Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.
Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.
Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.
Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.
Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.
Ku ambil kartu perdana yang baru aku beli setelah itu aku gunakan di ponselku, sedangkan kartuku yang lama sementara ini tidak akan aku gunakan dan akan aku simpan dengan baik.
Ku aktifkan kembali ponselku, tapi aku sudah menggunakan nomor yang baru. Sehingga, tidak akan ada yang menghubungiku karena tidak ada yang tau dengan nomerku yang baru ini.
Aku yang lelah setelah seharian berkeliling dengan Syarif, akhirnya ingin sekali beristirahat. Aku taruh terlebih dahulu ponselku di atas meja untuk aku isikan daya setelah itu aku mulai merebahkan diriku.
Aku kembali memikirkan kata–kata Mbak Silvi. “Ya Allah, semoga Ibuku di berikan kekuatan dan tak selalu memikirkanku di sini,” gumamku dari dalam hati, “Ibu, aku di sini baik–baik saja.”
Matakupun mulai tertutup, tapi air mataku mulai merangkak dari celah–celahnya.
**
Sore hari.
Aku sudah terbangun dan juga sudah selesai mandi. Aku duduk di depan cermin sambil menyisir rambutku. Aku menyisir dengan pikiranku menerawang jauh. Aku sungguh penasaran dengan keadaan di kota lamaku.
“Diana …” Tiba–tiba saja aku teringat nama Diana. Akupun segera beranjak dari tempat dudukku dan mengambil ponselku.
Ku tekan nomor ponsel Diana yang sudah aku hafal karena aku ingin melakukan panggilan Video dengannya.
Ku tunggu sampai Diana menerima panggilan video ku, tapi lama sekali Diana menerimanya, sampai aku sempat berpikiran untuk mengakhirinya.
“Ariiin!” teriak Diana dari balik layar ponselku.
Aku segera saja menaruhkan jari telunjukku ke depan mulutku agar Diana tak meneriakkan namaku kembali. Aku takut kalau ada yang mengenalku dan mengetahui kalau aku sedang menghubungi Diana.
“Assalamualaikum,” ucapku dengan suara yang sangat pelan sekali.
“Waalaikumsalam,” jawab Diana dengan ikut–ikutan memelankan suaranya. “Arin, bagaimana kabarmu?” tanya Diana.
“Baik.”
“Arin, kamu ada dimana sekarang?” tanya Diana.
Aku tersenyum dan setelah itu menggelengkan kepalaku. “Maaf, aku masih belum bisa memberitahukanmu, tapi aku baik–baik saja kok di sini.”
“Sungguh, kamu baik – baik saja?” tanya Diana dengan raut wajahnya yang berubah penuh dengan kekhawatiran.
Aku mengangguk–anggukkan kepalaku. “Diana, bagaimana kabar di sana? Apakah Ayahku …” Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Diana sudah langsung menyahutinya.
“Ayahmu mencarimu ke rumahku, aku pun sampai ketakutan di buatnya. Ayahmu menunjukkan wajah yang tidak sabar sampai – sampai aku menemui Ayahmu dengan di dampingi oleh Ibuku.”
Aku segera saja menggaruk–garukkan tanganku ke kepalaku, padahal kepalaku tak terasa gatal sama sekali. Aku sungguh di buat malu oleh kelakuan Ayahku yang tak pernah bisa bersikap halus. Aku jadi tak enak hati kepada Diana.
“Maaf, memang Ayahku seperti itu dan tidak pernah bisa bersikap halus,” kataku kepada Diana.
“Ya, aku tahu kok. Aku sendiri tidak apa–apa, cuma Ibuku menjadi tahu ceritamu karena Ayahmu berbicara banyak di depan Ibuku.”
Ya Ampun, hatiku langsung saja terasa remuk. Apa kiranya yang di ceritakan oleh Ayahku kepada Ibunya Diana. Aku takut kalau cerita versi Ayahku malah membuatku semakin terpojokkan.
Ku coba untuk menanyakan kepada Diana, apa yang di katakan oleh Ayahku pada waktu datang ke rumah Diana. “Di, apa yang di ceritakan oleh Ayahku saat berada di rumahmu?”
Diana terlihat diam dan setelah itu menggelengkan kepalanya. “Ya Cuma mengatakan masalah perjodohan saja, sih.”
“Sungguh?” tanyaku kepada Diana.
Diana kemudian menganggukkan kepalanya, namun Diana tiba – tiba saja mematikan panggilan teleponku.
Aku terkejut karena Diana tanpa pamit terlebih dahulu tiba – tiba saja mematikan panggilan videoku. Ada apakah?
Ku taruh ponselku kembali, tapi baru saja aku taruh ponselku tiba – tiba bergetar.
Ku ambilnya lagi dan aku lihat pesan yang masuk ke dalam ponselku. “Ah, dari Diana. Kenapakah dia langsung mematikan panggilan teleponku?”
Aku buka pesan dari Diana dan mulai aku baca. “Rin, maafin aku yang langsung mematikan panggilan telepon darimu. Aku terpaksa melakukan itu karena ada ibuku yang tiba–tiba saja ada di sampingku.”
Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan singkat dari Diana. Aku berfikir, mengapa Diana melakukan itu, bukannya Ibunya selalu baik kepadaku selama ini. Apakah sekarang Ibunya Diana menjadi berubah sikapnya kepadaku, setelah Ayahku datang ke rumahnya?
Aku mendadak sedih karena Diana adalah teman baikku. Seandainya apa yang aku pikirkan memang benar bahwa Ibu dari Diana tak lagi menyukaiku, sungguh aku lagi – lagi menyayangkan sikap Ayahku.
“Ayah, mengapa kamu tega menghancurkan segalanya bagiku? Kekasihku telah meninggalkanku, masihkah sahabat baikku juga akan meninggalkanku cuma karena ulahmu?!” gumamku dalam hati.
Ku tenggelamkan kepalaku ke dalam lipatan tanganku. Aku kembali menangis dalam kesendirian.
Di dalam isakanku aku berharap ada seseorang yang datang untuk menghiburku dan menenangkan aku. Akan tetapi, itu tidaklah mungkin terjadi karena aku di sini hanyalah sendiri.
Beberapa menit aku tenggelam dalam kesedihan, tapi tiba–tiba saja ada yang mengetuk kamar kosku.
Ku usap air mataku dan ku buka pintu kamarku.
Seorang perempuan yang seumuran denganku sedang berdiri di depan pintuku. Ku lemparkan senyuman kepadanya. Kemudian ku coba untuk menanyainya, “Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Apakah benar saya berbicara dengan Mbak Arin?” tanya perempuan itu.
“Ya,” jawabku dengan menganggukkan kepalaku.
“Mbak Arin, ada tamu di luar. Dia sedang menunggu Mbak Arin dan memintaku untuk menyampaikan kepada Mbak Arin.”
“Tamu?” tanyaku.
“Ya, namanya Mas Syarif …”
“Oh, iya. Terima kasih, ya.” Aku segera menutup pintuku dan setelah itu aku berlari untuk ke luar rumah.
Ku lihat Syarif sudah menungguku di halaman dengan duduk di bangku yang ada di sana. Aku berjalan untuk menghampirinya.
“Syarif, ada apa kamu ke sini?” tanyaku.
Syarif tersenyum dan kemudian berkata, “Entah mengapa aku tak bisa sebentar saja jauh darimu …”
Hatiku terkejut dengan apa yang di sampaikan Syarif, bahkan aku mulai bertanya–tanya dalam hati, apakah ada yang akan pergi dan di gantikan seseorang yang datang untukku?
Tak terasa air mataku kembali menetes. Aku tak tahu, apakah itu air mata kesedihan ataukah air mata kebahagiaan yang keluar begitu saja.
Di saat aku sedang menangis, Syarif mulai mendekatiku dan langsung saja memelukku.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Aku menggeleng–gelengkan kepalaku. Aku hanya mampu untuk menitikkan air mataku, tapi aku tak mampu untuk berucap, bahkan dadaku sendiri terasa sesak.
Syarif membelai–belai rambutku dengan halusnya. “Ceritakan kepadaku, apa yang tengah terjadi kepadamu. Mungkin, dengan kamu cerita kepadaku aku bisa membantu untuk mencarikan solusi untukmu.” Lagi-lagi Syarif bersedia untuk menolongku. “Jangan menangis, aku tak bisa melihatmu menangis. Mungkinkah aku sekarang tengah jatuh cinta kepadamu?” bisik Syarif kepadaku.
Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba
Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia
Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya
Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan
Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la
Menahan air mata untuk tidak terjun bebas dari sudut-sudut mata itu sangatlah sulit sekali. Akan tetapi, aku terus berusaha untuk menahannya agar butiran air yang bening itu tidak akan meluncur jatuh.Ini mungkin hari yang bahagia untuk mantan kekasihku, Reyhan. Dia menikah dengan kekasihnya yang bernama Helia, padahal hubungan cinta mereka masih seumur jagung, yakni 4 bulan berpacaran dan setelah itu mereka langsung memantapkan hubungannya di jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.Terlihat senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Beda halnya denganku, aku hanya bisa membuat senyuman palsu di wajahku. Hubunganku yang begitu lama dengan Reyhan, yaitu 3 tahun berpacaran harus kandas akibat restu orang tuaku yang tak bisa aku dapatkan.Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ayahku sehingga tak mau merestui hubunganku dengan Reyhan, padahal Reyhan adalah laki–laki yang baik dan bertanggung jawab.Aku menundukkan kepalaku karena aku mencoba untuk m
Mataku tampak begitu sembab karena kemarin aku menangis hampir seharian. Aku coba untuk menyamarkannya dengan cara ku tutupi mataku dengan kaca mata meskipun mata sembabku masih saja tak bisa di samarkan sepenuhnya.Aku bergabung di meja makan dengan kedua orang tuaku untuk sarapan pagi. Tidak mengucapkan sepatah katapun kepada kedua orang tuaku, malah aku langsung duduk di sana.Ibuku sibuk menyiapkan makan untuk Ayahku. Memang ibuku terlalu memanjakan Ayahku. Semua di lakukan oleh ibuku, bahkan mencari nafkah pun ibu juga yang melakukannya sejak Ayah resign dari tempat kerjanya.Aku mulai mengambil piring yang ada di depanku kemudian aku mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan pagi. Sarapan pagi yang sederhana hanya beberapa ikan sebagai lauknya, sayur dan nasi. Maklumlah di keluarga ini yang bekerja adalah ibuku dan aku pun hanya membantu sekadarnya saja, mengingat pekerjaanku pun hanya sebagai pramuniaga di sebuah toko baju.Ayahku, dia bagaikan ra
Aku diam–diam merenungkan apa yang tengah menimpaku sampai aku tak merasakan kalau teman–teman kerjaku sudah datang dan melihatku yang sedang terdiam di tempat duduk di balik etalase.“Heh, Arin! Ngapain kamu duduk termenung di sini? Apa yang sedang kau pikirkan?!” tegur Diana dengan menyenggol lenganku.Aku di kejutkan dengan teguran Diana yang tiba–tiba. Apa yang sedang aku pikirkan langsung hilang seketika.Aku memandang sekeliling, toko sudah ramai dengan kedatangan teman–temanku dan juga pembeli yang mulai berdatangan.Diana yang masih saja di sampingku rupanya masih menunggu jawabanku. Akan tetapi, aku masih enggan menjawab dan bercerita karena aku harus mulai bekerja.Aku mulai bekerja dengan melayani beberapa orang yang sedang menanyakan stok baju untuk ukuran mereka. Aku pun mulai mencarikan apa yang sedang mereka minta. Aku menjadi sibuk sekali karena toko memang lagi ramai sekarang, tapi enak sekali de
Di pagi hari yang cerah ini aku harus kembali melaukan perjalanan dari kota satu ke kota yang lainnya, tapi kota yang sekarang akan aku kunjungi adalah kota asalku, bukanlah kota pelarian.Seharusnya hati ini menjadi senang ketika hendak pulang ke kota asalnya, tapi tidak bagi hatiku. Hatiku sungguh tidak karuan, dimana aku merasa berat sekali meninggalkan kota pelarian, tapi di sisi lain aku harus kembali ke kota asal karena ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku.Aku pun mulai membawa tas ku untuk keluar dari tempat kosku dan tetap pada keputusanku semalam, yaitu pulang ke kota asal.Ku langkahkan kakiku dan ku buka pintu kosku, tampak lelaki yang ku sayang dan ku cinta sudah berada didepan kos ku.Ku hampiri Syarif dan setelah itu ku sapa dia. “Selamat pagi,” sapa ku kepada Syarif.Syarif tersenyum kepadaku dan mulai membalas sapaanku. “Selamat pagi, sayang. Ayo, aku antar kamu untuk ke terminal Bus.” Syarif langsung saja mengajakku pergi ke terminal Bus.Tanpa di suruh la
Setelah seharian bersama Syarif, aku pun sekarang mulai beristirahat di kamar kosku. Aku yang benar-benar lelah sekali mencoba untuk memejamkan mataku, tapi aku sungguh merasakan kesulitan karena pikiranku hanya tertuju pada keadaan Ibuku.Bayangan wajah ibuku terus saja menari di pikiranku, bahkan aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Ibuku. “Oh Ibu, kenapa harus sakit?” Gumamku.Ku coba untuk melupakan sejenak masalah ini, tapi aku memang tak mampu. Aku sangat menyayangi Ibuku dan karena Ibulah alasanku untuk bertahan di rumah selama ini. Andaikan Ibuku tidak ada, mungkin aku lebih memilih hidup jauh dari Ayahku.Ku pikir terus apa yang enaknya akan aku lakukan. Pulang? Ataukah tetap bertahan pada keputusan?Ah, aku pun merasa menjadi anak durhaka, apabila harus mempertahankan keputusan dan tak perduli dengan keadaan Ibuku yang telah melahirkan dan juga merawatku sejak bayi.Akhirnya, aku pun mulai mengambil keputusan untuk pulang pada keesokan harinya.Aku harus melihat keadaan
Aku masih saja duduk di tempatku semula dengan tidak ada semangat. Kebahagiaan yang tadi sempat menghampiriku kini sudah pergi entah kemana.Kabar bahwa Ibuku tercinta sedang jatuh sakit karena memikirkanku itu sanggup membawa pergi rasa bahagia yang aku kira tak akan sanggup meninggalkanku dalam waktu singkat. Ya, mungkin hidupku memang di takdirkan akrab dengan yang namanya kesedihan.Ku usap keringat yang mulai menetes di wajahku dan setelah itu aku mulai menarik nafas dalam-dalam.Ku coba memandangi sekeliling area permainan yang masih belum aku tinggalkan, tapi aku tak dapat lagi menemukan mana kebahagiaan dan keceriaanku tadi.“Sayang, kamu tidak apa-apa, kan?” Tanya Syarif kepadaku, mungkin karena aku yang mendadak diam saja, jadi Syarif mengkhawatirkan keadaanku.Ku paksakan untuk tersenyum dan setelah itu gelengkan kepalaku. “Aku tidak apa-apa.”Syarif terus saja memandangiku dan sepertinya dia tidak percaya
Aku dan Syarif akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, tapi Syarif tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku. Ku coba untuk menanyainya sekali lagi. “Syarif, apabila kelak aku ingin melangkahkan kakiku ke sebuah ikatan pernikahan, apakah kamu juga menurutiku?” Sambil menatap mataku dan juga memegang kedua tanganku dengan erat, Syarif menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pasti menuruti permintaanmu.” Mendengar jawaban dari Syarif, aku pun tanpa sadar langsung memeluknya dan tak perduli dengan sekitar yang mungkin melihatku dan mulai membicarakanku karena yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan yang sempat hilang telah kembali mewarnai hidupku. Syarif membelai dengan halus rambutku dan sesekali dia mencium puncak kepalaku. Syarif juga membisikkan kata-kata yang menambah sejuknya kehidupanku. “Aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar-benar bisa hidup denganku.” Ingin sekali aku tertawa keras dan berteriak untuk memberitahukan dunia kalau aku bahagia
Aku masih saja menangis di pelukan Syarif. Entah mengapa aku bisa merasakan ketenangan di saat menangis di pelukannya. Apakah karena Syarif yang memberikan perhatian kepadaku ataukah hati Syarif yang tulus mencintaiku. Akan tetapi, aku masih baru saja mengenal Syarif dan begitu juga sebaliknya, mengapa Syarif bisa secepat itu mengatakan kalau sedang mencintaiku.“Sudah, jangan menangis lagi …” Syarif memegang punggungku dan mengusapkan tangannya.Aku pun tak enak kalau harus terus menangis di pelukan Syarif terus-menerus. Aku mulai melepaskan diri dari pelukan Syarif dan menghapuskan air mataku. “Maaf, aku tak bisa menguasai diri …” ucapku kepada Syarif.Syarif mulai menekuk lututnya agar tinggi badannya menjadi sejajar denganku dan mulai menatap wajahku. Di hapusnya air mata yang telah membasahi pipiku kemudian dia berkata, “Sudah, jangan menangis lagi, ya?”Aku dengan perasaan malu–malu mulai memba
Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.Ku ambil kartu perdana yang b
Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan s
Aku bisa bernafas lega ketika aku sudah bisa merebahkan diri di atas tempat tidur. Akhirnya, berkat lelaki yang bernama Syarif itu, aku mendapatkan rumah kos yang nyaman untukku.Ya, lelaki tadi yang membawaku ke rumah kos ini bernama Syarif. Dia diam–diam telah mengamatiku dan mulai mengikutiku ketika Aku tampak kebingungan. Bahkan, dia juga telah menolongku dari lelaki yang ingin berniat jahat kepadaku.Lelaki yang aku kira baik dan kemarin sempat duduk di dekatku saat aku makan di warung, ternyata itu adalah mantan residivis yang baru saja bebas dari jeruji besi. Aku baru tahu setelah Syarif menceritakan kepadaku di saat aku jalan berdua dengannya untuk pergi ke rumah kos milik temannya.“Syukurlah, aku telah menemukan malaikat penolong.” Aku tersenyum–senyum sendiri di kamar kosku.Beberapa menit aku bisa merasa lega dan tak mengingat masalahku, tapi ketika aku membuka ponsel milikku yang sedari tadi tak aku lihat sama sekali,
Bus yang aku tumpangi sudah berhenti di Terminal Arjosari Malang. Semua penumpang mulai turun dari bus itu, begitu juga aku. Aku mulai berjalan untuk turun dari bus dengan berhati-hati. Setelah aku turun dari bus, aku mulai menepi.Di sana aku tampak kebingungan, hendak kemana kah diriku?Ku tolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan dan ku coba untuk memantapkan hatiku agar hati ini bisa menuntun kakiku melangkah ke tempat aman bagi diriku yang hanya seorang diri di kota pelarian.Ku pegang erat tasku dan mulai ku langkahkan kakiku. Aku pun berniat untuk menaiki salah satu angkutan umum. Angkutan umum yang dapat membawaku ke lokasi yang dekat salah satu Universitas ternama di kota itu.“Universitas Branijaya, Pak?” Aku memastikan bahwa angkutan umum yang akan aku tumpangi adalah benar.“Ya, Mbak!”Setelah Bapak Sopir mengiyakan pertanyaanku barulah aku masuk ke dalam mobil angkutan umum dan akupun memilih bangku paling d