"Hei bangun!" seru anak buah Russell sambil menarik tubuh Nate yang berpelukan dengan Ibunya, tapi pegangan mereka kuat sekali. Entah sang Ibu yang ketakutan atau berusaha melindungi putranya.
"Huh ternyata penantang Tuan Muda adalah seorang laki-laki pengecut yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak Ibunya," ejek Adam Reinhart diikuti tawa rekan-rekannya, termasuk Nicko uang sedang duduk di bangku tak jauh dari mereka.Perlu bantuan dua orang untuk bisa memisahkan Nate dengan Ibunya. Pemuda itu pun akhirnya berdiri dengan dipegangi oleh dua orang anak buah Russell.Russell mulai mengayunkan tinju pada perut Nate beberapa kali. Hingga membuat Ellen yang sedang tersungkur pun berteriak memohon."Tenang saja Nenek tua, sebentar lagi giliranmu. Kau sudah tak sabar untuk berwisata ke laut ya?" ejek salah seorang anak buah Russell yang sedang memegangi tubuh Nate.Bugh! Sekali lagi Russell menggunakan tinjunya untuk memukul pemSambil tersenyum, Nicko mengemudikan mobilnya dan menjemput sang Istri. Di sampingnya sudah ada uang tiga ratus juta yang akan diberikan untuk mengganti uang sang istri.Nyonya Brighton terpaksa menandatangani permohonan gadai untuk rumah tinggal dan kiosnya pada bank. Kemudian wanita itu memberikan semua uangnya pada Nicko dan wajib mencicil pada bank jika ingin surat-suratnya kembali.Meski keseluruhannya hanya mendapat setengah dari uang Jo, dan Nicko harus menambah kekurangannya. Namun ia cukup senang karena istrinya bisa mendapat uangnya kembali."Semoga saja Daisy tidak tahu akan hal ini. Kalaupun tahu, semoga Jo tak memberikannya pada sang Ibu lagi," gumam Nicko sambil terus mengemudi.***Armando pun melangkah dengan gontai sambil membawa kopornya. Uang di dalam dompetnya hanya ada beberapa lembar, yang mungkin hanya cukup untuk bertahan hidup selama seminggu.Sepatu pantofel yang ia kenakan embuat
"Untuk apa kau kemari?" bentak Catherine saat lelaki yang pernah bersamanya datang mendekat."Tentu saja karena aku merindukanmu Catherine," kata Armando kemudian mencoba menyentuh wajah pualam Catherine dengan lembut.Sejenak, kakak Josephine memejamkan mata dan menikmati sentuhan yang ia rindukan. Terlalu lama melihat kemesraan sang adik dengan suaminya membuat dirinya rindu belaian seorang lelaki.Kembali Armando menyentuh kulit wajah lalu lengannya lembut dan berbisik,"Aku tahu kau merindukanku."Namun ternyata bisikan itu malah menyadarkan Catherine untuk tidak terlena akan laki-laki itu. Armando bukanlah laki-laki yang pantas untuk dihormati olehnya."Bagaimana dengan perceraian yang kau daftarkan Armando?" tanya Catherine dengan maksud menyindir.Armando menghela napas panjang dan mengacak rambutnya. Kemudian ia meraih tubuh Catherine dan mendudukkan pada pangkuan. Bukannya kenyamanan
Raina tak henti mengelus punggung pamannya. Pria paruh baya di depannya tak henti-hentinya memaki dan mengungkapkan kesedihan akan apa yang dialami barusan."Raina, katakan pada Paman, apa salah Paman hingga anak yang seharusnya kubanggakan mengkhianatiku?" keluh Roberto mengacak-acak rambutnya."Bukan salah Paman, Armando yang menyia-nyiakan semua pemberian Paman."Roberto kembali menegak air dingin yang ada di depannya, kemudian bersandar dan melihat keponakannya."Apa menurutmu Paman terlalu memanjakannya?"Raina tak bisa menjawab pertanyaan pria di sampingnya. Roberto Blanc memang memberikan fasilitas yang berlimpah untuk putra semata wayangnya. Bahkan sejak kecil sepupunya itu sudah digadang-gadang akan mewarisi usahanya.Raina sangat paham jika orang tua ingin memberikan hak waris untuk anak kandungnya. Untuk itulah ia tak pernah mengharapkan dirinya menjadi bagian dari perusahaan Blanc.Namun R
Plak! Plak!Armando yang masih bersimpuh pun mulai menampari pipinya sendiri begitu mengetahui Catherine melangkah pergi."Aku bersalah Cathy, maafkan aku," katanya setelah membuat pipinya semakin merah.Namun kakak Josephine tetap bergeming dan melangkah menuju kamarnya. Daisy yang melihat ketidak pedulian putrinya pun meneriaki si sulung."Catherine!" seru Daisy.Edmund mulai mendekati menantu kesayangannya dan membantunya berdiri."Kau tenang saja Armando, Cathy pasti akan memaafkanmu. Biar Daisy yang berbicara padanya," kata Edmund mencoba menenangkan Armando.Mantan Direktur Blanc ini sungguh pandai berakting. Ia memasang wajah yang paling sedih sampai mata terlihat sembab seperti hendak menangis.***Perasaan pria paruh baya itu semakin kacau tatkala membaca pesan lanjutan yang dikirimkan oleh sahabat Raina. Tangannya tampak mengepal kuat-kuat kemudian memukul m
Beberapa menit sebelumnya ....Edmund menyipitkan kedua matanya tatkala mendapati dua orang petugas berseragam berdiri tegap saat ia membuka pintu depan."Selamat malam, kami mendapat laporan kalau Tuan Armando Blanc sedang berada di sini," sapa petugas polisi dengan sopan tapi tak menghilangkan ketegasan mereka."Silakan masuk, Armando memang ada di sini," kata Edmund yang memang tak menaruh curiga sama sekali.Dalam pikirannya kedua petugas ini mencari Armando pasti bukan untuk menangkapnya. Di mata pria lima puluh tahunan ini Armando adalah seorang yang sangat luar biasa dan pantas diagungkan. Armando sungguh suci."Pasti mereka berniat memberikan perlindungan pada Armando. Dia memang sungguh hebat, perusahaannya juga besar, pasti ada banyak yang iri padanya hingga harus menggunakan jasa polisi untuk memberinya perlindungan," batin Edmund.Kedua petugas polisi itu pun melangkah mengikuti Edmund menuju r
Chaterine menutup mulutnya saat mendapati dua orang polisi tengah beradu argumen dengan Armando dan ayahnya. Saat itulah pria yang pernah menikah dengannya itu datang mendekat ke arahnya. Sementara Nicko melangkah menuju pintu depan."Anda bisa tanya pada istri saya, bagaimana sikap saya selama ini, benar kan Sayang?" tanya Armando sambil merangkul Catherine dengan erat.Sepertinya hanya Catherine dan Armando yang tahu kalau di balik pelukan yang ia berikan ternyata ada sesuatu. Armando memberikan tekanan yang cukup kuat pada pundak kakak Josephine dan membuatnya harus menggigit bibir menahan perih."Katakan hal yang baik tentangku. Jangan sampai mereka tahu tentang hubungan kita, atau aku akan membuat keluargamu sengsara!" bisik Armando mengancam.Wajah perempuan berambut pirang itu tampak menegang setelah mendengar ucapan Armando. Pundaknya semakin terasa sakit, lantaran pria yang merangkulnya memberi tekanan lebih kuat.
Kedua petugas polisi itu pun memborgol tangan Armando dan membawanya keluar. Putra Roberto itu pun berteriak dan meminta maaf pada ayahnya. Namun sayang, Roberto tak peduli. Dengan perasaan segan, pria paruh baya ini pun membuka telapak tangannya dan meminta sesuatu dari keponakannya. "Raina, berikan amlop yang tadi kutitipkan," pintanya. "Ini Paman," katanya menyerahkan amplop. "Ini untukmu Cathy," kata Roberto menyerahkan sejumlah uang dalam amplop. "I ... Ini untuk apa?" tanya Catherine. "Anggap ini permintaan maaf dariku yang telah gagal mendidik anakku. Mungkin kau bisa menggunakannya untuk mengobati lukamu," kata Roberto. Catherine nampak tertegun melihat perlakuan mantan mertuanya. Dimata wanita pirang itu, Roberto memang terlihat tegas dan kaku, tapi sebenarnya hatinya baik. Sementara Jo melirik suaminya dan Raina dengan heran, seolah menuntut penjelasan. Nicko yang tahu maksud dari sang istr
Josephine melirik suaminya yang tengah mengemudikan mobil dengan manja. Lelaki yang bersamanya baru saja menurunkan Catherine di Hotel Windsor."Sayang," panggil Jo"Kenapa sayang, apa kau menginkan sesuatu?" tanya Nicko."Sebenarnya aku ingin kau mengantarkanku nanti," pinta Jo."Aku siap mengantarmu kemana saja Tuan Puteri. Katakan kau ingin kemana?"Jo pun mengungkapkan keinginannya untuk membeli unit apartemen. Uang yang telah berhasil direbut oleh Nicko dari keluarga Brighton akan ia belikan sesuatu."Aku tak ingin Ibu mengetahui hal ini. Kau sendiri tahu kan bagaimana sifatnya," kata Jo kemudian menghela napas panjang.Nicko hanya mengangguk membenarkan perkataan istrinya, dan mengusap lengan Jo lembut. Selalu memberikan rasa aman yang dibutuhkan."Aku mengerti perasaanmu Jo.""Salahkah apa yang kulakukan? Aku ingin kita hidup tanpa campur tangan kedua orang tua