Beranda / Pernikahan / Terikat Kontrak dengan Kakak Ipar / Bab 4. Aktivitas yang Terjeda

Share

Bab 4. Aktivitas yang Terjeda

Bab 4

Shanika memasang sikap waspada ketika Sergio sudah menanggalkan celana panjang miliknya. Shanika memutaralihkan pandangan agar tak melihat hal yang menurutnya menjijikan. Bukan malah tergoda, ia jijik melihatnya.

Saat akan beranjak, kedua kaki Shanika ditarik kasar. Baru akan berkata, Sergio langsung menindihnya dan membungkam bibirnya dengan ciuman menuntun.

Napas keduanya saling beradu, di jarak sedekat ini helaan napas saling menerpa wajah masing-masing. Shanika meremas seprai, jantungnya sudah seperti gempa berhadapan dengan Sergio nyaris tak berjarak.

“Biarkan aku pergi, Kak, aku janji akan mengganti uangmu. Tolong jangan lakukan ini padaku, sadarlah, ini tak benar!” tolak Shanika menahan dada bidang Sergio sekuat tenaga. Supaya dia tidak mendekatinya.

Melihat usaha Shanika menjauhkannya, Sergio hanya bisa diam tanpa melakukan perlawanan. Karana ia tahu, tenaga lelaki lebih besar daripada tenaga wanita di bawahnya.

“Memangnya salah jika seorang suami meminta haknya?” Dengan sengaja Sergio mengatakan ini, sepertinya Shanika memang lupa atau mungkin tak mau mengakui pernikahan kontrak mereka.

Telapak tangan Shanika terasa pegal lantaran terus menahan badan besar Sergio. Sergio mengangkat setengah badan, tangannya mulai menelusup masuk ke dalam rok yang Shanika pakai.

Shanika mendesis, dia merutuki diri karena terlihat menikmati. Dirinya sendiri saja jijik, sampai Shanika menggigit bibirnya sekuat mungkin. Tak peduli hingga berdarah, ia sama sekali tak menikmati setiap sentuhan yang Sergio lakukan.

Dua mata Sergio merem melek sembari meracau penuh kenikmatan saat tangannya bersentuhan langsung dengan kulit halus Shanika.

“Ahh, fuck!” umpatnya menggeram keenakan, baru menyentuh paha saja sudah membuatnya kehilangan akal sehat.

Air mata Shanika menggenang, buliran air bening terus mengajak sungai. Hatinya bagai tercabik-cabik karena pertama kalinya disentuh oleh pria begitu intens.

Ia bergerak gelisah layaknya cacing kepanasan, bukan karena menikmati, tetapi mencari celah supaya bisa melepaskan diri.

‘Tuhan … maafkan aku!’ batin Shanika. 

Kepalanya menengadah, badannya bagai disengat listrik ketika tangan Sergio merambat semakin atas. Tepat di buah dada miliknya. Tangan Sergio yang menganggur tak dibiarkan begitu saja, ia menahan pergelangan Shanika agar dia tidak memukulnya.

“Jangan, Kak! Jangan lakukan itu, aku mohon!” Shanika berteriak, ia histeris saat Sergio meremas sebelah dadanya dengan kuat.

Hatinya menolak, tetapi reaksi alamiahnya membuat Shanika seolah menikmati. Kakinya bergerak ke sana kemari, bahkan berupaya menendang Sergio. Nihil, tidak ada hasil.

Sergio mendongak, menatap wajah Shanika yang memejamkan matanya. Bibir wanita ini berdarah, membuat Sergio berdecak kesal dan terus memberikan gerakan.

“Kita lihat, seberapa kuat kamu menahan untuk tidak mendesah. Kamu terlalu naif, aku tahu kamu sangat menikmatinya, 'kan?” tanya Sergio, suaranya terdengar memberat karena sudah tak kuasa menahan hawa nafsu yang semakin menggelora.

Sekuat mungkin Shanika mengigit bibirnya sampai darah segar mengalir. Kedua tangan yang tadi ditahan oleh Sergio, kini berpindah ke kepala kakak iparnya sambil menjambaknya tak kalah kuat.

“Ngh ….” Peluh keringat dan air mata membasahi wajahnya, Shanika ingin melontarkan makian pada Sergio.

Meski dirinya menangis pilu, ternyata tidak ada rasa iba sedikitpun. Sergio seperti manusia berhati batu!

“Bagaimana bisa kamu punya kulit semulus dan selembut ini? Apa aku orang pertama yang menyentuhnya? Ataukah kau pernah seperti ini dengan pria lain?” Sergio bertanya, ia tersenyum meremehkan. Menganggap Shanika ini wanita murahan, padahal dia tahu alasan Shanika melakukan ini untuk apa.

“Shit, kamu haid?” umpat Sergio ketika menurunkan dalaman yang Shanika pakai.

Baru akan memasuki permainan inti, aktivitas Sergio terhenti ketika melihat ada darah di sana. Shanika yang tadinya sudah tegang, seketika merasa plong. 

Ia baru ingat kalau tanggal sekarang jadwal dirinya haid. Dalam hati Shanika mengucapkan syukur karena Sergio mulai menjauhkan tubuhnya.

Lelaki itu tampak murka dan kecewa ketika nafsu sudah menyelimuti ragu, malah ada halangannya. Sergio mengusap wajahnya gusar, membelakangi Shanika yang langsung menarik selimut menutup bagian bawahnya.

“Kenapa kau tidak bilang padaku jika kau sedang haid? Benar-benar tak berguna. Percuma aku membayarmu jika mengulur waktu!” sentak Sergio penuh amarah.

“Aku lupa kalau hari ini memang jadwalku haid, lagipula Kakak juga tidak memberikan  aku kesempatan untuk berpikir,” kata Shanika, suaranya terdengar serak dan parau. Nyaris tak terdengar karena berteriak sedari tadi.

Sergio memijat pangkal hidungnya, rasa pening di kepala mulai mendera. 

Suara dering ponsel terdengar, itu ponsel milik Sergio.

“Ambil ponselku!”

Shanika menurut, ia beringsut turun. Mengambil ponsel Sergio yang tergeletak di lantai, kemudian memberikannya pada pemiliknya.

“Halo, Sayang? Kamu di mana, Mas? Aku lagi di rumah loh, tadi aku nyusul ke kantor katanya kamu keluar.”

Shit, di saat Sergio dipusingkan oleh Shanika. Dia baru tahu kalau istrinya sudah berada di rumah. Kesempatan bagus, bukan?

Ketika Shanika tidak bisa melayani, sang istri mengabari jika dirinya pulang hari ini.

“Aku ada urusan, sebentar lagi aku pulang.”

Sergio berbalik, mendelik kesal pada Shanika yang langsung menunduk.

“Aku akan pulang sekarang, Nevan sudah menungguku. Aku juga akan pulang ke rumah, Mama akan marah kalau aku tak mengurus pekerjaan rumah.”

“Pulang saja. Toh, kehadiranmu di sini juga tidak ada gunanya.”

***

Tanpa berpamitan pada Sergio, Shanika langsung keluar dari hotel selesai merapihkan pakaiannya. Dia sangat lega, karana haid dan Carissa telah menyelamatkannya. Anggap saja hari ini hari keberuntungannya.

Shanika berjalan ke depan gerbang, menunggu angkutan umum untuk mengantarnya ke rumah sakit. Kasihan Nevan, adiknya sudah ia tinggalkan sendirian.

Dengan menggunakan angkut, Shanika membayar setelah sampai di tempat tujuan. Di parkiran rumah sakit, Shanika melihat Nevan tengah ditarik paksa oleh Bu Listia.

“Nevan?”

“Mama, apa yang Mama lakukan? Kasihan Nevan, Ma!” ujar Shanika ketus, dia memeluk Nevan yang diperlakukan kasar.

Bu Listia melototi keduanya. “Bagus deh kalau kamu pulang. Bukan berarti Nala sakit, kamu nggak mengerjakan pekerjaan rumah, Shanika. Mama sudah memecat si Mbok supaya bisa menghemat uang, sebagai gantinya semua pekerjaan rumah kamu yang kerjakan!” titahnya.

Di saat Shanika masih mengalami duka akibat kehilangan ayahnya dan Nala dinyatakan koma, Bu Listia masih saja berlaku kejam padanya.

“Kenapa, Ma? Kasihan si Mbok jika Mama pecat gitu aja. Si Mbok udah lama kerja di rumah kita,” protes Shanika.

Dari Shanika kecil, si Mbok memang sudah bekerja di rumahnya. Shanika sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Tapi apa ini? Bu Listia malah memecatnya sesuka hati.

“Malah nanya kenapa! Ya Mama nggak mau banyak pengeluaranlah. Mama harus hemat karena papamu udah nggak ada. Uang dari mana coba?” 

“Nevan nggak mau pulang, Nevan mau jagain Nala di sini!” tolak Nevan. Meski usianya sepuluh tahun, sebagai kakak laki-laki, Nevan selalu melindungi adik perempuannya.

“Nevan benar, Ma, aku harus mantau perkembangan Nala di sini.”

“Mama jahat, aku nggak mau pulang sama Mama!”

Bu Listi menjewer telinga Nevan sampai anak kecil itu kesakitan. “Kakak sama adik ngelawan mulu kerjaannya! Kalau kalian jadi anak pembangkang, gak usah pulang, lebih baik tidur sana di pinggir jalan!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Els Arrow
ibu tiri selalu jahat dan kejam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status