Share

Bab 6. Sebelum Terjadi

Bab 6

Telinga Shanika terasa pengang harus mendengarkan omelan ibu dan kakak tirinya di pagi hari. Tidak bisa sekali mereka membiarkan dia tenang, lama-lama Shanika tak betah tinggal di rumah dan ingin sekali mengadu pada ayahnya tentang bagaimana sikap asli mereka di belakangnya.

Ya, selama ini Shanika dan dua adiknya memang selalu bungkam jika mendapatkan perlakuan tak mengenakan dari mereka. Alasannya karena … jika mereka mengadu, takut kekejaman mereka semakin menjadi-jadi.

Shanika mencemaskan keadaan dua adiknya apabila tidak ada ia di rumah, takut keduanya terkena imbas.

“Cepetan! Gue bentar lagi mau berangkat, bisa cepet gak sih lo? Lelet banget!” omel Carissa.

Shanika membuang napas, lalu masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya ia gugup jika diminta datang ke sini, ia dan kakak iparnya tidak terlalu akrab.

“Kakak butuh bantuan apa?” tanya Shanika tepat di belakang Carissa.

Di pantulan cermin, Carissa memolesi wajahnya dengan make up. Penampilannya selalu glamour, wajar saja, karena dia seorang aktris. Meski hanya peran pendamping, dia dikenal banyak orang.

“Setrika baju Mas Gio, bentar lagi dia mau berangkat kerja. Gue lupa nyuruh lo semalam,” balas Carissa.

Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh ART malah dialihkan pada Shanika. Siapa yang tidak geram diperlakukan demikian? Diperlakukan layaknya pembantu di rumah sendiri.

“Kak, bentar lagi aku mau berangkat loh. Kenapa Kakak nggak bilang dari awal, sih?” tutur Shanika sambil melirik ke arah jarum jam. Dia tidak mau jika terlambat, nantinya dosen akan memarahi.

Carissa berdecak, alat make up yang semula ia pegang, langsung diletakkan di atas meja.

“Gak usah banyak alesan, cepet setrika!” Carissa tak mendengarkan jawaban Shanika. “Atau gue suruh Nevan aja yang setrika?” tanyanya seperti mengancam.

Shanika melirik tajam pada Carissa, namun bibirnya bungkam tak mengatakan apa-apa.

“Nevan lagi sakit, Kak, jangan menyuruhnya.”

“Kalau gitu lo aja yang kerjain, daripada dua adik lo yang gue suruh. Awas kalau lo berani ngadu ke Papa, lo tahu sendiri akibatnya.”

Kadangkala Shanika merasa manjadi orang bodoh sedunia, yang hanya bisa bungkam diperlakukan demikian. Padahal dia bisa mengadu, selama bertahun-tahun lamanya ia harus diperlakukan begini.

Andai berani, sudah ia laporkan pada Pak Grahadi.

Menurut dengan suruhan Carissa, Shanika lantas mengambil pakaian milik Sergio yang sudah ada di atas ranjang. Waktu menyetrika baju tidak selama itu, harusnya Carissa bisa melakukannya sendiri sebelum berangkat kerja.

'Yang sebenarnya pemalas itu bukan aku, tapi Kak Carissa. Istri macam apa yang nggak bisa mengurus suaminya?’ batin Shanika, hanya bisa dia ucapkan di dalam hatinya.

Wanita muda itu mencepol rambut panjangnya, fokus menyetrika pakaian kerja kakak iparnya daripada berhadapan dengan Carissa. Dia hanya akan membuatnya stres saja.

Pintu kamar mandi terbuka, di ambang pintu terlihat Sergio baru selesai mandi. Rambutnya terlihat basah, ia mengenakan handuk putih sebatas pinggang. Shanika menunduk, tidak mau bertatapan karena malu.

Melihat ada kebaradaan Shanika, Sergio yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk kecil pun membeliak.

“Kenapa kamu nggak bilang ada Shanika di kamar, Sayang?” tanya Sergio pada istrinya.

“Oh iya, aku lupa, Mas. Dia lagi aku suruh buat setrika baju kamu. Udahlah biarin aja, bentar lagi juga kelar,” balas Carissa sambil bergelayut manja di lengan kekar suaminya.

Sergio mengambil kimono untuk menutupi tubuhnya.

“Kenapa nggak suruh si Mbok aja? Bukannya Shanika harus berangkat kuliah?” Lagi, Sergio bertanya.

Carissa memberenggut, bibir mengerucut ke depan karena Sergio mengeluarkan banyak pertanyaan. Pasangan suami istri itu duduk di ranjang, sama sekali tidak menganggap keberadaan Shanika.

“Kamu ada syutting lagi hari ini?”

Carissa mengangguk. Karena ia hanya menjadi peran pendamping, dia bisa pulang ketika tidak ada bagian dirinya yang memerankan.

“Ada, besok juga aku pulang. Aku pengen jadi pemeran utama, Mas, belum juga ada produser yang lirik aku,” keluh Carissa. Dari dulu ia memimpikan ingin menjadi pemeran utama di film, tetapi selalu menjadi pemeran pendamping saja.

Sergio pikir, jika Carissa menjadi pemeran utama pasti akan banyak adegan yang harus dimainkan dan pastinya akan jarang pulang. Sebagai suami, Sergio juga ingin Carissa menghabiskan waktu di rumah.

“Aku nggak bakalan ngizinin kamu andai ditunjuk jadi peran utama.”

Semula Carissa bergelayut manja di dada bidang suaminya langsung menarik badan, melepaskan pelukan.

“Kenapa begitu, Sayang? Apa kamu nggak suka melihat istrimu menjadi aktris sukses?” tanya Carissa.

“Carissa … kamu udah punya suami, aku bisa menghidupi semua kebutuhan kamu. Aku ingin kamu banyak waktu di rumah, karena aku sangat membutuhkanmu,” ujar Sergio, dia ingin menyuruh istrinya untuk tidak bekerja. Namun apalah daya, Carissa selalu menentangnya.

“Mas, jadi aktris udah impian aku sejak lama. Masa aku vakum gitu aja sebelum mewujudkan mimpiku? Lagian 'kan aku juga masih bisa pulang ke rumah, aku nggak mood kalau kamu nyuruh aku gak kerja.”

Meski berusaha tak mendengar, tetapi Indra pendengaran Shanika masih berfungsi sehingga ia bisa mendengarkan percakapan pasangan suami istri tersebut. Carissa memang sibuk dan jarang pulang ke rumah, beruntung sekali punya suami pengertian seperti Sergio.

“Ya sudahlah, terserah kamu saja. Aku juga tidak memaksa, seandainya kamu jarang pulang ke rumah. Jangan salahin aku kalah aku yang komplain ke produser kamu.” Setelah mengatakan itu, Sergio bangkit berdiri. Mengambil pakaian yang sudah disetrika.

Sergio hanya bisa menatap Shanika sekilas, lalu pergi ke kamar mandi.

“Kak, udah selesai. Aku boleh keluar?”

“Keluar aja, nunggu dimarahin gue?”

***

“Apes banget. Udah siang banget, ban motor malah bocor. Kenapa aku nggak cek motor dulu sih sebelum berangkat?” Shanika menendang pelan ban motor miliknya yang kempes.

Hari sudah siang, sebentar lagi jam belajar akan dilaksanakan. Shanika sudah lengah, tidak memeriksa kendaraannya dahulu sejak awal. Jadinya begini, dia bingung harus pakai apa ke kampus.

“Ada apa?” tanya seorang pria yang baru saja memasuki garasi.

Kehadiran Sergio yang tiba-tiba cukup mengejutkan Shanika, gadis itu menoleh sambil memegangi dadanya. Sergio melihat ban motor Shanika kempes.

“Ah, an-anu … Kak, biasalah,” balasnya terbata.

“Mau bareng saya? Selagi ada waktu, anggap saja tanda terima kasih karena kamu sudah menyetrika baju saya,” ucap Sergio.

Tidak ada pilihan lain, daripada Shanika terlambat ke kelas, lebih baik ia menumpang saja dengan kakak iparnya meskipun merasa canggung.

“Memang boleh, Kak?” tanya Shanika.

Sergio mengangguk, menatap penampilan Shanika seperti wanita muda pada umumnya. Dia selalu tampil sederhana, meski di keluarga berada. Beda sekali dengan Carissa.

“Why not? Saya yang menawarkan sendiri,” katanya.

Shanika pun setuju untuk menumpang pada kakak iparnya. Dia membuka pintu mobil, baru saja duduk, Sergio sudah menatapnya di spion.

“Ke-kenapa, Kak?”

“Kenapa kamu duduk di belakang saya, Shanika?” Sergio membalik badan, dia serasa menjadi supir ketika Shanika duduk di belakangnya.

“Pindah ke depan, kamu kira saya supirmu?”

Bukannya segera pindah, Shanika masih diam di tempat.

“Kamu yang pindah sendiri atau saya yang tarik kamu ke depan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Els Arrow
pemeran wanitanya menderita sekali, cepat up bab selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status