40Malam kian larut. Namun, Hadrian belum juga kembali. Zaara benar-benar gelisah, karena pria itu juga tidak bisa dihubungi. Semua telepon Zaara tidak tersambung. Pesannya pun hanya centang satu abu-abu. Kala jarum jam menyentuh angka 11, Zaara akhirnya memutuskan untuk bertindak nekat. Dia menyambar tas travel dan mengisinya dengan beberapa setelan pakaian. Zaara mengambil baugette bag hitam di gantungan, lalu mengecek isinya. Sesuai memasukkan ponsel, charger dan dompet, Zaara mengenakan cardigan rajut hijau. Tidak berselang lama Zaara sudah berada di taman samping kanan rumah. Dia sengaja menggunakan tangga putar dari tempat servis, supaya kepergiannya tidak diketahui keluarga. Zaara jalan secepat mungkin hingga tiba di carport. Dia membuka pintu mobilnya untuk memasukkan tas. Kemudian dia menempati kursi pengemudi dan menyalakan mesinnya. "Kalau ada yang nanya, bilang aku nginap di rumah Akang," tukas Zaara, saat satpam mendatanginya. "Ya, Non." Satpam itu tampak ragu-ragu.
Zaara keluar dari kamar utama. Dia mengecek ke lantai satu melalui dinding pembatas mezanin. Selanjutnya, Zaara menuruni tangga dan menyambangi suaminya yang sedang bersantap bersama Endaru, Kirman dan Syaiful. Zaara menyapa semua orang seraya tersenyum. Dia menarik kursi di sebelah kanan Hadrian dan duduk dengan rapi. Mimi bergegas menyuguhkan teh hangat buat Nyonya rumah. Kemudian dia kembali ke tempat cuci untuk menuntaskan pekerjaan. Perempuan berbaju salem menikmati hidangan sambil mendengarkan keempat pria bercakap-cakap. Tawa Zaara menguar, saat Endaru menjelaskan tingkah teman-teman tim satu PG, saat acara resepsi. Perempuan bermata besar nyaris tersedak ketika Syaiful menambahkan cerita tentang tim Banim yang bertugas di ring tiga, saat menghadapi beberapa tamu yang lupa membawa kartu undangan. "Banim keringatan waktu alat pemindai tiba-tiba ngadat," ujar Syaiful. "Mana lama lagi. Tambah panik dia," lanjutnya seraya tersenyum. "Terus, gimana?" tanya Hadrian. "Bang Ilyas
42Gedung pertemuan besar di salah satu hotel bintang lima di Kota Bandung, pagi menjelang siang itu terlihat ramai pengunjung. Berbeda dengan resepsi pertama yang jumlah tamunya dibatasi. Pada perhelatan akbar kedua, Hadrian dan keluarga mengundang banyak orang. Selain mengirimkan kartu undangan fisik, mereka juga mengundang melalui undangan online, yang disertai barcode. Sebab itu, petugas ring tiga menggunakan 4 alat pemindai agar pekerjaan mereka bisa cepat dikerjakan. Selanjutnya, para tamu diarahkan petugas ring dua ke deretan stand makanan serta minuman. Bila tamu VIP yang datang, panitia penyambut tamu mengarahkan mereka ke jalur khusus. Supaya tidak antre lama, seperti tamu biasa. Jam 1 siang, tempat kosong di sisi kiri ruangan, menjadi pusat pandangan pengunjung. Lampu-lanpu sorot diarahkan ke sana. Sedangkan lampu-lampu lainnya diredupkan. Bunyi kecapi menyapa indra pendengaran penonton. Mereka memerhatikan sekelompok orang yang muncul dari sisi kanan dan kiri tempat
43Ruangan luas di restoran milik Hadrian malam itu terlihat ramai orang. Mereka kompak menggunakan baju putih berbagai model, dan celana jin biru. Hadrian dan Zaara berdiri di ujung tengah sambil memegangi mikrofon. Mereka menunggu Fikri dan Khairani yang bertugas sebagai MC, menyelesaikan dialog pembuka. Selanjutnya giliran pasangan pengantin baru yang menyampaikan isi hati mereka pada khalayak. "Aku dan Zaara, mengucapkan berjuta terima kasih pada seluruh pendukung acara akad nikah, pesta pertama dan kedua," ujar Hadrian memulai pidatonya. "Kami tahu, kalian sudah lelah. Enam pesta pernikahan berlangsung berurutan. Ditambah lagi dengan acara Hisyam dan Utari, yang akan dilaksanakan sebentar lagi," sahut Zaara. "Sebab itu, kami memberikan souvenir yang berbeda. Yang bisa menunjang fisik kalian untuk meneruskan tugas di akhir tahun ini," cakap Hadrian. Zaara mengangkat tas belanja dengan tangan kiri. "Ini isinya, set mug, botol minuman, gula, kopi, teh, kue-kue, dan vitamin untu
44"Satu. Power Rangers merah. Padre Alvaro Gustav Baltissen. Dua, Power Rangers emas, Papi Yanuar Kaisar Ming Sipitih. Tiga, Power Rangers putih, Ayah Wirya Arudji Kartawinata," cakap Banim, anggota pengawal muda Jakarta."Empat, Power Rangers biru, Abah Zulfi Hamizhan. Lima, Power Rangers kuning, Bapak Yoga Pratama. Enam, Power Rangers hijau, Abi Andri Kaushal," cetus Azmari, tim pengawal London."Tujuh, Power Rangers hitam, Romo Haryono Abhisatya Putra Daryana. Delapan, Power Rangers marun, Papa Galang Ahmadi. Sembilan, Power Rangers ungu. Ayah Aswin Adiwiguna," imbuh Harzan, tim pengawal Australia."Sepuluh, Power Rangers cokelat, Bapak Satrio Dwi Harja. Sebelas, Power Rangers hijau muda. Ayah Salman Cahyadi. Dua belas, Power Rangers biru muda, Appa Nugraha Siswoyo," ungkap Dipta, tim pengawal Thailand."Tiga belas, Power Rangers krem. Ayah Jaka Rustaman. Empat belas, Power Rangers oren, Papa Mardi Fardhani. Lima belas, Power Rangers hijau army. Bapak Edwin Riswandi. Enam belas, P
45Hadrian dan Zaara mengantarkan kepergian rombongan bus yang akan kembali ke Jakarta, pagi menjelang siang itu. Pasangan pengantin baru akan pulang ke Ibu Kota, Sabtu nanti. Setelahnya, Hadrian dan Zaara menaiki mobil Raid. Mereka mengikuti mobil terdepan milik Linggha, yang hendak kembali ke rumahnya. Sepanjang jalan menuju rumah Ana, Hadrian sibuk berbalas pesan dengan rekan-rekannya di grup 1 PG. Mereka tengah membicarakan runutan acara pernikahan Hisyam dan Utari, yang akan dilaksanakan akhir pekan nanti. Hadrian menyadari bila dirinya tidak bisa hanya datang menjadi tamu. Selain karena segan pada Heru, Hadrian juga berusaha membalas budi pada Hisyam yang telah ikut menyukseskan pernikahannya. Ditambah lagi, Utari adalah sahabat dekat Zaara. Hingga Hadrian memutuskan untuk berperan aktif dalam acara Hisyam dan Utari, meskipun tidak diminta. "Kang, yang ini, bagus nggak?" tanya Zaara sembari memperlihatkan foto tas bermerek mahal, di ponselnya. "Bagus. Berapaan itu?" Hadria
46Aroma harum menguar dari bumbu yang tengah ditumis Hadrian. Zaara menutup hidungnya, sebelum dia bersin-bersin karena tajamnya bau bawang dan kawan-kawannya. Kendatipun harus menahan untuk bersin kembali, Zaara tetap bertahan mendampingi suaminya di dapur. Gerakan tangkas Hadrian saat memasak, membuat Zaara kagum. Perempuan berhidung mancung terus mengamati lelakinya yang sedang menumis kangkung, sekaligus menggoreng ikan. Dia terkejut ketika Hadrian memintanya mengulek bawang, cabai dan tomat. "Aku nggak bisa ngulek," cakap Zaara. "Dicobalah. Belajar dulu," sahut Hadrian. "Akang aja." "Enggak lihat tanganku dua-duanya sibuk?" "Aku yang ngaduk sayurnya." "Bisa?" "Iya." Hadrian bergeser ke kiri. Dia memulai mengulek dengan cepat, sembari melihat ikan yang sedang digoreng. "Ra, ikannya dibalik," pinta Hadrian. Dia termangu saat menyaksikan sang istri membalik ikan dari jarak jauh. "Gimana mau ngebalik kalau jauh begitu?" ledeknya. "Aku takut kena minyaknya," sahut Zaara.
47Jalinan waktu terus bergulir. Deretan pesta telah usai. Dimulai dari pernikahan Rangga dan Zaheera, dilanjutkan dengan dengan acara Hadrian dan Zaara. Berikutnya, pernikahan Farisyasa dan Lilakanti yang menyelinap di tengah-tengah. Ditutup oleh resepsi Hisyam dan Utari yang berlangsung meriah. Pagi itu, Hadrian menyempatkan diri ni diri ke kantor. Aprilia begitu senang dengan kehadiran bosnya, dan langsung menyuguhi Hadrian dengan dua tumpuk berkas. Aprilia memasang tampang santai. Dia sama sekali tidak terintimidasi oleh tatapan tajam sang bos, yang kesal dengan hadiah tersebut. Aprilia mengambil berkas pertama dan membukanya. Kemudian dia mengangsurkan benda itu, dan meminta Hadrian membacanya. "Aku lagi malas baca. Kamu saja yang diktekan," tukas Hadrian. "Tugas Bapak hanya membaca, lalu tanda tangan. Beres," sahut Aprilia. "Aku masih dalam hawa libur. Nggak mau kerja." "Oke. Berarti jangan salahkan aku kalau perusahaan ini bangkrut." Hadrian berdecih. "Kenapa kamu selalu