semua hubungan diawali dari pertemanan :)
‘Iya. Kita mulai dari berteman, ya.’ Kalimat yang diucapkan Daksa berhasil menghantui Natya selama dua hari ini. Bukan karena jantungnya yang berdebar, atau perutnya yang tergelitik, tapi karena kata ‘berteman’ yang membuat kepalanya memikirkan hal lain. Nita. Entah pertemanannya dan Nita bisa dikatakan awet atau tidak, karena mereka sudah bersama sejak duduk di bangku SMA. Meski dalam prosesnya mereka melewati berbagai hal, dan pertengkaran adalah salah satunya. Namun kasus kali ini sedikit berbeda, karena ini adalah sesuatu yang sangat mempengaruhi hidupnya. Natya mengulang kejadian di mana dirinya melihat sosok Aditya—mantannya—berdiri di depan pintu paviliun sahabatnya. Saat itu Natya tidak bisa memikirkan hal lain kecuali merasa dirinya dikhianati. Bukan pertama kalinya Aditya menginterupsi kedamaian pertemanannya dan Nita. Tapi kali ini sedikit berbeda, karena ribuan pertanyaan dan spekulasi singgah di kepala Natya. Bagaimana Aditya bisa ada di sana? Apa Aditya tahu dirinya s
Natya duduk di dalam salah satu bar. Di depannya sudah ada segelas Raspberry Martini—jenis red cocktail yang terbuat dari vodka, sirup rasberi, serta jus lemon—ketiganya yang masih penuh, dua gelas lainnya sudah kosong. Sudah tiga kali helaan napas keluar dari bibirnya. “Hah … gue enggak nyangka kalau uang yang gue cari pakai keringet dan air mata, bakal gue buang-buang buat minum.” kemudian Natya tertawa setelah berbicara dengan udara. Ya, Natya pergi ke bar sendirian. Usai mengetahui perasaan Nita yang selama ini disembunyikan, Natya mengakui dirinya butuh sesuatu untuk menghilangkan beban dan stres di pikirannya. Sahabatnya itu ternyata selama ini berusaha menekan perasaannya. Namun Natya tetap merasa dikecewakan karena perkataan Nita seperti mengartikan bahwa ini semua salahnya. “Hah … manis,” ujar Natya setelah kembali meneguk minumannya. Natya menepuk kedua pipinya. “Gue enggak boleh mabok!” kemudian mengangguk-angguk. Dirinya tidak menyadari bahwa saat ini wajahnya sudah mem
“Jadi, kamu berantem sama sahabat kamu karena dia ternyata sahabatan sama mantan kamu?” Setelah tangisan Natya mereda, dia menceritakan apa yang sedang terjadi. Butuh banyak pertimbangan sebelum cerita itu mengalir dari mulutnya. Tetapi hatinya mengatakan bahwa Daksa adalah orang yang akan menjaga rahasianya. Bersama Daksa, dia aman. Natya mengangguk, tapi kemudian menggeleng. “Bukan gitu. Saya enggak masalah kalau emang mereka sahabatan. Toh dari awal sebelum ketemu saya, mereka udah temenan lama. Tapi masalahnya, sahabat saya ini seakan bilang kalau tindakan saya salah padahal yang mutusin hubungan bukan saya.” “Jadi kamu kecewa karena sahabat kamu itu malah berpihak ke mantan kamu?” Natya mengangguk. Entah karena jalan pikiran penulis selalu lancar sebab adanya daya imajinasi, atau karena pengalaman Daksa soal ini lebih banyak darinya. Tapi Natya mengagumi cara Daksa menangkap ceritanya. “Kalau gitu … karena sahabat kamu enggak berpihak ke kamu, aku bakal ada di pihak kamu.” “
Keesokan harinya, Natya kembali bekerja. Baru saja duduk di kursinya, Natya mendapat panggilan dari Bu Retno untuk datang ke ruangannya. Wanita itu 100 persen yakin bahwa bu Retno akan menginterogasinya tentang rencana kerja yang akan dilakukan Daksa. Dengan memantapkan tekad, Natya melangkah masuk ke dalam ruangan bu Retno dengan senyum profesionalnya. Natya mengetuk pintu, lalu terdengar suara bu Retno yang mempersilakannya untuk masuk. Natya melangkah pasti ke dalam ruangan Kepala Redaksinya itu. “Selamat pagi, Bu.” “Natya, duduk-duduk sini.” nada suara bu Retno terdengar sangat senang, seperti baru mendapatkan lotre senilai satu miliar. Natya duduk di single sofa sebelah kanan. “Jadi gimana? Kemarin kamu sudah berhasil mendapatkan tanda tangan kontrak dengan penulis Shasaka?” “Sekarang beliau ingin menggunakan namanya, Bu, menjadi penulis Daksa. Tetapi kontrak kerja pertama tetap harus ditepati untuk tidak menyebarkan informasi pribadi penulis Shasaka.” “Iya, saya ingat. Jad
Jam pulang kantor pun tiba. Natya telah menyelesaikan pekerjaannya satu jam sebelumnya, namun Natya memutuskan untuk tetap duduk di kursinya dan membaca naskah-naskah yang masuk melalui email. Ada satu situasi di mana Natya merasa bahwa dunia dalam cerita lebih indah, tetapi ada pula situasi di mana dunia dalam cerita terasa sangat pilu hingga Natya merasa tidak sanggup memikulnya jika dirinya yang berada di dalam sana. Tapi apalah artinya sebuah cerita tanpa ada perkara? Dalam sebuah cerita, konflik yang dialami karakter biasanya menjadi batu loncatan untuk sang karakter berkembang, atau sebuah titik balik yang akan memutar keseluruhan cerita pilu menjadi cerita bahagia seperti dalam dongeng. Dongeng Cinderella tidak akan menjadi seterkenal sekarang kalau seandainya dari awal Cinderella tidak kehilangan ibunya, sehingga ayahnya tidak menikah lagi dengan wanita yang menjadi ibu tirinya. Cinderella juga tidak akan bertemu dengan saudara tirinya dan pergi ke pesta dansa bertemu pangera
Daksa mengendarai mobil sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Natya. Sampai mereka tiba di salah satu tikungan terkenal di Jakarta. Natya turun setelah mobil Daksa diparkirkan dengan aman. Daksa mengikutinya dari belakang. Mereka menyeberang jalan sampai ke depan deretan penjual gulai yang ramai ditempati pelanggan. “Gultik?” Daksa bertanya setelah mereka berdiri menatap hamparan orang-orang yang sedang makan gulai di tempat yang sudah tidak asing lagi. Natya mengangguk. “Kamu tahu kan kalau gulai tikungan ini udah dikenal banyak orang? Rasa gulai di sini juga enggak pernah mengecewakan. Ayok.” Natya dan Daksa duduk di salah satu tempat yang masih kosong. Natya menyebutkan dua piring pesanan dan penjual pun langsung menyiapkan gulai yang masih hangat dari dalam panci besar. Natya juga mengambil dua tusuk sate usus untuknya dan Daksa, serta dua tusuk sate telur puyuh. “Cita rasa gulai ini bisa kamu jadiin referensi,” kata Natya begitu penjual telah menyajikan makanan mereka di me
Dalam perjalanan pulang di dalam mobil, Daksa dan Natya sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Natya menatap lampu-lampu dari kendaraan yang berlalu lalang. Suasana kota Jakarta di malam hari selalu menarik baginya.Begitu melewati rumah sakit, Daksa memelankan laju mobil yang dikendarainya. Natya menoleh, dan melihat Daksa yang bergumam kemudian kedua tangannya ia usapkan pada wajah seperti gerakan usai berdoa, lalu kembali memegang setir kemudi.Karena penasaran, Natya memutuskan untuk bertanya. "Kamu tadi berdoa?"Daksa melirik beberapa detik. "Iya.""Berdoa atas apa?"Natya bisa melihat Daksa memberikan senyum tipis atas pertanyaannya. Kemudian pria itu berkata, "Kebiasaan aja, Nat. Setiap ngelewatin rumah sakit, aku selalu berdoa buat orang-orang yang lagi berjuang melawan penyakit dan buat mereka yang meninggal dunia di sana. Aku juga berdoa untuk seluruh tenaga ahli di rumah sakit supaya tetap diberi kesehatan."Mendadak rongga dada Natya terasa penuh. Hatinya terenyuh men
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya