Plak!
Tanpa belas kasih pria tangan besi itu menampar pipi putranya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan membuat pipi Armando memerah.Sesekali Raina memegangi punggung Pamannya agar pria itu bisa mengontrol emosi. Perempuan berambut panjang ini tampak khawatir akan kesehatan Pamannya."Paman, tenang Paman," kata Raina."Kurang ajar Kau Armando. Apa kurangnya Ayah padamu. Kau kubesarkan dengan segala kasih, bahkan untukmu Ayah rela tidak menikah lagi dan kau membalas semuanya dengan ini!" seru Roberto dengan berapi-api.Mendengar ucapan sang Ayah Armando bukannya menyesal, ia malah melirik ke arah saudara sepupunya dengan tatapan yang merendahkan."Huh, memberi kasih sayang apa? Si anak pungut itu yang justru mendapatkan fasilitas darimu!" gumam Armando mencibir."Kau tak perlu menghina Raina! Dia lebih layak jika dibandingkan denganmu!" seru Roberto."Ayah! Dia ini bukan siapa-siaSetelah mengantar sang Istri, Nicko pun mendatangi kawasan pasar seperti yang disepakati oleh Russell. Begitu mobil van miliknya datang, ia sudah mendapati Russell beserta anak buahnya menunggu.Bersama mereka telah menyusun rencana untuk mendatangi keluarga Brighton dan meminta pertanggunh jawaban mereka. Walaupun sebenarnya Nicko tak mau ambil pusing soal ini, tapi melihat kekecewaan sang istri lantaran kehilangan uang tabungan sungguh membuatnya tidak tega.Dengan kecerdasan dan pengaruh Russell, mereka pun berhasil menemukan keberadaan keluarga Brighton."Silakan Tuan Muda," kata pria berambut merah ini dengan sopan.Nicko pun mengangguk. Ia mendapatkan posisi di tengah-tengah kawanan jubah hitam yang dipimpin oleh Russell. Sengaja pengawal keluarga Blanc itu mengatur posisi demikian untuk melindungi majikan mereka.***Kehadiran Nicko bersama kelompok jubah hitam jelas menarik perhatian seantero pasar
"Hei apa-apaan kau berani memerintah untuk menutup gang!" seru Ellen yang tak suka dengan seruan Russell pada anak buahnya.Wanita paruh baya yang kini tampak lusuh dan kehilangan gaya hidup mewahnya ini terlihat berani menantang Russell. Keadaan yang sangat berbeda dengan putranya.Sang putra, selain gemetar karena melihat beberapa anak buah Russell, juga menarik lengan Ibunya."I ... Ibu biar aku saja," katanya.Pemuda yang sempat dijodohkan dengan Josephine itu pun segera mengambil tempat di dekat pria berambut merah, dan segera mengambil posisi berlutut."Tu ... Tuan tolong jangan hancurkan milik kami. Kios dan bangunan di belakangnya hanyalah harta kami satu-satunya," pinta Nate sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Nate apa-apaan kau ini!" seru Ellen yang tak setuju dengan sikap putranya."Ayo bangun! Kau tak pantas untuk berlutut di hadapan mereka. Memangnya mer
Nicko cuma tersenyum sinis saat melihat Nate mendongak ke arahnya. Pemuda yang tadinya berlutut itu pun perlahan-lahan bangkit.Kehadiran laki-laki yang juga berpakaian lusuh itu sangat mengganggu pandangan. Terlebih saat Nicko berdiri dengan tangan bersedekap dan raut wajah yang menantang."Kau ada masalah denganku?" tanya Nicko."Ya, kau memang selalu bermasalah denganku. Kemarin mencoba merayu istriku, lalu menghinaku dan terakhir kau dan Ibuku menipu mertuaku," tambah Nicko tak memberi kesempatan pada Nate untuk menjawab.Nate yang memang pada dasarnya tidak suka dengan Nicko pun melupakan keinginannya untuk minta ampun pada kelompok jubah hitam. Pemuda itu pun melirik ke meja dagangnya dan mengambil pisau daging. Ia sama sekali tidak takut."Huh, gembel sepertimu tak pantas untuk bersanding dengan perempuan secantik Josephine," balas Nate sambil mengayun-ayunkan pisau ke hadapan Nicko. Menunjukkan betapa berkuasan
"Hei bangun!" seru anak buah Russell sambil menarik tubuh Nate yang berpelukan dengan Ibunya, tapi pegangan mereka kuat sekali. Entah sang Ibu yang ketakutan atau berusaha melindungi putranya."Huh ternyata penantang Tuan Muda adalah seorang laki-laki pengecut yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak Ibunya," ejek Adam Reinhart diikuti tawa rekan-rekannya, termasuk Nicko uang sedang duduk di bangku tak jauh dari mereka.Perlu bantuan dua orang untuk bisa memisahkan Nate dengan Ibunya. Pemuda itu pun akhirnya berdiri dengan dipegangi oleh dua orang anak buah Russell. Russell mulai mengayunkan tinju pada perut Nate beberapa kali. Hingga membuat Ellen yang sedang tersungkur pun berteriak memohon."Tenang saja Nenek tua, sebentar lagi giliranmu. Kau sudah tak sabar untuk berwisata ke laut ya?" ejek salah seorang anak buah Russell yang sedang memegangi tubuh Nate.Bugh! Sekali lagi Russell menggunakan tinjunya untuk memukul pem
Sambil tersenyum, Nicko mengemudikan mobilnya dan menjemput sang Istri. Di sampingnya sudah ada uang tiga ratus juta yang akan diberikan untuk mengganti uang sang istri.Nyonya Brighton terpaksa menandatangani permohonan gadai untuk rumah tinggal dan kiosnya pada bank. Kemudian wanita itu memberikan semua uangnya pada Nicko dan wajib mencicil pada bank jika ingin surat-suratnya kembali.Meski keseluruhannya hanya mendapat setengah dari uang Jo, dan Nicko harus menambah kekurangannya. Namun ia cukup senang karena istrinya bisa mendapat uangnya kembali."Semoga saja Daisy tidak tahu akan hal ini. Kalaupun tahu, semoga Jo tak memberikannya pada sang Ibu lagi," gumam Nicko sambil terus mengemudi.***Armando pun melangkah dengan gontai sambil membawa kopornya. Uang di dalam dompetnya hanya ada beberapa lembar, yang mungkin hanya cukup untuk bertahan hidup selama seminggu.Sepatu pantofel yang ia kenakan embuat
"Untuk apa kau kemari?" bentak Catherine saat lelaki yang pernah bersamanya datang mendekat."Tentu saja karena aku merindukanmu Catherine," kata Armando kemudian mencoba menyentuh wajah pualam Catherine dengan lembut.Sejenak, kakak Josephine memejamkan mata dan menikmati sentuhan yang ia rindukan. Terlalu lama melihat kemesraan sang adik dengan suaminya membuat dirinya rindu belaian seorang lelaki.Kembali Armando menyentuh kulit wajah lalu lengannya lembut dan berbisik,"Aku tahu kau merindukanku."Namun ternyata bisikan itu malah menyadarkan Catherine untuk tidak terlena akan laki-laki itu. Armando bukanlah laki-laki yang pantas untuk dihormati olehnya."Bagaimana dengan perceraian yang kau daftarkan Armando?" tanya Catherine dengan maksud menyindir.Armando menghela napas panjang dan mengacak rambutnya. Kemudian ia meraih tubuh Catherine dan mendudukkan pada pangkuan. Bukannya kenyamanan
Raina tak henti mengelus punggung pamannya. Pria paruh baya di depannya tak henti-hentinya memaki dan mengungkapkan kesedihan akan apa yang dialami barusan."Raina, katakan pada Paman, apa salah Paman hingga anak yang seharusnya kubanggakan mengkhianatiku?" keluh Roberto mengacak-acak rambutnya."Bukan salah Paman, Armando yang menyia-nyiakan semua pemberian Paman."Roberto kembali menegak air dingin yang ada di depannya, kemudian bersandar dan melihat keponakannya."Apa menurutmu Paman terlalu memanjakannya?"Raina tak bisa menjawab pertanyaan pria di sampingnya. Roberto Blanc memang memberikan fasilitas yang berlimpah untuk putra semata wayangnya. Bahkan sejak kecil sepupunya itu sudah digadang-gadang akan mewarisi usahanya.Raina sangat paham jika orang tua ingin memberikan hak waris untuk anak kandungnya. Untuk itulah ia tak pernah mengharapkan dirinya menjadi bagian dari perusahaan Blanc.Namun R
Plak! Plak!Armando yang masih bersimpuh pun mulai menampari pipinya sendiri begitu mengetahui Catherine melangkah pergi."Aku bersalah Cathy, maafkan aku," katanya setelah membuat pipinya semakin merah.Namun kakak Josephine tetap bergeming dan melangkah menuju kamarnya. Daisy yang melihat ketidak pedulian putrinya pun meneriaki si sulung."Catherine!" seru Daisy.Edmund mulai mendekati menantu kesayangannya dan membantunya berdiri."Kau tenang saja Armando, Cathy pasti akan memaafkanmu. Biar Daisy yang berbicara padanya," kata Edmund mencoba menenangkan Armando.Mantan Direktur Blanc ini sungguh pandai berakting. Ia memasang wajah yang paling sedih sampai mata terlihat sembab seperti hendak menangis.***Perasaan pria paruh baya itu semakin kacau tatkala membaca pesan lanjutan yang dikirimkan oleh sahabat Raina. Tangannya tampak mengepal kuat-kuat kemudian memukul m