46Aroma harum menguar dari bumbu yang tengah ditumis Hadrian. Zaara menutup hidungnya, sebelum dia bersin-bersin karena tajamnya bau bawang dan kawan-kawannya. Kendatipun harus menahan untuk bersin kembali, Zaara tetap bertahan mendampingi suaminya di dapur. Gerakan tangkas Hadrian saat memasak, membuat Zaara kagum. Perempuan berhidung mancung terus mengamati lelakinya yang sedang menumis kangkung, sekaligus menggoreng ikan. Dia terkejut ketika Hadrian memintanya mengulek bawang, cabai dan tomat. "Aku nggak bisa ngulek," cakap Zaara. "Dicobalah. Belajar dulu," sahut Hadrian. "Akang aja." "Enggak lihat tanganku dua-duanya sibuk?" "Aku yang ngaduk sayurnya." "Bisa?" "Iya." Hadrian bergeser ke kiri. Dia memulai mengulek dengan cepat, sembari melihat ikan yang sedang digoreng. "Ra, ikannya dibalik," pinta Hadrian. Dia termangu saat menyaksikan sang istri membalik ikan dari jarak jauh. "Gimana mau ngebalik kalau jauh begitu?" ledeknya. "Aku takut kena minyaknya," sahut Zaara.
47Jalinan waktu terus bergulir. Deretan pesta telah usai. Dimulai dari pernikahan Rangga dan Zaheera, dilanjutkan dengan dengan acara Hadrian dan Zaara. Berikutnya, pernikahan Farisyasa dan Lilakanti yang menyelinap di tengah-tengah. Ditutup oleh resepsi Hisyam dan Utari yang berlangsung meriah. Pagi itu, Hadrian menyempatkan diri ni diri ke kantor. Aprilia begitu senang dengan kehadiran bosnya, dan langsung menyuguhi Hadrian dengan dua tumpuk berkas. Aprilia memasang tampang santai. Dia sama sekali tidak terintimidasi oleh tatapan tajam sang bos, yang kesal dengan hadiah tersebut. Aprilia mengambil berkas pertama dan membukanya. Kemudian dia mengangsurkan benda itu, dan meminta Hadrian membacanya. "Aku lagi malas baca. Kamu saja yang diktekan," tukas Hadrian. "Tugas Bapak hanya membaca, lalu tanda tangan. Beres," sahut Aprilia. "Aku masih dalam hawa libur. Nggak mau kerja." "Oke. Berarti jangan salahkan aku kalau perusahaan ini bangkrut." Hadrian berdecih. "Kenapa kamu selalu
48"Kelompok satu ini, isinya memang kocak semua," imbuh Andri. "Lanjut, Dri." "Siap." Andri berpindah ke orang selanjutnya. "Yang ini, saya kayak pernah lihat," tukasnya. "Ya, Bang. Kita pernah ketemu di kantor Om saya," jawab pria muda berkulit putih. "Silakan jelaskan dirimu." "Halo, salam kenal. Saya, Rawaya Diratama. Usia 25 tahun dan masih jomlo. Saya tinggal di rumah orang tua di Bandung. Sepupu saya, Drew, yang mengajak saya gabung ke PCD." "Beuh! Drew bawa pasukannya ke sini. Makin banyak tim pebisnis muda Bandung!" pekik Andri yang disambut tepuk tangan penonton. Andri berpindah ke antara kedua pria dan merangkul pundak mereka dengan santai. "Yang dua ini, kita lewatkan saja. Nggak perlu dikenalkan," candanya. "Janganlah, Bang. Aku mau sekalian promosi diri. Kali di sini punya saudara perempuan yang bisa dikenalkan padaku," kilah pria berbadan tinggi. "Bukannya sudah punya gebetan?" "Aku ditolak." "Kenapa?" "Katanya, aku terlalu ganteng." Andri melengos. Kemudia
49Hadrian tiba di rumahnya menjelang jam 10 malam. Dia dan Kirman masuk dari pintu penghubung dengan garasi, kemudian mereka berpencar menuju kamar masing-masing. Kondisi ruang tidur utama yang remang-remang, menjadikan Hadrian tidak melihat jelas Zaara yang sedang terlelap sembari miring ke kanan, menghadap jendela. Hadrian membuka kancing kemejanya, lalu melepaskan benda itu dan melemparkannys ke keranjang khusus pakaian kotor. Belasan menit berlalu, Hadrian sudah keluar dari toilet sembari menggigil. Dia menggerutu karena meyakini jika badannya tengah protes, hingga menderita demam. Seusai berganti pakaian, Hadrian mengambil ponsel dan kabel pengisi daya dari tas kerja. Dia berpindah duduk ke tepi kasur, lalu memasang kedua benda itu, dan mengaktifkan sakelar penghubung dengan colokan listrik. Hadrian menyambar botol di meja kecil, lalu meneguk airnya beberapa kali. Setelahnya, lelaki berkaus hijau lumut menarik selimut dan membungkus dirinya dengan benda tebal itu. Puluhan
50Zaara begitu antusias menikmati pemandangan dari ketinggian. Dia sibuk memvideokan sekeliling sembari mengoceh bak youtuber. Setelah pesawat khusus mendarat di air, Zaara terus memerhatikan sekeliling. Senyumannya mengembang menyaksikan aneka bentuk bangunan resor, yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Setibanya di dermaga khusus resor tempat mereka menginap, pilot memarkirkan pesawat dengan rapi. Seorang pramugara membukakan pintu, lalu memastikan tangga terpasang dengan benar. Dua petugas resor menunggu di dekat pintu sambil membawa troli kecil. Mereka membantu Ivan yang turun pertama sambil menggendong bayi. Hadrian membantu kedua mertuanya turun, kemudian dia memegangi tangan kiri istrinya. Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati, lalu bergabung dengan anggota keluarga yang lainnya. Selanjutnya, Kirman memimpin kelompok belasan orang menuju lobi utama resor. Fiona berseru saat melihat wahana permainan di sisi kanan bangunan. Namun, dia terpaksa menahan keingina
51Siang itu, Hadrian dan Zaara muncul di restoran hotel sambil bergandengan tangan. Mereka menyambangi meja terbesar yang ditempati keluarga Latief.Hadrian mengedipkan mata kirinya yang menyebabkan Ivan melengos. Sedangkan Zaara beradu pandang dengan Shurafa, lalu keduanya sama-sama mengulum senyuman.Kedua Kakak Zaara telah mengetahui jika pasangan pengantin baru tersebut belum melakukan ritual mereka semenjak menikah. Menyaksikan ekspresi wajah Hadrian dan Zaara, Ivan serta Shurafa akhirnya menyadari jika pasangan itu telah menghabiskan waktu bersama di ranjang.Hadrian menempati kursi di sebelah kanan Ivan. Dia berpura-pura mengabaikan tatapan tajam Kakak iparnya, dan langsung mengambil piring yang berisikan makanan pembuka."Senyum-senyum mulu. Baik-baik kesambet," bisik Ivan.Hadrian melebarkan senyumannya. "Iya, kesambet jurig cantik," selorohnya."Sukses?""Yoih.""Awas aja kalau adikku sampai lecet.""Enggak, Mas. Aku hati-hati banget.""Jangan pakai pengaman. Biar langsung
52Malam itu, semua pengawal keluarga Latief dan Kirman, pindah ke vila dekat pantai. Sementara Ana, Hilda dan Raid tinggal di vila besar. Ahmad Yafiq yang meminta hal itu, supaya bisa lebih akrab dengan keluarga Hadrian. Pria tua tersebut memerhatikan interaksi Emilia dan Ana, yang langsung sibuk membicarakan tentang resep-resep favorit keluarga. Tatapan Ahmad Yafiq beralih pada kelompok lelaki muda. Dia turut mendengarkan percakapan antara Ivan, Virendra, Hadrian, Endaru, Raid dan yang lainnya. Pria tua berbaju biru merasa kagum dengan cara berpikir kelompok muda, yang jauh lebih maju dibandingkan dirinya. Lamunan Ahmad Yafiq terputus kala ponselnya berdering. Dia meraih benda itu dari meja, lalu segera menjawab panggilan dari sahabatnya. "Mereka lagi ngumpul di sini, Sul," cakap Ahmad Yafiq. "Tolong speakernya dinyalakan, Mas. Saya mau ngomong langsung dengan mereka," pinta Sultan Pramudya. "Sebentar." Ahmad Yafiq menekan tombol speaker, lalu meletakkan ponsel ke meja. "Silak
53Matahari bergerak cepat. Sinarnya yang menyengat tepat di atas kepala, menjadikan semua orang memutuskan untuk menghentikan pertandingan, yang akan dilanjutkan sore nanti. Kendatipun badan berkeringat dan kelelahan, tetapi semua orang tampak senang telah menghabiskan waktu bersama. Mereka berduyun-duyun mendatangi restoran, lalu menempati beberapa meja besar sesuai dengan kelompok masing-masing. "Gaes, perang di San Sebastian sudah selesai," ujar Heru, sesaat setelah membaca pesan dari Tio. "Tim kita, ada yang terluka parah, Mas?" tanya Endaru. "Banyak. Bahkan Carlos dan beberapa ajudan keluarga Baltissen terpaksa menginap di rumah sakit," jelas Heru. "Pengawal PBK, gimana?" desak Adelard. "Enggak ada yang luka berat. Tapi banyak yang menderita luka yang harus dijahit," beber Prabu yang sedang berbalas pesan dengan Alvaro. "Wirya nyaris bunuh orang lagi," sela Heru. "Untungnya sempat dicegah Koko Dante, Mas Tio dan Mas Ben," tambah Prabu yang menyebabkan semua orang di meja