“Pak, saya sudah melaksanakan apa yang Anda perintahkan.” Hendra menyampaikan pesan kepada majikannya.
Pria berwujud setengah dewa itu bergeming beberapa saat. Mata elangnya tetap tertuju pada layar laptop di hadapannya seolah tidak mendengar ucapan Hendra. Wajah datar andalannya tak pernah berubah di berbagai situasi, tetap menakutkan sekalipun pria itu tidak dalam keadaan marah. Dhananjaya Abraham, si pemilik aura mematikan bagi siapa pun meski hanya mendengar namanya saja.“Siapkan keperluan akad untuk lusa.” Dhananjaya memberikan perintah baru.“Lusa, Pak?” Hendra ingin memastikan pendengarannya. Sepertinya ia sedang bermimpi, bagaimana bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu secepat itu.“Ya.” Dhananjaya mengangguk singkat.“Tanpa resepsi?” Hendra tampak tak percaya, melongo seperti orang bodoh.Dhananjaya mengangkat wajahnya, menatap orang kepercayaannya yang sedang memasang wajah konyol. “Apa gunanya resepsi? Aku hanya butuh bayi, bukan istri!”“Ya, tapi—”“Di mana dia?” Dhananjaya bangkit dari duduknya, bersiap menemui wanita yang akan ia nikahi.“Di kamar tamu, Pak. Tapi, sebaiknya Anda tidak perlu melihatnya untuk saat ini.” Hendra mengkhawatirkan sesuatu.“Kenapa?” Dhananjaya menatap waspada.“Begini, Pak, saya ingin menyampaikan bahwa perempuan yang saya bawa bukanlah perempuan cantik dan berasal dari keluarga kaya. Ma—maksud saya, dia orang miskin yang sedang butuh banyak biaya untuk pengobatan ayahnya.” Hendra menunduk dalam, tak berani bertatap muka.“Tidak masalah. Bagiku, siapa dia bukanlah hal yang penting.” Dhananjaya terdengar masa bodoh dengan ungkapan Hendra. Lagi pula, yang ia inginkan hanyalah bayi, bukan istri.“Saya khawatir Anda mual melihatnya.” Hendra bergumam pelan.Dhananjaya menghentikan langkahnya, berbalik menatap Hendra yang sedang menundukkan kepalanya. “Apa dia semenjijikkan itu?” tanyanya kesal.“Pak Jay tidak banyak bertemu dengan seorang perempuan. Adapun perempuan yang pernah Pak Jay temui, mereka dari kalangan atas dan tentu sangat cantik.” Hendra bertutur apa adanya, wajahnya terlihat tak enak.“Pak, saya terpaksa memilih perempuan yang saya bawa saat ini. Pak Jay minta saya mencarikan perempuan secepatnya. Tapi jika Pak Jay tidak menyukainya, tolong jangan hukum saya.” Hendra ingin berkompromi sebelum majikannya itu benar-benar murka dan membuat pekerjaannya terancam.“Hari ini kamu terlalu banyak bicara, Hendra.” Dhananjaya mengeluh. “Bawa aku padanya,” ucapnya kemudian.“Baik, Pak.” Hendra mengangguk sopan, lalu berjalan di belakang tubuh kekar majikannya.Di dalam kamar yang cukup luas, seorang wanita sedang menundukkan kepalanya, melamun. Lantai yang sedang dipandanginya seakan-akan sebuah layar yang menggambarkan kehidupannya di masa mendatang, tepatnya setelah menikah dengan pria yang tidak dikenalinya. Indah Maharani, wanita berusia dua puluh tahun itu tak henti menangis walau tanpa suara.Wanita yang tidak memiliki daya tarik sama sekali itu sudah menandatangani sebuah kontrak beberapa saat yang lalu. Kontrak tersebut menuntutnya untuk melahirkan keturunan Abraham, dan akan diceraikan setelah melahirkan. Sedangkan Indah sendiri, menuntut calon suaminya untuk membiayai perawatan sang ayah yang saat ini diambang kematian dan membutuhkan biaya sangat besar.Kondisi ayahnya benar-benar sangat buruk. Penyakit yang dideritanya bukan hal sepele, melainkan komplikasi jantung. Tidak adanya biaya membuat pihak rumah sakit tak dapat menanganinya. Besarnya biaya ditentukan fasilitas rumah sakit, banyaknya pembuluh darah yang harus diganti, tenaga medis yang dibutuhkan, serta teknologi yang digunakan, dan masih banyak lagi.Takdir mempertemukannya bersama Hendra. Dalam keadaan genting itu, Indah menawarkan dirinya yang tak pernah terjamah kepada Hendra, pria yang memang senang menghabiskan malamnya bersama seorang wanita. Namun, yang terjadi tidak sesuai rencana awal, Indah malah akan dinikahi Dhananjaya.