Wih, Beno muncul lagi. Gimana ya perasaan Natya yang sebenarnya? Penasaran? Simak terus ceritanya, dan jangan lupa kasih vote serta komentar!
Natya dan Beno sudah duduk di salah satu warteg di dekat kantor mereka saat jam makan siang berlangsung. Namun setelah 5 menit mereka menghabiskan makanan, Beno belum juga mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Lo mau ngomong apa, Ben?” “Ehm … sebenernya ya, Nat, gue itu—” Tring! Satu notifikasi masuk di ponsel Natya menginterupsi kalimat Beno. “Sorry, lanjut aja, Ben.” Lelaki itu mengangguk, berdeham sekali lagi sebelum memulai kalimatnya. “Gue sebenernya mau bilang kalau gue itu—” “Natya.” Kali ini bukan notifikasi yang menginterupsi kalimat Beno, tetapi munculnya seorang pria dengan kemeja biru laut yang sudah digulung hingga siku, dan celana bahan warna hitam. Dia adalah Daksa Shaka. Kemunculannya bukan hanya menginterupsi kalimat Beno, tetapi juga detak jantung Natya yang serasa hampir melompat. Natya menatap ke arah Daksa dengan pandangan penuh tanya. “Daksa?” Beno melihat ke arah Daksa dan Natya bergantian. “Eh sorry, Ben, gue belum ngenalin lo ke dia ya? Lo inget
Natya hanya termenung mendengar pengakuan Daksa yang terlalu mendadak. Wanita itu berdeham sekali untuk mencairkan perasaan kikuknya. Dewi keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Natya. Karena ketika dirinya tidak tahu harus menjawab apa, suara alarm di ponselnya yang berjudul 'Jam makan siang sudah habis' berbunyi."Ah, jam makan siangnya udah selesai. Aku, eh, maksudnya saya harus balik ke kantor. Kalau begitu, saya permisi duluan." Natya bangkit, cepat-cepat meninggalkan warteg yang diselimuti suasana canggung itu."Natya."Natya berhenti ketika Daksa memanggil namanya. Namun dia tidak berniat untuk membalikkan badan."Kali ini kamu enggak muntahin makanannya. Apa aku boleh berspekulasi kalau masakan aku ada yang salah? Jadi lain kali aku akan minta kamu untuk jadi pencicip menu baru restoran aku."Natya tidak menjawab apapun. Wanita itu langsung melengos pergi begitu saja. Ada perasaan khawatir muncul dalam dirinya. Tentang semua luka yang pernah dialaminya dan membuatnya ada
Natya termenung menatap layar ponselnya yang menyala. Getaran tidak juga berhenti meski Natya sudah mengabaikan panggilan dari Daksa. Nita berdiri di sisi tempat tidurnya sambil mendesah pelan."Nat, angkat aja lah.""Gue enggak tahu harus ngomong apa.""Mungkin dia ada perlu." Nita mendesak."Ada perlu apa dia sama gue jam delapan malem gini? Ngajak sleep call?""Meneketehe. Makanya angkat!"Merasa telinganya panas karena omelan Nita. Dengan setengah enggan Natya menggeser layar hijau pada ponselnya."Halo?""Akhirnya diangkat juga.""Ada perlu apa?"Terdengar dehaman pelan dari seberang telepon. "Ehm, maaf kalau aku ganggu waktu istirahat kamu—""Girls talk, actually," potong Natya."Oke. I'm sorry for that. Dan aku pikir ini sedikit memalukan.""Oke. To the point, please?" "Kamu ingat adik perempuan aku waktu kamu datang ke sini?""Oh, ingat. Adira, kan? Kenapa?""Dia mau ketemu kamu lagi. Ini dia ada di sebelah aku, kalau kamu mau bicara sama dia …" terdengar suara Daksa yang sedi
Aditya berdiri di hadapan Natya. Sementara wanita itu hanya mengepalkan tangan sebelum menyingkir dari hadapan pria itu. Nita di belakangnya juga tidak bertindak apapun."Natya." Aditya mencekal tangan Natya sebelum dia benar-benar pergi."Lapas," ucap Natya datar."Nat, sebentar aja. Gue mau ngomong.""Lepasin!" Natya berontak sekuat tenaga. "Tangan lo nanti kotor nyentuh cewek murahan kayak gue." kalimat sarkasme dilontarkan olehnya."Waktu itu gue enggak bermaksud ngomong sekasar itu, Nat. Maaf."Natya tidak menggubris Aditya. "Nit, gue enggak tahu harus marah atau kecewa sama lo. Tapi buat saat ini, jangan muncul di hadapan gue dulu," ucap Natya mutlak tanpa ingin dibantah."Natya, gue enggak—"Sebelum mendengar penjelasan Nita, Natya lebih dulu meninggalkan paviliun Nita. Tidak peduli meski Nita berteriak memanggilnya, atau ketika dirinya mendengar Aditya mencegah Nita mengejarnya. Wanita itu terus berjalan menyusuri gang sempit hingga menemukan jalan utama. Air mata jatuh tanpa
