49Hadrian tiba di rumahnya menjelang jam 10 malam. Dia dan Kirman masuk dari pintu penghubung dengan garasi, kemudian mereka berpencar menuju kamar masing-masing. Kondisi ruang tidur utama yang remang-remang, menjadikan Hadrian tidak melihat jelas Zaara yang sedang terlelap sembari miring ke kanan, menghadap jendela. Hadrian membuka kancing kemejanya, lalu melepaskan benda itu dan melemparkannys ke keranjang khusus pakaian kotor. Belasan menit berlalu, Hadrian sudah keluar dari toilet sembari menggigil. Dia menggerutu karena meyakini jika badannya tengah protes, hingga menderita demam. Seusai berganti pakaian, Hadrian mengambil ponsel dan kabel pengisi daya dari tas kerja. Dia berpindah duduk ke tepi kasur, lalu memasang kedua benda itu, dan mengaktifkan sakelar penghubung dengan colokan listrik. Hadrian menyambar botol di meja kecil, lalu meneguk airnya beberapa kali. Setelahnya, lelaki berkaus hijau lumut menarik selimut dan membungkus dirinya dengan benda tebal itu. Puluhan
50Zaara begitu antusias menikmati pemandangan dari ketinggian. Dia sibuk memvideokan sekeliling sembari mengoceh bak youtuber. Setelah pesawat khusus mendarat di air, Zaara terus memerhatikan sekeliling. Senyumannya mengembang menyaksikan aneka bentuk bangunan resor, yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Setibanya di dermaga khusus resor tempat mereka menginap, pilot memarkirkan pesawat dengan rapi. Seorang pramugara membukakan pintu, lalu memastikan tangga terpasang dengan benar. Dua petugas resor menunggu di dekat pintu sambil membawa troli kecil. Mereka membantu Ivan yang turun pertama sambil menggendong bayi. Hadrian membantu kedua mertuanya turun, kemudian dia memegangi tangan kiri istrinya. Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati, lalu bergabung dengan anggota keluarga yang lainnya. Selanjutnya, Kirman memimpin kelompok belasan orang menuju lobi utama resor. Fiona berseru saat melihat wahana permainan di sisi kanan bangunan. Namun, dia terpaksa menahan keingina
51Siang itu, Hadrian dan Zaara muncul di restoran hotel sambil bergandengan tangan. Mereka menyambangi meja terbesar yang ditempati keluarga Latief.Hadrian mengedipkan mata kirinya yang menyebabkan Ivan melengos. Sedangkan Zaara beradu pandang dengan Shurafa, lalu keduanya sama-sama mengulum senyuman.Kedua Kakak Zaara telah mengetahui jika pasangan pengantin baru tersebut belum melakukan ritual mereka semenjak menikah. Menyaksikan ekspresi wajah Hadrian dan Zaara, Ivan serta Shurafa akhirnya menyadari jika pasangan itu telah menghabiskan waktu bersama di ranjang.Hadrian menempati kursi di sebelah kanan Ivan. Dia berpura-pura mengabaikan tatapan tajam Kakak iparnya, dan langsung mengambil piring yang berisikan makanan pembuka."Senyum-senyum mulu. Baik-baik kesambet," bisik Ivan.Hadrian melebarkan senyumannya. "Iya, kesambet jurig cantik," selorohnya."Sukses?""Yoih.""Awas aja kalau adikku sampai lecet.""Enggak, Mas. Aku hati-hati banget.""Jangan pakai pengaman. Biar langsung
52Malam itu, semua pengawal keluarga Latief dan Kirman, pindah ke vila dekat pantai. Sementara Ana, Hilda dan Raid tinggal di vila besar. Ahmad Yafiq yang meminta hal itu, supaya bisa lebih akrab dengan keluarga Hadrian. Pria tua tersebut memerhatikan interaksi Emilia dan Ana, yang langsung sibuk membicarakan tentang resep-resep favorit keluarga. Tatapan Ahmad Yafiq beralih pada kelompok lelaki muda. Dia turut mendengarkan percakapan antara Ivan, Virendra, Hadrian, Endaru, Raid dan yang lainnya. Pria tua berbaju biru merasa kagum dengan cara berpikir kelompok muda, yang jauh lebih maju dibandingkan dirinya. Lamunan Ahmad Yafiq terputus kala ponselnya berdering. Dia meraih benda itu dari meja, lalu segera menjawab panggilan dari sahabatnya. "Mereka lagi ngumpul di sini, Sul," cakap Ahmad Yafiq. "Tolong speakernya dinyalakan, Mas. Saya mau ngomong langsung dengan mereka," pinta Sultan Pramudya. "Sebentar." Ahmad Yafiq menekan tombol speaker, lalu meletakkan ponsel ke meja. "Silak
53Matahari bergerak cepat. Sinarnya yang menyengat tepat di atas kepala, menjadikan semua orang memutuskan untuk menghentikan pertandingan, yang akan dilanjutkan sore nanti. Kendatipun badan berkeringat dan kelelahan, tetapi semua orang tampak senang telah menghabiskan waktu bersama. Mereka berduyun-duyun mendatangi restoran, lalu menempati beberapa meja besar sesuai dengan kelompok masing-masing. "Gaes, perang di San Sebastian sudah selesai," ujar Heru, sesaat setelah membaca pesan dari Tio. "Tim kita, ada yang terluka parah, Mas?" tanya Endaru. "Banyak. Bahkan Carlos dan beberapa ajudan keluarga Baltissen terpaksa menginap di rumah sakit," jelas Heru. "Pengawal PBK, gimana?" desak Adelard. "Enggak ada yang luka berat. Tapi banyak yang menderita luka yang harus dijahit," beber Prabu yang sedang berbalas pesan dengan Alvaro. "Wirya nyaris bunuh orang lagi," sela Heru. "Untungnya sempat dicegah Koko Dante, Mas Tio dan Mas Ben," tambah Prabu yang menyebabkan semua orang di meja
54Jalinan waktu terus bergulir. Liburan telah usai. Awal malam itu rombongan Hadrian sudah berada di pesawat yang akan membawa mereka pulang ke Jakarta. Jourell, Harry, Hideyoshi dan Raid beserta pasangan, tetap bertahan di Maldives, karena masih ingin berlibur. Mereka baru akan pulang tiga hari mendatang bersama ajudan masing-masing. Sepanjang perjalanan, Zaara terlelap. Sementara Hadrian sibuk berbincang dengan Endaru yang berada di samping kirinya. Sekali-sekali Hadrian akan berdiri dan jalan ke kelas eksekutif untuk mengecek kondisi Ana, Emilia dan Ahmad Yafiq. Sementara Ivan, sibuk membantu mengasuh Ardibani yang mulai bosan harus duduk lama. Sedangkan Shurafa, Fiona dan Virendra sudah terlelap."Sini, Dek. Sama Om," ajak Hadrian sembari mengambil alih sang bayi dari gendongan Ivan. "Mas istirahat aja. Ardi mau kubawa ke belakang," lanjutnya sembari mengayun bayi berjaket jin biru. "Aku tidur dulu bentar, Ian. Nanti kalau kamu mau istirahat, Ardi kasih ke mbaknya," cakap Iva
55Langit biru Kota Jakarta, siang itu terlihat cerah. Udara kian menghangat seiring dengan bertambahnya waktu. Menjadikan banyak orang memutuskan untuk tetap berada di dalam ruangan, daripada beraktivitas di luar. Hadrian masih terdiam di kursinya. Tatapan lurus diarahkan lelaki berkemeja biru muda, pada pigura besar di dinding yang menampilkan foto pernikahannya dengan Zaara. Pria berhidung bangir baru saja usai dihubungi Margus melalui sambungan telepon jarak jauh. Sang pengacara menerangkan keinginan keluarga Cheng, agar Hadrian dan Zaara bersedia datang mengunjungi Leroy. Kondisi musuhnya itu menimbulkan keprihatinan Hadrian. Namun dia masih meragukan niat baik Leroy untuk berdamai. Bisa saja itu hanya akal-akalan pihak lawan, demi memuluskan jalan Leroy berangkat ke Amerika untuk berobat. Hadrian akhirnya menelepon sahabatnya dan menerangkan semua cerita Margus. Hadrian meminta pendapat pria tersebut, yang langsung mengajaknya bertemu. Puluhan menit terlewati, Hadrian yang
56Alunan musik instrumental terdengar di dalam kamar bernuansa putih dan abu-abu. Dari keremangan cahaya lampu sudut, terlihat sepasang insan yang sedang dimabuk kepayang. Lenguhan terdengar bergantian dari mulut mereka, mengiringi gerakan konstan yang dilakukan bersama. Tanpa memedulikan keringat yang keluar dari pori-pori kulit, keduanya melanjutkan percintaan dengan semangat. Berbagai gaya mereka lakukan untuk mendapatkan sensasi berbeda. Sekali-sekali bibir mereka menyatu dan saling mengisap. Pagutan kian dalam saat sudah hampir tiba di ujung pendakian. Pekikan perempuan berambut panjang menjadikan lelakinya menambah kecepatan. Kemudian mereka saling mendekap dan mengeluarkan seluruh cinta, sembari menjerit tertahan. Selama beberapa saat keduanya masih berada dalam posisi yang sama. Kala Hadrian menarik diri, Zaara mengusap dahi suaminya yang berpeluh tanpa rasa jijik sedikit pun. Hadrian menunduk untuk mengecup bibir sang istri. Namun, Zaara justru menarik leher lelakinya