“Indah, beri sapaan kepada Pak Jay.” Hendra memerintah, persis seperti majikan kepada bawahannya.“Pak.” Indah mengangguk kecil dalam kebingungan.“Indah berasal dari Kota Probolinggo. Dia datang ke Jakarta bersama ayahnya untuk mencari ibunya. Tapi, kesehatan ayahnya memburuk dan memerlukan tindakan medis secepatnya, Pak.” Hendra menceritakan sekilas tentang Indah.Tanpa mengatakan apa pun, Dhananjaya mundur satu langkah, lalu berbalik dan keluar dari kamar tersebut. Hendra ada di belakangnya dengan hati dan pikirannya yang sangat kacau. Ia sudah membayangkan apa yang akan dikatakan majikannya itu. Menyalahkannya karena memilih Indah yang jauh dari kata layak untuk seorang Dhananjaya Abraham.Tinggi Indah diperkirakan 155cm, sementara tinggi Dhananjaya mencapai 190cm, tentu membuat keduanya sangat mencolok. Belum lagi tubuh Indah sangat kurus, bertolak belakang dengan tubuh Dhananjaya yang sangat berkharisma dihiasi otot-otot kekar, nyaris sempurna. Indah benar-benar kecil untuk Dhananjaya, jauh dari kata cocok untuk bersanding.“Hendra, sebenarnya aku tidak masalah dengan wajahnya, tapi tinggi badannya itu ... apa kamu mau anakku seperti kerdil?” Dhananjaya memprotes saat memasuki ruangannya kembali.“Maaf, Pak. Beri saya waktu untuk mencari perempuan lain. Saya akan cari perempuan yang sangat cantik bahkan artis sekalipun. Saya yakin, banyak yang menginginkan Anda. Syaratnya hanya satu, yaitu waktu.” Hendra merasa tak enak. Tanpa menyalahkannya secara langsung, ia sudah merasa bersalah duluan.“Lupakan.” Dhananjaya tak ingin pusing.“Maksudnya, Pak?” Hendra sedikit menegakkan kepalanya, tak mengerti apa yang diinginkan Dhananjaya. Majikannya itu ingin ia mencari wanita lain, atau menerima Indah.“Aku ingin menikah secepatnya. Bawa dia ke bawah setengah jam lagi.” Dhananjaya memberikan keputusan terakhirnya.“Baik, Pak.” Hendra menghela napas lega.Pria tampan dan kaya raya selalu identik dengan wanita cantik di sampingnya. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Dhananjaya Abraham. Pria yang sudah tiga tahun menjadi seorang pemimpin perusahaan keluarga itu selalu sibuk dengan bisnisnya yang terus ia kembangkan. Waktunya habis untuk mengurus perusahaannya, bahkan di hari libur sekalipun. Dalam pikirannya, hanya ada kata bisnis, bisnis, dan bisnis.Selain terkenal tegas, disiplin, kejam, penyendiri, irit bicara, ia juga dikenal sebagai pria tak normal. Di usianya yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun, jangankan menikah, memiliki kekasih saja tidak. Baginya, takdir adalah penentu segalanya, tidak perlu dipikirkan apalagi dicita-citakan dari sekarang. Jika ia harus menikah di suatu hari nanti, memiliki istri dan anak, maka terjadilah. Ia hanya tak ingin pusing dengan bagaimana caranya jatuh cinta, mendekati seorang wanita, lalu menikahinya.Namun, kenyamanannya untuk tetap membujang terusik saat kantor Abraham Group kedatangan seorang pria beberapa hari yang lalu. Pria berusia tujuh puluh tahun itu tampak perkasa meski wajahnya hampir penuh dengan keriput. Wibawanya sebagai pendiri Abraham Group tetap sama seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Ia adalah Kakek Dhananjaya, Sanjaya Abraham.“Jay, Kakek ingin membicarakan sesuatu.” Sanjaya menghentikan ucapannya sejenak, menatap netra sang cucu dengan saksama. “Kakek ingin cicit darimu. Segeralah menikah.”“Kakek bercanda?” Dhananjaya menatap penuh kewaspadaan seolah kakeknya itu memintanya untuk berperang melawan negara.