“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
“Nat, kita putus aja.”Adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang lelaki bernama Aditya Davendra. Wajahnya masih menampakkan rasa kesal, marah, kecewa, dan lelah. Kata-kata kasar juga sempat ia keluarkan untuk seorang gadis bernama Natya Lavani.Gadis yang kerap disapa Natya itu terkejut. Siapa yang tidak? Pacarnya tiba-tiba datang dan menyuruhnya untuk keluar rumah menuju halaman pada malam hari, yang hampir menunjukan pukul 12. Mendengar kalimat pertama yang dikeluarkan pacarnya, membuat ia berusaha mengatur napas dengan mengepalkan tangan di dalam kantong kardigannya.“Dit, kamu nggak bisa mutusin ini sendiri. Kamu tahu kalau aku itu kumpul sama temen-temen dari tempat kerja aku. Kamu juga udah tahu siapa mereka. Awalnya emang temen cewek aku banyak yang ikut, tapi mereka pulang duluan dan sisa yang cowoknya aja. Kamu nggak bisa mutusin aku cuma karena cemburu.”“Nat. Jujur, gue udah capek banget ngadepin lo. Berap
“Nit, itu … bukan Aditya mantan gue, kan?”Mulut Nita terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar. Kedua tangannya yang sedang memegang gelas juga ikut bergetar.Melihat reaksi Nita, Natya tahu bahwa itu memang benar Aditya mantannya. Natya hanya menggeleng tidak percaya, bibirnya mengeluarkan tawa kecil. Natya menertawakan kebodohannya sendiri.“Nita ...”“Natya, dengerin penjelasan gue dulu.” Nita dengan cepat memotong.Natya langsung teringat perkataan Nita saat berbicara melalui telepon. “Syarat apa yang lo bilang di telepon?”“Itu ...”“Ada hubungannya sama ini, 'kan?” kali ini Natya yang memotong kalimat Nita.“Ada. Tapi ini bukan seperti apa yang lo pikirin sekarang.” Nita meletakkan minuman di meja. kemudian duduk di hadapan Natya.“Emang apa yang gue pikirin, Nit?” Natya tertawa pelan di
Di dalam sebuah dapur restoran, seorang pria berusia 28 tahun sedang memasak pesanan yang datang dari pelanggannya. Ia dibantu dengan beberapa asisten koki yang memang bekerja di restorannya sendiri. Daksa Shaka Prawara namanya, seorang pria tampan dengan senyuman lembut dan sopan itu menjadi koki utama di restorannya sendiri. Kuliah kedokteran selama 4 tahun dan Pendidikan Profesi Dokter ia korbankan dan lebih memilih untuk membuka restoran hanya karena sebuah alasan yang sederhana; ia merasa takjup dengan peran utama pria yang memulai usaha kuliner di dalam drama Korea yang digemari adik perempuannya.“Pak, hari ini pelanggan banyak banget. Apa nggak sebaiknya Pak Daksa pulang duluan dan serahin semuanya sama kita?”Daksa yang sedang fokus menata hidangan di piring melirik sekilas pada salah satu asisten kokinya, ia tersenyum tipis. “Udah saya bilang, nggak usah panggil pakai ‘pak’ segala, umur saya bahkan nggak setua itu.”
“Selamat sore, Bu Retno.”Seorang pria dewasa bernama Daksa masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang cukup besar berisi rak-rak buku, etalase kaca dengan berbagai piala dan piagam penghargaan, serta meja kayu yang ada di antara dua kursi panjang tempat berbincang.Bu Retno yang tadi disapa oleh Daksa, bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat dengan wajah yang bingung namun tetap tersenyum. “Sore, Daksa. Baru saja kemarin saya mengirim editor untuk membujuk kamu. Ternyata kamu sudah datang, cepat juga.”Daksa hanya tersenyum sopan.“Eh iya, silakan duduk dulu.” wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu mengarahkan Daksa untuk duduk di kursi panjang ruangannya, dan ia pun melakukan hal yang sama.“Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan yang tiba-tiba. Tapi maksud kedatangan saya ke sini, bukan karena hasil bujukan seorang editor. Ini adalah keputusan saya sendiri. Dan lagi, belum ada editor ya
Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.“Lo telat, bro!”“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti
Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d
Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya