Di dalam sebuah dapur restoran, seorang pria berusia 28 tahun sedang memasak pesanan yang datang dari pelanggannya. Ia dibantu dengan beberapa asisten koki yang memang bekerja di restorannya sendiri. Daksa Shaka Prawara namanya, seorang pria tampan dengan senyuman lembut dan sopan itu menjadi koki utama di restorannya sendiri. Kuliah kedokteran selama 4 tahun dan Pendidikan Profesi Dokter ia korbankan dan lebih memilih untuk membuka restoran hanya karena sebuah alasan yang sederhana; ia merasa takjup dengan peran utama pria yang memulai usaha kuliner di dalam drama Korea yang digemari adik perempuannya.
“Pak, hari ini pelanggan banyak banget. Apa nggak sebaiknya Pak Daksa pulang duluan dan serahin semuanya sama kita?”
Daksa yang sedang fokus menata hidangan di piring melirik sekilas pada salah satu asisten kokinya, ia tersenyum tipis. “Udah saya bilang, nggak usah panggil pakai ‘pak’ segala, umur saya bahkan nggak setua itu.”
Salah satu asisten kokinya yang bernama Rizal itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Usia Daksa memang hanya berbeda 5 tahun darinya. Namun sebagai orang yang bekerja langsung dengan pemilik restoran, Rizal tidak terbiasa memanggilnya dengan sebutan ‘bang’ seperti yang Daksa inginkan.
“Iya, maksud saya Bang Daksa sebaiknya pulang duluan. Karena semakin malam, pelanggan malah semakin banyak.” akhirnya Rizal mengganti panggilan untuk atasannya.
“Rizal,” Daksa menghentikan aktivitasnya menata makanan di piring, ia menghadapkan tubuhnya tepat pada asisten kokinya. “Ini restoran saya, sebaiknya kamu nggak lupa.” Setelahnya Daksa tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatannya.
Rizal hanya bisa mengangguk saja, tidak berani membatah lagi jika Daksa sudah berkata seperti itu. Mereka kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing. Rizal mendapat tinjuan pelan dari rekan sesama asisten koki, sebagai teguran bahwa sebaiknya ia tidak mengatakan hal seperti itu lagi pada atasannya sendiri.
Selesai menata piring dan meletakannya berjejer di meja tunggu—agar pelayan restorannya bisa langsung mengantarkan makanan pada pelanggan, telepon Daksa yang berada di dalam kantong apronnya bergetar.
Daksa melihat nama sang penelepon, kemudian ia tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Ia pamit sebentar pada asisten kokinya untuk mengangkat telepon.
“Ada apa?”
“Gue udah bikinin lo akun Vinder. Nanti tinggal lo pake aja. Username dan passwordnya udah gue kirimin lewat chat. Inget ya, pastiin lo beneran pake itu akun!”
“Di tengah jam sibuknya restoran, seorang Eros Chariton malah nelepon cuma buat ngasih kabar itu?” suara Daksa memang tidak terdengar kesal sama sekali, tetapi teman di seberang teleponnya sadar kalau kalimat tersebut berupa sarkasme.
“Hei, kawan. Udah gue bilang ‘kan, kalau gue nggak mau nyari jodoh sendirian.”
“Iya-iya, terserah. Gue banyak kerjaan. Nanti gue cek.”
“Jangan sampe lupa, bro!”
“Bawel lo, kayak bokap gue.”
Daksa bisa mendengar suara tawa Eros dari seberang telepon. Pria itu sekali lagi menggeleng, kemudian mematikan sambungan telepon. Setelah itu, Daksa meletakan ponselnya di dalam tas. Tidak ingin pekerjaannya diganggu untuk kedua kali.
***
Sementara itu di tempat lain dalam waktu bersamaan, Eros masih tertawa tanpa dosa, bahkan sampai Daksa sudah mematikan sambungan pun, Eros tersenyum puas. Pria berusia 29 tahun itu memang senang sekali membuat teman—atau lebih tepatnya adik tingkat satu kampusnya dulu, merasa kesal.
“Sobat jombloku, tenang saja. Kau akan segera mendapatkan pasangan, hohoho.”
Kemudian Eros meletakan ponselnya, dan memutuskan untuk mandi—karena dirinya sendiri pun baru pulang dari rumah sakit setelah menyelesaikan jadwal operasi yang padat hari itu.
Selesai mandi malam dan berpakaian yang memakan waktu 25 menit, Eros merebahkan tubuhnya di kasur empuk kamarnya. Rambut basahnya sudah ia keringkan sehingga tidak perlu khawatir akan menempel pada bantal berseprai putih miliknya.
Eros kemudian membuka kembali aplikasi Vinder, dan dengan isengnya ia melihat-lihat profil wanita-wanita yang mungkin saja cocok dengannya. Mata Eros menemukan satu profil yang menampilkan wajah manis seorang wanita dengan gaya sederhana dan rambut berwarna coklat terang. Eros tersenyum senang ketika melihat deskripsi tipe ideal yang tertera.
“Bukan pencemburu, tidak protektif, pintar masak, dan punya pekerjaan yang layak, ya?” Eros menyeringai. “Ini sih gue banget!” katanya dengan semangat, “Eh, tapi gue nggak bisa masak. Hm, nggak masalah kali ya? Yang penting tiga kriteria ini cocok sama gue.” setelah bermonolog dengan dirinya sendiri, Eros menggeser layar ke kanan untuk profil wanita yang dilihatnya. Ketika tulisan match muncul, Eros terlonjak kaget.
“Natya Lavani … boleh juga. Gue chat dulu kali ya.”
***
Esok hari datang. Natya bersiap berangkat ke kantornya setelah memasak sarapan untuk neneknya dan juga adiknya. Ia juga merapikan rumah yang sedikit berantakan setelah subuh tadi. Natya memastikan barang-barang yang diperlukannya tidak tertinggal. Ia hendak memasukan ponsel ke dalam tas, namun gerakannya terhenti karena teringat dengan notifikasi yang didapatkannya kemarin.
“Ah iya, gue belum bales chat orang itu.” gumamnya. “Nanti aja deh balik kerja.” Kemudian Natya memesan ojek online dan segera berangkat ke kantornya setelah ojek pesanannya tiba.
***
Natya mematikan komputer kantornya setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Hari ini kebetulan naskan yang harus dikoreksi tidak sebanyak hari-hari sebelumnya. Natya bersenandung pelan sambil merapikan barang-barangnya.
“Lagi seneng. Nat?” Beno yang kebetulan melewati mejanya, bertanya.
“Lumayan. Karena kerjaan nggak sebanyak kemarin-kemarin. Gue bisa lebih santai koreksi naskahnya.” jawab Natya dengan senyuman.
Beno mengangguk. “Berarti aman ya setelah ketemu Bu Retno kemarin?”
Seperti ada kilat petir menyambar, senyuman di wajah Natya pupus seketika. “Yah, Beno! Kenapa diingetin segala sih!”
Beno tertawa pelan. “Maaf-maaf, nggak maksud. Cuma niat make sure aja. Ternyata nggak aman, toh.” lelaki itu bersandar di sisi meja kerja Natya sambil bersedekap.
“Kapan sih gue aman setelah keluar dari ruangannya Bu Retno?” cibir Natya pelan, sambil melirik kanan-kiri karena takut ada yang mendengar.
“Sabar ya, Nat. Semoga gaji lo naik karena ini.” Beno berkata tulus, lelaki itu menepuk puncak kepala Natya dua kali.
“Semoga, ya.” ulang Natya.
“Balik kerja, lo ada acara?” tanya Beno.
“Itu dia, gue harus tanya sama temen gue dulu.”
“Berarti belum pasti, ‘kan?”
Natya bangkit dari duduknya, Beno bersiap mengikuti.
“Iya. Emangnya kenapa, Ben?”
Natya dan Beno berjalan bersamaan menuju lift.
“Makan di luar, yuk?” ajak Beno.
Natya tersenyum curiga, matanya menyipit. “Jadi ceritanya lo ngajak gue nge-date?”
Natya dan Beno sampai di depan lift. Beno menekan tombol turun, dan mereka menunggu sampai lift terbuka.
“Nggak bisa dibilang nge-date juga, sih. Cuma makan aja.” Beno mengusap tengkuknya pelan. Mendadak merasa canggung di sebelah Natya.
Lift terbuka. Terlihat seorang pria dewasa di dalam lift dengan kemeja putih tulang dan celana bahan berwarna biru dongker sedang menenteng jas berwarna senada dengan celananya. Mata Natya bertemu dengan matanya beberapa detik, ia merasa familier dengan wajah orang itu. Kemudian tubuh Natya bergerak ke samping ketika sadar Beno merangkulnya sebentar untuk menggeser tubuhnya—memberikan jalan pada pria itu agar bisa keluar lift.
Setelah pria itu keluar, Natya dan Beno barulah berjalan masuk ke dalam lift. Untuk sesaat, Natya merasa terpaku ketika bertatapan mata dengan pria tadi. Entah apa yang terlintas di dalam pikirannya, tetapi kesadarannya sempat hilang sepersekian detik. Lift pun mulai turun ke lantai dasar.
“Nat?” Beno menepuk bahunya.
“Eh, iya.”
“Lo bengong? Mikirin ajakan gue tadi, ya? Lo keberatan? Kalau keberatan, mungkin kita bisa makan di luar lain kali aja.” Beno menyerbu dengan beberapa pertanyaan.
“Nggak, bukan gitu. Gue cuma nggak fokus aja tadi.” Natya menjeda. “Buat makan di luar mungkin lain kali ya, Ben. Tapi gue bukannya keberatan, kok. Gue cuma harus ketemu sama temen gue dulu.” Natya berusaha menjelaskan agar Beno tidak merasa bersalah.
Lelaki itu mengagguk. “Oke kalau gitu.”
Natya diam-diam menghela napas lega. Kemudian lift terbuka, mereka berjalan keluar. Keduanya bersamaan melangkah menuju lobi. Ponsel Natya berbunyi tanda pesan masuk. Natya mengecek notifikasinya, kemudian langkahnya terhenti.
“Kenapa, Nat?” Beno di sebelahnya ikut berhenti.
Natya mendongak. “Hah? Oh, nggak.”
Beno terlihat penasaran, namun hanya megangguk. Kemudian mereka lanjut berjalan. Sampai di lobi, Natya bisa melihat Nita yang duduk di atas motornya.
“Lama banget sih lo turunnya.” Nita langsung memberikan omelan begitu Natya sampai di sebelahnya. Kemudian ia melirik. “Eh, Beno.”
“Hai, Nit,” Beno balas menyapa. Kemudian lelaki itu menoleh pada Natya. “Nat, kalau gitu gue balik duluan ya.”
“Eh, iya. Sekali lagi sorry ya, Ben. Mungkin lain kali.”
“Gampang.”
Beno berlalu setelah melambai dan berpamitan pada Natya dan Nita. Dua wanita itu melihat kepergian Beno sampai tubuhnya menghilang di belokan parkiran.
“Apanya yang lain kali?” tanya Nita langsung.
Natya menghela napas pelan. “Nit, gue match sama orang semalem.” mengabaikan pertanyaan perama Nita.
“OH YA? BAGUS DONG!” Nita memekik sampai motornya sedikit goyang.
“Dia langsung ngajak gue ketemu hari ini, di salah satu restoran nggak jauh dari sini. Barusan gue dapet notifnya. Terus Beno tadi ngajak gue makan di luar, cuma gue tolak secara halus.” Natya menjelaskan.
“Wah, jadi lo diajak makan sama dua cowok?”
Natya mengangguk. “Gue nolak Beno karena gue tahu kalau Indah suka sama Beno. Makanya gue diem-diem menghindar terus dari dia sebisa mungkin.”
“Berarti lo bakal terima ajakan cowok Vinder itu, ‘kan?” wajah Nita menampilkan senyum yang begitu lebar, bahkan matanya ikut menyipit.
“Ya … harus, ‘kan?” ucap Natya pelan.
“Harus dong! Ayok cepet, gue yang bakal anter lo ke restoran itu.” Nita langsung menyalakan mesin motornya.
“Se-sekarang banget?”
“Iya, ayok naik!”
Natya tidak punya pilihan lain. Ia memakai helm yang diberikan Nita, dan langsung naik ke atas motor metik sahabatnya itu.
“Selamat sore, Bu Retno.”Seorang pria dewasa bernama Daksa masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang cukup besar berisi rak-rak buku, etalase kaca dengan berbagai piala dan piagam penghargaan, serta meja kayu yang ada di antara dua kursi panjang tempat berbincang.Bu Retno yang tadi disapa oleh Daksa, bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat dengan wajah yang bingung namun tetap tersenyum. “Sore, Daksa. Baru saja kemarin saya mengirim editor untuk membujuk kamu. Ternyata kamu sudah datang, cepat juga.”Daksa hanya tersenyum sopan.“Eh iya, silakan duduk dulu.” wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu mengarahkan Daksa untuk duduk di kursi panjang ruangannya, dan ia pun melakukan hal yang sama.“Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan yang tiba-tiba. Tapi maksud kedatangan saya ke sini, bukan karena hasil bujukan seorang editor. Ini adalah keputusan saya sendiri. Dan lagi, belum ada editor ya
Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.“Lo telat, bro!”“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti
Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d
Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b
“Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya