Share

Hamil

“Indah, Pak Jay baru saja pulang. Beliau memanggilmu.” Alda menggoyahkan lengan Indah cukup kasar, membangunkan wanita itu yang sudah terlelap di jam satu malam.

Indah terbangun. Tidurnya memang tidak nyenyak sehingga ia dapat sedikit mendengar apa yang dikatakan Alda. Namun, ia masih tidak percaya Dhananjaya akan memanggilnya selarut itu.

“Tolong, aku sedang tidak enak badan.” Indah berkata sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar.

“Aku tidak peduli. Apa kamu yakin ingin melihat Pak Jay menghukummu?” ancam Alda tanpa sungkan.

“Tidak.” Indah menggeleng pelan, tak ingin mendapatkan amukan dari suaminya yang tidak berperasaan itu.

Namun, rasa-rasanya Indah juga tidak dapat memaksakan diri. Saat ini, ia hanya ingin menjerit, menangis meminta pengertian dari siapa pun bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melakukan apa yang diinginkan sang suami.

“Bersiap-siaplah,” titah Alda, lalu berbalik untuk pergi.

“Aku benar-benar tidak bisa. Kepalaku sangat pusing.” Indah memohon, terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya.

Namun, tidak dengan Alda yang sangat sombong dan tak mau tahu. Ia tidak ingin Indah menolak permintaan Dhananjaya selaku tuannya.

Alda melipat kedua tangan di dadanya, menatap Indah seolah sedang menunggu wanita itu untuk bangkit dari ranjangnya dan mulai mempersiapkan diri.

Tidak lama dari itu, Indah bergerak cepat, menyingkirkan selimut lalu berlari ke arah kamar mandi.

Alda sedikit kaget dengan pergerakan Indah yang sangat cepat. Dari posisi berdirinya kini, ia dapat mendengar Indah muntah-muntah di dalam kamar mandi. Hal itu membuatnya sedikit panik, takut akan kekhawatirannya.

Alda mendekati pintu kamar mandi, berjalan mondar-mandir menunggu Indah keluar. Pintu terbuka, Indah keluar sambil memegangi perutnya yang terasa sakit akibat terus muntah.

“Sejak kapan kamu merasa mual?” tanya Alda ketus.

“Satu minggu yang lalu.” Indah menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah sangar Alda.

“Kenapa kamu tidak memberitahuku?! Dasar konyol!” Alda melotot kesal, geram karena baru mengetahuinya.

Tak berniat untuk membantu Indah kembali ke ranjangnya, Alda segera keluar dari kamar tersebut. Tujuannya kini adalah kamar Hendra. Untuk apalagi jika bukan melapor?

“Alda? Apa kamu tidak tahu ini jam berapa? Kamu sungguh keterlaluan. Aku baru saja ingin beristirahat—”

“Pak Hendra, sepertinya Indah sedang tidak sehat. Kepalanya merasa pusing juga mual-mual,” sela Alda dengan tidak sopannya. Ia hanya ingin memberitahu kondisi Indah, bukan ingin mendengar ocehan Hendra.

“Sungguh? Apa mungkin?” Hendra menatap tak percaya.

“Aku tidak tahu.” Alda mengangkat bahunya sekilas, tampak tidak peduli.

“Seharusnya kamu tahu apa yang terjadi pada Indah. Jangan sampai kita melewatkan sesuatu yang penting,” tegur Hendra tak santai, mendengkus kesal setelah mengatakan itu.

“Jujur saja, aku bahkan tidak sudi melihat wajahnya.” Alda memutar bola matanya dengan malas.

“Cepat panggil dokter.” Hendra ingin memastikan dugaannya.

“Seperti yang Anda ketahui, sekarang sudah malam dan pasti dokter sudah tertidur,” balas Alda tidak ingin melakukan apa pun lagi.

“Alda, coba kamu bayangkan. Pak Jay akan marah pada Indah, dan mungkin beliau akan melakukan hal kasar pada wanita itu. Jika esok atau lusa Pak Jay mengetahui sesuatu yang kita duga, maka kamulah yang akan mendapat masalah. Semua terserah kamu. Jangan ganggu lagi, aku ingin tidur.” Tak kalah, Hendra berkata seolah tidak peduli jika Alda mendapat masalah di kemudian hari.

Bagaimana tidak? Tugas Alda adalah mengawasi kinerja seluruh pelayan di sana. Namun karena Indah tidak memiliki pelayan khusus, Alda sendiri yang harus melayaninya. Tentu, seharusnya ia tahu apa yang sedang terjadi pada wanita itu. Pada kenyataannya, ia tidak tahu dan tidak peduli sama sekali.

Setiap hari, pelayan lain yang selalu membawa makanan untuk Indah ke kamarnya. Namun, ia pula yang meminta para pelayan agar tidak berlama-lama di dalam kamar Indah, hanya sekadar menyimpan makanan lalu pergi. Bahkan, setiap hari Indah yang membersihkan kamarnya sendiri seperti menyapu dan lainnya.

“Pak Hendra, a—aku akan membangunkan dokter. Ta—tapi ... Pak Hendra harus membantuku bicara pada Pak Jay,” ucap Alda terbata, tak ingin Dhananjaya mengamuk hanya karena ia tidak memperhatikan Indah.

“Baiklah.” Hendra mengangguk paham, tahu Alda begitu ketakutan.

Alda langsung melarikan diri dari hadapan Hendra, berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah Abraham. Langkahnya tertuju ke arah rumah yang sama mewahnya walaupun tidak luas, tapi cukup untuk dihuni satu keluarga yang merupakan dokter pribadi keluarga Abraham.

Indah yang baru saja tertidur, tentu terganggu dengan kedatangan Alda yang tiba-tiba. Namun, mustahil ia menolak untuk diperiksa. Di saat itu juga, dokter segera memeriksa Indah menggunakan peralatan seadanya. Tidak sampai setengah jam pemeriksaan, dokter keluar dari kamar tersebut.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Hendra yang sejak tadi setia berdiri di dekat kamar Indah, menanti pemeriksaan selesai.

“Dia sedang hamil. Saya senang menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Di mana Pak Jay? Saya ingin memberitahunya sendiri.” Dokter itu tersenyum ramah setelah menjawab.

“Tentu.” Hendra mengangguk tidak keberatan.

Bukan hanya dokter itu yang merasa bangga, tapi Hendra pun demikian. Bagaimana tidak? Ia yang sudah menemukan Indah dan mengatur proses pernikahannya bersama sang majikan. Sekarang, Indah sedang mengandung darah Abraham, tentu Hendra sangat bangga karena usahanya membantu Dhananjaya tidak sia-sia.

Tepat di depan pintu kamar Dhananjaya, Hendra mengetuk pintu hingga si pemilik kamar menyahutinya. Baru setelah itu, Hendra berani masuk ke dalam dan tentu, dokter pun ikut masuk.

Dhananjaya yang saat itu sudah berbaring di atas ranjang, dibuat bingung dengan kehadiran dokter. Bibirnya mungkin bungkam, tapi tatapannya menyiratkan beberapa pertanyaan. Mengapa dokter yang datang dan bukan Indah seperti permintaannya?

“Pak Jay, saya merasa sangat terhormat menjadi orang yang pertama mengetahui bahwa Bu Indah sedang mengandung pewarismu.” Dokter mengatakannya dengan lemah lembut, berdiri di dekat pintu, tidak berani untuk terus melangkah mendekati Dhananjaya yang terlihat sedang kesal.

“Apa? Indah sedang hamil?” Dhananjaya terkesiap, tak percaya dengan pendengarannya. Bahkan, ia langsung menyingkirkan selimut yang menghalangi tubuhnya untuk bangkit dari ranjang.

“Itu benar, tapi .... ” Dokter menggantung kata-katanya, tampak tidak berani mengucapkan dugaannya.

“Tapi?” Dhananjaya menatapnya dalam-dalam, tatapannya menunjukkan ketidaksukaannya karena menunggu.

“Saya rasa kandungan Ibu Indah tidak baik-baik saja. Saya tidak bisa memeriksanya lebih lanjut karena memerlukan alat khusus. Sebaiknya, Pak Jay membawa Ibu Indah ke rumah sakit dengan segera,” ungkap dokter itu sambil menunduk, tidak berani menatap hazel Dhananjaya yang terkesan dapat membunuh siapa pun dalam keadaan kesal seperti itu.

“Apa maksudmu tidak baik-baik saja? Jangan membuatku penasaran.” Dhananjaya mendesak jawaban, meminta penjelasan yang lebih.

“Kandungan Ibu Indah lemah. Banyak hal yang harus dihindari. Seperti melakukan aktivasi berat dan masih banyak lagi. Bahkan, untuk menaiki anak tangga saja itu sangat berisiko mengalami keguguran. Ibu Indah tidak boleh merasa tertekan apalagi stres.” Dokter itu menjelaskan dengan sangat hati-hati.

Dhananjaya sedikit mengerti. Tentu, ia sangat senang mendengar kabar kehamilan Indah. Namun, seperti biasanya ekpresinya tidak berubah, tetap datar tanpa adanya emosi yang ia serukan. Setelah pembicaraan singkat bersama dokter, Dhananjaya meninggalkan kamarnya untuk menemui Indah.

Sekali lagi, tidur Indah terganggu ketika baru beberapa menit ia terlelap. Matanya spontan terbuka saat mendengar decit pintu. Hatinya yang sejak tadi merasa takut akan amarah Dhananjaya karena tidak dapat menemuinya, kini ia benar-benar merasa ketakutan yang luar biasa melihat pria yang sudah menjadi suaminya itu masuk ke dalam kamarnya.

“Pak Jay, ma—maaf. A—aku akan bersiap-siap,” kata Indah terbata-bata, tak dapat menyembunyikan kegugupannya.

“Jangan bergerak.” Dhananjaya memperingati saat Indah hendak bangun.

Alih-alih dapat membuat Indah berhenti bergerak, istrinya itu malah tersentak. Dari rautnya sudah terlihat jelas, ia sangat ketakutan.

“Maaf, Pak. A—aku akan segera menemuimu. Tolong berikan aku waktu untuk—”

“Tidak apa-apa. Beristirahatlah.” Dhananjaya berdiri tak jauh dari ranjang.

Indah menatap bingung. Apa ia tidak salah dengar? ‘beristirahatlah’. Apa benar suaminya mengatakan itu? Indah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, ia tetap merasa bersalah karena tak dapat memenuhi keinginan Dhananjaya.

“Apa? Tunggu aku sebentar. Aku—”

“Apa kamu tidak mendengar?” Dhananjaya kembali memperingati agar Indah tidak beranjak dari ranjangnya. “Beristirahatlah. Apa yang kamu rasakan?” lanjutnya dengan suara yang sedikit melembut.

Indah masih bingung, tidak mengerti dengan perubahan Dhananjaya yang signifikan. Apa suaminya itu baik-baik saja? Ada apa dengannya? Atau, ia sedang menyanjungnya karena tidak dapat menemuinya sehingga terpaksa ia yang datang? “A—aku ... Apa Pak Jay tidak marah? Aku bisa bersiap—”

“Aku sedang bertanya. Apa yang kamu rasakan? Kamu sakit?” Dhananjaya kembali menyela ucapan sebelum Indah selesai bicara.

“Hanya merasa pusing juga—”

Belum selesai menjawab, Indah bangkit dengan gerakan cepat, berlari ke arah kamar mandi. Usai menutup pintu, ia memuntahkan apa pun yang ada di kerongkongannya.

Dhananjaya mendekati pintu kamar mandi, mendengar suara Indah yang sedang mual-mual. Anehnya, ia tidak merasa jijik. Jangankan mendengar suara muntah, melihat makanan yang ada di sudut bibir orang lain saat makan saja bisa membuatnya sangat jijik.

Indah keluar dari kamar mandi. Matanya yang terasa menggelap, tidak mendapati Dhananjaya yang sebenarnya sedang berdiri di dekat pintu. Dalam keadaan kepalanya yang sangat pusing, ia berjalan sambil meraba-raba ke depan, khawatir akan menabrak sesuatu.

Namun, tubuhnya yang juga lemah, tidak dapat menyeimbangkan beban tubuhnya sendiri. Alhasil, ia hampir saja terjatuh jika saja Dhananjaya tidak sigap menangkap tubuhnya yang mungil.

Tentu, Indah sangat kaget karena tidak tahu suaminya itu masih ada di sana bahkan memperhatikannya. Secara tidak sadar, Indah memegang kuat lengan Dhananjaya, takut terjatuh. Setelah berhasil berdiri kembali, Dhananjaya menuntunnya ke ranjang tanpa mengatakan apa pun.

“Maaf,” lirih Indah setelah meluncurkan bokongnya ke atas ranjang.

“Tidak perlu berlari untuk ke kamar mandi,” tegur Dhananjaya dengan nada rendah walaupun tetap terdengar tegas.

“Aku mual.” Indah memberikan alasannya.

“Tapi tidak perlu berlari seperti itu! Berbaringlah.” Dhananjaya kembali kesal, membentak Indah seperti kebiasaannya.

“Ba—baik.” Indah manggut-manggut meskipun ia masih tidak mengerti atas kekhawatiran sang suami.

“Kepalamu sangat pusing?” Dhananjaya ingin memastikan.

“Maaf.” Indah mengangguk satu kali lagi, dan kembali meminta maaf.

“Untuk apa?” Dhananjaya bingung. Indah sudah meminta maaf karena berlari saat ke kamar mandi, lalu untuk apa meminta maaf lagi?

“Aku hampir terjatuh hingga Pak Jay membantuku.” Indah merasa tak enak.

“Jaga kandunganmu baik-baik.” Dhananjaya memberikan amanah.

“Apa?” Indah melongo, tak percaya.

“Kamu sedang mengandung. Besok siang, aku akan membawamu ke rumah sakit. Sekarang tidurlah.” Dhananjaya memberitahu.

Setelah menatap punggung kekar Dhananjaya yang menghilang di balik pintu, Indah menatap perutnya yang masih rata. Seulas senyum ia tampilkan saat mengusap perutnya. Akhirnya, yang ia nantikan sudah hadir. Ya, Indah tidak sabar ingin segera mengandung. Lebih tepatnya, ia ingin segera mengakhiri 'misi' yang tertulis di dalam kontrak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status