Beranda / Romansa / Terbelenggu Takdir / 4. Takdir Yang Salah

Share

4. Takdir Yang Salah

Penulis: atriaskhaer
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-23 15:10:33

“Selamat sore, Bu Retno.”

Seorang pria dewasa bernama Daksa masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang cukup besar berisi rak-rak buku, etalase kaca dengan berbagai piala dan piagam penghargaan, serta meja kayu yang ada di antara dua kursi panjang tempat berbincang.

Bu Retno yang tadi disapa oleh Daksa, bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat dengan wajah yang bingung namun tetap tersenyum. “Sore, Daksa. Baru saja kemarin saya mengirim editor untuk membujuk kamu. Ternyata kamu sudah datang, cepat juga.”

Daksa hanya tersenyum sopan.

“Eh iya, silakan duduk dulu.” wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu mengarahkan Daksa untuk duduk di kursi panjang ruangannya, dan ia pun melakukan hal yang sama.

“Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan yang tiba-tiba. Tapi maksud kedatangan saya ke sini, bukan karena hasil bujukan seorang editor. Ini adalah keputusan saya sendiri. Dan lagi, belum ada editor yang menemui saya.” Daksa menjelaskan dengan suara yang begitu sopan, juga senyuman yang tidak luntur dari wajahnya.

“Belum ada?” Bu Retno terdengar hampir seperti memekik.

Daksa mengangguk. “Alasan saya menemui Ibu langsung justru karena itu.”

“Apa maksudnya, Daksa?”                

“Ibu tidak perlu lagi menyuruh editor untuk membujuk saya. Karena mau bagaimanapun tawaran atau bujukan yang saya dapat, tidak akan merubah keputusan saya yang sudah final. Jadi dari pada kerja keras para editor yang menemui saya sia-sia, lebih baik tidak usah.” suara Daksa terdengar sangat berhati-hati, enggan menyinggung perasaan wanita yang lebih tua darinya itu.

“Tapi, apa saya boleh tahu alasannya?” Bu Retno terlihat masih enggan mengiyakan permintaan Daksa.

Daksa mengangguk pelan. “Alasan utama saya adalah, karena sekarang saya mengelola restoran saya sendiri. Saya juga berniat membuka beberapa cabang. Karena itu saya tidak punya waktu untuk melakukan hal lainnya. Semoga Ibu bisa memahami maksud saya menolak permintaan Ibu kali ini.” Daksa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.

Bu Retno terdiam selama beberapa detik. Karena tidak juga mendapat tanggapan, Daksa kembali membuka suara. “Hanya itu yang mau saya sampaikan. Maaf sudah menyita waktunya. Kalau begitu saya permisi.” Daksa bangkit dari duduknya, dan sekali lagi tersenyum sopan.

“Tunggu, Daksa.” Bu Retno mencegah Daksa pergi saat pria itu telah sampai di ambang pintu. “Saya tidak akan memaksa lagi. Tapi karena kamu belum bertemu editor terakhir yang saya tugaskan untuk membujuk kamu, maka saya masih bisa menaruh harapan, bukan?” tanya Bu Retno, terdengar seperti kalimat retoris.

Daksa hanya tersenyum sekali lagi. Dan kini pria itu benar-benar meninggalkan ruangan seorang Kepala Editor di salah satu perusahaan penerbitan.

Daksa sudah menaiki lift menuju basemen. Sampai di basemen, ia berjalan menuju mobilnya. Daksa langsung menyalakan mesin mobil begitu duduk di kursi kemudi. Namun ponselnya berdering saat kakinya baru saja berniat menginjak pedal gas.

Daksa menghela napas begitu melihat nama penelepon. “Ini lagi manusia satu.” keluhnya pelan. Namun tetap menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon.

“Hm?” sapa Daksa sedikit ogah-ogahan.

“Gawat, bro. Ini beneran gawat!” suara Eros di seberang telepon terdengar gelisah.

“Segawat apa sampai gue harus ngeladenin lo di jam sibuk restoran?”

“Gue tahu lo nggak ada di restoran!”

Daksa yang awalnya bersandar pada kursi kemudi langsung menegakkan tubuhnya. “Ada apa?”

“Gue nggak bisa jelasin sekarang. Tapi lo mending dateng ke restoran lo. Sekarang.”

“Gue emang mau—tut!”

Eros mematikan sambungan telepon sebelum Daksa menyelesaikan kalimatnya. Pria itu hanya bisa menghela napasnya sekali lagi. Sifat Eros terkadang membuatnya ingin melempari pria itu dengan panci-panci di dapur restorannya. Namun sayang, Eros lebih tua darinya jadi ia tetap harus menjaga sopan santun.

“Tua umur doang, isinya kayak bocah.”

Sekali lagi Daksa memaki Eros sebelum menancapkan gas menuju restorannya.

***

Natya dan Nita masuk ke dalam sebuah restoran yang tidak terlalu mewah, namun juga bukan restoran sederhana. Boleh dikatakan bahwa restoran tersebut mendapat predikat bintang 3. Dari luar restoran tersebut tidak tampak seperti restoran yang mahal karena cukup sederhana, namun begitu melihat bagian dalam Natya dan Nita terpana sesaat.

Interior restoran kebanyakan dari kayu-kayu jati, jendela-jendela panjang dan lebar memudahkan cahaya masuk ke dalam, dan jendela tersebut memiliki gorden yang tebal bercorak batik di tengahnya dengan dasar putih tulang. Kebanyakan fasilitasnya dibuat sangat Indonesia karena banyak kain batik sebagai alas meja, juga lampu-lampu yang terlihat antik. Bahkan ada satu sisi di mana terdapat figura-figura peristiwa sejarah, dan lukisan makanan-makanan khas Indonesia.

Selesai meneliti bagian dalam restoran, Natya dan Nita mencari tempat duduk untuk mereka. Seorang pelayan menghampiri dan memberikan buku menu, yang ternyata kebanyakan adalah makanan dan minuman khas Indonesia, bahkan pencuci mulutnya pun adalah makanan tradisional.

Natya berdeham pelan. “Kita masih nunggu teman, Mas. Nanti saya panggil lagi.” kata Natya sesopan mungkin.

Pelayan tersebut mengangguk dan tersenyum sopan, lalu kembali ke tempatnya. Nita menyikut lengan Natya pelan, gadis itu menoleh heran. Namun Nita hanya meneliti ekspresi di wajah Natya.

“Kenapa, sih?” tanya Natya pelan. Heran karena Nita tidak mengeluarkan satu patah kata pun sejak masuk ke dalam restoran.

“Lo nggak sadar kita dilihatin sama pelayan-pelayan dan pelanggan di sini?” Nita berbisik.

“Hah?” seperti orang normal, Natya spontan menyapu pandangan begitu mendapat impuls berupa bisikan Nita. “Eh iya. Kayaknya mereka bukan lihat ke arah gue. Tapi lo, Nit.”

“Kenapa?” tanya Nita masih berbisik.

“Soalnya pakaian lo …” Natya mengintip ke bawah meja, sampai matanya jatuh pada bagian atas tubuh Nita. “Bener-bener kontras sama suasana restoran.”

Nita mendesah pelan, membenarkan ucapan Natya. “Biarin, deh. Lagi pula, kalau cowok itu udah dateng, gue bakal langsung cabut.”

“Ngapain lo cabut segala? Udah di sini aja!”

Di tengah perdebatan, Natya dan Nita tidak menyadari kehadiran seorang pria yang sudah berdiri di depan meja mereka. Sampai pria itu berdeham, kedua insan tersebut menoleh serempak.

“Permisi, Natya Lavani?”

Natya terpaku sesaat. “I-iya? Anda siapa, ya?”

Pria itu tertawa pelan. “Saya pria yang mengirim pesan pada Anda melalui Vinder. Saya yang mengajak Anda bertemu di sini.” kata pria itu usai menyelesaikan tawa kecilnya.

“Eh?” kepala Natya dimiringkan, melihat baik-baik wajah pria di hadapannya. “Kamu beneran Daksa Shaka Prawara? Kok kayaknya beda dengan di foto?” kata Natya, memelankan suaranya di akhir.

“Eh?” giliran si pria yang kebingungan. “Saya Eros Chariton, bagaimana kamu tahu Dak-” lalu kalimat pria bernama Eros itu terhenti. Mata pria itu melotot atas keterkejutannya sendiri, lalu tangannya bergerak cepat merogoh ponsel di dalam saku jasnya. “Ma-maaf, apa saya boleh menelepon sebentar?”

Natya yang sama bingungnya hanya mengangguk. Pria itu pergi menjauh untuk menelepon. Sementara Nita menatap curiga ke arah pria itu.

“Kok bisa gini? Apa jangan-jangan dia penipu?” bisik Nita.

Natya menggeleng pelan, tidak tahu. Namun tanpa sadar bulu kuduknya merinding ketakutan. Masa baru pertama kali bertemu pria lewat Vinder, dirinya langsung kena tipu?

Sementara pria itu masih menelepon, Nita juga mendapat panggilan telepon. Gadis itu mendesah pelan, Natya melirik ke arahnya penasaran. Nita menjawab telepon tersebut, hanya memberikan jawaban “Baik, Pak.” beberapa kali, lalu telepon berakhir.

“Siapa?” tanya Natya.

“Atasan gue.” jawab Nita setengah kesal.

“Ada job tambahan lagi?” Natya menebak.

Nita mengangguk. “Gue bahkan nggak punya kesempatan nolak. Kayaknya gue harus balik ke salon deh, Nat.” wajah Nita kesal sekaligus tidak rela.

“Ya udah.” Natya hanya bisa mengiyakan.

Nita cemberut. “Tadi lo nyegah gue cabut, sekarang gue dipanggil bos lo malah jawab ya udah. Tega banget emang lo, Nat.”

“Karena kalau lo sampai ditelepon si nyonya besar itu, artinya lo nggak bisa ngebantah dan nggak ada yang bisa gue lakuin juga.”

Nita semakin cemberut, namun dalam hati mengiyakan perkataan Natya. Akhirnya gadis itu bangkit dan berpamitan lebih dulu. Nita pergi, bersamaan dengan pria bernama Eros yang kembali menghampiri mejanya.

“Eh, temen kamu pergi?” tanya Eros, seakan sudah kenal lama.

“Iya. Ada urusan mendadak.”

“Yah, padahal saya udah panggil Daksa.” gumam Eros tanpa sadar.

“Eh? Jadi kamu beneran bukan Daksa?”

Eros tersadar, wajahnya kembali tegang. “Eh … ehem … sebenarnya Daksa itu sahabat saya. Dan kayaknya saya nggak sengaja buka Vinder pakai akun dia. Wajar kalau kamu nggak mengenali saya. Saya minta maaf atas kesalahpahamannya.”

Natya terdiam dua detik, lalu mengangguk. “Bukan masalah. Kalau begitu, berarti kita nggak match, ‘kan?”

“Eh?” Eros terkejut.

“Iya. Saya geser layar ke kanan karena yang saya lihat itu Daksa. Sementara yang geser ke kanan itu kamu, bukan Daksa. Jadi sama aja dengan saya dan kamu, atau saya dan Daksa itu nggak match.” Natya berkata panjang lebar.

Eros melongo mendengar perkataan Natya.

“Kalau begitu, apa saya boleh pergi?” tanya Natya sesopan mungkin, lalu bangkit dari duduknya.

“S-sebentar!” Eros ikut bangkit. Pria itu hendak mengatakan sesuatu, namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya.

Natya menghela napas pelan. “Sebelumnya saya minta maaf sudah mengatakan ini. Tapi saya tidak bisa dan tidak nyaman berbicara dengan orang yang tidak saya kenal. Karena ini kesalahpahaman, jadi saya akan pergi. Kalau kamu tetap menahan saya, maka saya akan menganggap kamu berusaha menipu saya.”

Usai mengatakan kalimat itu, Natya melenggang pergi meninggalkan Eros yang masih menganga tidak percaya.

Bab terkait

  • Terbelenggu Takdir   5. Hadirnya Rasa Takut

    Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.“Lo telat, bro!”“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23
  • Terbelenggu Takdir   6. Penawaran Tak Terduga

    Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-03
  • Terbelenggu Takdir   7. Teman Kencan Buta

    Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-09
  • Terbelenggu Takdir   8. Tawaran Dalam Perangkap

    “Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-09
  • Terbelenggu Takdir   9. Kebulatan Tekad

    Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-16
  • Terbelenggu Takdir   10. Pertemuan Tidak Disengaja

    Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-17
  • Terbelenggu Takdir   11. Sensitivitas Rasa

    Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-10
  • Terbelenggu Takdir   12. Wajah Familier

    “Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-13

Bab terbaru

  • Terbelenggu Takdir   37. Kemungkinan Risiko

    “Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob

  • Terbelenggu Takdir   36. Rasa Cemburu

    Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe

  • Terbelenggu Takdir   35. Informasi Penting

    "Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som

  • Terbelenggu Takdir   34. Sukarelawan

    Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya

  • Terbelenggu Takdir   33. Untuk Pertama Kali

    “Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m

  • Terbelenggu Takdir   32. Pintu Rahasia

    Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja

  • Terbelenggu Takdir   31. Waktu Bermain

    Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan

  • Terbelenggu Takdir   30. Perdebatan Kecil

    Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari

  • Terbelenggu Takdir   29. Keputusan Final

    “Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya

DMCA.com Protection Status