Alifia Nadira seorang gadis yang berumur lima belas tahun yang baru saja melewati masa MPLS disekolah barunya. Hari ini merupakan hari pertamanya memulai pembelajaran namun sejak awal ia sudah menarik banyak pasang mata, selain wajahnya yang cantik sifatnya yang ceria membuatnya makin populer terutama dikalangan para senior.
Pia melebarkan senyumannya kala melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan jas biru dongker dan rambut yang tertata rapi menambah kesan plus pada pria tersebut.
“Kak Glen!” pekik Pia girang.
Galen Fikri Alamsyah, Ketua Osis yang ia kenal bersama Chika. Chika mengatakan pada dirinya bahwa Glen merupakan Kakak kelasnya saat SMP.
“Loh Pia? Gak masuk kelas?” Pia menggeleng, sebenarnya ia sendiri juga tak tahu dimana kelasnya berada.
“Gue gak tau kelasnya Kak,” jawab Thiya sembari menunjukkan deretan giginya.
Glen terkekeh mendengar jawaan gadis tersebut.”Lo kan bisa liat papan mading didepan.”
Lagi-lagi gadis itu menggeleng.” Males ah, rame.”
“Kan bisa nyalib, gue yakin langsung dapet jalan,” jawab Glen menaik turunkan alisnya.
Aaah, Pia mengerti. Ia menepuk dahinya pelan tak terpikirkan cara tersebut. Sedangkan Glen yang melihat tingkah polos Pia hanya bisa mengacak puncak kepala gadis tersebut membuat Pia cemberut kesal karena rambutnya menjadi berantakan.
Sejak awal ia membimbing Pia di masa MPLS ia tak begitu tertarik pada gadis itu meskipun Pia sudah terkenal karena wajah cantiknya dan berpikir bahwa gadis itu anak yang sombong namun ternyata ia salah, saat Chika mengenalkan Pia pada dirinya ia tahu bahwa Pia merupakan gadis biasa yang polos dan ceria.
Mungkin sejak saat itu Glen menaruh rasa pada Pia, namun ia masih harus memantapkan perasaannya. Glen harus berusaha untuk menjalin pendekatan dengan gadis itu agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan, yah setidaknya ia berharap bahwa Pia mengetahui perasaannya.
“Sebenernya gue juga nyari Chika, semalem udah chat dia buat nunggu di gerbang sekolah biar bisa masuk kelas bareng tapi Chikanya gak ada.”
Glen tertawa kecil.”Ya jelas Chika gak ada disana, lo liat ini jam berapa.”
Pia melakukan hal yang disuruh oleh Glen, ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.”Masih jam setengah tujuh kurang kok.”
“Chika itu tipikal orang yang gak suka telat, menurutnya kalo sudah jam setengah tujuh dia udah telat, jadi dia selalu dateng sebelum jam segitu, yah minimal jam enam sudah harus di sekolah.”
Pia mengedipkan matanya beberapa kali mendengar penuturan Glen, ia lantas tersenyum kecil sebagai responnya terhadap Glen.
“Ayo gue anter ke kelas, tadi Chika udah Chat gue, katanya elo satu kelas sama dia.” Pia mengangguk setuju.
Glen lantas berjalan dihadapan Pia, sebenarnya dalam hati kecilnya ia ingin sekali mengajak gadis itu berjalan beriringan bersamanya, namun pria itu mengurungkannya sebab ia merasa bahwa tidak akan sopan jika dua orang yang baru saling kenal selama beberapa hari sudah berjalan berdampingan, terlebih lagi ia menaruh rasa pada gadis itu dan ia tak tahu apa yang dipikirkan gadis itu terhadap dirinya nanti.
Sedangkan Pia memandang punggung belakang Glen yang hampir menjauh, gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian menarik panjang nafas dan menghembuskannya, ia lalu mengeratkan pegangan tangannya pada tas yang ia sandang dan melangkahkan kakinya mengikuti langkah Glen, tak lupa dengan senyum lebar nya.
***
Pia berjalan menuju kantin bersama Chika, gadis itu sedari tadi tak berhenti membuntuti Chika layaknya anak ayam yang selalu mengekori induknya. Sedangkan Chika sendiri tak keberatan akan hal itu, Sejak dulu ia merupakan orang yang sangat pemilih terutama dalam pertemanan, gadis itu tak bisa sembarangan memilih teman sebab ia pernah trauma karena masa lalu pertemanannya dulu.
Namun dari awal bertemu Pia, Chika tahu bahwa ia merupakan gadis yang baik oleh karena itu ia berteman dengannya. Chika sendiri sangat senang menemukan teman seperti Pia, selain cantik ia juga orang yang tulus, memang benar bahwa kita tak bisa menilai orang hanya karena wajahnya.
Hanya karena wajahnya cantik bukan berarti ia baik, namun Pia itu berbeda dan ia senang akan hal itu. Lagi pula gadis itu tak pernah menyombongkan wajahnya meskipun ia sadar bahwa dirinya memang cantik, karena menurutnya sendiri masih ada langit di atas langit.
Sesampainya dikantin mereka berdua sudah diserbu dengan ajakan para siswa dan siswi disana untuk duduk bersama, Chika sendiri tak segan untuk menolak mereka dengan tegas sedangkan Pia hanya bisa tersenyum tak enak pada semuanya.
“Itu Pia kan? Gila cantik banget, ajak duduk bareng yuk.”
“Eh itu si Pia kan? Beneran kayak bidadari ya.”
“Iya, udah cantik baik lagi.”
“Pia duduk bareng yuk.”
GAK!” tolak Chika keras, wajahnya juga sangat dingin.
“Itu siapa sih?”
“Chika, katanya mereka temenan dari MPLS kemaren.”
“Kayak langit dan bumi ya. Maksud gue cantik sih, tapi gak sebaik Pia.”
“Iya sifatnya itu loh, beda bengt. Sombong.”
“Gue dulu satu SMP sama dia tapi dia dari dulu emang begitu, suka milih-milih teman. Makanya dia gak ada yang mau deketin dia dulu.”
“Kasian, padahal kalah cantik sama Pia, tapi selera milih temennya tinggi banget, pasti gak punya teman kan dulu.”
“Ada sih satu, kalian tau Kak Glen kan, Ketua osis yang bimbing MPLS kemaren.”
“Kyaaa! Kak Glen ganteng deh. Emang kenapa?”
“Dari SMP Chika udah deket sama Kak Glen, kemana-mana selalu ngikutin Kak Glen.”
“Cih centil amat.”
Sudah cukup, sedari tadi Chika diam saja, ia masih bisa bersabar dengan bisikan-bisikan tersebut, toh mereka tak tahu dirinya namun ia tak bisa terima jika ada yang mengatakannya centil atau apalah. Mereka pikir ia tidak tahu kalau mereka ingin dekat dengan Pia karena maksud tertentu?
Pia sendiri juga mendengar hal itu, ia menatap Chika dengan tak enak namun sepertinya gadis itu tak mempermasalahkan hal tersebut. Ia mengerti bahwa temannya ini merasa tak enak tentang dirinya namun ia tak peduli akan hal tersebut mereka bisa menganggap dirinya memilih selera yang tinggi karena mereka tak tahu-apa tentang dirinya.
Mereka tak tahu saja apa akibatnya jika memancing kemarahan Chika, saat ini mereka perlu dibungkam agar tak mengganggu dirinya terutama Pia. Chika menggebrak meja nya keras membuat semuanya terkejut terutama Pia yang duduk dihadapannya, Chika tersenyum pada dirinya membuat Pia, gadis itu nampak menghela nafasnya panjang.
“EKHEM!” Chika berdeham kuat sembari memandangi semua orang satu persatu, dan gadis itu lantas tersenyum.
“Kalo bisa ngomongin orang jangan sampe kedengeran sama orangnya ya, kan sayang kalo muka cantik dan gantengnya bonyok. Yaaah mumpung sekarang gue masih sabar sih,” ucap Chika sambari mengusap kedua tangannya satu sama lain, ia yakin mereka semua mengerti maksudnya.
Benar saja Semuanya lantas terdiam, lagi pula memang sudah sepantasnya ia angkat bicara jika mereka tak bisa mengerti arti diam nya. Sedangkan Pia yang tak mengerti apa-apa hanya memandang Chika tak enak, ia merasa bahwa ini adalah salahnya, oleh sebab itu ia merasa harus mencairkan suasana agar tak terlalalu canggung begini.
“Ahahahahaahahaha, becandanya lucu ya, aduh panas. Es nya habis. Chika ke perpus yuk gue mau baca buku yang kemaren gue baca,” ucap Pia menarik cepat tangan gadis itu.
“DADAH SEMUA LOVE YOU ALL, BYE BYE!” pekik Pia sembari melambaikan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menarik tangan Chika.
Sesampainya di depan perpustakaan Pia melepas pegangannya pada Chika, ia tersenyum lebar menampilkan deretan giginya dihadapan gadis itu membuat Chika sedikit kesal karena gadis ini terlalu polos, ia tahu bahwa gadis itu merasa semuanya salah dirinya dan tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, tapi bisakah gadis dihadapannya ini mengerti bahwa itu bukan salah nya? Sudah sepantasnya mereka semua dibungkam, astaga.
“Ngapain lo pergi? Katanya laper?”
“Ahahahaha, itu, aaaa, eemm, nah iya mau baca buku.”
“Yang kemaren lo baca?” Pia tersenyum lebar sembari menganggukkan kepalanya.
“Sejak kapan?”
“Hah?”
“Ya maksud gue, sejak kapan lo baca buku itu ke-ma-rin?” tanya Chika menaik turunkan alisnya, membuat Pia sadar bahwa ini hari pertama mereka masuk sekolah. Ia menepuk dahinya pelan merutuki kebodohannya.
“Ahahahahahahaha.” Pia tertawa canggung, ia mengibaskan tangan kanannya guna mengipasi wajahnya.
“Panas ya, ayo baca bukunya.” Pia segera berlari ke deretan rak buku membuat Chika hanya bisa terkekeh melihat tingkah polos Pia.
“Pia awas!” teriak Chika.
Pia yang tak memperhatikan jalan karena matanya terpejam merutuki kebodohannya, lantas tersadar. Gadis itu kehilangan keseimbangan karena kaget melihat pria yang sibuk mencari buku, nampaknya pria itu juga tak menyadari kehadiran Pia dan alhasil gadis itu menabrak tubuh pria itu dari samping membuat keduanya terjatuh.
Pia terjatuh diatas tubuh pria itu dengan posisi tengkurap sedangka pria itu terjatuh dalam posisi telentang. Pia yang tidak merasakan apapun lantas membuka matanya yang terpejam ia terkejut saat bertatapan langsung dengan seorang pria, hidung mereka hanya menyisakan jarak satu centi membuat keduanya bisa merasakan deru nafas masing-masing.
Seperti biasa hari ini Chika dan Pia pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang kosong keduanya mengambil duduk tepat ditengah kantin bersama dengan Glen, yah Chika memang sengaja melakukannya untuk membuat para siswa lain cemburu dan sekaligus membalas bisikan mereka kemarin. Untuk apa bersikap baik toh mereka sudah mengecap dirinya centil pada Glen tanpa tahu apa-apa kan, jadi sekalian saja.Chika bertanya pada Pia dan Glen mengenai makanan yang akan mereka pesan, ia berniat memesankan makanan keduanya, yah sekaligus untuk menjalankan rencana kecilnya. Balas dendamnya belum selesai sampai kemarin, jika saja Pia tak menariknya untuk pergi ke perpus. Tapi tak apa balas dendam keduanya akan ia lakukan hari ini.Lima menit kemudian Chika kembali membawa tiga mangkuk makanan dan tiga gelas minuman sesuai pesanan kedua temannya. Gadis itu menaruh makanan dan minuman tersebut ke atas meja. Setelah semua makanan ia taruh ia segera menjalankan rencananya membuat gadis it
Lima belas menit kemudian motor milik Ilham berhenti dedepan sebuah rumah mewah bergaya klasik yang membuat Pia menghembuskan nafas lega mengetahui bahwa itu benar-benar rumahnya, ia turun dari motor namun gadis itu masih setia menutupi wajahnya.“Gue tau itu lo, yang waktu itu nabrak gue di perpus.” Pia nampak terkejut, ia menurunkan tangannya memandang wajah Ilham, astaga mengapa ciptaan tuhan yang satu ini sangat indah?“Soal yang waktu itu, gue minta maaf.”“Ya ya, Anggep itu gak pernah terjadi, toh cuman kecelakaan biasa. Intinya gak usah bahas itu lagi.”Setelah mengucapkan hal itu Ilham lantas pergi.Sedangkan Pia nampak tersenyum hangat, ia sedikit tak percaya bahwa orang yang tadi dibicarakan Chika adalah orang yang sama yang baru saja pergi. Pia hanya mengedikkan bahunya kemudian berbalik membuka pagar rumah dan masuk.Pia kembali ingat dengan rasa kesalnya pada sang Kakak, ia berjalan masuk menuju kekam
Pia dan Chika tengah duduk menikmati makan siang mereka dikantin sekolah, Pia nampak bergelut dengan pikirannya sendiri, ia sendiri bingung ingin bertanya sesuatu pada Chika namun tak tau bagaimana ia mengutarakannya. Sedangkan Chika yang tengah menyantap makanannya menyadari ada yang aneh dengan Pia, ia kemudian menatap Pia heran. Jika diperhatikan raut wajah gadis itu sedikit berubah.“Kenapa lo?” tanya Chika setelah meneguk makanan yang ia kunyah.Sedangkan Pia yang sedari tadi bergelut dengan pikirannya sedikit kaget.”Ah?” Ucap Pia mengangkat kepalanya menatap Chika.“Elo kenapa?”“Oh itu, gue mau nanya sesuatu sama lo,” ucap Pia kikuk.Sedangkan Chika nampak merubah ekspresi wajahnya menjadi riang, gadis itu mengangkat tanga kanannya membuat Pia heran.“KAK GLEN!” pekik Chika memanggil pria tersebut, tangannya melambai bermaksud mengajak pria tersebut duduk bersama dirinya dan
Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.***Glen menarik tangan Pia menuju ke perpustakaan membuat gadis itu sedikit sulit mengimbangi langkah pria tersebut, Glen sendiri tak bisa mengekspresikan dirinya saat ini seperti ada yang bergejolak dihatinya. Ada rasa yang mendorongnya untuk marah tapi ia tak tahu untuk apa dan lagi pula gadis yang tengah bersamanya ini bukan siapa-siapa nya.Keduanya sampai di depan perpustakaan namun tak ada yang berbicara kecua
“Menurut lo lebih wangi yang mana? Yang ini atau yang ini?” ucap Pia sembari memperlihatkan secara bergantian dua sabun mandi si tangannya membuat Dimas berdecak kesal.“Terserah!”“CK! gak ada pendirian banget,” gerutu Pia sembari mengerutkan keningnya berfikir farian apa yang akan ia beli.“Yang stroberi wangi tapi gak terlalu suka warna pink yang ini, terlalu tua. Yang biru cantik, warnanya juga soft tapi wangnya gak terlalu ke cium.”“Ah pusing, jadi beli yang mana ini?” Dimas berdesis geram, adiknya ini jika ia tak menjawab pertanyaannya ia akan terus menimang untuk membeli yang mana.“Yang biasa lo pake apa?” tanya Dimas sedikit kesal.“Emmm, biasanya beli di online shop sih, soalnya di super market ini gak ada.”“Terus kenapa masih di cari?” geram Dimas. Kepalaya mulai panas, jika di film-film pasti sudah ada asap yang keuar dari kep
“Boleh nebeng gak? Gue di tinggal Kakak gue.” “Makanya kalo belanja tuh jangan kelamaan,” Jawab Ilham membuat Pia sedikit terkejut, bagaimana pria itu tahu? “Lo cenayang?”Ilham hanya mengedikkan bahunya tak berniat membalas. Ia tak tahu bahwa yang ia katakan ternyata bear, padahal ia hanya menebak saja. “Ya udah naik!”perintahnya membuat Pia tersenyum senang. Sesampainya di depan rumah Pia, gadis itu turun dari motor ilham seraya tersenyum lebar. “Thank’s ya.” Ilham mengangguk kemudian beniat melajukan motornya namun Pia menghentikannya. “Kenapa?” Pia memiringka kepalanya seraya mengedipkan kedua matanya beberapa kali menatap pria di hadapannya ini. “Kalo gue suka sama lo gimana?” *** Pia berjalan santai menuju ke kantin sekolah dengan membawa tas kecil berisi sekotak bekal di tangannya. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar, ia berharap bahwa makanan yang ia buat dengan sepenuh hati ini dapat ia berikan
Pia mengingat kejadian kemarin dan ia yakin Ilahm juga tengah mengingtnya. Masih terkeam dengan jelas dalam memori Pia saat dirinya bertenya mengenai dirinya yang jatuh cinta pada Ilham, setelah mendengar itu Ilham hanya mengedikkan kedua bahunya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ilham yang melihat senyum devil milik Pia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu hal apa yang akan di lakukan gadis itu selanjutnya. Dirinya hanya fokus pada tujuan utamanya untuk mengganjal lapar di perutnya. Pia dengan cepat menghabiskan makanannya dan menyambar kotak bekal yang terletak di atas meja membuat Chika kaget. “Mau kemana lo?” Pia memandang Chika beberapa saat lalu beralih ke arah Glen yang juga tengah menatapnya, gadis itu mengembangkan senyumya seraya mengangkat sedikit kotak bekal miliknya. “Mau ngasih ini.” “Buat siapa?” tanya Glen membuat Chika was-was. “Ilham!” *** Pernyataan singkat dari Pia membuat Gle
“Kak Glen belum pulang?” tanya Pia yang akhirnya membuka suara. “Iya!” ucap Glen sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Pia lagi. Glen tampak sedikit mendongakkan kepalanya berfikir sejenak lalu tak lama mengedikkan kedua bahunya. “Gak tau.” Pia mengernyit heran. Sedangkan Glen hanya melebarkan senyumnya seraya mengusap pelan puncak kepala gadis itu. “Gak usah dipikirin. Mau pulang bareng?” Pia nampak berfikir sejenak, ia bingung harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ini sudah sore dan mustahil bahwa Dimas akan menjemputnya sebentar lagi, Ia tahu betul bahwa akhir-akhir ini Kakaknya itu sedang sangat sibuk dengan tugas kuliahnya. “Boleh!” “Tapi sebelum itu ..., lo mau buat satu perjanjian?” ucap Glen seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. *** Minggu pagi ini Pia memutuskan untuk lari santai di sekitar taman komplek perumahannya sembari m
“Ya udah selesai,” ucapnya sembari turun dari mobil. Sedangkan Pia yang masih berusaha mencerna ucapan Ilham membuat diirnya terpau untuk beberapa saat sampai akhirnya ia mengerti membuat matanya membuat kaget. Hanya ada satu kemungkinan, Ilham marah karena menurutnya kebaikannya di salah artikan oleh Pia dan artinya ini yang terakhir kalinya dirinya membalas chat serta menjemput Pia. Pia berdesis kesal, maksud dirinya bertanya kan karena diirnya ingin tahu saja kenapa pria itu tiba-tiba berubah. Apa Ilham memang se-sensitiv itu? Pia mengacak rambutnya kesal dan segera turun dari mobil berusaha mengejar Ilham untuk menjelaskan maksud perkataannya dan meminta maaf pada pria itu. “ILHAM!” teriaknya yang mengundang penasaran siswa siswi lain. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya mengapa Pia bisa turun dari mobil Ilham, apakah keduanya berangkat bersama? Tapi jika ya, mengapa mereka tak turun bersama? Sedangkan Pia sendiri tak te
“Oh iya, Kak Glen tinggal sama Kakek dan Nenek nya ya. Rumah Kakek sama Nenek nya Kak Glen jauh dari sini ya?” “Gak sih, rumahnya deket dari sini kok. Ntar kapan-kapan gue ajak ke sana deh.” Pia tersenyum seraya mengangguk. “Terus kenapa sengaja dateng cepet?” “Gue abis nginep dari rumah Chika semalem. Soalnya dia pindah rumah jadi gue bantu-bantu dikitlah, terus di suruh nginep sama mamanya. Yah rumahnya gak terlalu jauh dari sekolah sih, cuman arahnya berlawanan sama rumah Kakek dan Nenek jadi gue harus pulang dulu buat siap-siap dan kesini lagi.” Pia mengeangguk paham mendengar penjelasan panajng dari Glen. “Ya udah, karena kita udah sama-sama di sini. Jadi perjanjian yang di maksud Kak Glen kemaren gimana?” “Lo bawa kertasnya?” Pia mengangguk pelan seraya mengeluarkan kertas dari sakunya. Bersamaan dengan itu, Glen juga mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat tua daru dalam tasnya dimana kotak tersebut merupakan kot
“Jadi gimana?” tanya Pia lagi, kembali membahas pertanyannya sebelumnya. Namun Ilham hanya mengedikkan bahunya kembali acuh. “Yah! Anggep aja kalo lo suka,” ucap Pia sembari berdiri dan menghampiri gadis tersebut. Ilham yang melihat tingkah Pia hanya bisa mengawasi gadis itu dari tempatnya karena ia juga sedikit penasaran meskipun ia tak dapat mendengar percakapan keduanya. Ia dapat melihat dengan jelas Pia duduk di sebelah gadis itu dan tampak mengobrol. Terlihat jelas bahwa keduanya tak terlihat canggung sama sekali, dan Ilham tahu betul itu karena sifat Pia yang humble dan tidak tahu malu jadi suasana keduanya mudah mencair. Namun entah menagpa, selang beberapa lama kemudian ketika tangan Pia menunjuknya ia menjadi terkejut sekaligus kesal, jadi satu detik sebelum gadis itu menoleh ia berdiri dan langsung berjalan menuju mobil. Namun setelah sampai di mobilnya ia dibuat lebih terkejut lagi dengan penampakan yang ada di hadapannya ketika mem
“Kak Glen belum pulang?” tanya Pia yang akhirnya membuka suara. “Iya!” ucap Glen sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Pia lagi. Glen tampak sedikit mendongakkan kepalanya berfikir sejenak lalu tak lama mengedikkan kedua bahunya. “Gak tau.” Pia mengernyit heran. Sedangkan Glen hanya melebarkan senyumnya seraya mengusap pelan puncak kepala gadis itu. “Gak usah dipikirin. Mau pulang bareng?” Pia nampak berfikir sejenak, ia bingung harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ini sudah sore dan mustahil bahwa Dimas akan menjemputnya sebentar lagi, Ia tahu betul bahwa akhir-akhir ini Kakaknya itu sedang sangat sibuk dengan tugas kuliahnya. “Boleh!” “Tapi sebelum itu ..., lo mau buat satu perjanjian?” ucap Glen seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. *** Minggu pagi ini Pia memutuskan untuk lari santai di sekitar taman komplek perumahannya sembari m
Pia mengingat kejadian kemarin dan ia yakin Ilahm juga tengah mengingtnya. Masih terkeam dengan jelas dalam memori Pia saat dirinya bertenya mengenai dirinya yang jatuh cinta pada Ilham, setelah mendengar itu Ilham hanya mengedikkan kedua bahunya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ilham yang melihat senyum devil milik Pia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu hal apa yang akan di lakukan gadis itu selanjutnya. Dirinya hanya fokus pada tujuan utamanya untuk mengganjal lapar di perutnya. Pia dengan cepat menghabiskan makanannya dan menyambar kotak bekal yang terletak di atas meja membuat Chika kaget. “Mau kemana lo?” Pia memandang Chika beberapa saat lalu beralih ke arah Glen yang juga tengah menatapnya, gadis itu mengembangkan senyumya seraya mengangkat sedikit kotak bekal miliknya. “Mau ngasih ini.” “Buat siapa?” tanya Glen membuat Chika was-was. “Ilham!” *** Pernyataan singkat dari Pia membuat Gle
“Boleh nebeng gak? Gue di tinggal Kakak gue.” “Makanya kalo belanja tuh jangan kelamaan,” Jawab Ilham membuat Pia sedikit terkejut, bagaimana pria itu tahu? “Lo cenayang?”Ilham hanya mengedikkan bahunya tak berniat membalas. Ia tak tahu bahwa yang ia katakan ternyata bear, padahal ia hanya menebak saja. “Ya udah naik!”perintahnya membuat Pia tersenyum senang. Sesampainya di depan rumah Pia, gadis itu turun dari motor ilham seraya tersenyum lebar. “Thank’s ya.” Ilham mengangguk kemudian beniat melajukan motornya namun Pia menghentikannya. “Kenapa?” Pia memiringka kepalanya seraya mengedipkan kedua matanya beberapa kali menatap pria di hadapannya ini. “Kalo gue suka sama lo gimana?” *** Pia berjalan santai menuju ke kantin sekolah dengan membawa tas kecil berisi sekotak bekal di tangannya. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar, ia berharap bahwa makanan yang ia buat dengan sepenuh hati ini dapat ia berikan
“Menurut lo lebih wangi yang mana? Yang ini atau yang ini?” ucap Pia sembari memperlihatkan secara bergantian dua sabun mandi si tangannya membuat Dimas berdecak kesal.“Terserah!”“CK! gak ada pendirian banget,” gerutu Pia sembari mengerutkan keningnya berfikir farian apa yang akan ia beli.“Yang stroberi wangi tapi gak terlalu suka warna pink yang ini, terlalu tua. Yang biru cantik, warnanya juga soft tapi wangnya gak terlalu ke cium.”“Ah pusing, jadi beli yang mana ini?” Dimas berdesis geram, adiknya ini jika ia tak menjawab pertanyaannya ia akan terus menimang untuk membeli yang mana.“Yang biasa lo pake apa?” tanya Dimas sedikit kesal.“Emmm, biasanya beli di online shop sih, soalnya di super market ini gak ada.”“Terus kenapa masih di cari?” geram Dimas. Kepalaya mulai panas, jika di film-film pasti sudah ada asap yang keuar dari kep
Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.***Glen menarik tangan Pia menuju ke perpustakaan membuat gadis itu sedikit sulit mengimbangi langkah pria tersebut, Glen sendiri tak bisa mengekspresikan dirinya saat ini seperti ada yang bergejolak dihatinya. Ada rasa yang mendorongnya untuk marah tapi ia tak tahu untuk apa dan lagi pula gadis yang tengah bersamanya ini bukan siapa-siapa nya.Keduanya sampai di depan perpustakaan namun tak ada yang berbicara kecua
Pia dan Chika tengah duduk menikmati makan siang mereka dikantin sekolah, Pia nampak bergelut dengan pikirannya sendiri, ia sendiri bingung ingin bertanya sesuatu pada Chika namun tak tau bagaimana ia mengutarakannya. Sedangkan Chika yang tengah menyantap makanannya menyadari ada yang aneh dengan Pia, ia kemudian menatap Pia heran. Jika diperhatikan raut wajah gadis itu sedikit berubah.“Kenapa lo?” tanya Chika setelah meneguk makanan yang ia kunyah.Sedangkan Pia yang sedari tadi bergelut dengan pikirannya sedikit kaget.”Ah?” Ucap Pia mengangkat kepalanya menatap Chika.“Elo kenapa?”“Oh itu, gue mau nanya sesuatu sama lo,” ucap Pia kikuk.Sedangkan Chika nampak merubah ekspresi wajahnya menjadi riang, gadis itu mengangkat tanga kanannya membuat Pia heran.“KAK GLEN!” pekik Chika memanggil pria tersebut, tangannya melambai bermaksud mengajak pria tersebut duduk bersama dirinya dan