“Nat, kita putus aja.”
Adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang lelaki bernama Aditya Davendra. Wajahnya masih menampakkan rasa kesal, marah, kecewa, dan lelah. Kata-kata kasar juga sempat ia keluarkan untuk seorang gadis bernama Natya Lavani.
Gadis yang kerap disapa Natya itu terkejut. Siapa yang tidak? Pacarnya tiba-tiba datang dan menyuruhnya untuk keluar rumah menuju halaman pada malam hari, yang hampir menunjukan pukul 12. Mendengar kalimat pertama yang dikeluarkan pacarnya, membuat ia berusaha mengatur napas dengan mengepalkan tangan di dalam kantong kardigannya.
“Dit, kamu nggak bisa mutusin ini sendiri. Kamu tahu kalau aku itu kumpul sama temen-temen dari tempat kerja aku. Kamu juga udah tahu siapa mereka. Awalnya emang temen cewek aku banyak yang ikut, tapi mereka pulang duluan dan sisa yang cowoknya aja. Kamu nggak bisa mutusin aku cuma karena cemburu.”
“Nat. Jujur, gue udah capek banget ngadepin lo. Berapa kali sih gue udah bilang? Jangan kumpul-kumpul sama cowok lain dan jangan mau dianter pulang sama cowok lain. Tapi sekarang? Lo diem-diem ikut kumpul, terus dianter pulang juga. Lo bilang sama gue lo nggak ikut, tapi temen lo update status dan ada lo di sana. Coba kalau gue nggak cari tahu? Pasti lo bakal bohongin gue lagi.”
Adit memotong perkataan Natya—yang notabenenya sudah menjadi pacarnya selama 8 tahun sejak mereka duduk di bangku SMA. Dan sekarang Adit memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Natya.
“Dit, kamu pikir yang capek kamu aja? Aku juga, Dit! Kamu selalu ngelarang aku buat deket sama cowok. Padahal kamu tahu sendiri kalau di tempat kerja udah pasti ada cowok. Kamu bahkan nyuruh aku naik ojek tengah malem ketimbang aku dianter sama temen cowok aku yang udah kayak adik aku sendiri. Rasa cemburu kamu itu keterlalun, Dit.”
“Keterlaluan?” ulang Adit, kemudian dia tertawa. “Natya, gue cuma mau lo aman.”
“Aku aman, Dit. Aku aman selama pikiran kamu nggak terlalu negatif sama semua cowok di sekitar aku. Lagian arah rumah aku sama Faris juga sama, jadi sekalian aja pulang bareng. Apa salahnya sesekali?”
“Sesekali?” ulang Adit lagi, tidak terima. Wajahnya semakin memerah.
“Iya. Karena selama ini kamu nyuruh aku turun dari motor cowok lain tiap aku baru aja mau dianter pulang. Dit, kita ini udah pacaran 8 tahun, masa kamu nggak percaya sama aku?”
“KITA UDAH PACARAN 8 TAHUN HARUSNYA LO LEBIH PAHAM APA MAU GUE, BANGSAT!”
Amarah Adit sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Kata-kata kasar keluar dari mulutnya, bahkan dengan teriakan yang memekakkan telinga. Natya sangat terkejut, dan tentu saja tubuhnya bergetar karena tangis.
“Kamu … kamu bakal nyesel, Dit.” suara Natya parau. “Sama kayak kamu mutusin aku secara sepihak tahun lalu. Kamu minta aku kasih kesempatan buat balikan, saat itu aku masih sabar … tapi ini kesempatan terakhir kamu, dan aku nggak bisa sabar lagi.”
“Terserah! Gue juga udah muak sama cewek murahan kayak lo!”
Adit langsung meninggalkan halaman rumah Natya. Ia menaiki motornya dan segera berlalu dari sana. Natya sendiri hanya bisa membekap mulutnya agar tidak menangis terlalu keras, karena ia tahu di dalam rumahnya yang sederhana itu, ada nenek dan juga dua adiknya yang sudah tertidur.
***
1 tahun kemudian …
Natya Lavani, gadis berambut pirang sebahu itu sedang disibukan oleh setumpuk naskah yang harus ia baca dan sortir. Menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan bukanlah hal yang mudah. Mungkin saja banyak orang menganggap hal itu menyenangkan, tetapi sebenarnya itu pekerjaan yang sulit.
“Nat, makan siang keluar, nggak?”
Bahunya ditepuk oleh seseorang. Natya tidak mengalihkan tatapan pada naskah yang sedang dibacanya, namun ia tetap menjawab.
“Nggak, Ben,” jawabnya singkat.
Beno, teman satu divisi Natya yang tadi bertanya padanya mengangguk singkat. “Oke.”
“Lo masih aja nanya, Ben. Natya udah jelas lebih tertarik sama naskah daripada makan. Mungkin makanan dia itu kertas print-an.” celetuk salah seorang teman perempuannya di divisi yang sama, namanya Indah.
Meski Beno tahu Indah hanya melontarkan candaan, namun dirinya ikut meringis ngeri membayangkan Natya yang harus makan kertas HVS.
“Kalau gitu, gue sama Indah duluan ya, Nat. Lo jangan lupa makan.”
Beno dan Indah berlalu setelah mendengar jawaban Natya—yang sebenarnya hanya sebuah gumaman singkat saja. Sedangkan Natya, kembali memfokuskan dirinya 100 persen pada naskah dan segera mencatat kekurangan serta kelebihannya untuk dilaporkan pada Kepala Editornya.
***
Tiga jam berlalu sudah, Natya telah menyelesaikan beberapa naskah yang harus ia periksa lebih lanjut. Seharusnya Natya bisa menyelesaikan beberapa naskah itu dari kemarin, tetapi karena di sekolah adiknya ada pembagian rapor, ia harus menghadiri rapat wali terlebih dulu.
Sementara ia bernapas dan menunggu respon dari penulis atas hasil naskah yang telah diedit. Ia harus segera melaporkan dua naskah yang kemarin sudah mendapat persetujuan dari penulis, untuk mengirimkannya pada Pimpinan Redaksi sebagai pihak yang memberi approval tata bahasa.
Tubuhnya beranjak dari duduk, namun seketika sempoyongan dan hampir terjatuh kalau saja tidak ada Beno yang kebetulan melewati meja kerjanya.
“Astaga!” Beno terkejut. “Nat, lo nggak apa-apa?”
“Ah, sorry. Gue langsung berdiri tadi, makanya sempet gelap dan pusing. Thanks, Ben.”
Beno menghela napas panjang. “Nat, apa nggak sebaiknya lo kurangi jam kerja lo? Tadi juga jam makan siang lo pake buat kerja. Kalau lo tumbang, kerjaan gue juga yang jadi dua kali lipat.” omel Beno, dengan sedikit candaan di akhir kalimatnya.
“Gue cuma kelamaan duduk aja tadi.”
“Susah emang.” gumam Beno, menyerah menyeramahi Natya yang gila kerja.
“Gue mau ketemu Bu Retno dulu. Beliau ada di ruangannya, Ben?”
“Ada.”
“Trims.”
Natya langsung berlalu dari hadapan Beno menuju ruangan Pimpinan Redaksi. Dalam hati Natya merapalkan doa agar tidak perlu mengerjakan koreksi tambahan atau menghubungi penulis langsung.
Tok … tok … tok …
Natya mengetuk pintu ruangan. Terdengar suara wanita paruh baya mempersilakannya untuk masuk. Gadis berambut pirang pendek itu memeluk dua tumpukan naskah lebih erat, menarik napas panjang, kemudian membuka kenop pintu.
“Permisi, Ibu.”
“Eh, Natya! Sini-sini masuk. Saya mau bicara sama kamu.”
Natya yang kebingungan pun hanya menuruti perintah atasannya. Ia berjalan lebih dekat ke arah meja Bu Retno dengan senyuman sopan.
“Iya, Bu?”
“Lihat ini. Kamu berhasil membuat beberapa buku ini best seller! Ini semua berkat kamu yang selalu teliti untuk memilih naskah. Saya sempat ragu, tapi setelah dipertimbangkan dengan tim lain, ternyata hasilnya sukses!”
“Terima kasih, Bu.”
“Karena itu, Natya …”
‘Jangan, jangan lagi.’ Dalam hati Natya memanjatkan doa.
“Kamu bisa bujuk beberapa penulis yang sedang break untuk segera menulis lagi? Saya sudah minta Indah untuk menghubungi beberapa penulis, tapi mereka belum memberi jawaban. Kebanyakan dari mereka tidak percaya diri dengan tulisannya. Mungkin karena kurang dukungan editor cermat seperti kamu.”
“Saya ...”
“Kalau tidak juga dibujuk, mungkin mereka akan lari ke penerbit lain.”
“Tapi saya ...”
“Saya yakin kamu bisa, Natya. Kamu pandai menilai sebuah tulisan.”
Natya menghela napas pelan, ia berusaha tetap tersenyum sopan meski di dalam hatinya benar-benar ingin mengutuk.
“Baik, Bu. Akan saya coba.”
Adalah jawaban finalnya. Natya tahu mungkin dia akan menyesali hal ini.
***
Natya duduk di kursi kerjanya cukup lama setelah jam kerjanya usai. Ia memikirkan perintah yang diberikan atasannya itu. Sebenarnya menghubungi penulis adalah tugas seorang editor juga. Tetapi di kantor penerbitan tempatnya bekerja, mereka sudah punya peran masing-masing, dan Natya adalah editor yang berperan menyeleksi naskah yang masuk, mengoreksi bahasa atau PUEBI, dan menyerahkan hasil edit naskah kepada tim setter untuk membuat layout, barulah setelah itu menyerahkannya pada Kepala Redaksi setelah mendapat persetujuan penulis.
Tapi sekarang dirinya ditugaskan untuk “mengejar-ngejar” penulis yang sedang dalam masa vakum untuk memberikan “motivasi” yang sebenarnya adalah tugas milik teman satu divisinya, Indah.
Ponselnya melantunkan instrumen Fur Elise dari Beethoven, menandakan ada panggilan telepon yang masuk. Natya melihat nama yang tertera di layar, dan senyum kecil mengembang di wajahnya.
“Hai, baby.”
“Baby pala lo gundul!”
“Nita ku sayang. Jemput gue di kantor dong.”
Natya berusaha mengeluarkan suara dengan nada merayu dan gaya yang manis kepada seorang gadis di seberang telepon yang ia sapa sebagai Nita—sahabatnya sejak SMA.
“Gue bakal jemput lo. Asal lo ikutin syarat yang gue kasih.”
“Syarat apaan sih, Nit. Gue udah capek gini balik kerja, jangan aneh-aneh.”
“Belum juga lo denger syaratnya apa! Pokoknya gue jemput. Syaratnya gue kasih tahu nanti kalau udah ketemu. Gampang kok!”
“Ya udah kalau gitu. Jemput ya, Nita ku sayang.”
Lalu Natya mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia duga saat ini sahabatnya yang super cerewet itu sedang bersumpah serapah pada ponselnya. Sedangkan dirinya mengembangkan senyum kecil, merasa senang menjahili Nita.
***
Natya menunggu Nita di lobi kantornya. Selang 15 menit, seorang gadis dengan rambut bob pendek berwarna biru gelap datang menggunakan motor metik. Natya sudah tidak heran lagi dengan penampilan Nita yang selalu nyentrik. Sahabatnya sejak duduk di bangku kelas satu SMA itu memang gemar sekali menggunakan pakaian model pop art, ditambah dengan gaya dan warna rambut yang selalu berubah sesuai keinginannya. Bertolak belakang sekali dengan Natya yang lebih menyukai gaya klasik dan vintage.
“Rambut lo ganti warna lagi, tuh.” kata Natya basa-basi.
“Iya. Bagus, kan?”
“Apapun gaya Nita, aku padamu.” Natya memberikan senyum manis andalannya.
“Kalau ada maunya,” cibir Nita pelan. “Ayok naik.”
Kemudian Natya naik di jok belakang motor metik kesayangan Nita. Jangan tanya bagaimana penampilan motor itu, karena sama nyentriknya dengan pakaian Nita sekarang.
Setelah 30 menit perjalanan panjang membelah kota Jakarta. Akhirnya Natya dan Nita sampai di paviliun Nita. Helaan napas lega terdengar dari keduanya. Panasnya Ibukota sepertinya tidak dapat ditandingi. Karena itu mereka segera masuk ke dalam untuk mendinginkan suhu tubuh.
“Lo udah balik ke Bogor?”
Natya bertanya ketika teringat sahabatnya itu berkata akan pulang beberapa hari. Nita memanglah bukan penduduk asli Jakarta, ia asli berasal dari Bogor. Namun memutuskan untuk bekerja di Jakarta, karena itu ia tinggal di paviliun yang disewakan.
“Oh. Udah dua hari lalu.” jawab Nita cepat, kemudian meletakan tas dan ponselnya di meja. “Gue ambil minum dulu.” lanjutnya, kemudian berlalu ke dapur.
Natya memutuskan untuk merebahkan diri di sofa tunggal ruang tamu yang minimalis. Ia menyalakan kipas angin untuk menyejukan diri. Beberapa detik kemudian, ponsel Nita berdering. Ada panggilan masuk dari seseorang. Natya yang sedang berada dekat dengan ponsel Nita, spontan melihat nama si penelepon.
Tubuhnya seketika menegang. Satu tahun ia berusaha untuk keluar dari kekungan bayang-bayang sang mantan yang memutuskannya sepihak. Namun sekarang dirinya melihat nama itu, nama mantan pacarnya ada pada layar ponsel sahabatnya.
“Nat, gue cuma ada air putih dingin aja. Siapa yang nelepon?”
Nita datang membawa dua gelas air putih dengan es batu di dalamnya. Sedangkan Natya masih dalam keadaan setengah sadar. Tatapan kosong dan bingung ia arahkan pada Nita dan ponselnya bergantian. “Nit, itu … bukan Aditya mantan gue, kan?”
“Nit, itu … bukan Aditya mantan gue, kan?”Mulut Nita terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar. Kedua tangannya yang sedang memegang gelas juga ikut bergetar.Melihat reaksi Nita, Natya tahu bahwa itu memang benar Aditya mantannya. Natya hanya menggeleng tidak percaya, bibirnya mengeluarkan tawa kecil. Natya menertawakan kebodohannya sendiri.“Nita ...”“Natya, dengerin penjelasan gue dulu.” Nita dengan cepat memotong.Natya langsung teringat perkataan Nita saat berbicara melalui telepon. “Syarat apa yang lo bilang di telepon?”“Itu ...”“Ada hubungannya sama ini, 'kan?” kali ini Natya yang memotong kalimat Nita.“Ada. Tapi ini bukan seperti apa yang lo pikirin sekarang.” Nita meletakkan minuman di meja. kemudian duduk di hadapan Natya.“Emang apa yang gue pikirin, Nit?” Natya tertawa pelan di
Di dalam sebuah dapur restoran, seorang pria berusia 28 tahun sedang memasak pesanan yang datang dari pelanggannya. Ia dibantu dengan beberapa asisten koki yang memang bekerja di restorannya sendiri. Daksa Shaka Prawara namanya, seorang pria tampan dengan senyuman lembut dan sopan itu menjadi koki utama di restorannya sendiri. Kuliah kedokteran selama 4 tahun dan Pendidikan Profesi Dokter ia korbankan dan lebih memilih untuk membuka restoran hanya karena sebuah alasan yang sederhana; ia merasa takjup dengan peran utama pria yang memulai usaha kuliner di dalam drama Korea yang digemari adik perempuannya.“Pak, hari ini pelanggan banyak banget. Apa nggak sebaiknya Pak Daksa pulang duluan dan serahin semuanya sama kita?”Daksa yang sedang fokus menata hidangan di piring melirik sekilas pada salah satu asisten kokinya, ia tersenyum tipis. “Udah saya bilang, nggak usah panggil pakai ‘pak’ segala, umur saya bahkan nggak setua itu.”
“Selamat sore, Bu Retno.”Seorang pria dewasa bernama Daksa masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang cukup besar berisi rak-rak buku, etalase kaca dengan berbagai piala dan piagam penghargaan, serta meja kayu yang ada di antara dua kursi panjang tempat berbincang.Bu Retno yang tadi disapa oleh Daksa, bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat dengan wajah yang bingung namun tetap tersenyum. “Sore, Daksa. Baru saja kemarin saya mengirim editor untuk membujuk kamu. Ternyata kamu sudah datang, cepat juga.”Daksa hanya tersenyum sopan.“Eh iya, silakan duduk dulu.” wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu mengarahkan Daksa untuk duduk di kursi panjang ruangannya, dan ia pun melakukan hal yang sama.“Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan yang tiba-tiba. Tapi maksud kedatangan saya ke sini, bukan karena hasil bujukan seorang editor. Ini adalah keputusan saya sendiri. Dan lagi, belum ada editor ya
Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.“Lo telat, bro!”“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti
Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d
Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b
“Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
“Iya. Bukan kebetulan Eros ada di sana.” Natya membuka suara. “Gimana kalau kita lanjut di tempat yang lebih nyaman dan santai?” tanya Natya kemudian. “Tapi aku udah penasaran banget,” desak Daksa. Melihat raut wajah Natya yang berubah, Daksa buru-buru menambahkan, “Tapi masih bisa aku tahan. Kita ngobrol di apartemen.” Pada akhirnya mobil Daksa melaju menuju apartemen. Selama di perjalanan, Natya termenung memikirkan perkataan Eros sebelum Daksa datang dan menginterupsi percakapan mereka. Ada sebagian dari dirinya yang takut mendengar fakta yang akan diungkapkan oleh Eros. Namun, sebagian lainnya juga ingin mengetahui tentang Daksa lebih dalam lagi. Setelah membandingkan dua kondisi di kepalanya, akhirnya Natya menemukan kesimpulan bahwa lebih baik mendengar berita tentang Daksa dari sang empunya, dari pada harus mendengar cerita dari orang lain. Benar, seharusnya begitu. Tiga puluh menit kemudian, mobil Daksa sudah terparkir di lobi apartemennya. Pria itu turun dan memutari mob
Natya menatap ke arah Nita dan Eros bergantian. "Ini harus gue angkat. Karena tadi gue bilang lagi di salon Nita dan udah selesai.""Angkat," kata Eros.Natya mengangguk seraya menggeser tombol hijau. "Halo.""Kamu di mana? Aku di depan salon Nita." Daksa tidak berbasa basi.Natya sontak menoleh ke belakang pada arah jalan menuju salon Nita. "Kamu di depan salon?""Iya. Aku langsung jemput dari resto.""T-tapi aku lagi hang-out sama Nita.""Oh? Aku kira kamu kasih tahu alamat salon dia karena minta dijemput. Jadi gimana? Aku balik lagi?"'Gimana?' Natya bertanya tanpa suara pada Nita dan Eros, hanya membentuk kata dengan bibirnya.'Kamu pergi aja sama Daksa. Informasi soal ini bisa saya sampaikan nanti.' Eros mengetik di notes ponselnya dan menyerahkannya pada Natya."Nat?""Eh iya. Kamu jemput aku aja di Garden Cafe deket situ. Ke arah sebaliknya.""Oke."Panggilan dihentikan. Natya memberikan senyum tanpa dosa pada Nita dan Eros. Kedua orang yang duduk di hadapannya itu menggeleng pe
"Mbak, matanya nggak usah melotot gitu, bisa?" Eros memberikan smirk melalui cermin pada Nita yang sedang mengeringkan rambutnya."Kelihatan banget, ya?""Jelas." Eros tertawa kecil. "Tenang aja, gue nggak ada niat jahat sama temen lo."Alis Nita terangkat. "Sama Natya saya-kamu, kok sama gue beda?"Lagi, Eros tertawa sambil melihat wajah Nita yang merenggut di pantulan cermin. "Karena gue merasa peran kita sama?""Peran?" "Iya. Peran pendukung. Lo sahabat Natya, gue sahabat Daksa. Kita sama-sama pengen mereka bisa nyatu, kan?""Oh? Gue pikir lo pengen misahin mereka," sarkas Nita."Natya menarik, tapi gue juga pengen sohib gue cepet-cepet dapet jodoh. Meski sebenarnya gue yang didesak nikah.""Duh, TMI." (To Much Information)"Masa? Kayaknya nggak masalah buat memperjelas.""Ya, ya, ya. Jadi kedatangan lo ke sini bukan sengaja?""Yup. Cuma kebetulan.""Dan lo pikir gue percaya?" Nita menghentikan gerakan tangannya, seraya menatap Eros tajam melalui pantulan cermin."I'll give you som
Dua minggu telah terlewati. Natya dan Daksa tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Project yang mereka kerjakan bersama juga terus berjalan dan diselesaikan per tahapnya. Selama dua minggu itu pula Natya beberapa kali mengunjungi apartemen Daksa, untuk bekerja tentu saja. Intensitas pertemuan mereka yang bertambah mempengaruhi kedekatan mereka.Namun, banyaknya waktu yang dihabiskan Natya bersama Daksa membuat wanita itu jadi tidak memiliki waktu bersama dengan sahabatnya, Nita. Karena itulah, pada hari Sabtu di mana ia mendapatkan waktu libur kerja, Natya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama dengan Nita."Kakak mau ke mana?" Bulan, adiknya, melihat Natya yang sudah berpakaian rapi dan siap mengenakan sepatu ketsnya pun bertanya."Mau ke tempat kerjanya Nita. Hari ini kamu libur, kan? Kakak titip umi, ya. Kalau mau ajak teman main ke sini juga boleh. Ini uang buat beli camilan kalau kamu bosen.""Oke. Makasih, Kak.""Iya. Kakak berangkat ya. Assalamualaikum." Natya
“Do you have a trauma or something?” Seketika itu pula perut Natya seperti dipukul oleh batu besar hingga membuatnya menitikkan air mata menahan rasa ngilu di ulu hatinya. “Ke-kenapa … tiba-tiba?” Daksa terdiam cukup lama. Pria itu menatap lekat-lekat wajah Natya yang sekarang sudah tampak was-was dan tidak fokus. Sampai akhirnya Daksa menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengambil tangan Natya—yang jari-jarinya saling terpaut cemas—kemudian menangkup tangan itu di dalam tangannya. “Nat … aku nggak akan maksa kamu untuk cerita soal alasan di balik munculnya trauma kamu. Tapi selama sama aku, selama kita kerja bareng, aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Aku maunya kamu merasa aman. Jadi kamu harus kasih tahu aku mana yang lebih baik aku lakuin.” Natya menarik napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Mungkin ini pertama kalinya ada orang yang sadar soal traumanya, selain Nita dan keluarganya. Begitu Natya membuka mata, senyum dan sorot mata dari Daksa m
Waktu bersenang-senang telah usai, tiba saatnya Natya harus kembali serius dengan pekerjaannya. Proyek majalah yang sedang dikerjakan olehnya dan Daksa terus berlanjut. Karena itulah Natya membawa setumpuk majalah-majalah lama dan juga baru—yang diterbitkan oleh perusahaannya—ke dalam ruang rapat yang dibatasi kaca, tempat dirinya dan Daksa pertama kali menyusun konsep proyek majalah. “Ini beberapa contoh model majalah yang dibuat oleh perusahaan kami. Kebanyakan penulis majalah adalah seorang jurnalis, mereka yang mewawancarai narasumber dan menyusun beberapa artikel dalam satu majalah. Bisa dibilang, proyek yang sedang kita lakukan saat ini adalah pertama kalinya seorang tokoh—yang menjadi sumber berita—menulis langsung majalahnya sendiri.” Natya membuka percakapan dengan Daksa setelah meletakkan setumpuk majalah ke hadapan Daksa. Pria itu tersenyum kecil, menarik tumpukan majalah lebih mendekat ke arahnya, dan mulai membaca satu persatu. “Hmm, kamu benar. Kebanyakan tokoh yang ja
Hari di mana Natya mengunjungi rumah Daksa untuk bermain dengan adiknya pun tiba. Natya menekan bel sebuah rumah—yang tidak berhenti dikaguminya meski sudah pernah ia datangi—milik keluarga Daksa. Seorang satpam keluar dari sisi pagar yang sedikit terbuka. “Permisi, Pak?” “Non Natya?” tanya satpam yang keluar dari pos untuk menghampirinya. “Betul, Pak.” “Silakan masuk, Non. Den Shaka dan non Adira sudah menunggu di dalam.” Lalu Natya pun melangkah masuk setelah satpam membukakan gerbang untuknya. Baru dua langkah Natya berjalan, seorang asisten rumah tangga menghampirinya dengan sebuah senyuman dan tangan yang saling memangku di atas perutnya. “Mari saya antar ke dalam, Non.” “Ah, te-terima kasih.” Natya menjawab dengan tangan yang sudah berkeringat. Jantung Natya berdegup dengan kencang entah karena apa. Melihat satpam dan asisten rumah tangga yang memperlakukannya dengan baik, Natya meyakini bahwa seisi rumah sudah mengetahui kedatangannya. Semua ini pasti telah direncanakan
Tiga menit telah berlalu sejak Natya dan Daksa meninggalkan ruangan bu Retno. Mereka kini berada dalam ruangan khusus yang biasanya digunakan tim editor untuk rapat. Ruangan tersebut dibatasi oleh kaca transparan yang memperlihatkan bagian dalamnya. Ruangan tersebut kedap suara, dan dilengkapi dengan gorden abu-abu sebagai penutup—namun Natya dan Daksa sengaja hanya menutup sebagian kaca karena mereka hanya berdua di dalam sana."Jadi? Pada akhirnya Anda memutuskan untuk tampil sebagai penulis Shasaka untuk yang pertama kalinya di depan publik?""Iya."Natya menghela napas, terdiam selama beberapa saat sambil menatap kosong pada dokumen kontrak di atas meja, barulah ia mengangguk."Oke. Itu pertanyaan saya sebagai editor Anda. Tentu, sebagai orang yang ikut berkontribusi dalam proyek ini, terlebih saya berada di pihak perusahaan, saya merasa lega karena keputusan Anda akan menguntungkan perusahaan." sekali lagi Natya mengembuskan napas, sorot mata Natya berubah menjadi lebih redup dari
“Jadi tadi lo dianter Daksa?” Setelah berdamai, Natya menceritakan semua yang terjadi di antara dirinya dan Daksa kepada Nita. Sepanjang cerita itu pula Nita tidak berhenti memekik sebagai reaksi tiap Natya menyebutkan hal-hal yang Daksa katakan padanya. “Iya.” “Terus-terus, berarti sabtu ini lo bakal ke rumahnya buat main sama adik ceweknya itu?” Natya mengangguk. “Sejujurnya gue takut, Nit. Daksa itu dari keluarga terpandang, bokapnya punya rumah sakit swasta di Jakarta, adik cowoknya penyanyi, dia sendiri penulis sekaligus pemilik restoran, sedangkan gue cuma cewek biasa yang sebenernya juga bukan anak kandung dari keluarga ini.” “Ah lo kebiasaan banget. Mulai kambuh nih insecure nya.” Nita bersedekap. “Ya habis gimana? Pertama kali ke rumahnya aja gue berasa masuk istana. Modelnya kayak gaya eropa klasik gitu. Mau ketemu sama orang yang tinggal di situ aja harus konfirmasi dulu lewat satpam di pos depan.” raut wajah Natya berubah murung. Nita mengembuskan napas pelan, seraya