Lima belas menit kemudian motor milik Ilham berhenti dedepan sebuah rumah mewah bergaya klasik yang membuat Pia menghembuskan nafas lega mengetahui bahwa itu benar-benar rumahnya, ia turun dari motor namun gadis itu masih setia menutupi wajahnya.
“Gue tau itu lo, yang waktu itu nabrak gue di perpus.” Pia nampak terkejut, ia menurunkan tangannya memandang wajah Ilham, astaga mengapa ciptaan tuhan yang satu ini sangat indah?
“Soal yang waktu itu, gue minta maaf.”
“Ya ya, Anggep itu gak pernah terjadi, toh cuman kecelakaan biasa. Intinya gak usah bahas itu lagi.”Setelah mengucapkan hal itu Ilham lantas pergi.
Sedangkan Pia nampak tersenyum hangat, ia sedikit tak percaya bahwa orang yang tadi dibicarakan Chika adalah orang yang sama yang baru saja pergi. Pia hanya mengedikkan bahunya kemudian berbalik membuka pagar rumah dan masuk.
Pia kembali ingat dengan rasa kesalnya pada sang Kakak, ia berjalan masuk menuju kekamar sang Kakak, ia yakin bahwa pria itu sedang tidur sekarang, awas saja akan ia adukan pada mama dan juga papanya bahwa dia tak bertanggung jawab sebagai seorang Kakak.
BRAK!
“KAK DIMAAAS!” pekik Pia sembari membuka pintu kamar Kakaknya dengan kasar
Sedangkan Pria yang tengah tidur nyenyak dikasur tersebut terlonjak kaget. “Apa sih?” tanya Dimas kesal.
“Lo lupa ini jam berapa? Lo lupa lagi kan.” Dimas lantas membelalakkan matanya.
Pria itu bergegas turun dari kasur menyalakan handphonenya yang tengah ia charger sebelum ia tidur tadi. Betapa terkejutnya Dimas saat mengetahui bahwa sekarang sudah jam lima, seharusnya ia menjemput sang adik setengah jam yang lalu. Dimas menepuk dahinya pelan merutuki kesalahannya, pria itu berbalik badan memandang Pia yang sudah menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Dimas kemudian mengangkaat tangan kananya menunjukkan kedua jarinya membentuk huruf “v” tak lupa ia juga menampilkan deretan giginya berharap singa yang mengamuk didepannya ini bisa meredakan amarahnya.
“Gue beliin eskrim ya?” ucap Dimas berusaha membujuk, namun ia justru mendapat tatapan intimidasi dari sang adik.
“Lo juga bebas mau minta apa aja, semua permintaan lo gue turutin kok asal jangan ngadu ke mama sama papa ya.” ucap Dimas sekali lagi berharap Pia mau menurutinya, jika tidak uang jajannya bisa habis dipotong.
Pia nampak berfikir sejenak.” Eeem, bebas ya?”
“Oke!” ucap Pia mantap membuat Dimas menghela nafas lega.
Pia berbalik melangkahkan kakinya menuju kekamarnya dan tersenyum lebar atas penuturan kakaknya tersebut. Malangnya nasib Dimas, ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran adiknya itu.
Malamnya Pia menemui sang Kakak yang tengah berada dikamarnya, ia yakin bahwa Kakanya itu sedang main game saat ini dan ia juga yakin bahwa Dimas sudah lupa akan janjinya tadi siang, tapi tak masalah, Pia sendiri yang akan mengingatkannya.
“Ekhem, main hp terus ya, tugas kuliah gak dipikirin.” Dimas menoleh menatap sang adik yang dengan enaknya masuk kekamarnya.
“Apaan sih? Dah sana keluar, anak kecil tau apa?” ujar Dimas tak senang.
Pia menghentakkan kakinya kesal, ia melihat sang Kakak yang makin seru dengan gamenya, muncul ide licik di kepalanya. Gadis itu mengambil ponsel yang berada ditangan Dimas membuat si empu kesal.
“Apaan sih? Balikin gak? Lagi seru tau!” Pia hanya menjulurkan lidahnya membuat pria itu semakin kesal, jika saja yang dihadapannya ini bukan adiknya sudah dipastikan ia sudah melayangkan pukulannya.
“Tuh kan lupa lagi,” ucap Pia seraya menjauhkan ponsel tersebut dari Dimas.
“Apaa sih, balikin gak?”
“Oh iya gue lupa, tugas sekolah aja bisa lupa apalagi sama janji.”
Dimas mengerutkan keningnya heran, janji apa yang dimaksud sang adik? Sedangkan Pia berdecak kesal dengan tingkah Kakaknya ini.
“Tuh kan. Bener! Makanya tuh otak isi nya jangan game mulu.”
“Coba deh pikir-pikir lagi, tadi sore kira-kira lo ngomong apa sama gue dan kenapa?”
Dimas lantas mencoba mengingat kejadian tadi sore, dan tak lama setelah itu sekelebat ingatan muncul dikepalanya saat ia mengatakan akan membelikan apapun yang Pia mau dan menuruti semua perkataan gadis itu. Dimas menepuk dahinya pelan tak menyadari ucapannya tadi sore. Sekarang ia yakin bahwa adiknya itu sudah menyiapkan banyak hal untuk memerasnya.
***
Pia melangkahkan kakinya memasuki sekolah dengan perasaan gembira ia sangat senang karena sudah berhasil memeras Dimas semalam, ia yakin bahwa Kakaknya itu tak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Gadis itu berjalan sambil melompat kecil menuju kekelasnya. Namun matanya menangkap sosok pria yang tak asing baginya dan segera menghampiri sosok pria bertubuh tinggi tersebut.
‘Ilham!” Sapanya riang membuat sang pemilik nama menoleh menatapnya. Gadis tersebut tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.
“Kenapa?” tanya Ilham dengan tatapan datarnya membuat Pia berdecak kesal.
“Jutek banget sih.”
“Kalo gak penting mending pergi.”
“Menyapa orang itu penting, apalagi orangnya kita kenal.”
Ilham hanya mengedikkan bahunya kemudian melenggang pergi meninggalkan Pia begitu saja. Sedangkan Pia hanya menghela nafasnya panjang gadis itu kemudian tersenyum seperti biasanya kemudian melangkahkan kakinya.
“Pia!” Mendengar seseorang memanggil namanya membuatnya menoleh melihat Glen sedang berjalan menghampirinya.
“Kenapa kak?” tanya Pia saat Glen sudah berada dihadapannya.
“Tadi siapa?” tanya Glen, ia melihat semuanya dari awal Pia memanggil pria tersebut, ada rasa penasaran dalam dirinya melihat Pia mengobrol akrab dengan pria tadi.
“Oh itu, namanya Ilham kelas sepuluh IPA III.”
“udah kenal lama?”
Pia tersenyum.”Baru kenal kemarin, kenapa Kak?”
“Gapapa, Ayo gue anter, sekalian ada urusan sama Chika.”
Raut wajah gadis itu seketika berubah, membuat Glen heran.” Kenapa?”
“Ah, gapapa Kak Glen tunggu sini aja biar aku yang manggilin Chika.”
“iya tolong ya.”
“Tunggu dulu.”
Pia kembali menoleh.”Kenapa Kak?”
“Lo yakin gapapa?” Kok raut wajah lo berubah pas gue nyebut nama Chika?”
“Aah, itu.”
“Kenapa?”
“Gue bingung jelasinnya, semalem gue kan pergi sama Kak Dimas ke mall, karena dia udah janji mau beliin semua yang gue minta sebagai ganti rugi karena udah telat jemput gue. Tapi pas Kak Glen tadi nyebut nama Chika, gue baru inget kalo gue lupa beliin sesuatu buat Chika.”
Ah, sekarang Glen paham mengapa raut wajah Pia tiba-tiba berubah, pria itu lantas mengusap puncak kepala gadis itu.
“Kenapa harus sedih, gue yakin Chika gak mengharapkan hadiah dari elo. Dia itu temenan sama elo gak mengharapkan apapun, dia temenan sama elo karena dia yakin elo orang baik.”
Pia lantas tersenyum mendengar penuturan Glen, ia kembali memasang senyumnya kemudian pergi meninggalkan Glen dan menuju ke kelasnya. Sesampinya di kelas, Pia langsung memanggil Chika yang tengah duduk memainkan ponselnya.
“Chika!”
“Kenapa?”
“Di panggil sama Kak Glen.” Chika yang tadi masih sibuk dengan ponselnya tiba-tiba langsung menoleh menatap Pia sumringah.
“Kak Glen? Dimana?” Pia sedikit terkejut namun dengan cepat ia menjawab bahwa Glen tengah menunggu gadis tersebut di koridor lantai satu tepat ditangga sebelum naik ke lantai dua.
“Oh ya udah, gue samperin dia dulu ya, bye.”
Pia tersenyum kikuk sambil mengangkat tangan kanannya membalas lambaian Chika, setelah gadis punggung gadis tersebut menghilang dibalik pintu, Pia lantas menghelas nafasnya panjang kemudian berjalan menuju kebangkunya.
Pia dan Chika tengah duduk menikmati makan siang mereka dikantin sekolah, Pia nampak bergelut dengan pikirannya sendiri, ia sendiri bingung ingin bertanya sesuatu pada Chika namun tak tau bagaimana ia mengutarakannya. Sedangkan Chika yang tengah menyantap makanannya menyadari ada yang aneh dengan Pia, ia kemudian menatap Pia heran. Jika diperhatikan raut wajah gadis itu sedikit berubah.“Kenapa lo?” tanya Chika setelah meneguk makanan yang ia kunyah.Sedangkan Pia yang sedari tadi bergelut dengan pikirannya sedikit kaget.”Ah?” Ucap Pia mengangkat kepalanya menatap Chika.“Elo kenapa?”“Oh itu, gue mau nanya sesuatu sama lo,” ucap Pia kikuk.Sedangkan Chika nampak merubah ekspresi wajahnya menjadi riang, gadis itu mengangkat tanga kanannya membuat Pia heran.“KAK GLEN!” pekik Chika memanggil pria tersebut, tangannya melambai bermaksud mengajak pria tersebut duduk bersama dirinya dan
Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.***Glen menarik tangan Pia menuju ke perpustakaan membuat gadis itu sedikit sulit mengimbangi langkah pria tersebut, Glen sendiri tak bisa mengekspresikan dirinya saat ini seperti ada yang bergejolak dihatinya. Ada rasa yang mendorongnya untuk marah tapi ia tak tahu untuk apa dan lagi pula gadis yang tengah bersamanya ini bukan siapa-siapa nya.Keduanya sampai di depan perpustakaan namun tak ada yang berbicara kecua
“Menurut lo lebih wangi yang mana? Yang ini atau yang ini?” ucap Pia sembari memperlihatkan secara bergantian dua sabun mandi si tangannya membuat Dimas berdecak kesal.“Terserah!”“CK! gak ada pendirian banget,” gerutu Pia sembari mengerutkan keningnya berfikir farian apa yang akan ia beli.“Yang stroberi wangi tapi gak terlalu suka warna pink yang ini, terlalu tua. Yang biru cantik, warnanya juga soft tapi wangnya gak terlalu ke cium.”“Ah pusing, jadi beli yang mana ini?” Dimas berdesis geram, adiknya ini jika ia tak menjawab pertanyaannya ia akan terus menimang untuk membeli yang mana.“Yang biasa lo pake apa?” tanya Dimas sedikit kesal.“Emmm, biasanya beli di online shop sih, soalnya di super market ini gak ada.”“Terus kenapa masih di cari?” geram Dimas. Kepalaya mulai panas, jika di film-film pasti sudah ada asap yang keuar dari kep
“Boleh nebeng gak? Gue di tinggal Kakak gue.” “Makanya kalo belanja tuh jangan kelamaan,” Jawab Ilham membuat Pia sedikit terkejut, bagaimana pria itu tahu? “Lo cenayang?”Ilham hanya mengedikkan bahunya tak berniat membalas. Ia tak tahu bahwa yang ia katakan ternyata bear, padahal ia hanya menebak saja. “Ya udah naik!”perintahnya membuat Pia tersenyum senang. Sesampainya di depan rumah Pia, gadis itu turun dari motor ilham seraya tersenyum lebar. “Thank’s ya.” Ilham mengangguk kemudian beniat melajukan motornya namun Pia menghentikannya. “Kenapa?” Pia memiringka kepalanya seraya mengedipkan kedua matanya beberapa kali menatap pria di hadapannya ini. “Kalo gue suka sama lo gimana?” *** Pia berjalan santai menuju ke kantin sekolah dengan membawa tas kecil berisi sekotak bekal di tangannya. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar, ia berharap bahwa makanan yang ia buat dengan sepenuh hati ini dapat ia berikan
Pia mengingat kejadian kemarin dan ia yakin Ilahm juga tengah mengingtnya. Masih terkeam dengan jelas dalam memori Pia saat dirinya bertenya mengenai dirinya yang jatuh cinta pada Ilham, setelah mendengar itu Ilham hanya mengedikkan kedua bahunya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ilham yang melihat senyum devil milik Pia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu hal apa yang akan di lakukan gadis itu selanjutnya. Dirinya hanya fokus pada tujuan utamanya untuk mengganjal lapar di perutnya. Pia dengan cepat menghabiskan makanannya dan menyambar kotak bekal yang terletak di atas meja membuat Chika kaget. “Mau kemana lo?” Pia memandang Chika beberapa saat lalu beralih ke arah Glen yang juga tengah menatapnya, gadis itu mengembangkan senyumya seraya mengangkat sedikit kotak bekal miliknya. “Mau ngasih ini.” “Buat siapa?” tanya Glen membuat Chika was-was. “Ilham!” *** Pernyataan singkat dari Pia membuat Gle
“Kak Glen belum pulang?” tanya Pia yang akhirnya membuka suara. “Iya!” ucap Glen sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Pia lagi. Glen tampak sedikit mendongakkan kepalanya berfikir sejenak lalu tak lama mengedikkan kedua bahunya. “Gak tau.” Pia mengernyit heran. Sedangkan Glen hanya melebarkan senyumnya seraya mengusap pelan puncak kepala gadis itu. “Gak usah dipikirin. Mau pulang bareng?” Pia nampak berfikir sejenak, ia bingung harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ini sudah sore dan mustahil bahwa Dimas akan menjemputnya sebentar lagi, Ia tahu betul bahwa akhir-akhir ini Kakaknya itu sedang sangat sibuk dengan tugas kuliahnya. “Boleh!” “Tapi sebelum itu ..., lo mau buat satu perjanjian?” ucap Glen seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. *** Minggu pagi ini Pia memutuskan untuk lari santai di sekitar taman komplek perumahannya sembari m
“Jadi gimana?” tanya Pia lagi, kembali membahas pertanyannya sebelumnya. Namun Ilham hanya mengedikkan bahunya kembali acuh. “Yah! Anggep aja kalo lo suka,” ucap Pia sembari berdiri dan menghampiri gadis tersebut. Ilham yang melihat tingkah Pia hanya bisa mengawasi gadis itu dari tempatnya karena ia juga sedikit penasaran meskipun ia tak dapat mendengar percakapan keduanya. Ia dapat melihat dengan jelas Pia duduk di sebelah gadis itu dan tampak mengobrol. Terlihat jelas bahwa keduanya tak terlihat canggung sama sekali, dan Ilham tahu betul itu karena sifat Pia yang humble dan tidak tahu malu jadi suasana keduanya mudah mencair. Namun entah menagpa, selang beberapa lama kemudian ketika tangan Pia menunjuknya ia menjadi terkejut sekaligus kesal, jadi satu detik sebelum gadis itu menoleh ia berdiri dan langsung berjalan menuju mobil. Namun setelah sampai di mobilnya ia dibuat lebih terkejut lagi dengan penampakan yang ada di hadapannya ketika mem
“Oh iya, Kak Glen tinggal sama Kakek dan Nenek nya ya. Rumah Kakek sama Nenek nya Kak Glen jauh dari sini ya?” “Gak sih, rumahnya deket dari sini kok. Ntar kapan-kapan gue ajak ke sana deh.” Pia tersenyum seraya mengangguk. “Terus kenapa sengaja dateng cepet?” “Gue abis nginep dari rumah Chika semalem. Soalnya dia pindah rumah jadi gue bantu-bantu dikitlah, terus di suruh nginep sama mamanya. Yah rumahnya gak terlalu jauh dari sekolah sih, cuman arahnya berlawanan sama rumah Kakek dan Nenek jadi gue harus pulang dulu buat siap-siap dan kesini lagi.” Pia mengeangguk paham mendengar penjelasan panajng dari Glen. “Ya udah, karena kita udah sama-sama di sini. Jadi perjanjian yang di maksud Kak Glen kemaren gimana?” “Lo bawa kertasnya?” Pia mengangguk pelan seraya mengeluarkan kertas dari sakunya. Bersamaan dengan itu, Glen juga mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat tua daru dalam tasnya dimana kotak tersebut merupakan kot