Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Mencari Tahu Latar Belakang Arin

    Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Ibu Yumna Sedang Jatuh Sakit

    Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia

    Last Updated : 2022-02-02
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Nasihat Syarif Kepada Arin

    Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya

    Last Updated : 2022-02-03
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Memantapkan Hati

    Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan

    Last Updated : 2022-05-01
  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Memantapkan Hati Bagian 2

    Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la

    Last Updated : 2022-05-03

Latest chapter

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Memantapkan Hati Bagian 2

    Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Memantapkan Hati

    Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Nasihat Syarif Kepada Arin

    Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Ibu Yumna Sedang Jatuh Sakit

    Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Mencari Tahu Latar Belakang Arin

    Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama Bagian II

    Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

    Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Bertemu Dengan Seorang Malaikat Bagian II

    Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali,

  • Terima Kasih Ayah, Karenamu Aku Patah Hati   Bertemu Dengan Seorang Malaikat

    Bus yang aku tumpangi sudah berhenti di Terminal Arjosari Malang. Semua penumpang mulai turun dari bus itu, begitu juga aku. Aku mulai berjalan untuk turun dari bus dengan berhati-hati. Setelah aku turun dari bus, aku mulai menepi.Di sana aku tampak kebingungan, hendak kemana kah diriku?Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan ku coba untuk memantapkan hatiku agar hati ini bisa menuntun kakiku melangkah ke tempat aman bagi diriku yang hanya seorang diri di kota pelarian.Ku pegang erat tasku dan mulai ku langkahkan kakiku. Aku pun berniat untuk menaiki salah satu angkutan umum. Angkutan umum yang dapat membawaku ke lokasi yang dekat salah satu Universitas ternama di kota itu.“Universitas Branijaya, Pak?” Aku memastikan bahwa angkutan umum yang akan aku tumpangi adalah benar.“Ya, Mbak!”Setelah Bapak Sopir mengiyakan pertanyaanku barulah aku masuk ke dalam mobil angkutan umum dan akupun memilih bangku paling d

DMCA.com Protection Status