Bab 8
Mendapat bentakan dan penolakan dari ibu tirinya, Shanika makin ketakutan. Nala sedang dalam bahaya dan dia butuh pertolongan. Kalau bukan bantuan dari Bu Listia dan Carissa, Shanika harus pada siapa lagi untuk dimintai tolong? Keluarga satu-satunya yang ia miliki hanyalah ayahnya, jika tidak ada bantuan dari Bu Listia. Bagaimana nasib Nala yang tengah berjuang melawan rasa sakitnya? Perasaan Shanika hancur berkeping-keping, hidupnya dalam sekejap berubah berantakan karena kehilangan sosok ayah. Sosok yang menjadi pilar hidup Shanika, kini menghilang, tak ditemukan jasadnya. “Mama, Kakak, aku mohon bantu aku buat biayain pengobatan Nala. Nala dalam bahaya,” isak Shanika seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memohon supaya mereka mau membantu. Bu Listia mendengus, Carissa juga menatapnya sinis. Di situasi seperti sekarang ini, tidak adakah rasa empati mereka? Terlepas dari mereka tak memiliki ikatan darah, setidaknya memiliki rasa kemanusiaan. Sikap Bu Listia dan Carissa seperti orang yang tak memiliki hati, tidak ada rasa empati dan kasihan padahal Nala butuh pertolongan. Shanika merendahkan badannya, berlutut di depan mereka berdua. Untuk kali ini, Shanika benar-benar membutuhkan uang demi keselamatan adiknya. “Shanika, lo udah gila? Bangun, jangan mempermalukan kita!” bisik Carissa memperingati adik tirinya agar tak bersimpuh sambil menangis seperti itu. Carissa tidak ingin imagenya dinilai buruk oleh orang. Sebagai aktris terkenal, Carissa harus terlihat baik supaya memiliki banyak penggemar. Yang dilakukan Shanika ini tentu mengundang banyak perhatian, banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. “Bangun, Shanika! Sikap lo bisa bikin image gue buruk!” Setelah suasana sepi, Carissa menarik lengan Shanika agar berdiri. Tubuh Shanika bergetar, dia menangis karena permohonan itu tidak ada hasilnya. Bu Listia dan Carissa enggan membantunya. “Kalau sampai kamu merusak image Carissa, Mama akan memberikanmu pelajaran. Untuk apa kamu meminta tolong padaku? Aku bukan ibumu dan Nala bukan anakku, anakku hanya Carisssa, bukan kalian!” tukas Bu Listia, seperti biasa perkataannya selalu menusuk dan tajam. “Sekarang Papa udah nggak ada. Di sini cuma lo yang berhak menjaga dua adik lo itu, jangan nyusahin kita mulu, tahu diri!” ketus Carissa. “Ya kalau kamu mau dapet uang ya kerja dong, jangan cuma mau tinggal minta, enak aja!” Carissa tersenyum mengejek. “Apa, Ma? Shanika kerja? Lihat aja mukanya, dia itu jelek, kerja zaman sekarang itu selalu cari yang goodloking. Sementara dia? Wajah jelek, cuma tamatan SMA, kuliah masih lanjut. Mana bisa dia kerja, kecuali jadi gundik pria tua kaya raya.” Perasaan Shanika bagai tersayat sembilu, perkataan mereka berdua membuat hatinya bagai tertusuk belati tajam. Sesak tak tergambarkan. “Makanya rawat diri, biar cantik kayak Carissa supaya dapet lelaki kaya. Kalau kamu gak bisa ngurus diri, mana ada lelaki yang mau sama perempuan kayak kamu.” Begitu banyak hinaan didapatkan, Shanika harus berlapang dada. Menelan pahitnya ejekan mereka. “Mama, aku harus segera datang ke lokasi syutting. Kalau Papa ditemukan kabari aku, ya.” “Iya, Sayang. Kamu jangan banyak pikiran, soal papamu biar Mama saja yang urus. Karirmu lebih utama,” balas Bu Listia, keduanya berpelukan sebelum Carissa pergi ke tempat kerjanya. Apa-apaan ini? Di saat Pak Grahadi tiada, Carissa masih sempat-sempatnya memikirkan karirnya seolah sedang tidak berduka. Kendatipun Pak Grahardi bukan ayah kandungnya, dari kecil hingga sekarang dia bisa sukses karena ayahnya. Tapi apa balasan dia sekarang? Ia malah acuh tak acuh saja, seakan-akan lupa dengan jasa Pak Grahadi. Sikap mereka membuat Shanika geram dan menaruh kebencian. Payahnya ia hanya diam saja layaknya orang bodoh. Di kondisi begini, Shanika meredam emosinya. Ia tidak ingin tersulut emosi, Bu Listia akan semakin menolak membantu. Hanya dialah satu-satunya harapan untuk dimintai tolong. “Sekali Mama bilang tidak ya tidak, Shanika, kamu ini nunggu Mama marah saja baru diam. Mama nggak peduli sama adikmu itu, kalau dia anakku baru aku akan membiayainya. Gak sudi biayain anak orang!” Harapan Shanika pupus sia-sia, Bu Listia semakin marah padanya. Shanika di ambang kebuntuan, kendati demikian dia tak boleh putus akal. Ia harus mencari cara agar mendapatkan uang secepatnya. Tapi … dengan cara apa dan bagaimana? “Ma, aku titip Nevan. Aku akan mencari pinjaman,” kata Shanika pada akhirnya tidak lagi memaksa, karena itu percuma. Mau menangis darah pun tidak ada artinya. Kadang Shanika berpikir, kenapa ada orang sekejam itu di dunia ini. Shanika menghubungi dua sahabatnya, Draco dan Zora sudah mendengar kabar kalau ayahnya Shanika kecelakaan dan hilang karena hanyut di sungai. Kabar ini sudah masuk ke TV dan diketahui oleh masyarakat luas. Draco dan Zora pun menunggu Shanika di caffe tempat biasa mereka nongkrong. “Lo udah denger juga, Dra?” tanya Zora pada teman lelakinya. Draco mengangguk, mereka terkejut bukan main mendengar kabar memilukan. “Iya, gue dikasih tahu sama bokap gue. Gue telpon Shanika gak diangkat-angkat, gue khawatir sama keadaan dia,” ujar Draco. Zora pun sama. Mereka duduk dengan perasaan kurang tenang. Tak lama kemudian, sosok yang ditunggu pun menunjukkan batang hidungnya. “Shanika!” panggil Zora, Shanika berhambur memeluknya dan menumpahkan tangisannya. Draco ikut berdiri, dia mengusap pundak Shanika agar tenang. Keduanya membiarkan Shanika lega dahulu. “Semoga bokap lo segera ditemukan, Shanika. Gimana keadaan Nala? Nevan gimana?” Draco bertanya usai Shanika sudah mulai tenang. “Nala lagi kritis di rumah sakit, kata dokter dia harus segera dioperasi. Kalau Nevan baik-baik aja, dia lagi kurang sehat, gue titipin dia ke Mama,” balas Shanika, perasaannya masih pilu dan hampa. Ia sangat terpukul, rasanya dunia berhenti berputar karena Tuhan sudah merenggut dua orang yang dia butuhkan. Ayah dan ibunya. “Draco, Zora … gue butuh uang buat biaya operasi, lo berdua punya uang gak? Gue janji bakalan ganti.” Mereka bertiga sudah bersahabat sejak lama, tetapi tetap saja rasa sungkan masih ada. “Gue cuma ada uang segini, Shanika. Lo 'kan tahu ATM gue disita Mommy,” jawab Zora mengeluarkan uang sebesar lima juta rupiah. “Ambil aja, gue masih ada simpanan kok. Gak usah lo ganti, ini bahkan kurang.” “Gue ada duit, cuma kalau buat biaya operasi gue gak ada. Gue cuma bisa bantu dikit,” sahut Draco memberikan uang sejumlah yang sama dengan Zora. Mempunyai sahabat baik tentu hal yang patut Shanika syukuri, sisanya dia tinggal mencari uang lagi. “Gak papa, makasih udah bantu gue. Gue bener-bener butuh duit sekarang, sorry ya, gue harus pulang.” Saat hendak akan pergi, Zora menahan pergelangan tangannya. Kening Shanika mengerut. “Kenapa, Ra?” Zora menatap Shanika dengan tatapan lekat, ada kesedihan terpancar di wajahnya dengan kondisi Shanika. “Bisa kita bicara bentar? Ada yang mau gue bicarain. Sorry, Dra. Gue sama Shanika ke belakang bentar. Draco mengiyakan, mempersilakan dua sahabatnya bicara empat mata. Dia tahu, setiap orang memang punya privasi masing-masing. Zora dan Shanika sudah sampai di belakang. Dua tangan mereka saling berpegangan, saling menguatkan satu sama lain. “Ada apa, Ra? Ada yang mau lo bicarain? Bicara aja,” ucap Shanika. “Sebelumnya maaf kalau gue udah keterlaluan. Lo tahu 'kan Mommy gue punya tempat hiburan? Lo datang aja ke sana, siapa tahu Mommy bisa bantu lo. Tapi lo harus inget, kalau dia nyuruh yang nggak-nggak jangan mau. Gue terpaksa saranin ini karena lo lagi butuh duit.” “Tunggu … maksud lo, gue cari kerjaan di tempat hiburan?” Shanika bertanya memastikan.Bab 9Zora mengangguk pelan, wajahnya tersirat sebuah beban pikiran lantaran memberikan solusi seperti ini pada Shanika. Zora sadar ini salah, sangat salah.“Iya, karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang dengan jumlah besar. Ini satu-satunya jalan yang bisa lo tempuh supaya dapet uang yang lo butuhkan.”Mendengar saran dari Zora, Shanika tersentak kaget. Ia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya, saran dari Zora ini tidak masuk akal. Sebutuh-butuhnya Shanika, dia enggan menggadaikan harga dirinya demi uang.Ia dengan tegas menolak. Dia tidak mau mengambil langkah ini, cara yang dapat merugikan diri sendiri nantinya.Selain ini, pasti banyak cara, bukan hanya menjual diri saja. Bergabung ke dunia malam sama saja ia terjun ke dalam jurang, akan terjebak di kedalaman. Apalagi ini harus menyerahkan tubuh, Shanika tentu tidak sudi.“Nggak, Ra, gue gak sudi kalau jual diri. Lo pasti punya banyak cara selain ini, 'kan? Kalau ini gue nggak mau,” tolak Shanika secara gamblang.Bagi si
Bab 10 Pria yang dipanggil kakak oleh Shanika pun berbalik, gelas yang tadinya ia pegang jatuh dan berserakan di lantai. Bagaimana tidak, jika pelanggan yang Tante Nora maksud itu ialah Sergio, kakak iparnya sendiri. Sangat mengejutkan! Mulut Shanika menganga, matanya melotot seketika, masih belum percaya kalau Sergio memesan wanita untuk penghangat ranjangnya. Sama halnya dengan Shanika, Sergio juga kaget. Sepersekian detik dia hanya mampu menatap Shanika dengan raut penuh keterkejutan. “Shanika? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Sergio. Rahangnya mengetat, ular di lehernya terlihat mencuat, menandakan dia sedang menahan amarah bertemu dengan adik iparnya di sini. Sergio memang memesan wanita untuk memuaskannya, tetapi … kenapa harus Shanika? Netra hitam legam Sergio terus memindai Shanika yang masih shock. Ia memperhatikan penampilan Shanika dari atas sampai bawah. Gaunnya gerutu ketat dan terbuka, untuk apa Shanika datang ke ruangannya? “Ak-aku … aku butuh uan
Bab 11Carissa menegakkan duduknya, ia yang tadinya bermanja mendadak tidak mood jika membahas perihal anak. Setiap kali bertemu dengan keluarga Sergio, mereka sering mendapati pertanyaan soal anak.Dari awal menikah, Carissa sudah bilang pada Sergio ingin menunda kehamilan dan fokus pada pekerjaan. Sergio tidak keberatan, ia justru mengiyakan dan mendukung cita-cita istrinya.Akan tetapi, semakin lama, Carissa semakin sibuk menggapai mimpinya. Sergio juga tak bisa membiarkan Carissa sebebas itu, mengingat mereka ini pasangan suami istri.“Mas, aku udah bilang dari awal menikah kalau aku mau menunda kehamilan dulu. Lagian usia kita masih muda, aku juga pengen fokus jadi aktris sampai bisa jadi pemeran utama. Ini yang bikin aku males ketemu keluarga kamu, selalu membahas anak,” ujar Carissa menyedekapkan dua tangannya di depan dada.Harusnya Sergio yang marah, malah justru sebaliknya. Keinginan orang tua dan suaminya sama, mereka ingin Carissa mempunyai seorang anak.Sergio ini anak tu
Bab 12Tanpa adanya pemanasan, tanpa adanya aba-aba, Sergio melakukan penyatuan yang membuat inti Shanika terobek paksa. Mendengar jeritan Shanika, Sergio terhenti seketika.Ia menunduk, menatap Shanika yang menangis karena diruda paksa. Namun, Sergio sudah dikuasai oleh hawa nafsu, dia sampai tak bisa mengendalikan diri.Sudah dari lama dia menahan, sekarang dia sudah mencapai hal yang dia inginkan. Percintaan di atas ranjang. Tubuh Sergio condong ke depan, ia membungkam mulut Shanika dengan bibirnya.“Shanika ….” Sergio melepas sejenak tautan bibir mereka, dia menggeram sambil menyebutkan nama Shanika di sela-sela percintaannya.Sergio terlihat menikmati, tanpa peduli kesakitan yang dirasakan Shanika saat kini. Rasa sakit mulai terasa hampir di sekujur tubuh Shanika, yang paling sakit adalah bagian intinya.Setelah mencari posisi, Sergio mulai menyentuh setiap bagian tubuh wanita yang berada di bawah kungkungannya. Ia kehilangan akal, telah mengambil kesucian Shanika di kamarnya.Sh
Bab 13 Perkataan Shanika sama sekali tidak meluluhkan hati Sergio. Sekali berhati batu, tetap seperti itu. Lihatlah respons Sergio, lelaki itu hanya menghela napas sambil menyugar rambutnya dengan begitu santai, seolah tidak ada beban berat seperti yang Shanika rasakan. Tubuh mereka semakin dekat, tanpa jarak. Shanika semakin ke tembok, detik berikutnya ia hanya bisa memejamkan mata sembari memukul dada bidang Sergio yang melumat bibirnya dengan paksa. Shanika seperti wanita hina, hanya bisa pasrah saja ketika ada pria yang macam-macam padanya. Andai saja kontrak itu dibatalkan, andai saja waktu bisa diulang, Shanika tidak akan mengambil jalan ini. Berurusan dengan Sergio sama saja masuk ke dalam perangkap, membuat dirinya terjerat tanpa bisa melakukan apa-apa. Jempol Sergio mengelus pinggang ramping Shanika, tangan satunya menahan tengkuk wanita di hadapannya agar ciuman mereka semakin dalam. “Argh!” Sergio menjerit ketika bibir bawahnya digigit. Sedari tadi Shanika memberontak
Bab 14Sergio jadi salah tingkah karena kepergok memperhatikan Shanika. Di pantulan spion, Shanika melayangkan tatapan sinis, wanita itu tidak tahu kenapa Sergio memperhatikannya. Jangankan Shanika, Sergio saja tidak tahu kenapa ia terhanyut memperhatikan. Ia kembali melajukan mobil, tidak lagi melihat ke arah belakang.Shanika juga sibuk dengan Nevan, sampai akhirnya mobil milik Sergio berhenti di depan gerbang sekolah.“Nevan, belajar yang benar, ya. Nanti Kakak jemput kalau udah benerin motor, kalau Kakak belum jemput, kamu tunggu di pos satpam,” kata Shanika ikut ke luar, mengantar Nevan sampai ke gerbang masuk.Nevan pun memeluk kakaknya dan melambaikan tangan, bocah kecil itu berlari menyusul teman-temannya.“Shanika, saya turut berduka cita dengan meninggalnya Pak Grahardi, ya,” ucap Bu Nafa, wali kelas Nevan.Shanika mengulas senyum tipis, meski di dalam hati merasa hancur berkeping-keping. Dia sedang menunggu kabar dari kepolisian yang masih mencari keberadaan ayahnya. “Ter
Bab 15Kemunculan Sergio di belakangnya membuat Shanika dengan cepat menoleh, apalagi Sergio menimbrung obrolannya dengan dokter. Shanika tahu, di balik sikap Sergio yang penolong ini ada maksud tersembunyi. Apalagi jika bukan soal urusan ranjang.Ia yakin, kesempatan ini Sergio gunakan agar Shanika lebih bergantung padanya dan memberikan banyak celah untuk kakak iparnya. Jika begini caranya Shanika sulit terlepas dari kontrak ini.“Baik, Pak, silakan ke ruang administrasi,” kata dokter sembari pamit pada keduanya, diikuti suster di belakangnya.Setelah dokter dan suster pergi, Shanika menatap tajam pada Sergio. “Aku nggak butuh bantuan Kakak, aku bisa membiayai pengobatan Nala dengan hasil keringatku sendiri. Aku tahu Kakak menolongku bukan semata-mata karena tulus, tetapi Kakak sedang mencari kesempatan dalam kesempatan,” cacar Shanika mengomeli Sergio karena suasana sepi, ruangan ini memang jarang dilalui orang-orang terkecuali tenaga medis."Keringatmu sendiri? Bahkan, aku yang b
Bab 16Bukan hanya Shanika yang menyesal, tetapi Zora juga merasakan hal sama. Sebagai pencetus ide gila ini, Zora sudah salah mengambil tindakan yang dapat merugikan hidup sahabatnya. Shanika sudah terikat kontrak, entah apa isi kontrak itu dan dengan siapa. Pada intinya, Zora ingin membantu Shanika agar bebas dari kontrak tersebut. Akan tetapi, harus bagaimana?“Kontrak apa? Lo setuju gitu aja?” tanya Zora ia tak habis pikir dengan Shanika yang mau-mau saja diikat dengan kontrak.Positif thinking, mungkin karena pikiran Shanika sedang kalap. Tidak ada jalan pilihan lain selain menyetujui, Zora sendiri tidak pernah merasakan seperti yang dirasakan Shanika. Ia tidak boleh menghakiminya. Pun, semuanya bukan salah Shanika.Justru Shanikalah penolong bagi adiknya, Shanika gadis berani. Rela melakukan apa saja demi kesembuhan Nala, bahkan jika bertaruh nyawa pun Shanika akan melakukannya.“Gue mau bebas dari kontrak itu, tapi gue harus ngumpulin uang banyak supaya dia nggak ngancam gue s