“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun