Beranda / Romansa / Terbelenggu Takdir / 13. Babak Penentuan

Share

13. Babak Penentuan

Penulis: atriaskhaer
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-14 23:01:43
“Eros?!”

Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah.

“Ehm … hai?”

Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya.

“Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu.

“Iya. Anda seorang Dokter ternyata.”

Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?”

“Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya.

“Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu.

“Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …”

Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?”

“Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min
atriaskhaer

Gimanan bab ini? hehehe. Kalau penasaran, terus ikuti kelanjutannya ya!

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Terbelenggu Takdir   14. Strategi Pemenang

    "Wes, kalem, bro." Eros mengangkat kedua tangannya.Daksa berdeham. Tidak menyadari bahwa suaranya mendadak berubah seperti orang yang mengintimidasi. "Maksud gue, ada perlu apa dia sampai ngehubungi lo?"Eros bersiap membidik, satu senyuman penuh arti ia lemparkan pada Daksa. "Mungkin akhirnya dia sadar kalau gue adalah lelaki mempesona yang enggak bisa ditolak."Tak!"Sial." Eros memaki pada bola yang gagal dimasukan, kemudian mundur untuk memberikan ruang untuk giliran Daksa.Sementara pria yang lebih muda dari Eros itu tertawa pelan. Daksa maju dua langkah, memegang stiknya kuat-kuat. Tubuhnya ia hadapkan pada Eros, membuat pria yang memiliki makna nama sebagai Dewa cinta itu mengangkat alisnya heran."Kenapa tatapan lo bisa berubah-ubah gini sih?" Eros menyuarakan rasa penasarannya.Daksa lagi-lagi hanya tertawa. "Bro, lo tahu enggak kenapa di dalam permainan biliar bola 15, yang kita mainin sekarang ini, ada aturan yang menggolongkan bola mana yang harus kita masukin? Ada yang da

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-19
  • Terbelenggu Takdir   15. Akhir untuk Awal Baru

    'Bagaimana bisa kau mencintai sementara kau tidak mengerti dirimu sendiri?' Natya membaca satu baris kalimat dalam naskah yang sedang dikoreksi. Sebab rencana proyek baru perusahaan penerbitan tempatnya bekerja, Natya harus membawa setengah pekerjaannya untuk dibawa pulang karena situasi di kantornya yang huru-hara membuatnya tidak fokus.Namun alih-alih pulang, Natya mengajak Daksa bertemu untuk membicarakan masalah kontrak kerja sebagai penulis. Wanita itu duduk di salah satu kursi dalam Taman Suropati, yang menghadap ke air mancur sambil membolak-balik halaman naskah yang dibacanya."Boleh saya tanya kenapa kamu memilih bertemu di tempat seperti ini? Apa saya harus curiga?"Natya sontak menoleh begitu mendengar suara dari arah belakangnya. Wanita itu melihat Daksa berdiri sambil memasukan kedua tangan ke dalam kantong celana bahan berwarna cokelat milo. Kaos putih polos dilapisi dengan cardigan cokelat susu membuat penampilan Daksa terlihat lebih muda."Anda sudah datang." Natya ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-21
  • Terbelenggu Takdir   16. Kesempatan untuk Jujur

    "Natya, kalau setelah ini saya mengajak kamu untuk bertemu, bukan sebagai dua orang yang terikat pekerjaan, apa boleh?" Di dalam kamarnya, Natya masih memikirkan perkataan Daksa yang tiba-tiba itu sebelum mereka saling berpamitan. Saat itu Natya tidak memberikan jawaban yang pasti karena terlalu terkejut. Mereka pun langsung berpisah begitu Daksa mendapat telepon dari asisten koki di restorannya. “Hah …” Natya membuang napasnya. “Kalimat itu kedengeran kayak ajakan kencan. Tapi kalau gue nyimpulin kayak gitu padahal maksud Daksa bukan itu, malu juga.” Natya bermonolog dengan dirinya sendiri. Cukup lama Natya terdiam dengan pikirannya sendiri. Tubuhnya sudah terbaring di atas kasur sambil mengenakan pakaian santai untuk tidur. Tetapi mata Natya belum bisa terpejam. Karena itu, Natya bangkit dan mengambil ponsel dan dua buah novel. Natya memutar “Sonata No. 14. “Moonlight” in C-Sharp Minor” oleh Beethoven dan Paul Lewis dari salah satu aplikasi streaming musik di ponselnya. Tangan ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-22
  • Terbelenggu Takdir   17. Pembicaraan Tak Berujung

    Natya dan Beno sudah duduk di salah satu warteg di dekat kantor mereka saat jam makan siang berlangsung. Namun setelah 5 menit mereka menghabiskan makanan, Beno belum juga mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Lo mau ngomong apa, Ben?” “Ehm … sebenernya ya, Nat, gue itu—” Tring! Satu notifikasi masuk di ponsel Natya menginterupsi kalimat Beno. “Sorry, lanjut aja, Ben.” Lelaki itu mengangguk, berdeham sekali lagi sebelum memulai kalimatnya. “Gue sebenernya mau bilang kalau gue itu—” “Natya.” Kali ini bukan notifikasi yang menginterupsi kalimat Beno, tetapi munculnya seorang pria dengan kemeja biru laut yang sudah digulung hingga siku, dan celana bahan warna hitam. Dia adalah Daksa Shaka. Kemunculannya bukan hanya menginterupsi kalimat Beno, tetapi juga detak jantung Natya yang serasa hampir melompat. Natya menatap ke arah Daksa dengan pandangan penuh tanya. “Daksa?” Beno melihat ke arah Daksa dan Natya bergantian. “Eh sorry, Ben, gue belum ngenalin lo ke dia ya? Lo inget

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-23
  • Terbelenggu Takdir   18. Hambatan dalam Hubungan

    Natya hanya termenung mendengar pengakuan Daksa yang terlalu mendadak. Wanita itu berdeham sekali untuk mencairkan perasaan kikuknya. Dewi keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Natya. Karena ketika dirinya tidak tahu harus menjawab apa, suara alarm di ponselnya yang berjudul 'Jam makan siang sudah habis' berbunyi."Ah, jam makan siangnya udah selesai. Aku, eh, maksudnya saya harus balik ke kantor. Kalau begitu, saya permisi duluan." Natya bangkit, cepat-cepat meninggalkan warteg yang diselimuti suasana canggung itu."Natya."Natya berhenti ketika Daksa memanggil namanya. Namun dia tidak berniat untuk membalikkan badan."Kali ini kamu enggak muntahin makanannya. Apa aku boleh berspekulasi kalau masakan aku ada yang salah? Jadi lain kali aku akan minta kamu untuk jadi pencicip menu baru restoran aku."Natya tidak menjawab apapun. Wanita itu langsung melengos pergi begitu saja. Ada perasaan khawatir muncul dalam dirinya. Tentang semua luka yang pernah dialaminya dan membuatnya ada

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Terbelenggu Takdir   19. Selimut Kegelisahan

    Natya termenung menatap layar ponselnya yang menyala. Getaran tidak juga berhenti meski Natya sudah mengabaikan panggilan dari Daksa. Nita berdiri di sisi tempat tidurnya sambil mendesah pelan."Nat, angkat aja lah.""Gue enggak tahu harus ngomong apa.""Mungkin dia ada perlu." Nita mendesak."Ada perlu apa dia sama gue jam delapan malem gini? Ngajak sleep call?""Meneketehe. Makanya angkat!"Merasa telinganya panas karena omelan Nita. Dengan setengah enggan Natya menggeser layar hijau pada ponselnya."Halo?""Akhirnya diangkat juga.""Ada perlu apa?"Terdengar dehaman pelan dari seberang telepon. "Ehm, maaf kalau aku ganggu waktu istirahat kamu—""Girls talk, actually," potong Natya."Oke. I'm sorry for that. Dan aku pikir ini sedikit memalukan.""Oke. To the point, please?" "Kamu ingat adik perempuan aku waktu kamu datang ke sini?""Oh, ingat. Adira, kan? Kenapa?""Dia mau ketemu kamu lagi. Ini dia ada di sebelah aku, kalau kamu mau bicara sama dia …" terdengar suara Daksa yang sedi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Terbelenggu Takdir   20. Sepi yang Pelik

    Aditya berdiri di hadapan Natya. Sementara wanita itu hanya mengepalkan tangan sebelum menyingkir dari hadapan pria itu. Nita di belakangnya juga tidak bertindak apapun."Natya." Aditya mencekal tangan Natya sebelum dia benar-benar pergi."Lapas," ucap Natya datar."Nat, sebentar aja. Gue mau ngomong.""Lepasin!" Natya berontak sekuat tenaga. "Tangan lo nanti kotor nyentuh cewek murahan kayak gue." kalimat sarkasme dilontarkan olehnya."Waktu itu gue enggak bermaksud ngomong sekasar itu, Nat. Maaf."Natya tidak menggubris Aditya. "Nit, gue enggak tahu harus marah atau kecewa sama lo. Tapi buat saat ini, jangan muncul di hadapan gue dulu," ucap Natya mutlak tanpa ingin dibantah."Natya, gue enggak—"Sebelum mendengar penjelasan Nita, Natya lebih dulu meninggalkan paviliun Nita. Tidak peduli meski Nita berteriak memanggilnya, atau ketika dirinya mendengar Aditya mencegah Nita mengejarnya. Wanita itu terus berjalan menyusuri gang sempit hingga menemukan jalan utama. Air mata jatuh tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-04
  • Terbelenggu Takdir   21. Mulai dari Berteman

    Natya dan Daksa memutuskan untuk makan di dalam mobil setelah menerima pesanan dari restoran siap saji. Daksa memilih memarkirkan mobilnya di sekitar kantor Natya agar tidak perlu terburu-buru seandainya wanita itu ada keperluan mendadak. “Kamu lagi ada masalah?” Natya yang sedang membuka bungkus burger yang mereka beli dari salah satu restoran fast food, menoleh begitu Daksa membuka suara. “Hng? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” “Sebenernya aku mau nanya dari awal ketemu kamu di lobi. Mata kamu kelihatan bengkak.” Natya spontan menyentuh kelopak matanya. “Oh ini … karena saya begadang semalaman buat nyelesaiin kerjaan.” tentu saja itu jawaban dusta dari Natya. Daksa hanya mengangguk-angguk. Membiarkan dirinya dan Natya untuk sama-sama mengganjal perut. Daksa menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya. Lantunan suara gitar terdengar menciptakan nada untuk lagu yang dinyanyikan oleh Westlife. “Hm! More than Words!” meski sedang mengunyah, Natya dengan spontan berucap begitu mengetahu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-07

Bab terbaru

  • Terbelenggu Takdir   37. Kemungkinan Risiko

    “Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob

  • Terbelenggu Takdir   36. Rasa Cemburu

    Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe

  • Terbelenggu Takdir   35. Informasi Penting

    "Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som

  • Terbelenggu Takdir   34. Sukarelawan

    Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya

  • Terbelenggu Takdir   33. Untuk Pertama Kali

    “Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m

  • Terbelenggu Takdir   32. Pintu Rahasia

    Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja

  • Terbelenggu Takdir   31. Waktu Bermain

    Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan

  • Terbelenggu Takdir   30. Perdebatan Kecil

    Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari

  • Terbelenggu Takdir   29. Keputusan Final

    “Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya

DMCA.com Protection Status