“Heh! Siapa yang mengizinkanmu turun? Dasar tak tahu malu! Berani-beraninya memperlihatkan wajahmu yang menjijikkan itu!” Seorang wanita berteriak nyaring saat Indah menginjakkan kakinya di lantai dasar.
Ketika Indah memutar tubuhnya guna mengetahui siapa wanita yang meneriakinya, wanita itu langsung memalingkan wajah ke arah lain, tak ingin melihat wajah Indah. Ia pun meraung sangat keras, “Alda!”Alda yang dipanggil, langsung berlari menghampirinya. “Nyonya Maria memanggilku?” tanyanya sopan.“Beritahu dia, jangan pernah memperlihatkan wajahnya di depanku!” bentak wanita itu, Maria, menjentikkan ibu jarinya ke arah Indah.“Baik, Nyonya.” Alda mengangguk cepat.Indah yang masih berdiri di tempatnya, tentu dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Maria. Tanpa menunggu Alda menghampirinya, ia sudah sadar diri. Ia pun melangkah pelan menuju anak tangga, berniat kembali ke lantai tiga.“Indah.” Alda mengikuti Indah. Namun, wanita itu tak meresponsnya dan terus melangkah.“Apa kamu tuli?!” Alda berteriak sembari meraih tangan Indah, lalu menariknya hingga Indah hampir tak dapat menyeimbangkan tubuhnya dan akan berakhir terjatuh.“Aw.” Indah merintih, merasa sakit dan kaget.“Kamu dengar? Jangan pernah turun ke bawah! Jangan pernah keluar dari kamarmu! Mengerti?” Alda melotot kesal. “Kembali!” titahnya tak santai, menunjuk jarinya ke arah lantai atas.Merasa percuma menyerukan ketidak nyamanannya, Indah lebih baik pergi. Ia pun melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Kepalanya tertunduk menyembunyikan tangis yang sedang ia tahan.Tak sengaja, Indah menabrak sedikit tubuh Jasmin, adik Dhananjaya yang saat itu sedang menuruni tangga. Indah sempat mengangkat wajahnya untuk menatap wanita itu, tapi hanya beberapa detik, ia kembali menundukkan kepalanya lalu melangkah kembali.“Ck! Tidak sopan!” Jasmin mencibir, menghentakkan kakinya dengan kesal.Indah terus melangkah, tak peduli Jasmin mengumpat atau bahkan mungkin akan mengejarnya dan menamparnya? Bukan tidak takut, ia hanya merasa percuma. Ingin meminta maaf, tapi tidak yakin Jasmin akan membalas ucapannya dengan sopan. Semua orang di rumah itu sangat angkuh.“Nona Indah.” Imah, salah satu asisten rumah yang sudah cukup tua mendekati Indah yang baru saja selesai menaiki lantai tiga.“Bibi.” Indah tersenyum ramah. Hanya pada Imah ia merasa tak sungkan, karena memang hanya Imah yang memperlakukannya dengan baik.“Kamu dari mana? Kenapa keluar dari kamar?” cecar Imah terlihat khawatir yang entah apa penyebabnya.Senyum Indah kian menghilang melihat respons Imah yang ternyata juga melarangnya untuk keluar dari kamar. “Aku sedang mencari Pak Hendra.”“Pak Hendra belum pulang. Masuk ke kamarmu, jangan pernah keluar,” pinta Imah lemah lembut.“Apa Bibi sibuk?” tanya Indah ingin tahu.“Kamu mau sesuatu?” Imah balik bertanya.“Aku butuh teman,” desis Indah terlihat memprihatinkan.Imah tak mungkin menemani Indah, Alda pasti akan mengomelinya karena tidak bekerja. Jadi, ia tak bisa menemani gadis kesepian itu. “Masuklah. Tidak baik jika seseorang melihatmu di luar kamar.”“Apa aku tahanan?” celetuk Indah pelan, merasa kesal tetapi ia pun tak bisa menyerukannya.“Bukan begitu, tapi ... sudahlah. Jangan dipikirkan.” Imah tak bisa menjawabnya, tak ingin membuat Indah merasa terasingkan dengan kata-katanya jika ia menjawab.“Bibi, jika melihat Pak Hendra, aku ingin bertemu.” Indah memberi amanah, karena itulah ia keluar dari kamar dan mencari keberadaan Hendra.“Nanti Bibi sampaikan.” Imah mengangguk satu kali, lalu pergi.Indah hanya menatap sendu saat tubuh Imah menghilang dari pandangannya. Dengan langkah lemah, ia masuk ke dalam kamarnya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya kecuali melamun. Di dalam kamarnya tidak ada televisi, ponsel pun tak punya. Adapun televisi yang terletak di ruang tengah, Indah tak berani untuk sekadar duduk di sana karena letaknya di samping ruangan sang suami.Terkurung dalam sangkar emas, kalimat itu cocok menggambarkan keadaan Indah saat ini. Rumah yang sangat mewah dan luasnya entah berapa hektare itu seharusnya memberikan kenyamanan bagi penghuninya, tapi nyatanya tidak untuk Indah. Ia bahkan tak tahu denah rumah itu sendiri, tak pernah menjelajah. Bahkan di lantai tiga sekalipun, ia hanya bisa berjalan dari kamarnya ke kamar sang suami, tak tahu ada ruangan apa saja di sana.“Pak Hendra, bisakah aku menjenguk ayahku?” tanya Indah tak ingin basa-basi saat Hendra menemuinya.“Ayahmu masih tidak sadarkan diri, percuma kamu ke sana. Saya sudah mengatakannya berulang kali, jangan khawatir soal ayahmu, saya sudah meminta seseorang untuk menjaganya.” Hendra terlihat kesal ketika mengatakan itu. Dirinya baru saja pulang, tapi Indah tak memberinya waktu untuk beristirahat sejenak dan menanyakan perihal ayahnya.“Aku ingin bertemu dengannya. Hanya sebentar. Aku mohon.” Indah memelas.Hendra mengembuskan napas lelah. Ia berkata, “Saya akan bicara pada Pak Jay.”“Terima kasih.” Indah mengangguk sopan, tersenyum senang.Hendra memasuki sebuah ruangan kerja yang terhubung ke kamar Dhananjaya. Saat itu, si pemilik ruangan sedang menyandarkan tubuhnya ke sofa. Wajahnya terlihat kelelahan setelah menghabiskan waktunya di perjalanan dari luar kota. Sebenarnya Hendra malas untuk meminta izin, lebih tepatnya ia malas untuk mengantarkan Indah ke rumah sakit. Sudah dipastikan jika Dhananjaya mengizinkan Indah menjenguk ayahnya, maka Hendra juga yang harus menemaninya.“Pak, Indah ingin menjenguk ayahnya,” kata Hendra sambil menundukkan kepalanya.Dhananjaya mendengkus malas, matanya terpejam. “Pergilah. Awasi dia. Jangan sampai dia melarikan diri. Kita tidak tahu, apa dia sudah hamil atau belum,” pintanya.“Pak, ayahnya sedang diambang kematian, Indah tidak mungkin melarikan diri.” Hendra tak habis pikir. Majikannya itu selalu mengkhawatirkan Indah melarikan diri, sedangkan ia tahu sendiri ayahnya sedang memperjuangkan hidupnya.“Pergilah.” Dhananjaya mengangguk paham.Ini adalah pertama kalinya Indah menjenguk sang ayah setelah menikah. Indah sudah sering meminta pertemuan, tapi Dhananjaya selalu melarangnya tanpa alasan. Ya, setidaknya Hendra tidak menyampaikan alasan Dhananjaya kepada Indah, merasa alasan majikannya itu tak masuk akal.Dhananjaya tidak mengenal Indah dengan baik, wajar jika ia akan selalu berpikir dalam hingga tak masuk akal dan terkesan berlebihan. Tepatnya, pria dingin itu memang dikenal akan kewaspadaannya yang tajam kepada siapa pun. Baik itu keluarga, kerabat, apalagi orang baru seperti Indah. Ia khawatir Indah melarikan diri dalam keadaan hamil, ia khawatir Indah memperalat anaknya untuk menguras harta Abraham di masa mendatang.Saat memasuki ruangan yang ditempati ayahnya, Indah merasa lega karena sang ayah dirawat di ruangan berkelas layaknya orang kaya. Dhananjaya benar-benar menyanggupi permintaan Indah, bahkan sebelum dirinya mengandung apalagi melahirkan keturunan Abraham. Ruangan itu sangat bersih, nyaman dan mewah.“Pak, maafkan Indah. Indah sudah menikah, Pak. Maaf, Indah tidak kasih tahu Bapak dulu. Indah tidak punya pilihan, Indah terpaksa, Pak. Bapak cepat sembuh, Indah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Bapak.” Deraian air mata tak dapat dibendung lagi, sedangkan ayahnya belum sadarkan diri pasca operasi.Ucapan Indah tak sampai di situ, ia terus berbicara, berharap sang ayah dapat mendengarnya. Namun, ia menutupi rasa tidak nyamannya berada di rumah Abraham. Indah mengatakan hidup senang, menikah bersama orang yang membantu membiayai perawatan rumah sakit.Indah juga menceritakan siapa Dhananjaya, pria tampan yang memiliki jabatan tertinggi di sebuah perusahaan ternama. Indah berharap ayahnya dapat mendengar dan merasa bangga karena putrinya menikah dengan pria sehebat Dhananjaya.Kurang dari satu jam, Hendra membuka pintu ruangan tanpa masuk ke dalamnya. “Indah, kita harus kembali.”“Bisakah aku tetap di sini? Aku akan pulang sendiri,” tawar Indah masih ingin berada di sana.“Apa kamu bercanda? Kamu mau Pak Jay menghukumku? Kamu bisa menjenguknya lagi nanti.” Hendra melotot tak senang.“Baiklah.” Tidak ada pilihan bagi Indah selain patuh. “Indah pulang. Assalamu'alaikum,” ucapnya pada sang ayah, lalu meninggalkan ruangan tersebut.Tak lama dari hari itu, Hendra memberikan kabar tentang laki-laki itu pada Indah. Ayahnya tidak berhasil melewati kritisnya, ia meninggal tiga jam yang lalu saat Hendra menyampaikannya pada Indah.Sebagai bentuk hormat kepada ayah mertuanya, Dhananjaya segera memerintahkan Hendra agar pemakaman dilakukan di tempat pemakaman keluarga Abraham. Tentu, semua keluarga Abraham tidak ada yang mengizinkannya, kecuali Sanjaya sendiri yang sudah memberi izin dan pemakaman tetap dilakukan di pemakaman keluarga Abraham.Indah termenung, menangisi nasib yang tak berpihak padanya. Mengapa Tuhan begitu sulit memberikan sedikit kebahagiaan pada wanita itu? Pengorbanan berupa menikah dengan pria tak berperasaan itu terasa sia-sia. Kepergian ayahnya telah membuat hidup Indah semakin tak bernyawa. Ia ingin meninggalkan rumah Abraham, tapi ia pula bingung akan pulang ke mana. Keluarga ia tak punya, membuat Indah bagai hidup sebatang kara.Satu lagi, kontrak yang sudah ia sepakati tidak bisa dihindari walau alasan dari kontrak, yaitu kesembuhan sang ayah, sudah tidak berlaku. Tetap saja, Indah bertanggung jawab atas biaya yang sudah Dhananjaya keluarkan untuk perawatan ayahnya yang jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu, mustahil Indah pergi dari rumah Abraham tanpa melahirkan keturunan Dhananjaya terlebih dahulu sesuai kontrak yang tertulis.“Indah, Pak Jay baru saja pulang. Beliau memanggilmu.” Alda menggoyahkan lengan Indah cukup kasar, membangunkan wanita itu yang sudah terlelap di jam satu malam. Indah terbangun. Tidurnya memang tidak nyenyak sehingga ia dapat sedikit mendengar apa yang dikatakan Alda. Namun, ia masih tidak percaya Dhananjaya akan memanggilnya selarut itu. “Tolong, aku sedang tidak enak badan.” Indah berkata sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar. “Aku tidak peduli. Apa kamu yakin ingin melihat Pak Jay menghukummu?” ancam Alda tanpa sungkan. “Tidak.” Indah menggeleng pelan, tak ingin mendapatkan amukan dari suaminya yang tidak berperasaan itu. Namun, rasa-rasanya Indah juga tidak dapat memaksakan diri. Saat ini, ia hanya ingin menjerit, menangis meminta pengertian dari siapa pun bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melakukan apa yang diinginkan sang suami. “Bersiap-siaplah,” titah Alda, lalu berbalik untuk pergi. “Aku benar-benar tidak bisa. Kepalaku sangat pusing.” Indah memohon, terdengar
Benar dugaan dokter pribadi Abraham, kandungan Indah sangat lemah. Bahkan, dokter rumah sakit yang menangani Indah tidak yakin janinnya akan bertahan. Semua itu tergantung dengan Indah-nya. Banyak sekali aktivitas yang tidak diperbolehkan, makanan yang harus dikonsumsi dengan sangat teliti, juga lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang dimaksud dokter adalah lingkungan keluarga. Indah tidak boleh merasa tertekan. Artinya, baik Dhananjaya selaku suaminya ataupun orang lain yang berada di rumah, harus ikut menjaga kandungannya. Kebanyakan wanita akan mudah sensitif di saat mengandung. Bukan hanya itu, untuk berhubungan suami istri, dokter juga memberi pesan agar melakukannya dengan sangat hati-hati. “Jay?” Seseorang memanggil Dhananjaya saat hendak keluar dari rumah sakit. Sontak, Dhananjaya dan Indah menghentikan langkahnya, menoleh ke asal suara yang menampilkan seorang pria berpakaian dokter. Pria itu tersenyum ramah sambil menghampiri, jauh berbeda dari wajah Dhananjaya yang tet
Indah merasa sangat jenuh berada di dalam kamarnya tanpa melakukan apa pun. Alda sering kali memperingatinya agar tidak keluar dari kamar. Namun, hari ini ia memberanikan diri untuk keluar dari sarangnya. Suasana sepi, menandakan Dhananjaya yang menguasai lantai tiga sedang tidak ada di rumah. Indah lega, tidak akan takut ketahuan salah satu pengawal pribadi suaminya. Langkahnya yang tanpa tujuan, menyusuri satu lorong yang tampak sangat sepi. Di ujung lorong tersebut, ada satu pintu berukuran sangat besar yang terbuat dari kayu jati. Menerka-nerka luas bangunan, Indah takut akan tersesat. Demi apa pun, ia tidak pernah membayangkan rumah itu akan seluas yang sedang ditelusurinya saat ini. Tepat di depan pintu berwarna coklat, Indah menyentuh knop pintu, lalu sedikit mendorongnya hingga ia dapat mengintip ke dalam. Matanya terbelalak dengan sempurna saat melihat buku-buku besar, berjejer sangat rapi di atas rak. Indah yang memang suka membaca, sangat tertarik untuk membaca buku-buku
“Alda! Bantu cari buku yang kemarin ketinggalan di perpustakaan!” Jasmin berdiri tak jauh dari kamar Indah, berteriak ke arah lantai dasar. Suara Jasmin begitu menggema hingga dapat terdengar oleh siapa pun. Beberapa pelayan yang sedang berkumpul di lantai dasar, saling menatap satu sama lain. Namun, hanya Alda yang berani menemui anggota keluarga. Untuk itu, ia bergegas pergi ke lantai atas. “Nona, apa yang bisa kubantu?” tanya Alda ketika kakinya terus mengejar langkah Jasmin. “Bantu cari bukuku yang ketinggalan di perpustakaan,” titah Jasmin tanpa menatap lawan bicaranya. “Baik, Nona.” Alda mengangguk sopan walau Jasmin tidak melihatnya. Indah berdiri di balik pintu kamarnya, mendengar suara Jasmin yang begitu tidak sabaran untuk menemukan bukunya. Sepertinya wanita itu sedang membutuhkan buku itu secepatnya. Judul bukunya memang tidak disebutkan, tapi Indah yakin, yang dicarinya pasti buku yang sedang ia baca. Ingin mengembalikan buku itu, tapi ia pun takut akan makian Alda a
Sudah satu minggu Indah kembali ke rumah Abraham. Suasananya begitu canggung, lebih-lebih saat pertama kali menginjakkan kakinya di sana. Tidak ada keberanian sedikit pun untuk keluar dari kamar, ia selalu mengurung diri seperti kebiasaannya. Tidak ada yang menemani, kesepian melanda hatinya. Dhananjaya tak pernah menemuinya entah itu menjenguk, ataupun memintanya untuk menghadap.Entah apa yang direncanakan takdir untuknya, Indah merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Mendiami sebuah rumah tanpa berinteraksi dengan sesama manusia, siapa yang akan tahan akan hal itu? Namun, lagi-lagi Indah hanya bisa pasrah. Dalam keterpurukannya, ia tak pernah meninggalkan kewajibannya untuk bersembahyang.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Indah menatap ke asal suara secara spontan. Aneh, biasanya para pelayan akan langsung masuk dengan tidak sopannya, tanpa permisi apalagi sekadar mengetuk pintu. Siapa yang ingin bertemu dengannya? Merasa penasaran, Indah berjalan ke arah pintu untuk membuk
Sudah hampir satu bulan Dhananjaya tidak menemui Indah di kamarnya ataupun meminta wanita itu untuk menghadap. Terakhir bertemu yaitu saat di rumah sakit, saat sang istri mengalami keguguran. Padahal, Indah sangat ingin bertemu dengan pria kaku itu. Salahkah jika Indah merindukan suaminya sendiri? Ia selalu berdiri di dekat pintu, membuka pintu kamarnya hingga memberikan celah agar dapat melihat Dhananjaya dari kejauhan saat pria itu akan pergi atau pulang. Sosok tampan yang terlihat sangat perkasa itu mampu membuat hati Indah berseri-seri. Bagaimana tidak? Indah tidak pernah bermimpi sedikit pun untuk memiliki suami setampan dan sekaya Dhananjaya. Sekarang, pria yang digilai banyak wanita itu telah menjadi suaminya secara resmi. Namun, Indah selalu merasa dirinya sangat kecil, ia tak menganggap Dhananjaya sebagaimana sebagai suami melainkan majikannya. Tidak perlu dijelaskan, ia merasa sangat sungkan pada suaminya sendiri. “Indah, bersiaplah. Pak Jay memintamu untuk ke rumah Tuan
Di sebuah toko pakaian yang terletak di dalam mall, dua perempuan sedang sibuk memilih beberapa pakaian untuk dibeli. Namun, yang berbelanja hanya satu orang, yaitu Jasmin. Sedangkan satunya, Indah, hanya menemani putri bungsu Abraham berbelanja saja. Mereka sudah memasuki beberapa toko pakaian dan membeli banyak segala jenis pakaian. Jasmin seolah tidak pernah puas dan terus mengajak Indah untuk memasuki toko lain. Seperti saat ini, mereka sedang berada di bagian pakaian tidur. Indah hanya membantu memilihkan pakaian yang menurutnya bagus, tapi terkadang Jasmin menolak jika pilihan Indah sangatlah pasaran. Di antara pakaian yang berjejer, Jasmin sedang melihat-lihat pakaian tidur yang biasanya dipakai wanita dewasa atau lebih tepatnya sudah menikah. Lingerie, tepat. Indah yang merasa aneh melihat pakaian itu dari kejauhan, segera mendekatinya. “Jasmin, apa kamu terbiasa memakai pakaian seperti itu?” Indah merasa malu sendiri melihat pakaian tersebut. “Ini pakaian tidur.” Jasmin me
“Bagaimana?” Jasmin langsung bertanya saat memasuki kamar Indah.“Bagaimana apanya?” Indah pura-pura tak mengerti.“Apa Kak Jay memujimu? Atau mungkin memujiku juga karena aku yang mempercantik dirimu?” cerocos Jasmin tampak semangat.“Tidak ada pujian apa pun,” jawab Indah malas nan lesu.Jasmin terdiam, melongo tak percaya. Apakah kakaknya itu benar-benar pria tidak normal? Sepertinya usahanya belum seberapa hingga Dhananjaya tidak terpaku sedikit pun. “Benarkah? Tapi ... semalam kalian bertemu, bukan?”“Aku terlalu rendah untuk kakakmu.” Indah lalu menundukkan wajahnya yang terlihat cemberut.Jasmin tertegun melihat raut wajah Indah yang jelas kecewa. Sepertinya harapan wanita itu sama tingginya seperti dirinya hingga merasakan kekecewaan yang mendalam. Namun, hal itu malah membuat Jasmin semakin bersemangat untuk menciptakan cinta di hati sang kakak untuk istrinya.“Apa kamu menyukainya?” tanya Jasmin sungguh-sungguh.Indah sempat menoleh sebentar, tapi ia tidak berniat untuk menj