Bab 7
Di mobil yang mereka tumpangi, hanya ada keheningan saja sepanjang jalan. Tidak ada obrolan, tidak ada juga yang membuka topik pembicaraan. Hening, Shanika juga bingung ingin mengatakan apa. Di satu sisi ia dan Sergio tidak terlalu dekat. Pun saat bertemu jarang mengobrol. Akan tetapi, sekarang keduanya sedang berduaan, kegugupan Shanika kian bertambah. Sergio terlihat santai, tak sekilas pun melirik adik iparnya yang kebingungan mencari topik pembicaraan. Alhasil, Shanika yang bingung pun memilih bungkam saja. Sebab, ingin bicara pun percuma harus membahas apa. “Jika Carissa menyuruhmu, tidak usah dituruti,” kata Sergio memecah keheningan yang ada. Suasana yang tadinya tegang, mendadak hilang. Shanika tersenyum kikuk menanggapinya. Dia tidak bisa melawan ibu dan kakak iparnya, takut berimbas pada Nevan dan Nala. “Lebih baik aku yang mengerjakan, daripada berimbas pada dua adikku. Kalau aku nggak nurut sama perintah mereka, takutnya Nevan dan Nala yang jadi sasaran,” balas Shanika, ia lebih mempedulikan dua adiknya daripada diri sendiri. “Mereka sudah biasa seperti itu padamu dan kamu hanya diam saja?” Meski sudah lama menikah dengan Carissa, Sergio sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada adik iparnya ini. “Terpaksa, Kak, demi Nevan dan Nala.” Karena selama ini, Bu Listia dan Carissa memang terlihat manis jika di depan. Entah di belakangnya seperti apa, ia hanya tahu kalau Shanika selalu disuruh mengerjakan pekerjaan rumah padahal ada asisten rumah tangga di rumahnya. Entahlah, Sergio juga tidak ambil pusing dan tak peduli sama sekali. Karena ini bukan urusannya. Obrolan pun selesai, keduanya hanya mengobrol sebentar. Selanjutnya kembali hening seperti awal. Guna menghilangkan rasa bosan, Shanika mengarahkan matanya ke luar jendela sambil menatap jalanan yang banyak dilalui kendaraan. Sergio fokus menyetir mobil, saat di pertengahan jalan. Mobil terhenti karena di depan sana ada sebuah kerumunan yang mengakibatkan kemacetan panjang. “Kenapa ya itu?” tanya Shanika, masih didengar Sergio. Sergio mengedikkan bahu, pertanda dia tidak tahu. “Cari tahu saja. Sepertinya ada kecelakaan,” balas Sergio sekenanya. Entah kenapa, melihat kerumunan itu tiba-tiba saja hati Shanika berdenyut nyilu. Dia merasakan ada hal aneh pada dirinya. Perasaan Shanika berubah tak enak, gadis muda itu turun dari mobil. Ia berjalan gontai, mulai mendekati kerumunan warga sekitar. Shanika ingin melihat, tetapi tidak bisa karena sudah dipasang garis kepolisian. Artinya tak bisa dihampiri siapa pun. “Maaf, Pak, ini ada apa, ya?” tanya Shanika pada warga sekitar yang berada di lokasi kejadian. Warga desa tersebut menatap Shanika. “Tadi ada kecelakaan lalu lintas, Neng. Ada dua mobil yang hampir bertabrakan sama truk, terus yang mobil warna hitam diduga banting stir dan menabrak pohon.” Mobil hitam. Perasaan Shanika bertambah tidak enak, tanpa alasan jelas dia mendadak gelisah. “Korbannya gimana, Pak? Apa mereka selamat?” “Korbannya anak kecil, udah dibawa pakai ambulance ke rumah sakit karena kondisinya parah. Kalau korban satunya lagi hanyut ke sungai, warga desa dan tim SAR sedang melakukan pencarian,” papar warga desa tersebut. Rasa penasaran Shanika kian bertambah. Sekujur tubuhnya jadi gemetar dan panas dingin. Mendengar jawaban warga, Shanika jadi berpikir pada ayah dan Nala. Mobil ayahnya berwarna hitam, hanya ada ayah dan Nala saja di dalam mobil. Apakah ini hanya kebetulan saja? Toh, banyak sekali pengemudi yang mengantar anaknya sekolah. “Astaga, Shanika, kamu mikir apaan sih? Papa sama Nala pasti udah sampai di sekolah,” ucap Shanika menepis pikiran buruknya, walaupun firasatnya tak enak. Tubuh kecilnya mulai memasuki kerumunan, ia ingin tahu mobil tersebut guna menyangkal kebenaran. Susah payah ia masuk, sangat sulit. Matanya memicing ketika melihat plat mobil. Plat mobil yang sama dengan mobil milik ayahnya. Tubuh Shanika luruh ke tanah, dua matanya sudah berkaca-kaca kalau ternyata yang kecelakaan itu ayah dan adiknya. Shanika menutup dua telinga, dia menjerit histeris karena kabar buruk menimpa anggota keluarganya. “Papa! Nala!” “Nggak, ini pasti nggak mungkin. Yeah, Papa pasti udah nganterin Nala ke sekolah.” Berkali-kali Shanika menepis praduganya, berpikir kalau itu bukan mereka. Warga yang melihat Shanika lantas menenangkan, menahannya yang hendak menghampiri mobil. “Jangan didekati, Neng, itu sudah ada garis polisi!” Salah satu ibu-ibu mendekati, mengusap punggung Shanika. Sergio yang tadinya duduk di dalam, seketika mengerutkan keningnya melihat Shanika yang histeris. Penasaran apa yang terjadi di luar, Sergio pun keluar untuk menghampiri. Ia menerobos keramaian, mencari Shanika yang memberontak. “Ada apa, Shanika?” tanya Sergio sambil berjongkok. Dia heran, kenapa Shanika menangis? Padahal tadi baik-baik saja. Jari Shanika menunjuk ke arah mobil, Sergio menoleh ke belakang. Matanya membelalak karena mobil yang sudah hancur itu milik ayah mertuanya. “Papa?” Sergio membeo, tak bisa bohong kalau dia kaget. Pantas saja Shanika histeris, jika Sergio ada di posisinya pasti akan berlaku sama. Sulit dipercaya sesuatu terjadi pada ayah mertuanya. “Itu bukan Papa sama Nala 'kan, Kak? Mereka pasti baik-baik aja, 'kan?” Shanika terus meracau, dia tak bisa tenang. “Tenang, Shanika.” Sergio menepuk pundak Shanika agar Shanik menenangkan diri. Mustahil dia bisa tenang di kondisi seperti ini. “Pak, di mana keberadaan korban?” tanya Sergio pada polisi yang melakukan investigasi di lokasi kejadian. “Korban anak kecil sudah dibawa ambulance menuju rumah sakit, sementara orang dewasa hanyut ke sungai. Kami sedsng mengusahakan pencarian, karena kondisi sungai deras sekarang,” papar polisi pada Sergio. Shanika menjerit, berteriak memanggil ayah dan adiknya. Sampai ia merasakan pandangannya semakin mengabur, pandangannya buruk dan ia kehilangan kesadaran. “Papa! Nala!” Satu jam lamanya Shanika tak sadarkan diri, dia memanggil Pak Grahadi dan juga Nala. Wajahnya sudah merah karena lama menangis, kedua matanya pun sembab. Dia sedang berada di rumah sakit, Sergio membawanya ke sini sekalian menyusul Bu Listia yang sudah diberitahu. “Papa! Papa! Nala! Nala! Jangan tinggalin aku!” teriak Shanika berlari keluar dari ruangan. Di depan ruangan, ada Bu Listia dan juga Carissa. Mereka berdua diam sambil menangis. “Di mana Nala, Ma?” tanya Shanika menghampiri ibu tirinya. Bu Listia tidak menjawab, suara pintu terbuka membuat Shanika menoleh ke sumber suara. Seorang dokter keluar dari ruangan. “Dengan keluarga pasien?” tanya dokter pada tiga wanita tersebut. “Saya kakaknya, Dok. Apa yang terjadi dengan adik saya? Bagaimana keadaannya?” Shanika memberikan pertanyaan beruntun. “Kondisi adik Anda sedang kritis sekarang, pasien mengalami luka parah dan harus dilakukan operasi. Kami akan menangani jika Anda sudah melakukan administrator, sesuai prosedur rumah sakit,” kata dokter menjelaskan. Shanika mengangguk. “Baik, Dok. Akan saya usahakan agar adik saya ditangani secepatnya.” Dokter pun berpamitan usai melakukan pemeriksaan. Shanika menatap Bu Listia dan Carissa, Sergio kembali ke kantor karena ada rapat penting dengan klin. “Ma, Kak … aku butuh uang buat biaya operasi Nala.” “Kami sedang berduka, Shanika! Kenapa kamu malah menambah beban pikiran? Pikirkan itu sendiri, karena Nala adikmu, kamu yang harus menanggung semua pengobatannya. Dikira biaya pengobatan murah, hah?” sentak Bu Listia.Bab 8Mendapat bentakan dan penolakan dari ibu tirinya, Shanika makin ketakutan. Nala sedang dalam bahaya dan dia butuh pertolongan. Kalau bukan bantuan dari Bu Listia dan Carissa, Shanika harus pada siapa lagi untuk dimintai tolong?Keluarga satu-satunya yang ia miliki hanyalah ayahnya, jika tidak ada bantuan dari Bu Listia. Bagaimana nasib Nala yang tengah berjuang melawan rasa sakitnya?Perasaan Shanika hancur berkeping-keping, hidupnya dalam sekejap berubah berantakan karena kehilangan sosok ayah. Sosok yang menjadi pilar hidup Shanika, kini menghilang, tak ditemukan jasadnya.“Mama, Kakak, aku mohon bantu aku buat biayain pengobatan Nala. Nala dalam bahaya,” isak Shanika seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memohon supaya mereka mau membantu.Bu Listia mendengus, Carissa juga menatapnya sinis. Di situasi seperti sekarang ini, tidak adakah rasa empati mereka? Terlepas dari mereka tak memiliki ikatan darah, setidaknya memiliki rasa kemanusiaan.Sikap Bu Listia dan Cari
Bab 9Zora mengangguk pelan, wajahnya tersirat sebuah beban pikiran lantaran memberikan solusi seperti ini pada Shanika. Zora sadar ini salah, sangat salah.“Iya, karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang dengan jumlah besar. Ini satu-satunya jalan yang bisa lo tempuh supaya dapet uang yang lo butuhkan.”Mendengar saran dari Zora, Shanika tersentak kaget. Ia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya, saran dari Zora ini tidak masuk akal. Sebutuh-butuhnya Shanika, dia enggan menggadaikan harga dirinya demi uang.Ia dengan tegas menolak. Dia tidak mau mengambil langkah ini, cara yang dapat merugikan diri sendiri nantinya.Selain ini, pasti banyak cara, bukan hanya menjual diri saja. Bergabung ke dunia malam sama saja ia terjun ke dalam jurang, akan terjebak di kedalaman. Apalagi ini harus menyerahkan tubuh, Shanika tentu tidak sudi.“Nggak, Ra, gue gak sudi kalau jual diri. Lo pasti punya banyak cara selain ini, 'kan? Kalau ini gue nggak mau,” tolak Shanika secara gamblang.Bagi si
Bab 10 Pria yang dipanggil kakak oleh Shanika pun berbalik, gelas yang tadinya ia pegang jatuh dan berserakan di lantai. Bagaimana tidak, jika pelanggan yang Tante Nora maksud itu ialah Sergio, kakak iparnya sendiri. Sangat mengejutkan! Mulut Shanika menganga, matanya melotot seketika, masih belum percaya kalau Sergio memesan wanita untuk penghangat ranjangnya. Sama halnya dengan Shanika, Sergio juga kaget. Sepersekian detik dia hanya mampu menatap Shanika dengan raut penuh keterkejutan. “Shanika? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Sergio. Rahangnya mengetat, ular di lehernya terlihat mencuat, menandakan dia sedang menahan amarah bertemu dengan adik iparnya di sini. Sergio memang memesan wanita untuk memuaskannya, tetapi … kenapa harus Shanika? Netra hitam legam Sergio terus memindai Shanika yang masih shock. Ia memperhatikan penampilan Shanika dari atas sampai bawah. Gaunnya gerutu ketat dan terbuka, untuk apa Shanika datang ke ruangannya? “Ak-aku … aku butuh uan
Bab 11Carissa menegakkan duduknya, ia yang tadinya bermanja mendadak tidak mood jika membahas perihal anak. Setiap kali bertemu dengan keluarga Sergio, mereka sering mendapati pertanyaan soal anak.Dari awal menikah, Carissa sudah bilang pada Sergio ingin menunda kehamilan dan fokus pada pekerjaan. Sergio tidak keberatan, ia justru mengiyakan dan mendukung cita-cita istrinya.Akan tetapi, semakin lama, Carissa semakin sibuk menggapai mimpinya. Sergio juga tak bisa membiarkan Carissa sebebas itu, mengingat mereka ini pasangan suami istri.“Mas, aku udah bilang dari awal menikah kalau aku mau menunda kehamilan dulu. Lagian usia kita masih muda, aku juga pengen fokus jadi aktris sampai bisa jadi pemeran utama. Ini yang bikin aku males ketemu keluarga kamu, selalu membahas anak,” ujar Carissa menyedekapkan dua tangannya di depan dada.Harusnya Sergio yang marah, malah justru sebaliknya. Keinginan orang tua dan suaminya sama, mereka ingin Carissa mempunyai seorang anak.Sergio ini anak tu
Bab 12Tanpa adanya pemanasan, tanpa adanya aba-aba, Sergio melakukan penyatuan yang membuat inti Shanika terobek paksa. Mendengar jeritan Shanika, Sergio terhenti seketika.Ia menunduk, menatap Shanika yang menangis karena diruda paksa. Namun, Sergio sudah dikuasai oleh hawa nafsu, dia sampai tak bisa mengendalikan diri.Sudah dari lama dia menahan, sekarang dia sudah mencapai hal yang dia inginkan. Percintaan di atas ranjang. Tubuh Sergio condong ke depan, ia membungkam mulut Shanika dengan bibirnya.“Shanika ….” Sergio melepas sejenak tautan bibir mereka, dia menggeram sambil menyebutkan nama Shanika di sela-sela percintaannya.Sergio terlihat menikmati, tanpa peduli kesakitan yang dirasakan Shanika saat kini. Rasa sakit mulai terasa hampir di sekujur tubuh Shanika, yang paling sakit adalah bagian intinya.Setelah mencari posisi, Sergio mulai menyentuh setiap bagian tubuh wanita yang berada di bawah kungkungannya. Ia kehilangan akal, telah mengambil kesucian Shanika di kamarnya.Sh
Bab 13 Perkataan Shanika sama sekali tidak meluluhkan hati Sergio. Sekali berhati batu, tetap seperti itu. Lihatlah respons Sergio, lelaki itu hanya menghela napas sambil menyugar rambutnya dengan begitu santai, seolah tidak ada beban berat seperti yang Shanika rasakan. Tubuh mereka semakin dekat, tanpa jarak. Shanika semakin ke tembok, detik berikutnya ia hanya bisa memejamkan mata sembari memukul dada bidang Sergio yang melumat bibirnya dengan paksa. Shanika seperti wanita hina, hanya bisa pasrah saja ketika ada pria yang macam-macam padanya. Andai saja kontrak itu dibatalkan, andai saja waktu bisa diulang, Shanika tidak akan mengambil jalan ini. Berurusan dengan Sergio sama saja masuk ke dalam perangkap, membuat dirinya terjerat tanpa bisa melakukan apa-apa. Jempol Sergio mengelus pinggang ramping Shanika, tangan satunya menahan tengkuk wanita di hadapannya agar ciuman mereka semakin dalam. “Argh!” Sergio menjerit ketika bibir bawahnya digigit. Sedari tadi Shanika memberontak
Bab 14Sergio jadi salah tingkah karena kepergok memperhatikan Shanika. Di pantulan spion, Shanika melayangkan tatapan sinis, wanita itu tidak tahu kenapa Sergio memperhatikannya. Jangankan Shanika, Sergio saja tidak tahu kenapa ia terhanyut memperhatikan. Ia kembali melajukan mobil, tidak lagi melihat ke arah belakang.Shanika juga sibuk dengan Nevan, sampai akhirnya mobil milik Sergio berhenti di depan gerbang sekolah.“Nevan, belajar yang benar, ya. Nanti Kakak jemput kalau udah benerin motor, kalau Kakak belum jemput, kamu tunggu di pos satpam,” kata Shanika ikut ke luar, mengantar Nevan sampai ke gerbang masuk.Nevan pun memeluk kakaknya dan melambaikan tangan, bocah kecil itu berlari menyusul teman-temannya.“Shanika, saya turut berduka cita dengan meninggalnya Pak Grahardi, ya,” ucap Bu Nafa, wali kelas Nevan.Shanika mengulas senyum tipis, meski di dalam hati merasa hancur berkeping-keping. Dia sedang menunggu kabar dari kepolisian yang masih mencari keberadaan ayahnya. “Ter
Bab 15Kemunculan Sergio di belakangnya membuat Shanika dengan cepat menoleh, apalagi Sergio menimbrung obrolannya dengan dokter. Shanika tahu, di balik sikap Sergio yang penolong ini ada maksud tersembunyi. Apalagi jika bukan soal urusan ranjang.Ia yakin, kesempatan ini Sergio gunakan agar Shanika lebih bergantung padanya dan memberikan banyak celah untuk kakak iparnya. Jika begini caranya Shanika sulit terlepas dari kontrak ini.“Baik, Pak, silakan ke ruang administrasi,” kata dokter sembari pamit pada keduanya, diikuti suster di belakangnya.Setelah dokter dan suster pergi, Shanika menatap tajam pada Sergio. “Aku nggak butuh bantuan Kakak, aku bisa membiayai pengobatan Nala dengan hasil keringatku sendiri. Aku tahu Kakak menolongku bukan semata-mata karena tulus, tetapi Kakak sedang mencari kesempatan dalam kesempatan,” cacar Shanika mengomeli Sergio karena suasana sepi, ruangan ini memang jarang dilalui orang-orang terkecuali tenaga medis."Keringatmu sendiri? Bahkan, aku yang b