Kerumunan tersebut lantas bubar, menyisakan tiga orang gadis yang salah satunya adalah Dafina, ia mendengar bisikan para siswi tadi. Sejak awal Dafina juga sering mendengar nama Alifia Nadira, orang-orang sering memanggilnya Pia. Namun gadis itu tak terlalu menghiraukan hal tersebut karena ia yakin dirinya tak kalah cantik. Sedangkan Ilham sudah pergi sesaat setelah Pia ditarik pergi bersama Glen.
“Cih cewek kayak dia bisanya apa? Paling modal cantik doang. Cantikan juga gue!” seru Fina kesal kemudian pergi disusul kedua temannya.
***
Glen menarik tangan Pia menuju ke perpustakaan membuat gadis itu sedikit sulit mengimbangi langkah pria tersebut, Glen sendiri tak bisa mengekspresikan dirinya saat ini seperti ada yang bergejolak dihatinya. Ada rasa yang mendorongnya untuk marah tapi ia tak tahu untuk apa dan lagi pula gadis yang tengah bersamanya ini bukan siapa-siapa nya.
Keduanya sampai di depan perpustakaan namun tak ada yang berbicara kecuali diam saling memandang, Glen yang tak tahu harus berbuat apa dan Pia yang tak mengerti mengapa. Sebab merasa canggung Pia memiringkan kepalanya sembari mengedipkan matanya dua kali dan tersenyum.
“Kak Glen kenapa?”
“Gapapa.”
Pia berdecak kesal, bukankah dia yang mengajaknya kesini?”Terus kenapa kesini?”
Glen lantas sedikit membungkuk mensejajarkan tingginya dengan Pia, ia mengetukkan kedua jarinya di kening gadis itu.
“Lain kali jangan begitu lagi.”
“Hah?”
“Di kantin.”
Ah Pia paham, memang benar tindakannya tadi lumayan ceroboh tapi ia hanya berniat membantu saja.
“Kalo jatoh gimana?”
“Lah kan emang udah jatoh.”
Glen menghela nafas.”Bukan gitu maksudnya, udahlah intinya jangan bertindak ceroboh kayak tadi.”
Pia nampak berfikir sejenak kemudian mengangguk setuju.”Oke, tapi kalo lagi gak terpaksa aja.”
“Maksudnya?”
“KAK GLEN!” Teriak Chika di pintu perpus.
“Kenapa ninggalin gue tadi hem?” Glen hanya mengedikkan bahunya acuh, lagi pula kenapa gadis itu memanas-manasinya tadi.
Chika kemudian menepuk dahinya pelan ia lupa tujuannya kemari, ia menoleh menatap Pia seraya menyilangkan kedua tangannya ke depan dada seolah bertanya mengapa ia melakukan hal seperti tadi. Dan Pia yang seolah mengerti tatapan dan tingkah gadis itu hanya bisa tersenyum menampakkan deretan giginya.
Dan benar saja, Chika menghela nafasnya panjang seolah berkata ya sudahlah. Gadis itu kemudian berlaih menatap Glen kemudian menatap Pia kembali, terlintas ide cerdas dalam pikirannya untuk mendekatkan Glen dan Pia.
“AAAAAH TIKUS, TIKUS!” teriak Chika heboh seraya melompat-lomapat takut berharap Pia ketakutan dan berlari memeluk Glen layaknya adegan dalam novel.
Namun bukannya takut Pia malah mengedarkan pandangannya ke lantai seraya memegangi rambut yang ia selipkan di kedua telinganya. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukan satupun tikus. Mungkin tikus tersebut sudah hilang pikirnya kemudian segera beralih mentap Chika.
Sedangkan Chika yang baru tahu bahwa Pia tak takut pada tikus hanya bisa berdecak kesal, gagal sudah rencananya. Selang beberapa detik kemudian matanya melotot saat melihat kecoa yang berjalan tepat di samping Pia.
“KECOA!” ucapnya menunjuk kecoa tersebut dan melompat seraya memeluk Glen dari belakang dan naik ke punggung pria tersebut.
Sedangkan Pia yang kaget juga ikut melompat geli, karena menyadari kecoa tersebut berada dekat kakinya ia berniat berlari menuju pintu untuk menjauh, namun kakinya tersandung dan hilang keseimbangan.
BRUK!
Pia memejamkan matanya beberapa saat namun tak merasakan apapun, seperti ada yang menangkapnya. Gadis itu membuka kedua matanya dan terkejut sebab jatuh berada di pelukan Ilham.
Chika yang melihat kejadian tersebut pun sontak terkejut sebab perhitungannya salah, ya tapi ini kan bukan salah dirinya. Sedangkan Glen yang melihat hal tersebut kembali merasa kesal, ia menatap kebawah melihat kecoa yang tadi berjalan mendekat kearahnya dan,
TAK!
Kakinya menghentak lantai menginjak kecoa tersebut membuat si kecoa langsung mati seketika. Malangnya nasib kecoa.
“Ahahahaha, aduh itu.” Tawa canggung Pia setelah berdiri tegak sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Maaf.” Pia menggeleng.
“Enggak! Makasih. Iya itu.”
“Okelah, bye bye!” ucap Pia seraya pergi.
***
Hari minggu pagi merupakan hari yang di tunggu oleh Pia, ia bersama Dimas baru saja selesai melakukan jogging dan berniat untuk pulang, namun Pia memaksa untuk mampir ke super market sebentar untuk membeli beberapa stok camilan kesukaannya membuat Dimas monolaknya. Jika sudah berbelanja seperti ini Pia pasti akan menghabiskan banyak waktu, sedangkan Dimas memiliki janji untuk berarung di game online bersama temannya.
“Ayolah Kak!.” pinta Pia dengan menunjukkan puppy eyes nya.
Namun sayangnya hal itu tak berlaku bagi Dimas karena baginya gamenya lebih penting saat ini. Ia tak ingin jadi bahan ejekan teman-temannya karena sudah kalah sebelum bertarung, padahal semalam jelas-jelas ia yang sudah menantang mereka untuk battle melawannya.
Pia memanyunkan bibirnya kesal, ia tahu jika sang Kakak sudah menola saat ia memberikan puppy eyesnya itu artinya Kakaknya itu ingin bermain game. Pia berfikir sejenak untuk mencari cara agar Dimas mau menemaninya berbelanja.
“Ya udah, kalo gitu gue mogok makan! Biar pas mama sama papa pulang ke Indo mereka liat anak perempuannya kurus sebab gak di urusin sama Kakaknya.” Dimas nampak tersenyum licik, adiknya pikir ia tak tahu akal liciknya?
Kedua orang tua mereka memang brada di luar negeri sebab harus mengurus bisnis, hal itu membuat Dimas bertanggung jawab untuk mengasuh Pia sejak ia SMP dan waktu itu Pia masih menginjak kelas lima SD. Keduanya hanya tinggal bersama dengan seorang Asisten Rumah Tangga yang sudah bertahun-tahun bekerja bersama mereka.
Oleh sebab itu Dimas sangat menyayangi Pia, ia selalu berusaha agar Pia tak kekurangan rsa kasih sayang dari Mama dan Papa. Ya meskipun sekarang ia sering teledor akan hal-hal kecil seperti menjemput Pia pulang dan semua itu di mulai ketika ia mengenal dunia game online dari temannya.
Sedangkan kedua orang tua mereka sendiri akan pulang setiap tiga bulan sekali jika pekerjaan mereka tidak menumpuk sebab banyak cabang perusahaan yang harus mereka urusi. Namun jika pekerjaan mereka sedang menumpuk waktu pulang mereka bisa di tunda sampai setahun sekali, dan keduanya menginap pun hanya sekitar satu minggu lalu harus kembali lagi ke Luar Negeri. Namun sesekali mereka masih saling bertukar pesan bahkan melakukan vidio call.
“Ya udah, berarti gue gak usah repot-repot bilang ke mereka kalo kerjaan anak perempuan mereka satu-satunya cuma makan ca-mi-lan!” Pia berdengus kesal mendengar penuturan Dimas, namun gadis itu tak kehabisan akal.
“Ya udah, tinggal telfon Kak Riona kalo lo main game terus sampe begadang!” ujar Pia sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan berpura-pura mengetik layar ponselnya membuat Dimas membelalakkan matanya.
“Gak! Jangan!”
“CK! Ya udah, tapi jangan lama-lama.” Dimas menyerah, jika sudah berhubungan dengan Riona yang merupakan tunangannya ia tak bisa apa-apa.
Sedangkan Pia yang merasa menang sontak menarik tangan Dimas dan berlari menuju super market.
“Menurut lo lebih wangi yang mana? Yang ini atau yang ini?” ucap Pia sembari memperlihatkan secara bergantian dua sabun mandi si tangannya membuat Dimas berdecak kesal.“Terserah!”“CK! gak ada pendirian banget,” gerutu Pia sembari mengerutkan keningnya berfikir farian apa yang akan ia beli.“Yang stroberi wangi tapi gak terlalu suka warna pink yang ini, terlalu tua. Yang biru cantik, warnanya juga soft tapi wangnya gak terlalu ke cium.”“Ah pusing, jadi beli yang mana ini?” Dimas berdesis geram, adiknya ini jika ia tak menjawab pertanyaannya ia akan terus menimang untuk membeli yang mana.“Yang biasa lo pake apa?” tanya Dimas sedikit kesal.“Emmm, biasanya beli di online shop sih, soalnya di super market ini gak ada.”“Terus kenapa masih di cari?” geram Dimas. Kepalaya mulai panas, jika di film-film pasti sudah ada asap yang keuar dari kep
“Boleh nebeng gak? Gue di tinggal Kakak gue.” “Makanya kalo belanja tuh jangan kelamaan,” Jawab Ilham membuat Pia sedikit terkejut, bagaimana pria itu tahu? “Lo cenayang?”Ilham hanya mengedikkan bahunya tak berniat membalas. Ia tak tahu bahwa yang ia katakan ternyata bear, padahal ia hanya menebak saja. “Ya udah naik!”perintahnya membuat Pia tersenyum senang. Sesampainya di depan rumah Pia, gadis itu turun dari motor ilham seraya tersenyum lebar. “Thank’s ya.” Ilham mengangguk kemudian beniat melajukan motornya namun Pia menghentikannya. “Kenapa?” Pia memiringka kepalanya seraya mengedipkan kedua matanya beberapa kali menatap pria di hadapannya ini. “Kalo gue suka sama lo gimana?” *** Pia berjalan santai menuju ke kantin sekolah dengan membawa tas kecil berisi sekotak bekal di tangannya. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar, ia berharap bahwa makanan yang ia buat dengan sepenuh hati ini dapat ia berikan
Pia mengingat kejadian kemarin dan ia yakin Ilahm juga tengah mengingtnya. Masih terkeam dengan jelas dalam memori Pia saat dirinya bertenya mengenai dirinya yang jatuh cinta pada Ilham, setelah mendengar itu Ilham hanya mengedikkan kedua bahunya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ilham yang melihat senyum devil milik Pia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu hal apa yang akan di lakukan gadis itu selanjutnya. Dirinya hanya fokus pada tujuan utamanya untuk mengganjal lapar di perutnya. Pia dengan cepat menghabiskan makanannya dan menyambar kotak bekal yang terletak di atas meja membuat Chika kaget. “Mau kemana lo?” Pia memandang Chika beberapa saat lalu beralih ke arah Glen yang juga tengah menatapnya, gadis itu mengembangkan senyumya seraya mengangkat sedikit kotak bekal miliknya. “Mau ngasih ini.” “Buat siapa?” tanya Glen membuat Chika was-was. “Ilham!” *** Pernyataan singkat dari Pia membuat Gle
“Kak Glen belum pulang?” tanya Pia yang akhirnya membuka suara. “Iya!” ucap Glen sambil menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanya Pia lagi. Glen tampak sedikit mendongakkan kepalanya berfikir sejenak lalu tak lama mengedikkan kedua bahunya. “Gak tau.” Pia mengernyit heran. Sedangkan Glen hanya melebarkan senyumnya seraya mengusap pelan puncak kepala gadis itu. “Gak usah dipikirin. Mau pulang bareng?” Pia nampak berfikir sejenak, ia bingung harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ini sudah sore dan mustahil bahwa Dimas akan menjemputnya sebentar lagi, Ia tahu betul bahwa akhir-akhir ini Kakaknya itu sedang sangat sibuk dengan tugas kuliahnya. “Boleh!” “Tapi sebelum itu ..., lo mau buat satu perjanjian?” ucap Glen seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. *** Minggu pagi ini Pia memutuskan untuk lari santai di sekitar taman komplek perumahannya sembari m
“Jadi gimana?” tanya Pia lagi, kembali membahas pertanyannya sebelumnya. Namun Ilham hanya mengedikkan bahunya kembali acuh. “Yah! Anggep aja kalo lo suka,” ucap Pia sembari berdiri dan menghampiri gadis tersebut. Ilham yang melihat tingkah Pia hanya bisa mengawasi gadis itu dari tempatnya karena ia juga sedikit penasaran meskipun ia tak dapat mendengar percakapan keduanya. Ia dapat melihat dengan jelas Pia duduk di sebelah gadis itu dan tampak mengobrol. Terlihat jelas bahwa keduanya tak terlihat canggung sama sekali, dan Ilham tahu betul itu karena sifat Pia yang humble dan tidak tahu malu jadi suasana keduanya mudah mencair. Namun entah menagpa, selang beberapa lama kemudian ketika tangan Pia menunjuknya ia menjadi terkejut sekaligus kesal, jadi satu detik sebelum gadis itu menoleh ia berdiri dan langsung berjalan menuju mobil. Namun setelah sampai di mobilnya ia dibuat lebih terkejut lagi dengan penampakan yang ada di hadapannya ketika mem
“Oh iya, Kak Glen tinggal sama Kakek dan Nenek nya ya. Rumah Kakek sama Nenek nya Kak Glen jauh dari sini ya?” “Gak sih, rumahnya deket dari sini kok. Ntar kapan-kapan gue ajak ke sana deh.” Pia tersenyum seraya mengangguk. “Terus kenapa sengaja dateng cepet?” “Gue abis nginep dari rumah Chika semalem. Soalnya dia pindah rumah jadi gue bantu-bantu dikitlah, terus di suruh nginep sama mamanya. Yah rumahnya gak terlalu jauh dari sekolah sih, cuman arahnya berlawanan sama rumah Kakek dan Nenek jadi gue harus pulang dulu buat siap-siap dan kesini lagi.” Pia mengeangguk paham mendengar penjelasan panajng dari Glen. “Ya udah, karena kita udah sama-sama di sini. Jadi perjanjian yang di maksud Kak Glen kemaren gimana?” “Lo bawa kertasnya?” Pia mengangguk pelan seraya mengeluarkan kertas dari sakunya. Bersamaan dengan itu, Glen juga mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat tua daru dalam tasnya dimana kotak tersebut merupakan kot
“Ya udah selesai,” ucapnya sembari turun dari mobil. Sedangkan Pia yang masih berusaha mencerna ucapan Ilham membuat diirnya terpau untuk beberapa saat sampai akhirnya ia mengerti membuat matanya membuat kaget. Hanya ada satu kemungkinan, Ilham marah karena menurutnya kebaikannya di salah artikan oleh Pia dan artinya ini yang terakhir kalinya dirinya membalas chat serta menjemput Pia. Pia berdesis kesal, maksud dirinya bertanya kan karena diirnya ingin tahu saja kenapa pria itu tiba-tiba berubah. Apa Ilham memang se-sensitiv itu? Pia mengacak rambutnya kesal dan segera turun dari mobil berusaha mengejar Ilham untuk menjelaskan maksud perkataannya dan meminta maaf pada pria itu. “ILHAM!” teriaknya yang mengundang penasaran siswa siswi lain. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya mengapa Pia bisa turun dari mobil Ilham, apakah keduanya berangkat bersama? Tapi jika ya, mengapa mereka tak turun bersama? Sedangkan Pia sendiri tak te
Alifia Nadira seorang gadis yang berumur lima belas tahun yang baru saja melewati masa MPLS disekolah barunya. Hari ini merupakan hari pertamanya memulai pembelajaran namun sejak awal ia sudah menarik banyak pasang mata, selain wajahnya yang cantik sifatnya yang ceria membuatnya makin populer terutama dikalangan para senior.Pia melebarkan senyumannya kala melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan jas biru dongker dan rambut yang tertata rapi menambah kesan plus pada pria tersebut.“Kak Glen!” pekik Pia girang.Galen Fikri Alamsyah, Ketua Osis yang ia kenal bersama Chika. Chika mengatakan pada dirinya bahwa Glen merupakan Kakak kelasnya saat SMP.“Loh Pia? Gak masuk kelas?” Pia menggeleng, sebenarnya ia sendiri juga tak tahu dimana kelasnya berada.“Gue gak tau kelasnya Kak,” jawab Thiya sembari menunjukkan deretan giginya.Glen terkekeh mendengar jawaan gadis tersebut.”Lo kan bisa liat papan madin