“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan.
“Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal.
Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya.
Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya?
“Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi.
Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar.
Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingung. Tetapi dia bahkan jauh lebih bingung.
Dia melihat ruangan dimana dia terbangun.
Ruangan yang sama sekali tak dia kenal.
Furnitur di ruangan ini serba kayu, dengan nuansa putih dan coklat. Di sebelah kiri terdapat nakas kecil berwarna coklat dan di atasnya terdapat lampu tidur. Selain itu terdapat jendela lebar yang terbuat dari kaca dengan kusen berwarna putih persis di belakang wanita itu.
Terdapat lemari dengan desain minimalis berwarna putih coklat di sebelah kanan tempat tidur.
‘Ini bukan kamarku ...,’ pikirnya tiba-tiba merasa merinding.
“Kamu siapa? Ini di mana?!” seru Sandra itu pada wanita di hadapannya dengan tatapan curiga. Bi Nilam? Dia tak pernah kenal nama itu!
Dia memperhatikan di luar jendela kamar itu. Terdapat seperti kebun yang terdiri dari banyak pohon dan bunga-bunga. Dia juga merasa tempat ini sangat sepi.
Hanya terdapat suara kicau burung. Tak ada suara bising kendaraan bermotor, ini artinya rumah ini bukan di kota atau di pinggir jalan.
Terlalu sepi.
‘Apa aku sedang diculik?’
Sandra melebarkan kedua matanya.
Tempat seperti ini sangat cocok untuk menyembunyikan korban penculikan karena jauh dari keramaian.
Jangan salah, walau dia dari keluarga yang sangat sederhana, namun potensi untuk diculik itu tetap ada!
Terakhir dia ingat, banyak sekali kasus orang hilang yang akhirnya ditemukan tanpa organ dalam, alias jadi korban yang diculik untuk diambil organnya!
Harga organ dalam itu mahal sekali. Apalagi di zaman banyak sekali orang sakit. Yang jadi sasaran penculikan bukan lagi anak orang kaya saja, tetapi anak orang miskin!
‘Aku harus kabur dari sini!’ pikir Sandra karena instingnya merasa sangat terancam.
Dia tak tahu ini dimana dan siapa wanita di hadapannya itu.
Tetapi yang pasti, dia jauh dari keluarganya!
Dia harus kembali ke rumah, apapun yang terjadi.
Ketakutan yang menyergapnya, membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sandra dengan cepat membuka selimutnya, berdiri dari tempat tidur dan tanpa mempedulikan wajah wanita di depannya yang terlihat terkejut, dia berlari ke luar kamar.
“Nyonya!” panggil wanita dari belakangnya.
Dia merasakan sakit kepala, mungkin darah rendahnya kambuh karena begadang tadi malam.
‘Sial!’ umpatnya dalam hati.
Kadang rasa sakit datang di saat yang sangat tidak tepat.
Saat dia melihat cermin yang ada di dinding kamar tepat sebelum keluar dari kamar itu, dia reflek mundur perlahan. Salah satu telapak tangannya menutupi mulutnya yang menganga karena melihat pantulan dirinya yang ada di cermin itu.
Dia menyentuh rambutnya.
“Kapan aku memotong rambutku? Kenapa aku memotong rambutku? Aku yakin semalam rambutku tetap panjang!” gumam Sandra sambil rasanya ingin menangis.
Rambut panjang yang sangat dia sayangi tiba-tiba menghilang dan dia tak tahu siapa yang memotongnya!
Rambut panjang yang dia butuh waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkannya, hilang dalam sekejap!
“Nyonya? Nyonya!” panggil Bi Nilam pada Sandra yang terpaku menatap pantulan di cermin yang sangat tidak masuk akal.
“Siapa yang memotong rambutku? Apa ibu yang memotongnya semalam? Rambut panjangku hilang!” protes Sandra pada Bi Nilam sambil tetap menahan tangis.
Bi Nilam kembali heran dengan pertanyaan nyonyanya itu.
“Rambut panjang apa, Nyonya? Apa Nyonya masih terbawa mimpi?” tanya Bi Nilam sambil memperhatikan wajah Sandra yang saat ini sangat muram.
“Tidak, rambutku ini sampai semalam masih panjang!” sanggah Sandra sambil memegang rambutnya yang basah.
Bi Nilam menarik tangan Nyonyanya menuju laci di nakas dalam kamar itu. Bi Nilam kemudian mengeluarkan sebuah album dan menyerahkannya pada Sandra.
“Lihatlah! Semua foto Nyonya dua tahun ini hanya berambut pendek! Tidak ada yang berambut panjang. Kapan Nyonya berambut panjang?” tanya Bi Nilam.
Sandra melihat lembar demi lembar album foto itu.
Tidak ada foto lain selain dirinya di album foto itu. Dan benar saja, semua fotonya berambut pendek.
“Foto-foto itu sengaja dikumpulkan tuan karena tuan sangat mencintai Nyonya. Album itu diberikan tuan sebagai hadiah ulang tahun Nyonya bulan April kemarin,” jelas Bi Nilam.
“Tuan? Tuan siapa?!” seru Sandra.
“Tentu saja suami Nyonya! Siapa lagi?” balas Bi Nilam semakin bingung.
“Tidak! Aku sama sekali tidak punya suami! Aku ini belum lulus kuliah, bagaimana bisa memiliki suami!” tolak Sandra dengan keras. Dia menggelengkan kepala tak ingin mempercayai ucapan wanita yang tak dikenalnya itu.
Enak saja menuduhnya sudah menikah!
Jika dia sudah menikah, pasti itu nikah paksa! Atau lelaki itu menculiknya semalam! Bagaimana bisa dia menikah saat dia sudah bangun?
Tiba-tiba memiliki suami, dalam semalam?
Ini bukan dongeng, menikah pun butuh persiapan ini itu surat-surat juga banyak sekali persyaratannya.
"Astagfirullah, nyebut Nyonya, nyebut! Apa Nyonya ingin bercerai dengan tuan? Kasihan sekali tuan jika memang begitu," ucap pelayan itu sambil memandangku dengan tatapan prihatin.
Sandra melongo. Ini, dia yang gila atau ibu yang di hadapannya ini yang gila?
‘Tunggu ....’ Sandra kemudian mulai sadar tentang sesuatu. Dia melihat sekali lagi isi album yang dipegangnya, setiap foto terdapat tanggal yang menunjukkan bahwa foto itu diambil dari tahun 2021 hingga 2023.
“Sekarang tahun 2023?” seru Sandra tidak percaya.
Bi Nilam mengangguk.
“Tentu saja, Nyonya. Memangnya tahun berapa lagi?” balas Bi Nilam.
Sandra menggeleng keras dan tangannya menjatuhkan album itu ke lantai.
Dia pasti bermimpi.
Benar, dia pasti sedang bermimpi buruk!
Dia harus bangun! Dia tak boleh di sini.
Di sini hanya ilusi dan semua ini bukan kenyataan! Dia tak boleh percaya ini semua!
Dia berusaha untuk mencubit lengannya dengan keras.
Tapi berakhir dengan meringis karena kesakitan akibat ulahnya sendiri.
“Nyonya!” teriak Bi Nilam panik.
Bi Nilam mendekati dan memegang kedua bahu Sandra.
“Nyonya! Nyonya kenapa? Sadarlah!” seru Bi Nilam sambil mengguncang kedua bahu Sandra yang terlihat seperti sedang gila.
Sandra di matanya tiba-tiba mencubit lengannya sendiri dengan keras kemudian menampar pipinya sendiri seolah orang kerasukan sambil bergumam berulang-ulang kalimat, “Bangunlah! Ini semua mimpi!”
“Mimpi apa maksud Nyonya? Ini kenyataan, bukan mimpi!” seru Bi Nilam.
Sandra menggeleng sambil menitikkan air mata.
“Tidak, ini pasti mimpi! Tidak mungkin seperti ini! Ini bukan kenyataan! Aku sama sekali tak percaya semua ucapanmu, Bu!” balas Sandra sambil berusaha mendorong Bi Nilam dari dirinya.
“Nyonya, saya bersumpah ini kenyataan! Nyonya lihat sendiri kan, Nyonya kesakitan saat mencubit dan menampar diri sendiri, butuh bukti apa lagi?” balas Bi Nilam berusaha menyadarkan Sandra yang histeris.
Sandra tetap menggelengkan kepala sambil bersimpuh di lantai. Dia menutup kedua matanya berharap jika dia membuka matanya, maka dia akan kembali kepada kenyataan yang dia ingat.
Tetapi saat dia membuka mata kembali, tak ada yang berubah. Dia tetap di kamar ini.
“Bu, aku mau pulang. Aku mohon, aku ingin pulang!” pinta Sandra sambil terus menangis dan mencengkram erat bagian depan pakaian Bi Nilam hingga buku jarinya memutih.
Bi Nilam menggenggam kedua tangan Sandra yang mencengkram pakaiannya itu.
“Pulang ke mana, Nyonya? Ini rumah Nyonya!” jawab Bi Nilam sambil berusaha menepuk dan mengelus punggung Sandra agar dapat menenangkannya.
“Tidak. Ini bukan rumahku! Rumahku bersama dengan ibuku! Aku ingin pulang!” ucap Sandra sambil gemetaran karena tangisnya yang membuncah.
“Kenapa Nyonya bisa berpikir begitu? Nyonya sudah menikah, jadi rumah Nyonya pasti dengan suami Nyonya,” jelas Bi Nilam.
Sandra mengangkat wajahnya yang tertunduk kemudian menatap Bi Nilam dalam-dalam.
“Tidak, ini bukan kenyataan. Seharusnya sekarang bukan tahun 2023, seharusnya sekarang masih tahun 2018!”
***
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun