Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.
Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.
Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Wajah ini dan tubuh gagah ini.
Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.
Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.
Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.
Om-om? Aki-aki?
Dia jauh dari istilah itu.
Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!
Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?
Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras.
"Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu terluka?" ucap lelaki itu sambil memegang kedua tangan Sandra.
Secara reflek Sandra menepis tangan itu sambil menggelengkan kepalanya.
Tak mungkin!
Bagaimana dengan tunangannya?
Jangan bilang, dia menjadi pelakor yang merusak hubungan mereka?
Ini benar-benar mengerikan!!
‘Tidak, aku tidak mau jadi pelakor yang merusak hubungan orang! Aku tak ingin menjadi wanita yang sama seperti wanita yang menjadi perusak hubungan ibu dan ayahku!’
Ini … bagaimana bisa jadi seperti ini?
Sandra tak dapat membendung ketakutannya.
Tak bisa lagi berada di sana, di ruang yang sama dengan lelaki ini!
Berdiri, dia melihat sekilas wajah-wajah di depannya menatap dirinya dengan kebingungan.
Sandra tak punya waktu untuk memikirkan mereka.
Tanpa kata, dia berbalik dan berjalan cepat ke arah pintu dimana tadi dia masuk.
"Sandra!"
Dia mendengar suara yang memanggilnya dari belakang diikuti langkah kaki saat kedua matanya berusaha mencari mobil yang tadi mengantarnya ke sini.
"Sayang, tunggu!" ucap lelaki di belakangnya entah kesekian kalinya.
Saat dia sudah menemukan mobilnya, Sandra berlari kencang menuju mobil itu.
Tepat ketika dia akan membuka pintu mobil, sebuah tangan memegang lengannya.
"Sayang? Kamu kenapa? Hm?" tanya suara yang terdengar lembut di telinganya itu.
Walau Sandra juga bisa mendengar kebingungan di suaranya.
"Jangan seperti ini, jelaskanlah padaku. Apa aku berbuat salah?" tanya lelaki itu lagi masih dipenuhi kebingungan.
"Lepaskan aku!" ucap Sandra sambil menepis tangannya sekali lagi dan menatap lelaki itu dengan tatapan jijik.
Raut wajah lelaki itu terkejut dan perlahan melepaskan lengan Sandra yang digenggamnya erat sebelumnya.
Sandra berbalik dan masuk ke dalam mobil.
Dalam diam Sandra merasa bahwa tadi dia melihat kedua mata lelaki itu menampilkan perasaan terluka yang amat dalam.
"Kenapa harus kau, Aditya Prakoso?" gumamnya lirih.
Menggelengkan kepala, ini pasti mimpi buruk!
***
Sandra sampai di rumah tempatnya terbangun sebelumnya dengan tergesa-gesa.
Dia harus memeriksa sesuatu!
“Ibu!” panggil Sandra saat sudah di dalam rumah.
“Nyonya, sudah saya bilang, panggil saya Bi Nilam!” koreksi Bi Nilam saat dia sudah berdiri di dekat Sandra.
Sandra berjalan terus ke arah kamar sambil menoleh pada Bi Nilam.
“Bi Nilam, di mana ponselku?” tanya Sandra sambil berusaha mencari ponselnya di semua bagian di kamar itu.
“Ah, ponsel. Tuan menaruhnya di nakas biasanya, Nyonya,” jawab Bi Nilam.
Sandra membuka nakas dan menemukan satu ponsel di dalamnya.
Dia mengerutkan dahi.
“Ini bukan ponselku, Bi. Ponselku gak seperti ini. Warnanya silver white dan ada stiker motif mawar di belakangnya. Bukan hitam gini,” protes Sandra.
Bagaimana bisa, ponselnya berubah seperti ini. Bi Nilam pasti salah.
Bi Nilam terlihat bingung, itu nampak dari dahinya yang berkerut.
“Nyonya, seumur-umur saya kerja bersama Nyonya selama dua tahun ini, saya hanya tahu ponsel ini milik Nyonya. Tidak ada ponsel lain berwarna white white itu. Apalagi gambar mawar? Bukannya Nyonya bilang bahwa Nyonya lebih suka polos?” bantah Bi Nilam.
“Bukan, Bi. Aku sama sekali gak kenal ponsel ini!” ucap Sandra masih berusaha teguh dengan pendapatnya.
“Coba saja cek terlebih dahulu, Nyonya. Siapa tahu jika melihat isinya, Nyonya bisa ingat?” tawar Bi Nilam.
Sandra menghela napas dalam-dalam. Sabar ... sabar.
Akhirnya Sandra menerima ponsel itu dan mengecek isinya.
Mencari nomer ibu dan kakaknya di ponsel itu, tidak ada sama sekali. Bahkan kontak di ponsel itu kosong.
Dia mengecek galeri, kosong. Tidak ada foto atau video apapun.
Sandra semakin yakin bahwa ini bukan ponselnya.
Dia mencoba lagi untuk mencari naskah novelnya dan draft skripsinya di folder ponsel itu.
Nihil. Semuanya kosong layaknya ponsel yang baru dibeli.
Bahkan wallpapernya pun default masih setelan pabrik.
Sandra menggigit bibirnya.
Persetan dengan apakah ini ponselnya atau bukan.
Ada yang lebih penting.
Sandra duduk di pinggir tempat tidur dan mengunduh aplikasi i*******m. Setelah selesai mengunduh, dia dengan cepat memasukkan username dan kata sandi untuk masuk ke akunnya.
Tanpa jeda, dia mencari nama akun milik Aditya Prakoso.
Hampir saja dia melemparkan ponsel itu saat dia melihat dengan kedua matanya di akun lelaki itu terdapat foto pernikahan dimana lelaki itu tersenyum memandang pengantin wanitanya.
Dan yang membuatnya semakin tak percaya adalah pengantin wanita itu adalah dirinya!
Benar, dirinya dengan dibalut gaun putih pada postingan yang diunggah tahun 2021.
“Ini gila,” gumam Sandra tak percaya.
Kedua matanya membola dan tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar karena shock.
“Sihir macam apa ini?!” ucap Sandra sambil memeriksa akunnya sendiri.
Dan benar saja, di akun instagramnya, terdapat foto pernikahan yang sama.
“Tinggalkan aku sendiri, Bi,” ucap Sandra.
Bi Nilam yang tak tahu harus apa, akhirnya menuruti permintaan Sandra dan keluar dari kamar itu.
Sandra berjalan ke arah pintu kamar dan menguncinya.
“Nyonya sudah pulang, Bi?” terdengar suara Agatha dari luar kamar.
“Iya, Non,” jawab Bi Nilam.
“Gak pulang sama tuan?” tanya wanita itu lagi.
Sandra memilih mengabaikan percakapan mereka selanjutnya.
Dia dengan cepat mencari akun kakaknya di i*******m. Dia harus menghubungi keluarganya.
Setelah menemukannya, dia mengirim direct message pada kakaknya itu.
“Kak, tolong aku!”
Dia menatap layar ponsel berharap kakaknya segera membaca dan membalas pesannya.
“Tolong apa, Dek?”
Sandra menghembuskan napas lega. Akhirnya dia bisa menghubungi keluarganya.
“Tolong aku, aku berada di tempat asing. Mereka mengatakan aku sudah menikah!”
Terlihat tulisan yang memberitahunya bahwa kakaknya sedang mengetik balasan.
“Hah? Apa yang salah tentang itu? Kamu memang sudah menikah! Kamu lagi ngigo?”
Pesan balasan itu membuat Sandra semakin frustasi.
Ini gila.
Ini benar-benar gila.
Ada apa dengan dunia ini? Apa dia pindah ke lain dimensi? Alternative universe? Time travel?
Sama sekali tak masuk akal!
***
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun