Pia dan Chika tengah duduk menikmati makan siang mereka dikantin sekolah, Pia nampak bergelut dengan pikirannya sendiri, ia sendiri bingung ingin bertanya sesuatu pada Chika namun tak tau bagaimana ia mengutarakannya. Sedangkan Chika yang tengah menyantap makanannya menyadari ada yang aneh dengan Pia, ia kemudian menatap Pia heran. Jika diperhatikan raut wajah gadis itu sedikit berubah.
“Kenapa lo?” tanya Chika setelah meneguk makanan yang ia kunyah.
Sedangkan Pia yang sedari tadi bergelut dengan pikirannya sedikit kaget.”Ah?” Ucap Pia mengangkat kepalanya menatap Chika.
“Elo kenapa?”
“Oh itu, gue mau nanya sesuatu sama lo,” ucap Pia kikuk.
Sedangkan Chika nampak merubah ekspresi wajahnya menjadi riang, gadis itu mengangkat tanga kanannya membuat Pia heran.
“KAK GLEN!” pekik Chika memanggil pria tersebut, tangannya melambai bermaksud mengajak pria tersebut duduk bersama dirinya dan Pia.
Sekarang Pia paham mengapa ekspresi Chika tiba-tiba berubah, gadis itu menoleh kebelakang menatap Glen yang tengah berjalan menghampiri mereka. Glen sendiri yang sudah berada dibangku tersebut nampak tersenyum hangat pada Pia, dan Pia sendiri membalas senyuman itu.
Kemudian pandangan Glen beralih menatap Chika, ia melihat ada sebutir kecil mie di sudut bibir gadis itu. Dengan cepat tangan Glen mengelap sudut bibir Chika.
“Kalo makan tuh yang bersih dikit, belepotan gini,” ucap Glen membuat Chika tersenyum lebar menampilkan deretan giginya.
Glen kemudian duduk dihadapan kedua gadis ini, ia menatap Pia yang sedari tadi terus menunduk membuat pria itu sedikit heran.
“Kenapa Pi?”
Pia yang terkejut kembali mengangkat kepalanya, manik matanya menatap Glen.
“Tau nih, dari tadi pagi udah begitu. Oh iya katanya mau ngomong sesuatu, apa?” tanya Chika.
Pia menoleh menatap manik mata Chika, kemudian gadis itu kembali menatap Glen, ia menghembuskan nafas panjang kemudian menceritakan hal yang tadi pagi ia bicarakan dengan Glen. Setelah mendengar penuturan Pia, Chika dan Glen tertawa geli. Astaga bagimana gadis ini bisa begitu polos.
“Lucu banget sih!” seru Chika mencubit gemas pipi Pia
“Gue gapapa kok, gak usah ngerasa gak enak begitu. Gue gak mengharapkan apapun dari elo, gue cuman pengen kita jadi temen sejati yang selalu ada baik sudah atau duka untuk satu sama lain.”
Glen mengacak pelan puncak kepala Pia, rasa sukanya pada gadis itu semakin besar saja, ketulusan yang ada dalam hati gadis itu belum pernah Glen temui sebelum hari ini.
“Denger ya, Temen itu ada bukan buat nyusahin, lo jangan terbebani dengan kata temen, kalo sampe hal itu terjadi, itu artinya gak ada kata temen antara kalian. Yang ada cuma toxic.”
“Seorang temen gak pernah mengharapkan sesuatu dari temennya yang lain, kalo hal itu terjadi, artinya toxic.” Pia tersenyum hangat mendengar perkataan Glen.
“Semua yang ada dalam pertemanan itu real, gak boleh ada yang merasa dirugikan, dalam hal apapun itu, kalo pun ada itu namanya....”
“Toxic!” ucap Pia memotong perkataan Chika, gadis itu tersenyum menatap Chika dan Kak Glen bergantian, sekarang ia mengerti.
Selang beberapa waktu manik matanya mengakap sosok Ilham, dan benar saja suasana kantin menjadi riuh atas kedatangan siswa tersebut, dan ini pertama kalinya Pia melihat Ilham mengunjungi kantin, ia tersenyum lebar kemudian berdiri menghampiri pria tersebut. Glen yang melihat hal tersebut merasa sedikit kecewa, sepertinya saingannya akan bertambah.
Sedangkan Chika yang melihat raut wajah Glen berubah lantas tersenyum jahil.” Doinya kabur ya Kak?” ucap Chika menaik turunkan alisnya.
Sedangkan Glen yang mendengar hal itu segera menatap sinis dirinya. “Diem lo!” jawab Glen yang membuat Chika tertawa riang.
“Kayaknya saingannya nambah deh, dan gue yakin bakal sulit,” tambah Chika lagi.
Glen kembali menatap sinis gadis di hadapannya ini, pria itu berdesis kesal membuat Chika tersenyum lebar menampilkan deretan giginya, tak lupa tangan ia mengangkat dua jari tangan kanannya membentuk huruf “v”
***
Pia berjalan menghampiri Ilham yang sudah dikerumuni banyak siswi, kali ini gadis itu berniat menolongnya. Pia melompat kecil bersiap untuk menerobos kerumunan. Setelah di rasa siap, gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya ke depan dan berlari menembus kerumunan. Jujur ini lumayan ramai jadi ia harus mengeluarkan tenaga ekstra agar tak terjepit, huh, apa sebegitu berpengaruhnya wajah tampan itu sampai mereka semua berkerumun seperti ini?
Beberapa detik setelahnya Pia menabrak tubuh tegap seseorang membuatnya terdorong bersama orang tersebut, ya dorongan yang Pia berikan cukup keras mengingat besarnya usaha yang gadis itu keluarkan untuk menerobos kerumunan. Pia dan orang yang ia dorong terjatuh bersama dengan posisi yang sama persis saat ia jatuh bersama Ilham waktu di perpustakaan.
Para siswi yang berada dikantin terutama yang berkerumun tadi lantas menjerit histeris kala melihat pria yang mereka dambakan terjatuh dengan seorang wanita, dan itupun dengan posisi yang tak dapat mereka bayangkan. Mereka menginginkan hal itu juga terjadi pada mereka.
Sedangkan Pia yang lagi-lagi tak merasakan sakit sama sekali membuka kedua matanya. Dan betapa terkejutnya dirinya kala melihat Ilham berada tepat dihadapannya, lagi-lagi gadis itu merutuki kebodohannya. Ia yakain bahwa ia sudah menjadi pusat perhatian. Yah, Pia memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, namun kali ini berbeda.
Sedangkan Glen yang melihat kejadian tersebut sudah tak tahan lagi, ia berdiri dan menghampiri Pia. Glen membantu gadis itu berdiri dan menarik tangan Pia menjauhi kantin membuat para siswi lagi-lagi heboh.
Dan tanpa Pia sadari, seseorang sudah memperhatiannya sejak tadi. Gadis itu menatap Pia dengan sinis. Ya, dia gadis yang sama yang menghentikan Ilham saat diparkiran motor kemarin. Gadis yang namanya sempat dibaca oleh Ilham.
“Saingan elo Fin,” ucap salah satu temannya
“Cih, cewek kayak dia? Gak mungkin saingan sama seorang Dafina Putri!” tegas Fina menyombongkan dirinya.
“Kayaknya di cewek yang kemaren dimaksud sama Ilham deh,” ucap salah satu teman Fina kembali membuat gadis itu bertambah geram.
“Dia Pia kan? Gila!”
“Serius itu Pia? Gue jadi iri.”
“Wah serius? Kalo saingannya sekelas Pia mah gue yakin bakal kalah.”
“Iya, gue juga. Kak Glen aja nyangkut.”
“Jadi penggemar rahasia aja lah, lagian banyak cowok lain.”
Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.
“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.
Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.***Glen menarik tangan Pia menuju ke perpustakaan membuat gadis itu sedikit sulit mengimbangi langkah pria tersebut, Glen sendiri tak bisa mengekspresikan dirinya saat ini seperti ada yang bergejolak dihatinya. Ada rasa yang mendorongnya untuk marah tapi ia tak tahu untuk apa dan lagi pula gadis yang tengah bersamanya ini bukan siapa-siapa nya.Keduanya sampai di depan perpustakaan namun tak ada yang berbicara kecua
“Menurut lo lebih wangi yang mana? Yang ini atau yang ini?” ucap Pia sembari memperlihatkan secara bergantian dua sabun mandi si tangannya membuat Dimas berdecak kesal.“Terserah!”“CK! gak ada pendirian banget,” gerutu Pia sembari mengerutkan keningnya berfikir farian apa yang akan ia beli.“Yang stroberi wangi tapi gak terlalu suka warna pink yang ini, terlalu tua. Yang biru cantik, warnanya juga soft tapi wangnya gak terlalu ke cium.”“Ah pusing, jadi beli yang mana ini?” Dimas berdesis geram, adiknya ini jika ia tak menjawab pertanyaannya ia akan terus menimang untuk membeli yang mana.“Yang biasa lo pake apa?” tanya Dimas sedikit kesal.“Emmm, biasanya beli di online shop sih, soalnya di super market ini gak ada.”“Terus kenapa masih di cari?” geram Dimas. Kepalaya mulai panas, jika di film-film pasti sudah ada asap yang keuar dari kep
“Boleh nebeng gak? Gue di tinggal Kakak gue.” “Makanya kalo belanja tuh jangan kelamaan,” Jawab Ilham membuat Pia sedikit terkejut, bagaimana pria itu tahu? “Lo cenayang?”Ilham hanya mengedikkan bahunya tak berniat membalas. Ia tak tahu bahwa yang ia katakan ternyata bear, padahal ia hanya menebak saja. “Ya udah naik!”perintahnya membuat Pia tersenyum senang. Sesampainya di depan rumah Pia, gadis itu turun dari motor ilham seraya tersenyum lebar. “Thank’s ya.” Ilham mengangguk kemudian beniat melajukan motornya namun Pia menghentikannya. “Kenapa?” Pia memiringka kepalanya seraya mengedipkan kedua matanya beberapa kali menatap pria di hadapannya ini. “Kalo gue suka sama lo gimana?” *** Pia berjalan santai menuju ke kantin sekolah dengan membawa tas kecil berisi sekotak bekal di tangannya. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar, ia berharap bahwa makanan yang ia buat dengan sepenuh hati ini dapat ia berikan
Pia mengingat kejadian kemarin dan ia yakin Ilahm juga tengah mengingtnya. Masih terkeam dengan jelas dalam memori Pia saat dirinya bertenya mengenai dirinya yang jatuh cinta pada Ilham, setelah mendengar itu Ilham hanya mengedikkan kedua bahunya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ilham yang melihat senyum devil milik Pia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu hal apa yang akan di lakukan gadis itu selanjutnya. Dirinya hanya fokus pada tujuan utamanya untuk mengganjal lapar di perutnya. Pia dengan cepat menghabiskan makanannya dan menyambar kotak bekal yang terletak di atas meja membuat Chika kaget. “Mau kemana lo?” Pia memandang Chika beberapa saat lalu beralih ke arah Glen yang juga tengah menatapnya, gadis itu mengembangkan senyumya seraya mengangkat sedikit kotak bekal miliknya. “Mau ngasih ini.” “Buat siapa?” tanya Glen membuat Chika was-was. “Ilham!” *** Pernyataan singkat dari Pia membuat Gle
“Kak Glen belum pulang?” tanya Pia yang akhirnya membuka suara. “Iya!” ucap Glen sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Pia lagi. Glen tampak sedikit mendongakkan kepalanya berfikir sejenak lalu tak lama mengedikkan kedua bahunya. “Gak tau.” Pia mengernyit heran. Sedangkan Glen hanya melebarkan senyumnya seraya mengusap pelan puncak kepala gadis itu. “Gak usah dipikirin. Mau pulang bareng?” Pia nampak berfikir sejenak, ia bingung harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ini sudah sore dan mustahil bahwa Dimas akan menjemputnya sebentar lagi, Ia tahu betul bahwa akhir-akhir ini Kakaknya itu sedang sangat sibuk dengan tugas kuliahnya. “Boleh!” “Tapi sebelum itu ..., lo mau buat satu perjanjian?” ucap Glen seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. *** Minggu pagi ini Pia memutuskan untuk lari santai di sekitar taman komplek perumahannya sembari m
“Jadi gimana?” tanya Pia lagi, kembali membahas pertanyannya sebelumnya. Namun Ilham hanya mengedikkan bahunya kembali acuh. “Yah! Anggep aja kalo lo suka,” ucap Pia sembari berdiri dan menghampiri gadis tersebut. Ilham yang melihat tingkah Pia hanya bisa mengawasi gadis itu dari tempatnya karena ia juga sedikit penasaran meskipun ia tak dapat mendengar percakapan keduanya. Ia dapat melihat dengan jelas Pia duduk di sebelah gadis itu dan tampak mengobrol. Terlihat jelas bahwa keduanya tak terlihat canggung sama sekali, dan Ilham tahu betul itu karena sifat Pia yang humble dan tidak tahu malu jadi suasana keduanya mudah mencair. Namun entah menagpa, selang beberapa lama kemudian ketika tangan Pia menunjuknya ia menjadi terkejut sekaligus kesal, jadi satu detik sebelum gadis itu menoleh ia berdiri dan langsung berjalan menuju mobil. Namun setelah sampai di mobilnya ia dibuat lebih terkejut lagi dengan penampakan yang ada di hadapannya ketika mem
“Oh iya, Kak Glen tinggal sama Kakek dan Nenek nya ya. Rumah Kakek sama Nenek nya Kak Glen jauh dari sini ya?” “Gak sih, rumahnya deket dari sini kok. Ntar kapan-kapan gue ajak ke sana deh.” Pia tersenyum seraya mengangguk. “Terus kenapa sengaja dateng cepet?” “Gue abis nginep dari rumah Chika semalem. Soalnya dia pindah rumah jadi gue bantu-bantu dikitlah, terus di suruh nginep sama mamanya. Yah rumahnya gak terlalu jauh dari sekolah sih, cuman arahnya berlawanan sama rumah Kakek dan Nenek jadi gue harus pulang dulu buat siap-siap dan kesini lagi.” Pia mengeangguk paham mendengar penjelasan panajng dari Glen. “Ya udah, karena kita udah sama-sama di sini. Jadi perjanjian yang di maksud Kak Glen kemaren gimana?” “Lo bawa kertasnya?” Pia mengangguk pelan seraya mengeluarkan kertas dari sakunya. Bersamaan dengan itu, Glen juga mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat tua daru dalam tasnya dimana kotak tersebut merupakan kot
“Ya udah selesai,” ucapnya sembari turun dari mobil. Sedangkan Pia yang masih berusaha mencerna ucapan Ilham membuat diirnya terpau untuk beberapa saat sampai akhirnya ia mengerti membuat matanya membuat kaget. Hanya ada satu kemungkinan, Ilham marah karena menurutnya kebaikannya di salah artikan oleh Pia dan artinya ini yang terakhir kalinya dirinya membalas chat serta menjemput Pia. Pia berdesis kesal, maksud dirinya bertanya kan karena diirnya ingin tahu saja kenapa pria itu tiba-tiba berubah. Apa Ilham memang se-sensitiv itu? Pia mengacak rambutnya kesal dan segera turun dari mobil berusaha mengejar Ilham untuk menjelaskan maksud perkataannya dan meminta maaf pada pria itu. “ILHAM!” teriaknya yang mengundang penasaran siswa siswi lain. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya mengapa Pia bisa turun dari mobil Ilham, apakah keduanya berangkat bersama? Tapi jika ya, mengapa mereka tak turun bersama? Sedangkan Pia sendiri tak te