Berdiri di atas pelaminan untuk menyambut para tamu yang hadir, tatapan Indah tertuju pada salah satu meja yang hanya diisi dua orang wanita cantik berpakaian mewah. Mereka terlihat sangat akrab layaknya sahabat, dan kedua orang itu sangat Indah kenali, yakni Jasmin dan Caroline.Caroline, wanita yang sangat cantik itu tetap hadir di hari kedua resepsi pernikahan. Ya, walau bagaimana pun banyak tamu yang diundangnya. Meski tidak berdiri di pelaminan, dia tetap menyapa tamunya, dengan senang hati menjelaskan apa yang terjadi pada pernikahannya yang gagal.Hati Indah kembali merasa tak enak, yang seharusnya tidak perlu diingat-ingat lagi. Lihatlah di depan sana, ada seorang wanita cantik bak bidadari. Pria mana yang tidak tertarik? Bahkan, kecantikannya yang sempurna itu berhasil membuat banyak wanita iri, termasuk Indah. Tapi, mengapa Dhananjaya tidak menyukainya? Dia malah memelas pada wanita sederhana yang berasal dari kampung untuk kembali menjadi istrinya. Jangankan orang lain, In
Terbangun dari tidurnya, Indah celingukan mencari keberadaan Dhananjaya yang tidak ada di sampingnya. Ketika memeriksa kamar mandi, pria itu juga tidak ada di sana. Tanpa mau merapikan ranjang yang sangat berantakan akibat pergulatan semalam terlebih dahulu, Indah bergegas keluar dari kamar itu.Suasana sangat sepi, tidak ada suara apa-apa sekalipun suara hewan. Indah tentu ingat di mana ia berada, yakni rumah barunya. Namun, bohong jika ia merasa baik-baik saja. Nyatanya, ia merasa cemas dan takut. Rumah yang sangat besar tersebut begitu menyeramkan jika sendirian, padahal hari sudah pagi.Tak berani memeriksa banyak ruangan di lantai atas, Indah melanjutkan pencarian ke lantai dasar. Seperti kemarin saat dia datang, di lantai dasar juga tidak ada siapa pun. Tapi, kali ini samar terdengar adanya aktivitas di sebuah ruangan. Indah lalu mengikuti arah suara itu berasal meski ada rasa takut tapi penasaran.Di dapur yang cukup terbuka, Dhananjaya sedang sibuk memasak sesuatu. Dari carany
Bulan madu, umumnya pasangan pengantin baru akan memadu kasih di tempat romantis berdua saja. Namun, hal itu tidak berlaku pada Indah dan Dhananjaya. Pasalnya, mereka berlibur di Kota Bali dengan membawa kedua anaknya. Tempat itu sudah diidamkan Indah sejak lama, dan sekarang baru terlaksana.Menatap lurus ke depannya, hati Dhananjaya merasakan kedamaian dan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Berjarak beberapa meter darinya, Indah dan anak-anak sedang bermain pasir. Sedangkan ia sendiri, hanya duduk di kursi yang terbuat dari kayu di bawah pepohonan, menikmati semilir angin.Ingin bergabung, tapi Dhananjaya tak tahu harus melakukan apa. Bermain pasir bersama? Bukan malas, tapi ia tak bisa melakukannya. Biarlah, tawa mereka bertiga sudah cukup membuat hatinya senang, bibirnya pun tak henti-hentinya tersenyum manis melihat pemandangan indah yang tak pernah dilihatnya.“Indah, luangkan waktumu untukku juga,” pinta Dhananjaya saat Indah menghampirinya. Suaranya terdengar
Terbangun dari tidur siangnya, bibir Indah melengkung membentuk senyuman manis mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Dalam keadaan matanya yang masih tertutup, perlahan tangannya bergerak ke arah perut, mengusapnya lembut. Hari ini Dhananjaya sengaja tak masuk kantor karena ingin memeriksakan istrinya. Sesuai harapan, kini sang istri tengah berbadan dua. Indah sendiri tak menyadari telatnya datang tamu bulanan, dan malah Dhananjaya yang mengingatkannya.Seperti kehamilan sebelumnya, kandungan Indah dinyatakan lemah dan memerlukan kehati-hatian yang tinggi. Satu janin yang dikandungnya berusia lima minggu, sangat rawan hingga Indah langsung mendapat banyak perhatian dari suaminya.Sejak di perjalanan pulang saja, Dhananjaya tak henti mengingatkan, memberikan nasehat agar Indah menjaga pola makan serta aktivitasnya. Bahkan, pria itu memaksa Indah untuk beristirahat dengan tidur siang, hal yang tak pernah Indah lakukan.“Ada acara apa ini? Tidak ada yang mengajak Ibu untuk bergabun
Mengingat usia kandungan Indah yang sudah menginjak tujuh bulan, Dhananjaya dan dua anak kembarnya begitu semangat untuk berbelanja kebutuhan bayi. Soal antusias, Indah bahkan kalah, suami dan kedua anaknya sangat heboh merinci apa saja yang diperlukan bayi. Hampir seharian penuh keluarga kecil itu menghabiskan waktunya di dalam gedung pusat perbelanjaan, mengunjungi banyak toko kebutuhan bayi. Tepat keesokan harinya, mereka berempat tetap sibuk merapikan kamar bayi perempuan yang tak lama lagi akan terlahir. Sikap Dhananjaya tidak banyak perubahan. Tapi, setidaknya, pria yang dulu sangat kaku itu dapat tersenyum manis sekarang. Perhatiannya bukan hanya pada Indah saja, tapi pada Adelio dan Adelia juga, ditambah anak ketiganya yang masih berada dalam kandungan. Hubungan ayah dan anak yang dulu renggang, kini sebaliknya. Dhananjaya yang tentunya sudah sangat dewasa, sering kali terlihat seperti anak kecil ketika ikut bermain bersama Adelio dan Adelia. Dia bahkan tampak senang saat i
“Pak, saya sudah melaksanakan apa yang Anda perintahkan.” Hendra menyampaikan pesan kepada majikannya. Pria berwujud setengah dewa itu bergeming beberapa saat. Mata elangnya tetap tertuju pada layar laptop di hadapannya seolah tidak mendengar ucapan Hendra. Wajah datar andalannya tak pernah berubah di berbagai situasi, tetap menakutkan sekalipun pria itu tidak dalam keadaan marah. Dhananjaya Abraham, si pemilik aura mematikan bagi siapa pun meski hanya mendengar namanya saja. “Siapkan keperluan akad untuk lusa.” Dhananjaya memberikan perintah baru. “Lusa, Pak?” Hendra ingin memastikan pendengarannya. Sepertinya ia sedang bermimpi, bagaimana bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu secepat itu. “Ya.” Dhananjaya mengangguk singkat. “Tanpa resepsi?” Hendra tampak tak percaya, melongo seperti orang bodoh. Dhananjaya mengangkat wajahnya, menatap orang kepercayaannya yang sedang memasang wajah konyol. “Apa gunanya resepsi? Aku hanya butuh bayi, bukan istri!” “Ya, tapi—” “Di mana dia?”
“Ayah, Ibu, aku ingin mengumumkan sesuatu malam ini.” Dhananjaya menatap kedua orang tuanya silih berganti. “Lusa, aku akan menikah,” ucapnya santai. “Apa? Jay, sejak kapan kamu bercanda seperti ini? Tidak lucu!” Basuki jelas tak percaya, menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Aku tidak bercanda. Calon istriku sudah ada di rumah ini,” sanggah Dhananjaya tegas, nadanya terdengar menantang untuk membuktikan ucapannya. “Apa? Siapa dia?” Maria tercengang, menoleh ke sembarang arah seolah mencari sosok wanita yang putranya maksud. “Aku umumkan, aku tidak mau mendengar penolakan dari Ayah dan Ibu perihal perempuan yang akan aku nikahi. Siapa pun dia, keluarganya, kastanya, aku tidak peduli dan aku mau kalian setuju dengan keputusanku.” Suara Dhananjaya begitu menggema bagi telinga siapa pun. Namun, orang tuanya tahu bagaimana sikap Dhananjaya terhadap wanita. Tak mungkin pria itu ingin menikah secara tiba-tiba seperti ini. Jika memang itu yang diinginkan Dhananjaya, permasalahannya kini
Duduk tepat di hadapan seorang penghulu, Dhananjaya mengucapkan sumpah pernikahan dengan tegas tanpa adanya keraguan. Indah ada di sampingnya, berpakaian serba putih yang sederhana namun cantik. Kepalanya menunduk sejak kehadirannya, tak berani bertatap muka dengan siapa pun, termasuk dengan Dhananjaya yang kini sudah menjadi suaminya secara agama. Semua keluarga yang hadir tampak biasa saja, tidak ada raut senang atas pernikahan yang terjadi. Bahkan, mengucapkan kata 'sah' saja terdengar sangat pelan dan terpaksa. Namun, Sanjaya yang juga hadir dan melihat sendiri proses ijab qabul yang dilakukan oleh cucu tersayangnya, tidak merasa keberatan dengan siapa cucunya itu menikah. Pernikahan Dhananjaya dan Indah tidak dilakukan di sebuah masjid apalagi hotel mewah, melainkan di rumah Basuki Abraham. Hanya keluarga besar yang hadir, tidak ada satu pun orang luar kecuali penghulu dan satu rekannya. Ya, sesederhana itu pernikahan seorang pebisnis besar dari keluarga Abraham. “Maria, apa ka