Hari sudah gelap saat Raina datang ke kediaman Blanc. Saat itu di ruang duduk terlihat Armando yang tengah berbicara dengan ayahnya.
Pria berkulit tanning ini langsung menutup hidungnya begitu melihat sosok Raina masuk."Hmm bau busuk apa ini?" tanyanya dengan maksud menyindir Raina.Perempuan berambut panjang itu pun langsung mengambil tempat duduk di dekat pamannya yang terlihat dingin."Dari mana saja kau Raina?" tanya Roberto dengan nada tegas.Meskipun Raina bukan darah dagingnya, tapi Roberto begitu menyayangi gadis ini. Terlebih semenjak adiknya tiada, Raina menjadi tanggung jawabnya. Roberto yang masih kolot tentu saja akan mencari tahu kemana saja ia hari ini."Pasti dia bersenang-senang dengan kekasih gembelnya itu," sindir Armando.Sepertinya Roberto telah sedikit terpengaruh oleh putranya, hingga ia memandang keponakannya dengan tatapan yang menyelidik."Apa kau sudahRoberto yang sudah terbius oleh kesuksesan Raina pun melirik ke arah putranya. Memberikan isyarat agar laki-laki itu pergi meninggalkan mereka berdua.Helaan napas lega ditunjukkan oleh Armando. Ia tak perlu lagi repot mencari alasan untuk menyembunyikan kegugupannya. Ucapan Raina tentang kejanggalan dalam laporan keuangan benar-benar mengusiknya."Ya, aku mengerti, aku akan pergi," katanya sambil melirik Raina dengan tatapan tidak bersahabat. Raina sendiri menanggapi tatapan Armando dengan senyuman yang sinis.***"Katakan Raina, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Roberto sambil membungkukkan badan mendekat ke arah Raina.Raina langsung mengambil laporan keuangan yang tadi sengaja dicetak olehnya. Kemudian memberikan pada Pamannya dengan penuh hormat."Ini Paman, maafkan jika tidak berkenan.""Biar kubaca lebih dulu," balas Roberto begitu menerima kertas laporan dari Raina.Gadis
Nicko yang baru menyelesaikan pejerjaan rutinnya pun masuk ke kamar dan memeluk istrinya dari belakang. Kala itu Josephine tengan menyisir rambutnya yang panjang."Kau kelihatan lebih rileks kali ini, Sayang," bisik Nicko kemudian mencium tengkuknya lembut."Ya, akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega," katanya."O ya? Apa ada sesuatu yang membuatmu merasa lebih baik?"Jo memutar tubuhnya dan duduk sambil menghadap ke arah suaminya. Ia pun mulai menceritakan apa yang terjadi padanya siang tadi."Tuan Evans meneleponku tadi, mereka ingin bicara dengan keluarga besarku," katanya dengan manja. Nicko mengerutkan dahi dan menatap istrinya.Bersikap seolah-olah ia tidak tahu dengan apa yang akan disampaikan istrinya."Memangnya kenapa Tuan Evans meneleponmu? Apa beliau memberimu tugas tambahan?"Jo menggeleng, "Bukan itu, Sayang.""Lalu?""Tuan Evans ingin meng
"Raina, pagi ini kau bisa berangkat dengan sopir kan? Aku ada keperluan mendesak," kata Armando yang terlihat terburu-buru, sampai-sampai melewatkan sarapan pagi bersama Ayahnya.Dalam hati Raina bertanya ada apa dengan sepupunya kali ini. Tumben sekali dia beriskap ramah dan sopan terhadapnya."Apakah ia mendengar pembicaraanku dengan Paman semalam ya?" pikir Raina."Kau mau kemana?" tanya Roberto sedikit curiga."Ayah, aku ada perlu dengan Tuan Zachary Wilson, aku akan mengurus perceraianku dengan wanita sialan itu," katanya.Roberto hanya tertawa sinis, seperti tak setuju jika putranya menyebut Catherine wanita sialan."Tak perlu terus menghinanya, selama menjadi istri dia selalu patuh terhadapmu," kata Roberto."Aku tak keberatan berangkat dengan sopir. Pergilah, dan selesaikan urusanmu segera. Setelah itu kembali ke kantor dan kembali bekerja seperti biasa!" kata Raina tegas.
Gillian terlihat tampak memilih-milih snack untuk putra kembarnya di sebuah supermarket. Ia sengaja memilih untuk berbelanja di supermarket dekat kantor Blanc agar bisa sekalian bekerja, dan pusat perbelanjaan ini memang buka 24 jam."Huh gara-gara Direktur baru itu aku tak bisa mengajak anakku untuk ikut berbelanja. Aku juga harus merogoh tabunganku sendiri gara-gara tidak ada Tuan Armando," keluhnya dalam hati.Wanita itu pun mendorong trollynya cepat-cepat dan mengambil apa yang ia butuhkan. Sesekali ia melirik jam yang ada pada tangannya. Ia harus cepat, karena tak ingin mengundang kemarahan Direktur baru itu.Wanita berambut pendek itu kini mengantre di kasir. Masih ada dua orang yang harus dilayani sebelum gilirannya, dan itu membuat dirinya gelisah. Sampai-sampai ia harus mengetuk-ngetukkan telapak kakinya secara perlahan di lantai.Sementara itu, Armando ...."Apa? Dibekukan?" tanya Armando pada petugas pelayan
Sambil mengepalkan tangan kuat dan napasnya memburu. Sekali ia melirik ponselnya kembali dan mendapati Gillian kembali menelepon. Dengan kasar, ia pun mematikan benda pipih itu."Dasar sekretaris penggoda, bisanya hanya meminta uang saja," gerutunya.Dengan menyimpan sedikit harapan, Armando pun melangkah bergegas menuju mobilnya."Aku harus melakukannya sekarang," pikirnya kemudian mengemudikan mobilnya dengan tergesa.***Gillian masih berusaha menghubungi Armando, tapi tak juga mendapatkan respons."Huh, sialan! Di saat seperti ini justru malah tidak bisa dihubungi," katanya bersungut-sungut sambil berkacak pinggang.Petugas kasir terlihat mulai kesal, sebab pelanggannya yang satu ini telah menghambat pekerjaannya. Membuatnya harus mendengar makian dari pengunjung lain yang sedang mengantri."Maaf Nyonya, jika Anda masih membutuhkan waktu silakan untuk mengantri di urutan palin
Pagi ini Damian tampak sibuk mengatur ruang konferensi di Hotel Windsor. Seorang tamu istimewa akan hadir di tengah-tengah mereka, yaitu Raymond Evans.Atas perintah Tuan Evans, Josephine pun datang ke hotel milik keluarganya. Tentu saja kedatangannya kali ini membuat Damian dan Ayahnya merasa tidak senang. Mereka berdua mencoba untuk mencari muka di depan Elizabeth dengan mencoba mengusir Josephine."Hei kenapa kau ada di sini?" tanya Damian sinis."Tentu saja aku akan menghadiri rapat dengan Tuan Evans," jawab Josephine santai."Huh! Aku heran dulu ada seseorang yang kesal karena tidak terpilih menjadi General Manager Hotel Windsor. Ketika giliran mendapatkan kesempatan itu, ia malah pergi dan memilih untuk menjadi General Manager di hotel lain. Sekarang malah kembali lagi ke sini dan ikut rapat. Tidakkah itu memalukan?" cibir Damian."Benar sekali. Putraku, jangan sampai kau melakukan perbuatan seperti Itu!" tambah
Dengan langkah yang terburu-buru dan menahan kesal, Armando pun kembali ke mobilnya. Pakaiannya sudah tak rapi seperti saat pergi tadi, dasi yang melingkar di leher pun mulai melonggar dan tak mengenakan jas."Huh sial benar, dari 5 ATM yang kudatangi, semua diblokir. Siapa yang berani melakukan ini padaku. Apa mungkin Catherine?" pikirnya.Armando memukul setirnya, dan memaki, lalu ia ingat kalau Catherine tak pernah tahu tentang rekeningnya."Rasanya tak mungkin Catherine yang melakukannya. Perempuan bodoh itu sudah kufasilitasi dengan kartu kredit unlimited yang bisa dipakai olehnya kapan saja. Dia bahkan tak tahu berapa tagihannya, dan rekening bank mana yang aku miliki," gumamnya."Jangan-jangan Gillian yang melakukan ini semua, karena aku tak mau membayar belanjaannya. Selama ini aku selalu berbagi rahasia dengannya. Sialan!" runtuknya.Tak ada pilihan lain bagi Armando selain kembali ke rumah dan mengambil semua
Plak! Tanpa belas kasih pria tangan besi itu menampar pipi putranya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan membuat pipi Armando memerah.Sesekali Raina memegangi punggung Pamannya agar pria itu bisa mengontrol emosi. Perempuan berambut panjang ini tampak khawatir akan kesehatan Pamannya."Paman, tenang Paman," kata Raina."Kurang ajar Kau Armando. Apa kurangnya Ayah padamu. Kau kubesarkan dengan segala kasih, bahkan untukmu Ayah rela tidak menikah lagi dan kau membalas semuanya dengan ini!" seru Roberto dengan berapi-api.Mendengar ucapan sang Ayah Armando bukannya menyesal, ia malah melirik ke arah saudara sepupunya dengan tatapan yang merendahkan."Huh, memberi kasih sayang apa? Si anak pungut itu yang justru mendapatkan fasilitas darimu!" gumam Armando mencibir."Kau tak perlu menghina Raina! Dia lebih layak jika dibandingkan denganmu!" seru Roberto."Ayah! Dia ini bukan siapa-sia