Natya dan Daksa memutuskan untuk makan di dalam mobil setelah menerima pesanan dari restoran siap saji. Daksa memilih memarkirkan mobilnya di sekitar kantor Natya agar tidak perlu terburu-buru seandainya wanita itu ada keperluan mendadak. “Kamu lagi ada masalah?” Natya yang sedang membuka bungkus burger yang mereka beli dari salah satu restoran fast food, menoleh begitu Daksa membuka suara. “Hng? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” “Sebenernya aku mau nanya dari awal ketemu kamu di lobi. Mata kamu kelihatan bengkak.” Natya spontan menyentuh kelopak matanya. “Oh ini … karena saya begadang semalaman buat nyelesaiin kerjaan.” tentu saja itu jawaban dusta dari Natya. Daksa hanya mengangguk-angguk. Membiarkan dirinya dan Natya untuk sama-sama mengganjal perut. Daksa menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya. Lantunan suara gitar terdengar menciptakan nada untuk lagu yang dinyanyikan oleh Westlife. “Hm! More than Words!” meski sedang mengunyah, Natya dengan spontan berucap begitu mengetahu
‘Iya. Kita mulai dari berteman, ya.’ Kalimat yang diucapkan Daksa berhasil menghantui Natya selama dua hari ini. Bukan karena jantungnya yang berdebar, atau perutnya yang tergelitik, tapi karena kata ‘berteman’ yang membuat kepalanya memikirkan hal lain. Nita. Entah pertemanannya dan Nita bisa dikatakan awet atau tidak, karena mereka sudah bersama sejak duduk di bangku SMA. Meski dalam prosesnya mereka melewati berbagai hal, dan pertengkaran adalah salah satunya. Namun kasus kali ini sedikit berbeda, karena ini adalah sesuatu yang sangat mempengaruhi hidupnya. Natya mengulang kejadian di mana dirinya melihat sosok Aditya—mantannya—berdiri di depan pintu paviliun sahabatnya. Saat itu Natya tidak bisa memikirkan hal lain kecuali merasa dirinya dikhianati. Bukan pertama kalinya Aditya menginterupsi kedamaian pertemanannya dan Nita. Tapi kali ini sedikit berbeda, karena ribuan pertanyaan dan spekulasi singgah di kepala Natya. Bagaimana Aditya bisa ada di sana? Apa Aditya tahu dirinya s
Natya duduk di dalam salah satu bar. Di depannya sudah ada segelas Raspberry Martini—jenis red cocktail yang terbuat dari vodka, sirup rasberi, serta jus lemon—ketiganya yang masih penuh, dua gelas lainnya sudah kosong. Sudah tiga kali helaan napas keluar dari bibirnya. “Hah … gue enggak nyangka kalau uang yang gue cari pakai keringet dan air mata, bakal gue buang-buang buat minum.” kemudian Natya tertawa setelah berbicara dengan udara. Ya, Natya pergi ke bar sendirian. Usai mengetahui perasaan Nita yang selama ini disembunyikan, Natya mengakui dirinya butuh sesuatu untuk menghilangkan beban dan stres di pikirannya. Sahabatnya itu ternyata selama ini berusaha menekan perasaannya. Namun Natya tetap merasa dikecewakan karena perkataan Nita seperti mengartikan bahwa ini semua salahnya. “Hah … manis,” ujar Natya setelah kembali meneguk minumannya. Natya menepuk kedua pipinya. “Gue enggak boleh mabok!” kemudian mengangguk-angguk. Dirinya tidak menyadari bahwa saat ini wajahnya sudah mem
“Jadi, kamu berantem sama sahabat kamu karena dia ternyata sahabatan sama mantan kamu?” Setelah tangisan Natya mereda, dia menceritakan apa yang sedang terjadi. Butuh banyak pertimbangan sebelum cerita itu mengalir dari mulutnya. Tetapi hatinya mengatakan bahwa Daksa adalah orang yang akan menjaga rahasianya. Bersama Daksa, dia aman. Natya mengangguk, tapi kemudian menggeleng. “Bukan gitu. Saya enggak masalah kalau emang mereka sahabatan. Toh dari awal sebelum ketemu saya, mereka udah temenan lama. Tapi masalahnya, sahabat saya ini seakan bilang kalau tindakan saya salah padahal yang mutusin hubungan bukan saya.” “Jadi kamu kecewa karena sahabat kamu itu malah berpihak ke mantan kamu?” Natya mengangguk. Entah karena jalan pikiran penulis selalu lancar sebab adanya daya imajinasi, atau karena pengalaman Daksa soal ini lebih banyak darinya. Tapi Natya mengagumi cara Daksa menangkap ceritanya. “Kalau gitu … karena sahabat kamu enggak berpihak ke kamu, aku bakal ada di pihak kamu.” “
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya