Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.
“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.
Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi berwarna emas di depannya, dan menghampiri pos satpam yang terlihat.
“Permisi, Pak.” Natya menyapa dengan nada suara sesopan mungkin.
Satpam yang sedang duduk sambil membaca koran di dalam pos jaga akhirnya mendongak begitu mendengar suara Natya. “Eh? Ada yang bisa saya bantu, Non?”
Natya tersenyum sopan. “Saya mau tanya, Pak. Apa benar ini kediaman Daksa Shaka Prawara?” Natya bertanya sambil melirik secarik kertas di tangannya selagi menyebut nama panjang Daksa.
“Den Shaka? Ada apa Non cari ‘den Shaka?”
‘Jadi panggilannya Shaka?’ Natya bergumam. Buru-buru Natya kembali pada kesadarannya. “Ah, saya …” Natya menjeda kalimatnya.
‘Kalau gue bilang editor dari perusahaan penerbitan, apa Shaka mau ketemu sama gue?’ sekali lagi Natya bertanya pada dirinya.
“Saya temannya Shaka, Pak,” dusta Natya.
Satpam di hadapan Natya terdiam sesaat. “Teman dari mana, Non? SMP? SMA? Teman kuliah? Atau teman kerja?”
‘Ya ampun, mau ketemu anak konglomerat ternyata sesusah ini.’ Natya berusaha mempertahankan ekspresi ramahnya, seraya berucap. “Teman kerjanya, Pak.” lalu entah dari mana datangnya ide gila di kepala Natya, gadis itu kembali bicara. “Eros. Saya kenal Eros. Kita sama-sama teman Shaka, Pak.”
Raut wajah satpam di depan Natya berubah cerah. “Oalah benar temannya ‘den Shaka, toh.”
‘Iya, Pak. Harusnya Bapak percaya kata-kata saya. Kalau tahu nama Eros bakal berguna, udah saya sebut dari awal.’ Natya berkata dalam hati. Namun balasan yang ia berikan hanyalah senyum manis dan anggukan sopan.
“Saya telepon ke dalam dulu ya, Non. Untuk konfirmasi kalau temannya ‘den Shaka datang.”
Natya tidak punya pilihan selain mengangguk. Kemudian Satpam itu menekan tombol pada telepon dan berbicara kepada orang di seberang telepon begitu tersambung. “Bu, ada temannya ‘den Shaka. Iya. Temannya ‘den Eros juga. Betul. Eh? Den Shaka tidak di rumah?”
Natya langsung menajamkan indra pendengarannya begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pak satpam. Keringat dingin mulai menitik di dahi dan juga kepalan tangannya.
“Begitu, toh? Ya, wis. Iya, akan ditanyakan.” lalu satpam itu menjauhkan telepon dari mulutnya dan melihat pada Natya. “Nama Non siapa?”
“Eh?” butuh 2 detik untuk Natya menyadari pertanyaan pak satpam. “Natya. Saya Natya.”
Lalu satpam itu kembali bicara pada orang di seberang telepon. “Non Natya. Iya, perempuan. Ya, wis. Iya, akan disampaikan.” kemudian sambungan telepon ditutup.
“Gimana, Pak?” Natya bertanya hati-hati. Perasaannya sudah tidak menentu.
“Den Shaka sedang tidak di rumah, Non. Tapi ‘den Shaka akan datang ke sini. Non Natya mau tunggu di dalam saja?”
‘Kalau tunggu di dalem bisa-bisa gue kelihatan kayak upik abu banget. Mana firasat gue enggak enak. Tapi kalau tunggu di luar nanti kebohongan gue dicurigai, masa temennya Shaka nunggu di luar? Iya, kan?’ Natya berkonflik dengan batinnya sendiri, sambil sesekali melihat penampilannya yang terlihat biasa saja.
“Non Natya?”
“Eh, iya. Saya tunggu di dalam saja.”
“Baik, kalau begitu saya antar sampai pintu utama. Setelah itu ada asisten yang akan memandu Non Natya ke ruangan …. Non tahu, kan? Karena Non temannya ‘den Shaka.” sorot mata satpam yang terlihat berusia 40 tahunan itu tampak ragu beberapa detik.
“I-iya.”
Lalu tanpa banyak bicara lagi, satpam itu mengantar Natya hingga ke depan pintu utama sesuai yang dikatakannya. Natya berucap terima kasih seraya melangkah lebih dalam ketika pintu utama berwarna putih tulang yang menjulang tinggi itu terbuka.
Keterkejutan Natya tidak bisa dikendalikan lagi.
***
Di tempat lain, Daksa Shaka Prawara sedang merapikan alat-alat masak yang baru dibelinya untuk melengkapi suasana dapur apartemen yang baru ditempati. Saat sedang asyik dengan kegiatannya, ponselnya berdering menandakan telepon masuk. Dari nadanya yang berbeda, Daksa tidak perlu melihat siapa yang meneleponnya.
“Halo, Bu? Tumben telepon langsung?”
“Maaf, Den. Ada kondisi mendesak. Ah, sebenarnya bukan gawat juga, tapi …”
Daksa tersenyum kecil mendengar nada kikuk asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. “Enggak apa-apa, Bu. Pelan-pelan aja, ada apa?”
“Ada yang cari ‘Den Shaka. Perempuan, namanya Natya. Katanya temannya ‘Den Shaka, kenal sama ‘den Eros juga.”
“Natya? Temannya Eros?”
“Iya, Den.”
Daksa terdiam beberapa saat. Ia memutar kepingan-kepingan memori di kepalanya. Berusaha mencari nama Natya di seluruh kejadian yang berkaitan dengan Eros. Lalu seakan ada lampu yang mencuat di atas kepalanya, raut wajah Daksa berubah. ‘Ah, cewek itu rupanya.’
“Kalau gitu saya ke rumah sekarang ya, Bu. Suruh dia untuk tunggu sampai saya datang.”
“Baik, Den.”
Usai mematikan sambungan telepon, Daksa buru-buru meninggalkan kegiatannya yang belum selesai. Pria berusia 28 tahun itu lantas menyambar kunci motor dan juga jaketnya di atas meja pantri, kemudian bergegas keluar dari apartemennya.
“Kenapa cewek itu sampai datang ke rumah? Apa dia mau nuntut ganti rugi karena udah ditipu sama Eros?” Daksa bergumam dalam perjalannya menuju parkiran. “Hah … lagi-lagi itu manusia satu suka banget bikin masalah. Kayaknya Eros bener-bener lupa sama umurnya sendiri.”
Sampai di parkiran, Daksa langsung mengenakan helm dan menaiki motornya. Dalam sekejap, pria itu sudah melajukan mesin motor Triumph Tiger Explorernya menuju rumah utama keluarga Prawara.
Hanya butuh 20 menit bagi Daksa untuk membelah kota Jakarta yang padat dengan motor kesayangannya. Saat ini dirinya telah tiba di kediaman utama keluarganya. Daksa memasukan motornya ke dalam garasi, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
Sebelum benar-benar sampai di ruang tamu, Daksa bisa mendengar gelak tawa yang pecah milik adik perempuannya. Daksa buru-buru berjalan mendekat.
“Jadi? Di mana eonni beli kardigan ini?”
“Eonni?! Apa-apaan panggilan itu?” sergah Daksa begitu menampakkan diri di ruang tamu tempat suara gelak tawa itu berasal.
Kalimat tanyanya mendapat atensi dari dua perempuan berbeda usia yang sedang duduk bersebelahan di sofa berwarna coklat madu.
“Oppa!”
Mendengar sapaan itu membuat Daksa bergidik ngeri. “Adira, jangan mulai main drama di depan Mas,” ucap Daksa dengan nada tegas kepada gadis berusia 14 tahun yang sekarang wajahnya sudah cemberut.
Setelah itu mata Daksa beralih pada perempuan yang hanya diam menyaksikan interaksi antara dirinya dengan adik perempuannya. “Natya, betul?”
Daksa bisa melihat jelas ekspresi terkejut di wajah perempuan yang ia tebak sebagai Natya. Perempuan itu mengangguk beberapa kali. Mata Daksa mulai memperhatikan secara saksama gerak-gerik perempuan di depannya dari mulai cara berdiri, cara jari-jari tangannya saling bertautan, kemudian bahunya yang kaku, serta ekspresi cemas dan takut yang kentara di wajahnya.
“Kenapa Mas enggak pernah bilang punya teman yang cantik dan mulus kayak artis gini? Seriusan eonni ini cuma teman Mas?”
Daksa tersenyum kecil. “Bukan teman biasa.”
“Eeeeh? Terus apa dong?”
Raut wajah ceria dan penuh rasa ingin tahu milik Adira yang bisa dibaca oleh Daksa membuat senyum pria itu semakin lebar.
“Teman kencan buta.”
“Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k
“Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min
"Wes, kalem, bro." Eros mengangkat kedua tangannya.Daksa berdeham. Tidak menyadari bahwa suaranya mendadak berubah seperti orang yang mengintimidasi. "Maksud gue, ada perlu apa dia sampai ngehubungi lo?"Eros bersiap membidik, satu senyuman penuh arti ia lemparkan pada Daksa. "Mungkin akhirnya dia sadar kalau gue adalah lelaki mempesona yang enggak bisa ditolak."Tak!"Sial." Eros memaki pada bola yang gagal dimasukan, kemudian mundur untuk memberikan ruang untuk giliran Daksa.Sementara pria yang lebih muda dari Eros itu tertawa pelan. Daksa maju dua langkah, memegang stiknya kuat-kuat. Tubuhnya ia hadapkan pada Eros, membuat pria yang memiliki makna nama sebagai Dewa cinta itu mengangkat alisnya heran."Kenapa tatapan lo bisa berubah-ubah gini sih?" Eros menyuarakan rasa penasarannya.Daksa lagi-lagi hanya tertawa. "Bro, lo tahu enggak kenapa di dalam permainan biliar bola 15, yang kita mainin sekarang ini, ada aturan yang menggolongkan bola mana yang harus kita masukin? Ada yang da
'Bagaimana bisa kau mencintai sementara kau tidak mengerti dirimu sendiri?' Natya membaca satu baris kalimat dalam naskah yang sedang dikoreksi. Sebab rencana proyek baru perusahaan penerbitan tempatnya bekerja, Natya harus membawa setengah pekerjaannya untuk dibawa pulang karena situasi di kantornya yang huru-hara membuatnya tidak fokus.Namun alih-alih pulang, Natya mengajak Daksa bertemu untuk membicarakan masalah kontrak kerja sebagai penulis. Wanita itu duduk di salah satu kursi dalam Taman Suropati, yang menghadap ke air mancur sambil membolak-balik halaman naskah yang dibacanya."Boleh saya tanya kenapa kamu memilih bertemu di tempat seperti ini? Apa saya harus curiga?"Natya sontak menoleh begitu mendengar suara dari arah belakangnya. Wanita itu melihat Daksa berdiri sambil memasukan kedua tangan ke dalam kantong celana bahan berwarna cokelat milo. Kaos putih polos dilapisi dengan cardigan cokelat susu membuat penampilan Daksa terlihat lebih muda."Anda sudah datang." Natya ba
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya