Bab 02
“Andai kakakmu tidak sibuk dengan dunianya, aku tidak akan melakukan ini. Aku tidak peduli mengkhianatinya atau tidak, dia sendiri bahkan tak mempedulikan perasaanku.” “Aku bingung harus menjawab apa, karena itu bukan urusanku. Tapi yang jelas, baik Mama maupun Kak Carissa tidak boleh tahu, terutama dua adikku.” Shanika menatap Sergio yang terus menenggak minuman alkohol itu. Dia sudah menebak kalau Sergio melakukan ini karena ada alasan. Alasan jelasnya karena Carissa jarang ada di rumah, sebagai suami Sergio sangat membutuhkan istri. Merasa tidak peduli dengan masalah mereka, Shanika tidak mau ambil pusing karena itu bukan urusannya. Yang harus Shanika pikirkan adalah, bagaimana cara agar dia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Nala. Dia tidak punya banyak waktu, suster mengatakan jika Nala harus segera ditangani. Shanika memilin jari jemarinya yang terasa dingin saking gugup dan takut. “Karena kita sudah sepakat mentandatangani kontrak, mulai sekarang dan seterusnya kamu harus patuh dengan keinginanku. Untuk selanjutnya kita bicarakan nanti, kau bahkan masih berani menolakku.” “Bolehkah aku meminta uangnya sekarang? Aku sangat membutuhkannya dan tidak bisa menunda sampai besok, Nala harus segera ditangani, Kak,” pinta Shanika. Sergio membuka kedua matanya, tersirat jelas raut wajahnya tampak lelah. “Adakah jaminan bagiku supaya bisa memegang ucapanmu?” tanyanya. “Aku tidak akan kabur, kau bisa menghubungiku jika perlu sesuatu. Untuk sekarang berikan aku uang.” Shanika menjelaskan agar Sergio percaya dengannya. “Baiklah, awas saja jika kau berani menipuku!” Sergio menyimpan gelas di atas meja, dengan langkah sempoyongan ia mengambil jas yang tergeletak di atas ranjang. Ia kembali duduk di dekat Shanika, gegas saja wanita itu memangkas jarak, enggan berdekatan. Lagi-lagi penolakan. Sepertinya Sergio harus bersabar. Toh, ini baru permulaan. Suatu saat dia pasti bisa menjerat Shanika supaya wanita ini tidak selalu menolak. Tidak sekarang, tapi nanti. Sergio akan melukuhkannya perlahan. “Besok datanglah jika aku menghubungimu. Kita akan menikah secara diam-diam di gereja, aku sudah tidak tahan ingin segera menyentuhmu. Ingin melakukan hal yang tidak bisa Carissa berikan, dia selalu saja mementingkan pekerjaannya,” imbuh Sergio, jarinya memegang pena dan memberikan cek dengan nominal fantastis. Seumur hidup, belum pernah Shanika punya uang sebesar ini. Mengingat semua yang ia nikmati ini karena kerja keras ayahnya. Bibir Shanika terangkat, membentuk senyum tipis. Hatinya merasa lega dan dipenuhi syukur karena dia bisa mendapat uang untuk biaya pengobatan adiknya. Meski caranya salah dan terpaksa, yang terpenting keselamatan Nala. “Aku harus kembali ke rumah sakit, Kak,” kata Shanika, melepaskan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Ia kurang nyaman lantaran gaun ketat dan terbuka dikenakannya. Berbeda dengan Shanika yang kurang nyaman, Sergio malah menatapnya nyaris tak berkedip. “Jangan menatapku seperti itu, jangan lancang!” omel Shanika menutupi bagian dadanya, karena ia sadar pandangan mata Sergio tertuju ke sana. Sergio menyugar rambutnya frustasi, dia butuh wanita untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Sementara Carissa, dia sibuk dengan pekerjaan. Jika pulang ke rumah pun tak bisa melayani dengan alasan elelaj dan capek. Bagaimana bisa Sergio tahan jika Carissa tak bisa menjalankan kewajibannya? Terpaksa Sergio mencari kesenangan di luar. Niat hati ingin bersenang-senang dengan wanit malam, malah dipertemukan dengan Shanika yang datang ke kamar. 'Shanika … Shanika … kau membuatku gila,’ batin Sergio, terbayang dengan percumbuan mereka di atas ranjang. *** Shanika pergi ke tempat hiburan untuk mengambil pakaian, tidak mungkin ia memakai pakaian tak sopan ini ke tempat umum. Dia akan mengambil bajunya, lalu pergi ke rumah sakit. “Gimana, Shanika? Apa kamu sudah melayaninya dengan baik?” tanya Tante Nora, ibunya sahabat Shanika. Gadis itu mengangguk. “Sudah, Tante. Aku harus segera ke rumah sakit sebelum terlambat.” Usai pamitan, Shanika pergi dengan menggunakan angkutan umum. Sepanjang jalan air matanya mengalir, ia merasa takdir tak adil padanya. Dalam sekejap, Tuhan mengambil orang yang dia cintai. Orang tua satu-satunya yang Shanika miliki kini telah pergi, Shanika harus berjuang mengurus dua adiknya. Jika bukan dia, siapa yang peduli? Bahkan, Bu Listia dan Carissa tidak peduli sama sekali. “Aduh, Shanika! Kamu itu dari mana saja sih, hah?” sentak Bu Listia ketika Shanika sampai di depan ruangan Nala dirawat. Napas Shanika tersengal-sengal akibat berlarian, baru saja sampai sudah mendapat omelan. “Maaf, Ma, aku kesusahan mencari uang,” balas Shanika mengusap peluh keringat membanjiri keningnya. Bu Listia menatap tajam. “Lain kali jangan merepotkan, sana urus dua adikmu. Mama ingin pulang, sudah ngantuk!” Nevan langsung berhambur memeluk kakaknya sambil menangis. Dia sedih atas kepergian sang ayah, adiknya tengah berjuang hidup, ditambah terus dimarahi oleh Bu Listia. “Kakak ke mana saja? Mama marahin aku, terus aku nggak dikasih makan, aku laper, Kak,” isak Nevan. Segitu kejamnya Bu Listia, tak ada rasa kasihan pada anak kecil. “Maafin Kakak, ya, Kakak nyari uang buat Nala. Sekarang antar Kakak ke administrasi dulu, habis itu kita ke kantin,” ajak Shanika menenangkan Nevan agar berhenti menangis. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, Shanika merasa terbantu dengan bantuan Sergio. Karena dia, Shanika bisa membayar biaya operasi dan sisanya untuk biaya makan. 'Maafkan aku Kak Carissa, aku terpaksa melakukan ini semua.’ “Dok, saya ingin membayar biaya operasi adik saya. Nala Keylova Veralyn namanya, mohon segera ditindaklanjuti, Sus. Nyawa adik saya dalam bahaya,” desak Shanika pada suster. Suster mengangguk. “Andai tenang dulu ya, pasien akan segera ditangani.” “Syukurlah, saya lega, Sus.” *** Keesokan harinya, Shanika sudah tidak sesedih semalam karena Nala sudah melakukan operasi dan berjalan dengan lancar. Hanya saja, Nala belum bisa dijenguk, dokter mengatakan kalau kondisinya masih lemah. “Kak, ponsel Kakak bunyi terus tuh,” kata Nevan yang bersandar di lengannya. Shanika melihat nama Sergio tertera di layar ponselnya, dari pagi sampai sekarang dia terus saja menghubungi. “Nevan, Kakak mau angkat telpon dulu. Kamu tunggu di sini dan jangan ke mana-mana.” Sebelum mengangkat panggilan Sergio, Shanika mencari tempat sepi supaya leluasa berbicara. Dia kesal, kenapa Sergio mengganggunya dengan terus menghubungi? “Halo, Ka—” “Ke mana saja kau, bodoh? Dari pagi aku menghubungimu kenapa kau tidak menjawab panggilan dariku?” Ucapan Shanika terpotong, Sergio menyelanya. “Aku lagi di rumah sakit, Nevan tidak ada tema—” “Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, sialan. Cepat keluar, aku ada di depan rumah sakit.” Degup jantung Shanika berpacut cepat. Sergio akan menjemputnya? Apa pria itu kehilangan akal? “Kak Gio gila, bagaimana jika ada orang yang tahu? Aku tidak mau.” “Kau berniat mengingkari janjimu?” Tentu saja tidak, sekarang Shanika masih repot mengurus dua adiknya. Belum ada waktu memikirkan itu. “Sudah aku katakan, aku sedang mengurus Nevan dan Nala. Kenapa Kakak tidak mengerti juga?” Shanika tersulut emosi. “Jika kamu mengingkari janjimu, kembalikan semua uangku!”Bab 3Mendengar itu, sepasang mata Shanika terbelalak. Bagaimana caranya ia mengembalikan uang sebanyak itu pada Sergio? Sedangkan ia saja belum memiliki penghasilan. Shanika masih kuliah, sumber uang yang ia dapatkan dari pemberian ayahnya. Jika dia mengingkari janji, dia takut Sergio benar-benar serius dengan ucapannya.“Aku akan menitipkan Nevan pada suster dulu,” balas Shanika usai berperang dengan pikirannya. Tidak ada cara lain selain pasrah.Sebelum pergi menemui Sergio, Shanika menitipkan Nevan pada suster. Setelah itu dia pergi ke bawah dan mencari keberadaan Sergio.Di depan rumah sakit, dari jarak beberapa meter terlihat seorang pria memakai pakaian formal dan kacamata hitam yang bertengger sedang menunggu di depan mobil.Itu Sergio. Lelaki itu bersandar di mobil sembari bersedekap dada, sesekali melirik ke arloji yang melingkar di pergelangannya.“Aku sudah bilang padamu untuk menunggumu di belakang, Kak,” ucap Shanika bergegas menghampiri.Ia sudah bilang jika keduanya b
Bab 4Shanika memasang sikap waspada ketika Sergio sudah menanggalkan celana panjang miliknya. Shanika memutaralihkan pandangan agar tak melihat hal yang menurutnya menjijikan. Bukan malah tergoda, ia jijik melihatnya.Saat akan beranjak, kedua kaki Shanika ditarik kasar. Baru akan berkata, Sergio langsung menindihnya dan membungkam bibirnya dengan ciuman menuntun.Napas keduanya saling beradu, di jarak sedekat ini helaan napas saling menerpa wajah masing-masing. Shanika meremas seprai, jantungnya sudah seperti gempa berhadapan dengan Sergio nyaris tak berjarak.“Biarkan aku pergi, Kak, aku janji akan mengganti uangmu. Tolong jangan lakukan ini padaku, sadarlah, ini tak benar!” tolak Shanika menahan dada bidang Sergio sekuat tenaga. Supaya dia tidak mendekatinya.Melihat usaha Shanika menjauhkannya, Sergio hanya bisa diam tanpa melakukan perlawanan. Karana ia tahu, tenaga lelaki lebih besar daripada tenaga wanita di bawahnya.“Memangnya salah jika seorang suami meminta haknya?” Dengan
Bab 5Ironis memang, ketika Shanika dan dua adiknya disuruh meninggalkan rumah padahal rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuanya. Harta dan tempat tinggal mewah yang dinikmati tak lain dan tak bukan adalah milik Pak Grahadi.Andai saja Shanika memiliki uang atau tempat tinggal, ia pasti akan meninggalkan rumah itu daripada mereka menderita atas perlakuan ibu tirinya.Dia juga ingin mengambil haknya, warisan yang ditinggalkan oleh Pak Grahadi pada anak kandungnya. Bu Listia dan Carissa tidak ada hak untuk mengklaim semua warisan tersebut.“Cepat masuk ke mobil, daripada kamu keluyuran nggak jelas. Lebih baik kamu nyari kerja, dan ya … dari mana kamu dapat uang untuk biaya pengobatan Nala?” tanya Bu Listia ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.Bu Listia baru sadar kalau Shanika tidak memiliki uang untuk membayar pengobatan rumah sakit. Sebelumnya Shanika juga memohon-mohon padanya agar Bu Listia membantu membayar, tapi ditolak mentah-mentah.Alasannya karena Bu Listia tidak ma
Bab 6Telinga Shanika terasa pengang harus mendengarkan omelan ibu dan kakak tirinya di pagi hari. Tidak bisa sekali mereka membiarkan dia tenang, lama-lama Shanika tak betah tinggal di rumah dan ingin sekali mengadu pada ayahnya tentang bagaimana sikap asli mereka di belakangnya.Ya, selama ini Shanika dan dua adiknya memang selalu bungkam jika mendapatkan perlakuan tak mengenakan dari mereka. Alasannya karena … jika mereka mengadu, takut kekejaman mereka semakin menjadi-jadi.Shanika mencemaskan keadaan dua adiknya apabila tidak ada ia di rumah, takut keduanya terkena imbas.“Cepetan! Gue bentar lagi mau berangkat, bisa cepet gak sih lo? Lelet banget!” omel Carissa.Shanika membuang napas, lalu masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya ia gugup jika diminta datang ke sini, ia dan kakak iparnya tidak terlalu akrab.“Kakak butuh bantuan apa?” tanya Shanika tepat di belakang Carissa.Di pantulan cermin, Carissa memolesi wajahnya dengan make up. Penampilannya selalu glamour, wajar saja, karen
Bab 7Di mobil yang mereka tumpangi, hanya ada keheningan saja sepanjang jalan. Tidak ada obrolan, tidak ada juga yang membuka topik pembicaraan. Hening, Shanika juga bingung ingin mengatakan apa. Di satu sisi ia dan Sergio tidak terlalu dekat. Pun saat bertemu jarang mengobrol.Akan tetapi, sekarang keduanya sedang berduaan, kegugupan Shanika kian bertambah. Sergio terlihat santai, tak sekilas pun melirik adik iparnya yang kebingungan mencari topik pembicaraan.Alhasil, Shanika yang bingung pun memilih bungkam saja. Sebab, ingin bicara pun percuma harus membahas apa.“Jika Carissa menyuruhmu, tidak usah dituruti,” kata Sergio memecah keheningan yang ada.Suasana yang tadinya tegang, mendadak hilang. Shanika tersenyum kikuk menanggapinya. Dia tidak bisa melawan ibu dan kakak iparnya, takut berimbas pada Nevan dan Nala.“Lebih baik aku yang mengerjakan, daripada berimbas pada dua adikku. Kalau aku nggak nurut sama perintah mereka, takutnya Nevan dan Nala yang jadi sasaran,” balas Shani
Bab 8Mendapat bentakan dan penolakan dari ibu tirinya, Shanika makin ketakutan. Nala sedang dalam bahaya dan dia butuh pertolongan. Kalau bukan bantuan dari Bu Listia dan Carissa, Shanika harus pada siapa lagi untuk dimintai tolong?Keluarga satu-satunya yang ia miliki hanyalah ayahnya, jika tidak ada bantuan dari Bu Listia. Bagaimana nasib Nala yang tengah berjuang melawan rasa sakitnya?Perasaan Shanika hancur berkeping-keping, hidupnya dalam sekejap berubah berantakan karena kehilangan sosok ayah. Sosok yang menjadi pilar hidup Shanika, kini menghilang, tak ditemukan jasadnya.“Mama, Kakak, aku mohon bantu aku buat biayain pengobatan Nala. Nala dalam bahaya,” isak Shanika seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memohon supaya mereka mau membantu.Bu Listia mendengus, Carissa juga menatapnya sinis. Di situasi seperti sekarang ini, tidak adakah rasa empati mereka? Terlepas dari mereka tak memiliki ikatan darah, setidaknya memiliki rasa kemanusiaan.Sikap Bu Listia dan Cari
Bab 9Zora mengangguk pelan, wajahnya tersirat sebuah beban pikiran lantaran memberikan solusi seperti ini pada Shanika. Zora sadar ini salah, sangat salah.“Iya, karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang dengan jumlah besar. Ini satu-satunya jalan yang bisa lo tempuh supaya dapet uang yang lo butuhkan.”Mendengar saran dari Zora, Shanika tersentak kaget. Ia sampai menggeleng-gelengkan kepalanya, saran dari Zora ini tidak masuk akal. Sebutuh-butuhnya Shanika, dia enggan menggadaikan harga dirinya demi uang.Ia dengan tegas menolak. Dia tidak mau mengambil langkah ini, cara yang dapat merugikan diri sendiri nantinya.Selain ini, pasti banyak cara, bukan hanya menjual diri saja. Bergabung ke dunia malam sama saja ia terjun ke dalam jurang, akan terjebak di kedalaman. Apalagi ini harus menyerahkan tubuh, Shanika tentu tidak sudi.“Nggak, Ra, gue gak sudi kalau jual diri. Lo pasti punya banyak cara selain ini, 'kan? Kalau ini gue nggak mau,” tolak Shanika secara gamblang.Bagi si
Bab 10 Pria yang dipanggil kakak oleh Shanika pun berbalik, gelas yang tadinya ia pegang jatuh dan berserakan di lantai. Bagaimana tidak, jika pelanggan yang Tante Nora maksud itu ialah Sergio, kakak iparnya sendiri. Sangat mengejutkan! Mulut Shanika menganga, matanya melotot seketika, masih belum percaya kalau Sergio memesan wanita untuk penghangat ranjangnya. Sama halnya dengan Shanika, Sergio juga kaget. Sepersekian detik dia hanya mampu menatap Shanika dengan raut penuh keterkejutan. “Shanika? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Sergio. Rahangnya mengetat, ular di lehernya terlihat mencuat, menandakan dia sedang menahan amarah bertemu dengan adik iparnya di sini. Sergio memang memesan wanita untuk memuaskannya, tetapi … kenapa harus Shanika? Netra hitam legam Sergio terus memindai Shanika yang masih shock. Ia memperhatikan penampilan Shanika dari atas sampai bawah. Gaunnya gerutu ketat dan terbuka, untuk apa Shanika datang ke ruangannya? “Ak-aku … aku butuh uan