Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.
Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.
Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.
Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!
“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.
Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.
“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.
“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.
“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang tamu. Tidak mungkin kan dia mandi di kamar mandi sebelah ruang tamu? Dia yakin itu kamar mandi khusus tamu.
Sandra berbaring di tempat tidur sambil memandang langit-langit kamarnya. Di sekitarnya berserak barang-barang. Clutch dan juga ponsel. Jika ini benar time travel berarti harus ada cara untuk kembali. Tapi bagaimana cara kembalinya?
Kepada siapa dia harus bertanya?
Jika dia bertanya, pasti dia akan dianggap gila.
Dia ingin pulang. Semuanya terasa asing. Bahkan kakak perempuannya juga terasa asing dan berbeda.
Ini mengerikan. Kenyataan yang bahkan lebih buruk dari mimpi buruk.
Setelah menghubungi kakaknya tadi, dia tak punya tenaga bahkan untuk mengangkat tangan. Rasanya lemas sekali.
Air mata kembali menetes di kedua matanya.
Dia saat ini ada di Kota Malang, perjalanan enam jam dari kota asalnya, Jember.
Tapi, bukan hanya jarak kota saja yang jauh saat ini, tapi jarak waktu juga jauh. Dia meloncat lima tahun dari tahun asalnya. Dia selalu bermimpi bisa melakukan perjalanan waktu ke masa lalu saat zaman kerajaan, tetapi yang terjadi padanya adalah ke masa depan dengan kenyataan yang mengerikan.
Sudah menikah dan yang lebih parah bisa jadi dia adalah seorang pelakor yang merebut calon suami orang lain.
Tadi dia mengecek akun i*******m tunangan Aditya Prakoso, di sana tak ada foto gadis itu bersama Aditya. Hanya foto-foto pemotretan terbarunya.
Sandra menjadi lebih takut saat mengingat itu.
Dia tak ingin sifat terkutuk yang mengalir di keluarga ayahnya juga menurun padanya.
Keluarga ayahnya, yang laki-laki tukang selingkuh dan yang perempuan pelakor. Dia sama sekali tak ingin menjadi seperti mereka!
“Aku ingin pulang hiks ... hiks ...,” gumamnya terus-menerus sambil menatap hampa apapun yang tertangkap kedua matanya,
Dia merasa sendiri. Dia merasa kesepian.
Kesepian membuatnya merasa menggigil kedinginan.
Menekuk kedua kakinya ke dada, dia kemudian memeluk kedua kakinya dengan kedua tangannya.
Tidur seperti kucing yang kehujanan dan kedinginan. Berusaha mencari kehangatan.
Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu kamar.
Aditya Prakoso, yang baru saja pulang menghentikan tangannya yang terangkat untuk mengetuk pintu kamar itu.
“Sayang ...,” gumam Aditya di depan pintu itu dengan tatapan khawatir.
Dia mendengar betapa pilu dan menyakitkan tangisan yang didengarnya itu.
Dia ingin sekali masuk dan memeluk Sandra. Untuk menemani wanita itu agar tak menangis sendirian. Tetapi pintu kamarnya dikunci seperti ini.
Bahunya menurun. Aditya merasa hopeless.
Dia kemudian merasakan tepukan di bahunya.
Aditya menoleh dan melihat Agatha yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu berdiri dengan memakai piyama hijau dengan cangkir di tangan kanannya.
Agatha menggelengkan kepalanya kemudian memberi kode dengan tangannya agar Aditya mengikutinya ke ruang keluarga di lantai atas.
Tanpa suara, Aditya mengikuti wanita itu walau terasa enggan meninggalkan istrinya sendirian.
Saat sampai di ruang keluarga, dia melihat Agatha sudah duduk di salah satu sofa sambil menyesap minuman di cangkirnya.
“Kenapa dia pulang dengan cepat seperti itu?” tanya Agatha memulai introgasinya pada Aditya.
Aditya duduk kemudian mengusap dahinya dengan kasar.
Rasa frustasi tercermin di kedua matanya.
“Aku juga tidak tahu. Aku hanya menyapanya, kemudian dia terlihat begitu shock dan melarikan diri dariku. Aku berusaha mengejarnya dan menahannya saat dia akan menaiki mobil, tetapi dia menepis tanganku dan menatapku dengan jijik,” jawab Aditya.
Mengatakannya seperti ini, terasa getir di lidah Aditya. Hatinya terasa nyilu mengenang tatapan jijik Sandra padanya. Dia begitu terpana hingga tanpa sadar membiarkan istrinya itu meninggalkannya sendirian di depan gedung acara tadi.
Apa salahnya?
Apa karena dia tak pulang? Apa karena dia tak menemani istrinya itu datang ke acara itu bersama-sama?
Apa masalahnya?!
Aditya menghela napas.
“Apa salahku?” tanya Aditya pada Agatha dengan penuh harap.
“Dia ingin pulang,” jawab Agatha.
“Bi Nilam sudah mengatakannya,” jawab Aditya.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Agatha. Kali ini dia tak lagi memegang cangkir. Dia menatap ipad di tangannya.
Aditya menggeleng keras.
“Aku tidak akan mengizinkannya. Aku tidak akan melepaskannya! Dia milikku!” seru Aditya.
“Dia merindukan keluarganya,” jelas Agatha.
“Jika dia merindukan mereka, aku bisa mendatangkan mereka, dia tak perlu ke mana-mana,” jawab Aditya kukuh dengan pendapatnya.
Agatha menghela napas dan menggelengkan kepala melihat tingkah ‘tuan’-nya itu.
“Apa kau tahu kau terlihat seperti apa sekarang?” tanya Agatha.
Aditya tak menjawab, dia hanya menatap Agatha dengan tanda tanya di wajahnya.
“Kau terlihat seperti penculik. Maniak, psiko possesif, yang menculik wanita dan memaksa wanita itu menjadi istrinya. Sekaligus mengurung wanita itu di rumahnya, menjadikan wanita itu tahanan rumah,” jelas Agatha.
“Diamlah Agatha. Aku sama sekali tak peduli pandanganmu tentangku,” ucap Aditya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Pandanganku?” Agatha memandang Aditya seolah-olah Aditya orang yang sangat konyol dan bodoh.
“Aku mengatakannya sebagai pandangan orang luar termasuk pandangan Sandra saat ini padamu,” tegas Agatha.
Ucapannya berhasil membuat Aditya merasa terancam.
“Tidak mungkin,” ucap Aditya.
“Lihat saja, bukankah kau mengatakan Sandra menatapmu dengan jijik? Mungkin itu yang dia pikirkan saat ini. Dia ingin pulang apapun caranya,” jelas Agatha.
Aditya menggeleng.
“Istriku tak mungkin berpikiran seperti itu, Agatha!” tolak Aditya.
Agatha menggeleng-geleng.
“Ck ck ck, benar-benar tak tertolong. Tuan Prakoso, sadarlah!” seru Agatha.
“Aku akan mengirim orang untuk menjemput mertuaku sekarang juga,” ucap Aditya sambil mencari ponselnya di saku celananya.
Setelah beberapa saat menelfon, dia mematikan panggilan itu.
“Ini penyelesaian yang dapat kamu pikirkan?” tanya Agatha.
Aditya berdiri. Dia berjalan ke arah tangga untuk turun ke lantai satu.
“Apapun itu selain melepaskannya,” jawab Aditya dengan suara yang sangat dingin yang membuat Agatha merinding.
Agatha mengusap kedua lengannya keras-keras.
“Walau sudah berteman bertahun-tahun, dia masih saja menakutkan,” gumam Agatha bergidik ngeri.
“Yah, apa yang bisa kulakukan? Masalah mereka terlalu pelik untukku masuk ke dalamnya. Aku di sini karena digaji, jadi aku tak ingin ikut terseret ke cerita mereka,” ucap Agatha.
Agatha adalah seorang opportunis. Dia melakukan yang menguntungkan untuknya.
Jadi berusaha menjauhi yang merugikan untuknya adalah sebuah insting baginya.
Dia berjalan ke arah tangga untuk menaruh cangkir kotor yang dipakainya tadi.
Saat dia turun, dia melihat Aditya duduk di sebelah pintu kamar Sandra. Bersandar pada tembok sambil menutup kedua matanya.
Lengkap dengan seragam TNI yang belum dia ganti.
Tidak terlihat sangar dan menakutkan lagi, Aditya malah terlihat sangat rapuh.
Lelaki itu terlihat seperti anjing setia yang menunggu sendirian saat tuannya mengabaikannya.
‘Menyedihkan,’ pikir Agatha.
Dia lalu melirik ke arah pintu kamar. Suara tangisan Sandra sudah tak terdengar lagi.
Mungkin wanita itu sudah tertidur.
“AAAAARGGHHH!”
Baru saja Agatha akan berjalan ke arah dapur, dia berhenti dan melebarkan kedua matanya.
Berbalik dia melihat Aditya yang berdiri dan berusaha membuka pintu kamar.
“Sandra!”
***
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
“Doamu didengar? Kembali? Maksudmu apa, Dek?” ucap suara yang dia kenal. Sinta, kakak perempuan Sandra berdiri di belakang ibunya saat Sandra mengangkat kepala dari pelukan ibunya. “Kak Sinta?” sapa Sandra ragu-ragu. Sinta mengerutkan dahinya, “Kamu kenapa? Tiba-tiba menangis memeluk ibu seperti sudah lama tidak bertemu?” tanya Sinta sekali lagi. “Iya, karena akhirnya aku kembali ke masaku, Kak! Tadi aku benar-benar bermimpi aneh, buruk sekali!” seru Sinta kemudian menarik tangan Sinta untuk mengikutinya duduk di tempat tidurnya. Ibunya berjalan mengikuti kedua anaknya yang berisik itu sambil menggelengkan kepala. Tepat saat Sandra duduk di tempat tidurnya, dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tidak dia perhatikan saat bangun tidur tadi. Dia menoleh ke sekelilingnya dan menatap horor seolah melihat hantu. Tangannya yang memegang tangan Sinta bergetar dan kemudian kedua air matanya menetes perlahan. Sinta dan ibunya terkejut karena perubahan air muka Sandra yang sangat drastis dar
"TURUNKAN AKU! LEPAS! LEPASSS!" teriak Sandra sambil memukul-mukul bahu Aditya, tapi lelaki itu tak bergeming, bahkan tak keliatan sakit sama sekali. Justru Sandra yang merasa tangannya sakit memukuli lelaki itu. 'Haah, siapa yang bodoh di sini? Jelas-jelas lelaki ini tentara, memukulinya sampe capek pun, tetap aku yang rugi, karena dia tak merasakan pukulanku' pikir Sandra. Dia akhirnya menyerah dan memilih diam. Aditya yang merasakan pukulan istrinya mulai berhenti, kemudian membawa istrinya ke kamarnya dan mendudukkan wanita itu di ranjang. Aditya bersimpuh di depan Sandra dan memegang kedua tangan Sandra. Dia kemudian mengusap tangan Sandra yang kemerahan karena memukulnya tadi. "Lihat, sakit kan? Sebenarnya kamu tahu kan, Sayang? Memukulku hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Aditya sambil meniup kedua telapak tangan Sandra. Sandra memalingkan wajah dari Aditya. "Tidak usah sok peduli. Kamu mengurungku di rumah ini lebih menyakitkan daripada sakit di tanganku," balas
Sandra berdiri di pinggir jurang sendirian. Dia menoleh ke kanan ke kiri tak ada siapapun. Angin membuat tubuhnya merasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Dia menoleh dan terlihat wajah yang diingatnya. "Kau ingat aku?" ucap wanita itu dengan senyum sinis. Sandra mundur tanpa sadar. "Bagaimana rasanya menjadi istri dari mantan kekasih yang aku cintai?" "Helena," ucap Sandra getir. Akhirnya dia bertemu dengan wanita ini. Wanita yang merupakan kekasih Aditya dalam waktu yang lama. "Jangan sebut namaku seolah kau kenal akrab denganku, dasar pelakor!" teriak Helena tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan emosi yang penuh kemarahan. "Aku tak tahu apa-apa!" tolak Sandra. Dia tak menerima bahwa dirinya disebut pelakor! Dia bahkan tak tahu bagaimana ceritanya dia jadi istri Aditya! "Ha! Semua pelakor akan mengatakan hal yang sama! Kau pun tak ada bedanya!" Tangis kebencian mengalir di kedua mata Helena. Secepat kilat, Sandra melihat Helena berjalan ke arahnya
Sore hari datang dengan sangat cepat. Rasanya Sandra baru saja sarapan kemudian berjalan-jalan di dalam rumah untuk memperhatikan setiap hal yang ada di rumah itu setelah itu dia beristirahat di kamar sambil memperhatikan ponselnya untuk mencari nomor keluarganya, tiba-tiba sudah pukul tiga sore saja.Bi Nilam sudah menunggunya di depan kamar dan memintanya untuk cepat bersiap.Sandra berpikir, sebenarnya karena dia sedang ada tamu bulanan, dia ingin sekali bermalas-malasan.Apalah daya, Bi Nilam begitu cerewet!“Iya, iya. Aku mandi dulu,” jawab Sandra malas.Tetapi kemudian dia berhenti di pintu kamarnya.“Bi, aku punya handuk kan?” tanya Sandra.“Tentu saja, Nyonya. Saya sudah menyediakannya di kamar mandi,” jawab Bi Nilam sambil menata gaun yang dikirim oleh Tuan Prakoso itu lewat mas kurir pagi tadi.“Kamar mandinya mana? Yang di atas itu?” tanya Sandra lagi. Dia memang berkeliling di dalam rumah tadi. Tapi dia hanya menemukan kamar mandi di lantai dua dan juga di sebelah ruang ta
Jika dunianya terasa tidak masuk akal kemarin, maka saat ini dunianya terasa terbolak-balik. Bagaimana bisa ini terjadi.Sandra bisa mendengar suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Tangannya yang memegang gelas bergetar hebat.Tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Wajah ini dan tubuh gagah ini.Tak mungkin dia tak tahu! Dia sangat tahu siapa yang ada di depannya dan sedang menatapnya dengan kebingungan ini.Senyumnya masih tak berubah, masih sangat manis seperti dulu.Sosok yang pernah membuatnya kagum, walau dalam diam karena kepemimpinannya yang sangat bertanggung jawab.Om-om? Aki-aki?Dia jauh dari istilah itu.Lelaki di depannya adalah teman SMP-nya yang jelas-jelas dia lihat seminggu yang lalu mengunggah foto pertunangannya dengan gadis yang dia pacari sejak SMP!Bagaimana mungkin lelaki ini bisa jadi suaminya?Sandra menaruh gelas yang dia pegang di meja dan mengusap kedua matanya keras-keras."Sayang, kenapa kamu harus mengusapnya begitu keras? Bagaimana jika matamu ter
Pagi hari datang dengan cepat. Suara berisik di sebelah tempat tidurnya, membuat Sandra terbangun. Dirasakannya hawa dingin di kulitnya, membuatnya menarik selimut yang ada di tubuhnya semakin tinggi. Suara berisik di sebelahnya yang tak bisa diam dan malah semakin heboh, membuat Sandra membuka kedua matanya. Dia melihat orang lain yang tak dikenalnya lagi sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang sebuah buku. Orang itu adalah seorang wanita yang berwajah manis dan berkacamata. Tersenyum ramah saat Sandra membuka kedua matanya. “Sudah bangun, Nyonya?” tanya wanita itu sambil menutup bukunya dan menaruh buku itu di nakas sebelah tempat tidur. ‘Lagi, orang lain yang memanggilku dengan sebutan nyonya,’ pikir Sandra menatap wanita di hadapannya dengan datar. “Kamu siapa?” tanya Sandra sambil menggosok lehernya karena dia merasa lehernya terasa sangat kering. “Minum dulu, Nyonya,” balas Agatha sambil menyodorkan gelas berisi air dari atas nakas. Sandra menatap Agatha cu
Terpana, Bi Nilam tak bisa berkata-kata mendengar jawaban yang diucapkan nyonyanya itu. Bagaimana bisa saat ini masih 2018? Keheningan menyeruak di ruangan itu hanya diisi oleh isak tangis oleh Sandra. Saat itulah terdengar ketukan dari pintu depan. “Permisi, paket!” seru suara laki-laki dari luar. Seperti sebuah bell yang berbunyi di telinganya, suara laki-laki itu membangunkan Sandra dari kesedihannya. Dia harus bertindak cepat. Dia tak aman di sini. Tak ada yang dikenalinya. Tak ada yang bisa dia percaya. Sandra berdiri dan berpikir untuk melarikan diri. Ke manapun, dia tak peduli. Dia kemudian berlari ke arah pintu dan membuka pintu depan. Baru saja dia membuka pintu, sebuah kotak disodorkan padanya. Sandra memandang paket yang dijulurkan padanya oleh lelaki itu dengan alis terangkat. “Atas nama Nyonya Prakoso?” ucap lelaki yang berpakaian kurir itu. “Nyonya Prakoso? Gak tahu, Mas. Saya gak tinggal di sini,” jawab Sandra ketus. ‘Bodo amat lah siapa itu Nyonya Prakoso, a
“Nyonya, anda harus bangun!” ucap suara wanita yang berjalan masuk ke kamar dan suara tirai yang terbuka. Cahaya matahari masuk membuat kedua mata wanita yang tertidur lelap itu mengerjap kemudian membuka matanya perlahan. “Ibu, aku libur hari ini! Lagipula, dosen pembimbingku belum merespon chatku! Biarkan aku tidur ....” gumam wanita di tempat tidur itu dengan kesal. Dia baru saja begadang tadi malam untuk mengerjakan naskah novelnya dan chat yang dia kirim pada dosen pembimbingnya kemarin masih belum dibalas seharian. Entah kapan dia akan mendapat balasanya. Hari ini adalah hari liburnya, tidak bisakah dia mendapatkan tidur sepuasnya? “Apa maksud Nyonya? Dosen pembimbing apa? Ibu? Saya Bi Nilam, Nyonya! Bukankah ibu Nyonya tidak tinggal di sini?” jawab wanita paruh baya yang membuka tirai kamar tadi. Samar-samar, Sandra Aiman, wanita di tempat tidur itu akhirnya mencerna apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Dia melihat wanita yang ada di dekat tirai memandangnya bingun