Bab 39
Sergio pusing setiap kali kedua orang tuanya mempertanyakan hal serupa, membahas soal anak. Bukan Sergio tidak mau, tetapi karena Carissa yang terus menunda. Jika ditanyai seperti ini, Sergio ingin menghilang saja dari bumi. Bu Yesi dan Pak Dion ingin segera memiliki cucu, usia mereka tidak lagi muda. Ingin menghabiskan waktu sembari mengurus cucu mereka sebelum menutup mata. “Gio, kamu dengerin Mama ngomong nggak, sih?” gerutu Bu Yesi pada putranya yang hanya diam saja ketika ditanya. Habis mau bagaimana, jika hanya itu saja pertanyannya, maka jawabannya akan tetap sama seperti sebelumnya. “Dengar, Ma. Jawabanku tetap sama, kami menunda sebentar lagi. Lagian aku sama Carissa mau menikmati waktu berdua,” pungkas Sergio. Kehamilan ditunda, jarang ada waktu berdua, fakta besar ini tak diberitahukan pada mereka. Mengecewakan mendengar jawaban Sergio yang sBab 40 Di dalam kamar miliknya, Shanika duduk di tepi ranjang sambil menatap sebuah kotak hadiah yang berisi gaun berwarna merah. Shanika bertanya-tanya, tentang siapa orang yang memberikan gaun seindah ini untuknya. Dilihat dari tampilannya, tak hanya indah, pasti mahal harganya. Seperti gaun yang berasal dari butik ternama. Drt … drt …. Lamunan Shanika bubar seketika, ia mengambil ponselnya yang berdering. Menandakan ada panggilan masuk, saat melihat layar ponsel, nama Sergiolah yang tertera di sana. Sergio menghubunginya lewat video call, tanpa pikir panjang, Shanika mengangkatnya. “Gaunnya sudah sampai?” tanya Sergio di seberang sana. Wajah frustasinya begitu kentara akibat pertengkarannya dengan Carissa. Sedari tadi Shanika kebingungan, tapi sekarang dia sudah tahu kalau gaun itu dikirim oleh Sergio. Tahu begini, Shanika tidak akan b
Bab 41 Shanika ingin menggapai benda pipih yang dipegang oleh kakak iparnya dan menghapus video mereka, Shanika benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Sergio yang tak tahu tujuannya apa melakukan itu. Benar-benar di luar nalar. Sudah tak punya harga diri, lagi-dipermalukan dengan cara seperti ini. “Aku mohon, hapus videonya, Kak. Apa tujuan Kakak melakukan hal itu?” tanya Shanika lirih, suaranya parau karena mulai menangis. “Agar kau patuh pada perintahku dan tak lagi membantahku, aku sengaja menyimpan video ini untuk mengancammu,” balas Sergio. Dia tidak sebodoh yang Shanika kira, saat Shanika terus memberontak dan membantah, Sergio punya cara lain agar gadis itu takluk. Shanika mendengus, ia menghapus air matanya dengan kasar sembari melepaskan baju santainya di hadapan Sergio dengan perasaan hancur berantakan. Air mata tak berhenti mengalir, Shanika harus menahan rasa malu diperlakukan layak
Bab 42 “Aku?” tanya Shanika menunjuk dirinya sendiri. Pertanyaan polos Shanika membuat Sergio gemas dan geram secara bersamaan. Bayangkan saja, sudah jelas Sergio mengajaknya, malah bertanya. “Kalau bukan pada kau, lalu pada siapa lagi? Tidak ada siapa pun di sini selain kita, bodoh sekali!” maki Sergio mengomeli. Diomeli begitu, Shanika jadi cemberut. Belum juga menjawab, Sergio sudah menariknya untuk berdanda. Sergio merengkuh tubuh Shanika ke hadapannya, tubuh keduanya saling menempel tak berjarak. Mereka saling bertatapan, sambil mengikuti alunan musik yang mengiringi tarian yang dua insan itu lakukan. Shanika gugup, pikirannya campur aduk bahkan komplit dirasakan. “Aku nggak bisa dansa, Kak, aku belum pernah dansa sama sekali,” ucap Shanika pelan, meski keluarganya kaya dan sering menghadiri pesta, dia belum pernah berdansa. Sergio ter
Bab 43 Sergio jadi panik, dia merasa bersalah sudah membuat Shanika terluka hingga saat ini. Karena sudah diselimuti nafsu, dia sampai tak mempedulikan Shanika yang histeris. “Maafkan aku, aku tak bermaksud menyakitimu, sungguh,” kata Sergio sambil menghampiri Shanika yang mendorong dada bidangnya, menolak untuk didekati. “Bajingan!” maki Shanika dengan tatapan marah,”aku sudah menyuruhmu berhenti dari tadi! Kenapa kau tak mendengarkanku!” “Maaf, Shanika … aku benar-benar minta maaf, aku aku akan memeriksanya.” Takut terjadi sesuatu pada bagian inti, Shanika hanya bisa menangis terisak-isak. Sekujur tubuhnya sudah mati rasa akibat gerakan liar yang Sergio berikan, sangat kasar dan tak berperasaan. Sergio meraih handuk, kemudian melilitkannya sebatas pinggang untuk mengambil kompresan. Dia akan membersihkannya lebih dahulu. “Kau marah pada
Bab 44 Terik matahari semakin merangkak, hingga hari telah berganti menjadi siang. Di kamar hotel yang ditempati, Shanika tengah membersihkan diri untuk pulang. Ia menatap dirinya di depan pantulan cermin, dia meringis dengan penampilannya yang memprihatinkan ini. “Menjijikan!” gumam Shanika sembari meremas pinggiran wastafel, melampiaskan rasa sakit dan kesedihannya. Shanika menutup kembali tubuhnya, ia membasuh wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Sudah lama dia menangis sendirian, menangisi kepedihan karena kebodohannya tak bisa melakukan apa pun. Saat Shanika akan keluar dari kamar, Sergio rupanya sedang bersandar di tembok sambil memperhatikan dua mata Shanika yang sembah. Ternyata wanita ini menangis, pantas saja lama di kamar mandi. “Lagi-lagi kau menangis, apa yang kau tangisi?” tanya Sergio kesal, setiap kali bersamanya Shanika terus menumpahkan kesedihan.
Bab 45 Carissa mengangguk dengan mantap, dia teringat perkataan ibunya yang mengatakan kalau Carissa harus menuruti keinginan suami dan mertuanya agar mereka menyayanginya. Awalnya Sergio ragu, kenapa Carissa berubah pikiran secepat itu. Kendatipun bagus, bukan? Inilah yang dia tunggu selama ini. Menunggu kesiapan Carissa mempunyai anak. “Kamu serius? Kenapa pikiranmu berubah secepat itu, bukan karena agar aku memaafkanmu saja, 'kan?” tanya Sergio, tangannya bertengger di pinggang ramping Carissa dengan perasaan gembira. Tentu saja gembira, keinginannya untuk menjadi seorang ayah akan terwujudkan jika Carissa sudah siap. “Nggak, Sayang, aku nggak mau kamu menunggu lama lagi. Harusnya aku sudah mewujudkannya dari dulu, maafin aku,” ujar Carissa begitu manja, walau dalam hatinya ia masih belum siap sepenuhnya menjadi seorang ibu. Kebanyakan, orang yang sudah m
Bab 46 Bu Listia meredamkan kekesalan dalam hatinya, meskipun Pak Hans teliti, ia tidak takut sama sekali. Bu Listia menyimpangkan kaki dengan menampilkan wajah arogannya. “Sebaiknya Anda jangan bermain-main dengan saya, Pak Hans, jika Anda tidak mau bernasib sama dengan sahabat baikmu itu.” Bu Listia melayangkan tatapan tajam dan peringatan, Pak Hans menyadari ada sisi berbeda dari istri majikannya ini. Wanita paruh baya di depannya meskipun terlihat anggun dan elegan, tetapi Pak Hans melihat ada sifat kejam di balik itu semua. “Apa maksud Anda berkata seperti itu? Perkataanmu Anda seolah-olah kematian Grahardi ada kaitannya denganmu,” tutur Pak Hans, dilihat dari gestur dan perkataannya, Pak Hans memang merasakan sesuatu yang mencurigakan. “Jika iya kenapa? Jika tidak kenapa? Anda lancang sekali, Pak Hans. Sudah menuduh tanpa bukti, masa iya saya mencelakai suami sendiri. Itu t
Bab 47 Pak Hans kelabakan, dia tak mungkin melakukan hal gila itu. Seumur hidup, baru kali ini Pak Hans tak menepati ucapannya. Padahal Pak Grahardi mempercayainya. “Tidak, saya tak mau melakukan hal itu. Itu hal gila, apalagi sampai memalsukan dokumen. Saya enggan merusak kepercayaan Pak Grahardi,” tolak Pak Hans, jangan sampai dia gegabah dalam bertindak. Dia bodoh dan tergoda dengan Bu Listia, padahal itu adalah jebakan. “Kenapa tidak mau? Grahardi sudah meninggal, dia sudah tiada dan tidak akan tahu. Hanya kau dan aku, kita bisa bersenang-senang seperti tadi jika kau mau membantuku, Pak Hans. Kau suka 'kan dengan kegiatan tadi?” goda Bu Listia terus saja menguji jiwa kelelakian Pak Hans. Bu Listia tahu kalau ini kelemahan pria. “Saya terpaksa karena Anda menggoda saya, Bu Listia. Saya tak akan membantu Anda, surat wasiat ini sudah akurat, tak boleh dipalsukan!” “Ayolah, Hans … aku