“Kakek tidak bercanda.” Sanjaya menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Kamu cucu kesayangan Kakek. Kakek sangat percaya padamu bahkan melebihi ayahmu sendiri. Tapi, Kakek masih ragu dengan kenormalanmu,” cibirnya sinis.“Aku tidak mau menikah.” Dhananjaya langsung memberikan jawaban tegas di saat itu juga.“Apalagi yang kamu mau? Kekayaan sudah kamu dapat, kehormatan yang tinggi juga sudah melekat di namamu. Dengar, waktu Kakek mungkin sudah tidak banyak lagi. Kakek sudah sangat tua.“Jika kamu mau memberi Kakek cicit, maka setengah dari harta yang Kakek punya akan menjadi milikmu, sedangkan setengahnya lagi akan dibagi rata untuk anak-anak Kakek. Dengan itu, kamu akan memiliki saham terbesar dan tetap memimpin perusahaan.” Sanjaya berkata panjang lebar, nadanya terdengar memohon.“Aku tidak tertarik.” Dhananjaya menggeleng pelan, wajahnya benar-benar tak peduli dengan iming-iming yang diberikan sang kakek.“Itu karena kamu sudah memimpin perusahaan, Jay. Jika Kakek mati, kamu tidak akan dapat apa pun selama ayahmu masih hidup. Abraham Group akan jatuh ke tangan Haidar dan kamu akan ditendang dari perusahaan.” Sanjaya meraung dengan nada tinggi. Matanya bahkan melotot, tangannya bergerak-gerak secara tak beraturan seolah geram dengan sikap tenangnya Dhananjaya.“Aku tahu.” Dhananjaya mengangguk paham, tahu hal itu akan terjadi.“Kamu yakin dengan keputusan itu?” Sanjaya ingin memastikan sekali lagi, menatap cucunya dalam-dalam.Dhananjaya diam beberapa detik, lalu bertanya, “Jika aku bisa menawar, adakah cara lain selain cicit dariku?”“Tidak ada.” Sanjaya menjawab dengan cepat dan tegas. “Sebelum Kakek mati, Kakek ingin pastikan bahwa kamu laki-laki normal. Jangan lupakan rumor yang beredar tentang kamu memiliki kelainan. Apa kamu suka sejenis?” cibirnya tak enak didengar bagi telinga siapa pun.“Beri aku waktu, Kek.” Dhananjaya tidak bisa mengambil keputusan saat itu juga.“Hamil itu bukan waktu yang sebentar. Kakek tidak mau menunggu lebih lama lagi.” Sanjaya kehabisan kata untuk membujuk, ia pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu.Sanjaya tidak asal membual. Jika dirinya meninggal, maka perusahaan Abraham Group akan jatuh ke tangan anak tertuanya, Haidar, Kakak dari Ayah Dhananjaya. Haidar sempat menjabat sebagai pemimpin perusahaan selama sepuluh tahun, dan selama itu pula perusahaan selalu dalam masalah hingga merugi besar. Puncaknya, Sanjaya mununjuk Dhananjaya untuk menggantikan Haidar dan perusahaan berangsur-angsur pulih bahkan lebih sukses dari sebelumnya.Oleh karena itu, Dhananjaya memikirkan bagaimana nasib perusahaan yang sudah susah payah kakeknya bangun selama berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walau bukan haknya, tak mungkin Dhananjaya akan membiarkan perusahaan keluarganya jatuh ke tangan sang paman yang artinya kehancuran sudah dipastikan akan terjadi.Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan sang kakek, yaitu memberikannya cicit semata-mata agar dirinya tetap menjadi seorang pemimpin perusahaan. Sebenarnya Dhananjaya bukanlah orang serakah. Jika bisa, ia lebih setuju kakak sepupunya yang memimpin perusahaan. Apa boleh buat, kakak sepupunya lebih tertarik menjadi seorang dokter dan tidak berniat untuk ikut andil ke dalam perusahaan.“Ayah, Ibu, aku ingin mengumumkan sesuatu malam ini.” Dhananjaya menatap kedua orang tuanya silih berganti. “Lusa, aku akan menikah,” ucapnya santai. “Apa? Jay, sejak kapan kamu bercanda seperti ini? Tidak lucu!” Basuki jelas tak percaya, menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Aku tidak bercanda. Calon istriku sudah ada di rumah ini,” sanggah Dhananjaya tegas, nadanya terdengar menantang untuk membuktikan ucapannya. “Apa? Siapa dia?” Maria tercengang, menoleh ke sembarang arah seolah mencari sosok wanita yang putranya maksud. “Aku umumkan, aku tidak mau mendengar penolakan dari Ayah dan Ibu perihal perempuan yang akan aku nikahi. Siapa pun dia, keluarganya, kastanya, aku tidak peduli dan aku mau kalian setuju dengan keputusanku.” Suara Dhananjaya begitu menggema bagi telinga siapa pun. Namun, orang tuanya tahu bagaimana sikap Dhananjaya terhadap wanita. Tak mungkin pria itu ingin menikah secara tiba-tiba seperti ini. Jika memang itu yang diinginkan Dhananjaya, permasalahannya kini
Duduk tepat di hadapan seorang penghulu, Dhananjaya mengucapkan sumpah pernikahan dengan tegas tanpa adanya keraguan. Indah ada di sampingnya, berpakaian serba putih yang sederhana namun cantik. Kepalanya menunduk sejak kehadirannya, tak berani bertatap muka dengan siapa pun, termasuk dengan Dhananjaya yang kini sudah menjadi suaminya secara agama. Semua keluarga yang hadir tampak biasa saja, tidak ada raut senang atas pernikahan yang terjadi. Bahkan, mengucapkan kata 'sah' saja terdengar sangat pelan dan terpaksa. Namun, Sanjaya yang juga hadir dan melihat sendiri proses ijab qabul yang dilakukan oleh cucu tersayangnya, tidak merasa keberatan dengan siapa cucunya itu menikah. Pernikahan Dhananjaya dan Indah tidak dilakukan di sebuah masjid apalagi hotel mewah, melainkan di rumah Basuki Abraham. Hanya keluarga besar yang hadir, tidak ada satu pun orang luar kecuali penghulu dan satu rekannya. Ya, sesederhana itu pernikahan seorang pebisnis besar dari keluarga Abraham. “Maria, apa ka
“Heh! Siapa yang mengizinkanmu turun? Dasar tak tahu malu! Berani-beraninya memperlihatkan wajahmu yang menjijikkan itu!” Seorang wanita berteriak nyaring saat Indah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Ketika Indah memutar tubuhnya guna mengetahui siapa wanita yang meneriakinya, wanita itu langsung memalingkan wajah ke arah lain, tak ingin melihat wajah Indah. Ia pun meraung sangat keras, “Alda!” Alda yang dipanggil, langsung berlari menghampirinya. “Nyonya Maria memanggilku?” tanyanya sopan. “Beritahu dia, jangan pernah memperlihatkan wajahnya di depanku!” bentak wanita itu, Maria, menjentikkan ibu jarinya ke arah Indah. “Baik, Nyonya.” Alda mengangguk cepat. Indah yang masih berdiri di tempatnya, tentu dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Maria. Tanpa menunggu Alda menghampirinya, ia sudah sadar diri. Ia pun melangkah pelan menuju anak tangga, berniat kembali ke lantai tiga. “Indah.” Alda mengikuti Indah. Namun, wanita itu tak meresponsnya dan terus melangkah. “Ap
“Indah, Pak Jay baru saja pulang. Beliau memanggilmu.” Alda menggoyahkan lengan Indah cukup kasar, membangunkan wanita itu yang sudah terlelap di jam satu malam. Indah terbangun. Tidurnya memang tidak nyenyak sehingga ia dapat sedikit mendengar apa yang dikatakan Alda. Namun, ia masih tidak percaya Dhananjaya akan memanggilnya selarut itu. “Tolong, aku sedang tidak enak badan.” Indah berkata sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar. “Aku tidak peduli. Apa kamu yakin ingin melihat Pak Jay menghukummu?” ancam Alda tanpa sungkan. “Tidak.” Indah menggeleng pelan, tak ingin mendapatkan amukan dari suaminya yang tidak berperasaan itu. Namun, rasa-rasanya Indah juga tidak dapat memaksakan diri. Saat ini, ia hanya ingin menjerit, menangis meminta pengertian dari siapa pun bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melakukan apa yang diinginkan sang suami. “Bersiap-siaplah,” titah Alda, lalu berbalik untuk pergi. “Aku benar-benar tidak bisa. Kepalaku sangat pusing.” Indah memohon, terdengar
Benar dugaan dokter pribadi Abraham, kandungan Indah sangat lemah. Bahkan, dokter rumah sakit yang menangani Indah tidak yakin janinnya akan bertahan. Semua itu tergantung dengan Indah-nya. Banyak sekali aktivitas yang tidak diperbolehkan, makanan yang harus dikonsumsi dengan sangat teliti, juga lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang dimaksud dokter adalah lingkungan keluarga. Indah tidak boleh merasa tertekan. Artinya, baik Dhananjaya selaku suaminya ataupun orang lain yang berada di rumah, harus ikut menjaga kandungannya. Kebanyakan wanita akan mudah sensitif di saat mengandung. Bukan hanya itu, untuk berhubungan suami istri, dokter juga memberi pesan agar melakukannya dengan sangat hati-hati. “Jay?” Seseorang memanggil Dhananjaya saat hendak keluar dari rumah sakit. Sontak, Dhananjaya dan Indah menghentikan langkahnya, menoleh ke asal suara yang menampilkan seorang pria berpakaian dokter. Pria itu tersenyum ramah sambil menghampiri, jauh berbeda dari wajah Dhananjaya yang tet
Indah merasa sangat jenuh berada di dalam kamarnya tanpa melakukan apa pun. Alda sering kali memperingatinya agar tidak keluar dari kamar. Namun, hari ini ia memberanikan diri untuk keluar dari sarangnya. Suasana sepi, menandakan Dhananjaya yang menguasai lantai tiga sedang tidak ada di rumah. Indah lega, tidak akan takut ketahuan salah satu pengawal pribadi suaminya. Langkahnya yang tanpa tujuan, menyusuri satu lorong yang tampak sangat sepi. Di ujung lorong tersebut, ada satu pintu berukuran sangat besar yang terbuat dari kayu jati. Menerka-nerka luas bangunan, Indah takut akan tersesat. Demi apa pun, ia tidak pernah membayangkan rumah itu akan seluas yang sedang ditelusurinya saat ini. Tepat di depan pintu berwarna coklat, Indah menyentuh knop pintu, lalu sedikit mendorongnya hingga ia dapat mengintip ke dalam. Matanya terbelalak dengan sempurna saat melihat buku-buku besar, berjejer sangat rapi di atas rak. Indah yang memang suka membaca, sangat tertarik untuk membaca buku-buku
“Alda! Bantu cari buku yang kemarin ketinggalan di perpustakaan!” Jasmin berdiri tak jauh dari kamar Indah, berteriak ke arah lantai dasar. Suara Jasmin begitu menggema hingga dapat terdengar oleh siapa pun. Beberapa pelayan yang sedang berkumpul di lantai dasar, saling menatap satu sama lain. Namun, hanya Alda yang berani menemui anggota keluarga. Untuk itu, ia bergegas pergi ke lantai atas. “Nona, apa yang bisa kubantu?” tanya Alda ketika kakinya terus mengejar langkah Jasmin. “Bantu cari bukuku yang ketinggalan di perpustakaan,” titah Jasmin tanpa menatap lawan bicaranya. “Baik, Nona.” Alda mengangguk sopan walau Jasmin tidak melihatnya. Indah berdiri di balik pintu kamarnya, mendengar suara Jasmin yang begitu tidak sabaran untuk menemukan bukunya. Sepertinya wanita itu sedang membutuhkan buku itu secepatnya. Judul bukunya memang tidak disebutkan, tapi Indah yakin, yang dicarinya pasti buku yang sedang ia baca. Ingin mengembalikan buku itu, tapi ia pun takut akan makian Alda a
Sudah satu minggu Indah kembali ke rumah Abraham. Suasananya begitu canggung, lebih-lebih saat pertama kali menginjakkan kakinya di sana. Tidak ada keberanian sedikit pun untuk keluar dari kamar, ia selalu mengurung diri seperti kebiasaannya. Tidak ada yang menemani, kesepian melanda hatinya. Dhananjaya tak pernah menemuinya entah itu menjenguk, ataupun memintanya untuk menghadap.Entah apa yang direncanakan takdir untuknya, Indah merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Mendiami sebuah rumah tanpa berinteraksi dengan sesama manusia, siapa yang akan tahan akan hal itu? Namun, lagi-lagi Indah hanya bisa pasrah. Dalam keterpurukannya, ia tak pernah meninggalkan kewajibannya untuk bersembahyang.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Indah menatap ke asal suara secara spontan. Aneh, biasanya para pelayan akan langsung masuk dengan tidak sopannya, tanpa permisi apalagi sekadar mengetuk pintu. Siapa yang ingin bertemu dengannya? Merasa penasaran, Indah berjalan ke arah pintu untuk membuk