Home / Romansa / Terbelenggu Takdir / 5. Hadirnya Rasa Takut

Share

5. Hadirnya Rasa Takut

Author: atriaskhaer
last update Last Updated: 2022-03-23 15:15:23

Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.

“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.

Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.

“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.

“Lo telat, bro!”

“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.

“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.

Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti kenapa lo bisa jadi kekanak-kanakan tiap di depan gue, Ros. Umur lo udah 29 tahun tapi kelakuan lo masih …” Daksa menggantungkan kalimatnya.

“Justru karena umur gue udah 29 tahun, gue jadi makin frustrasi!”

“Soal kencan lagi?” tebak Daksa.                     

Eros mengangguk. “Kemarin gue ngasih tahu lo soal akun Vinder yang gue buatin itu, ‘kan?” Daksa mengangguk, Eros melanjutkan, “Malemnya gue lupa logout dan nyari cewek pakai akun lo. Ternyata gue dan cewek itu match. Gue ngajak dia ketemu hari ini, tapi …” Eros tidak berani melanjutkan kalimatnya.

“Cewek itu nggak mau sama lo karena lo bukan gue?”

Eros mengangguk, lalu menggeleng. Daksa semakin mengerutkan kening tidak mengerti.

“Terus? Lo frustrasi gara-gara apa?”

“Dia bilang ‘kalau kamu tetap menahan saya, maka saya akan menganggap kamu berusaha menipu saya’, itu yang bikin gue frustrasi. Image gue sebagai pria dewasa hancur karena dianggap penipu!” Eros mengusap wajahnya kasar.

Daksa lagi-lagi hanya bisa menghela napas lelah. “Lo seluang apa sih sampai mikirin perkataan orang?”

“Bro, masalahnya bukan perkataan cewek itu. Tapi rasa malu gue pas tahu kalau yang denger kalimat itu bukan cuma gue. Restoran lagi rame, terus cewek itu ngomong di depan banyak orang kayak gini. Image gue …” Eros memasang tampang memelas sambil menyapu seisi restoran yang tertangkap mata.

Daksa melempari Eros dengan sapu tangan di meja. “Mau image lo tercoreng di depan cewek itu atau pelanggan restoran, sama aja lo terlalu mikirin pandangan orang lain! Bodoh, lo beneran Dokter bukan, sih?”

“Iya juga. Tapi sedikit orang yang nganggep gue penipu, itu lebih baik.”

“Pertanyaannya, lo beneran penipu?” Daksa menopang dagunya dengan tangan di atas meja.

“Nggak lah!” sanggah Eros cepat.

“Ya udah. Selesai.” Daksa kini bersandar di kursi kayu bergaya kuno yang didudukinya.

Eros melongo. Kemudian terdiam dalam pikirannya sendiri. Pria itu memejamkan mata sesaat, kemudian akhirnya menghela napas. “Bro, kalau lo setenang dan sedewasa ini, kenapa lo bisa ceroboh dan gegabah ninggalin dunia kedokteran? Lo waktu itu nggak tahu ya rumah sakit caos kayak apa?”

“Sedikit banyak gue denger rumornya, sih. Katanyanya banyak Profesor yang sedih karena anak emasnya mutusin ninggalin dunia kedokteran.” Daksa berkata seakan orang yang dia bicarakan bukan dirinya sendiri.

“Anak emas yang membangkang.” Eros menambahkan.

“Dan anak emas yang membangkang ini bakal buka cabang restoran baru.” Daksa berkata dengan gaya yang memamerkan dirinya sendiri.

“APA?”

“Kenapa lo yang kaget gitu?” Daksa tampak tenang.

“Lo … lo beneran serius di bidang ini?” wajah Eros seakan tidak percaya.

“Lo pikir selama 3 tahun ini gue cuma main-main?” Eros membalas dengan nada yang serius.

“Nggak. Tapi gue selalu mikir kalau suatu saat lo bakal balik jadi Dokter.” Eros menghela napas pelan.

“Entahlah. Gue bahkan nggak kepikiran ngulang sekolah kedokteran.”

“Apa karena ...”

“Pelanggan makin banyak. Gue harus ngurus restoran sekarang, pasti di dapur kekurangan tenaga. Lo boleh di sini atau langsung balik. Kalau mau makan panggil Rizal.” Daksa memotong kalimat Eros begitu saja, seakan tidak ingin mendengar kelanjutan pertanyaan Eros. Pria itu bangkit kemudian menepuk bahu sahabatnya dua kali.

Sampai Daksa menghilang di balik pintu dapur, Eros mengembuskan napas yang terasa menjadi lebih berat. Ia tahu akan mendapat respon seperti itu dari Daksa, namun Eros tetap berharap suatu saat Daksa mau mendengarkannya.

***

Setelah keluar dari restoran bergaya tradisional klasik itu, Natya buru-buru menjauh dari keramaian. Natya berjalan di trotoar sambil berusaha mengatur napasnya yang perlahan sesak. Perutnya terasa mual dan kepalanya yang pening berusaha ia tahan dengan tangan.

“Ah, penyakit ini …” Natya meringis. “Di dalem restoran sama cowok nggak dikenal, terlebih salah orang … mimpi buruk apa gue semalem.” keluh Natya.

Tangan Natya bergerak merogoh tas kerjanya, mencari ponsel. Setelah berhasil menggenggam benda berbentuk persegi panjang itu, Natya buru-buru mengeluarkannya. Gadis berusia 26 tahun itu menggulir layar kontak telepon di ponselnya dengan cepat.

“Lupa. Nita dipanggil sama nyonya besar, mana bisa dia pegang handphone.”

Natya kembali menggulir layar ke atas, mencari kontak orang lain yang bisa dihubungi. Beno. “Dia sibuk nggak, ya? Kalau gue telepon setelah nolak ajakan makannya, kelihatan kayak kurang ngajar, ‘kan?” gadis itu bermonolog.

“Busway penuh kalau sore, no way. Naik ojol aja, deh.” Natya akhirnya memutuskan pilihannya. Ia segera memesan ojek online melalui aplikasi berwarna hijau di ponselnya.

Beberapa menit kemudian ojek yang dipesannya datang. Natya langsung menaiki motor itu dan mengenakan helm. Gadis itu harus segera mendapatkan terpaan angin agar rasa mualnya segera menghilang. Dan ketika rasa mual dan peningnya memudar, Natya akhirnya mengembuskan napas lega. Natya termenung di atas jok motor yang dinaikinya, mengulang seluruh kejadian yang dilaluinya selama seharian itu.

“Hm … mau gimana pun disangkal, kayaknya cowok di depan lift itu nggak asing. Tapi pernah lihat di mana, ya?” Natya lagi-lagi mulai bermonolog dengan dirinya sendiri.

Abang ojek yang mendengar gumamannya melirik dari kaca spion, namun tidak bertanya. Natya kembali berpikir keras, berusaha mengingat wajah pria yang mungkin pernah dilihatnya. Lalu setelah lima menit berkecamuk dengan pikirannya sendiri, Natya tersadar dan memekik.

“Daksa!” seruan Natya membuat abang ojek yang memboncengnya itu terlonjak kaget. “Maaf, bang.” ucapnya kemudian.

‘Iya, cowok di depan lift itu Daksa, ‘kan?’ Natya membatin. Lalu dengan cepat ia membuka aplikasi Vinder, dan membuka riwayat pesan dengan akun yang bernama ‘Daksa Shaka Prawara’. Natya juga menatap foto profil yang dipasang akun itu lekat-lekat.

“Bener ternyata.” gumamnya sepelan mungkin. ‘Tapi emang agak beda karena aslinya dia kelihatan lebih keren’ Natya kembali membatin, dan tanpa sadar ia tersenyum.

“Eh? Apa? Nggak mungkin!” secepat itu pula Natya menghapus bayangan Daksa di pikirannya.

“Mba, lagi stres karena kerjaan, ya?” abang ojek yang sedari tadi hanya diam, akhirnya tidak tahan untuk bertanya ketika melihat tingkah Natya dari spion.

“Eh? I-iya, bang. Maaf, saya emang suka ngomong sendiri kalau lagi stres.” dusta Natya. Lebih baik mengiyakan dari pada dianggap gila karena berbicara sendiri tanpa sebab.

‘Mau gimana pun gue kagum sama penampilannya. Tapi nggak mungkin ini suka pada pandangan pertama. Nggak mungkin.’ Natya memejamkan matanya.

‘Tapi kenapa dia bisa ada di kantor gue?’

***

“Jadi lo langsung pergi juga setelah gue cabut?” Nita bertanya dari seberang telepon sambil setengah tertawa.

Sebelumnya, ketika Natya tiba di rumah. Gadis itu langsung mandi dan merapikan rumah yang sedikit berantakan. Selesai merapikan rumah, Natya langsung merebahkan tubuh di atas kasurnya yang terbuat dari kapuk tebal. Ia juga menelepon Nita lalu menceritakan semua yang terjadi setelah sahabatnya itu pergi lebih dulu.

“Iya. Nggak mungkin ‘kan gue tetep di sana sama cowok asing, ditambah gue harus nahan rasa mual dan pusing di kepala yang mendadak muncul. Rasa aman gue hilang begitu lo pergi, Nit.” oceh Natya.

“Uuuu tayaaang. Gue berasa jadi obat penawar, nih.” Nita menggoda dengan candaan.

“Idih!” sanggah Natya dengan seruan.

Tring!

“Bentar, Nit. Gue dapet e-mail.” Natya meletakkan ponsel yang sudah dalam mode loudspeaker, dan memangku laptop yang menyala.

“Dari siapa?”

“Hm … Bu Retno.”

“Lagi?!” Nita memekik.

“Hm. Sebentar gue baca dulu.” Natya langsung membuka e-mail yang didapatnya dari Kepala Editor di kantor penerbitannya itu dengan saksama.

… Dengan ini saya menugaskan kamu agar segera menemui Penulis Sashaka, untuk meminta beliau menyudahi masa vakumnya dan kembali menulis. Saya harap kamu dapat mendapatkan jawaban dari Penulis Sashaka selambat-lambatnya dua hari setelah e-mail ini sampai.

Di bawah ini adalah keterangan penulis.

Nama pena: Sashaka

Nama asli: Daksa Shaka Prawara

Kontrak: Belum diperbarui

“WHAT THE HELL?!”

Related chapters

  • Terbelenggu Takdir   6. Penawaran Tak Terduga

    Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d

    Last Updated : 2022-04-03
  • Terbelenggu Takdir   7. Teman Kencan Buta

    Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b

    Last Updated : 2022-04-09
  • Terbelenggu Takdir   8. Tawaran Dalam Perangkap

    “Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A

    Last Updated : 2022-04-09
  • Terbelenggu Takdir   9. Kebulatan Tekad

    Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert

    Last Updated : 2022-04-16
  • Terbelenggu Takdir   10. Pertemuan Tidak Disengaja

    Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat

    Last Updated : 2022-04-17
  • Terbelenggu Takdir   11. Sensitivitas Rasa

    Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”

    Last Updated : 2022-05-10
  • Terbelenggu Takdir   12. Wajah Familier

    “Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k

    Last Updated : 2022-05-13
  • Terbelenggu Takdir   13. Babak Penentuan

    “Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min

    Last Updated : 2022-05-14

Latest chapter

  • Terbelenggu Takdir   37. Kemungkinan Risiko

    “Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob

  • Terbelenggu Takdir   36. Rasa Cemburu

    Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe

  • Terbelenggu Takdir   35. Informasi Penting

    "Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som

  • Terbelenggu Takdir   34. Sukarelawan

    Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya

  • Terbelenggu Takdir   33. Untuk Pertama Kali

    “Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m

  • Terbelenggu Takdir   32. Pintu Rahasia

    Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja

  • Terbelenggu Takdir   31. Waktu Bermain

    Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan

  • Terbelenggu Takdir   30. Perdebatan Kecil

    Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari

  • Terbelenggu Takdir   29. Keputusan Final

    “Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya

DMCA.com Protection Status