Kedua petugas polisi itu pun memborgol tangan Armando dan membawanya keluar. Putra Roberto itu pun berteriak dan meminta maaf pada ayahnya. Namun sayang, Roberto tak peduli.
Dengan perasaan segan, pria paruh baya ini pun membuka telapak tangannya dan meminta sesuatu dari keponakannya."Raina, berikan amlop yang tadi kutitipkan," pintanya."Ini Paman," katanya menyerahkan amplop. "Ini untukmu Cathy," kata Roberto menyerahkan sejumlah uang dalam amplop."I ... Ini untuk apa?" tanya Catherine."Anggap ini permintaan maaf dariku yang telah gagal mendidik anakku. Mungkin kau bisa menggunakannya untuk mengobati lukamu," kata Roberto.Catherine nampak tertegun melihat perlakuan mantan mertuanya. Dimata wanita pirang itu, Roberto memang terlihat tegas dan kaku, tapi sebenarnya hatinya baik.Sementara Jo melirik suaminya dan Raina dengan heran, seolah menuntut penjelasan. Nicko yang tahu maksud dari sang istrJosephine melirik suaminya yang tengah mengemudikan mobil dengan manja. Lelaki yang bersamanya baru saja menurunkan Catherine di Hotel Windsor."Sayang," panggil Jo"Kenapa sayang, apa kau menginkan sesuatu?" tanya Nicko."Sebenarnya aku ingin kau mengantarkanku nanti," pinta Jo."Aku siap mengantarmu kemana saja Tuan Puteri. Katakan kau ingin kemana?"Jo pun mengungkapkan keinginannya untuk membeli unit apartemen. Uang yang telah berhasil direbut oleh Nicko dari keluarga Brighton akan ia belikan sesuatu."Aku tak ingin Ibu mengetahui hal ini. Kau sendiri tahu kan bagaimana sifatnya," kata Jo kemudian menghela napas panjang.Nicko hanya mengangguk membenarkan perkataan istrinya, dan mengusap lengan Jo lembut. Selalu memberikan rasa aman yang dibutuhkan."Aku mengerti perasaanmu Jo.""Salahkah apa yang kulakukan? Aku ingin kita hidup tanpa campur tangan kedua orang tua
Nicko menekan tombol open pada lift yang hampir menutup, saat melihat betis seorang perempuan mulai melangkah masuk. Seperti biasa, ia tak peduli dengan siapa yang masuk lift bersamanya. Bagi Nicko ini adalah tempat umum, siapapun bebas untuk menggunakan.Perempuan itu pun melangkah dengan elegan dan memperbaiki topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya."Lantai berapa Nyonya?" tanya Nicko tanpa melihat ke arah perempuan di sebelahnya.Perempuan bertopi itu pun tersenyum dan melirik ke arah tombol yang menyala dan menunjukkan angka 28. Lantai tertinggi di gedung itu sebelum rooftop. "Dua puluh tujuh," jawabnya dengan suara yang dibuat sedikit mendesah.Sejenak Nicko menyipitkan mata, seakan mengenal suara perempuan yang ada di sampingnya. Namun ia memilih untuk diam dan menganggap semua tidak penting, banyak orang yang memiliki suara hampir sama, begitu menurutnya.Perlahan, perempuan bertopi itu pun membuka dua
Nicko memutar manik matanya, lalu memalingkan wajah sejenak untuk menghindari Sabrina. Ia tebfah memikirkan bagaimana harus merespons perempuan ini. Mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya, Nicko pun tertawa pada Sabrina. "Kau ini sedang mabuk ataukah melamun? Bisa-bisanya kau mengatakan aku adalah keturunan Lloyd," balas Nicko. Sepertinya pemuda ini lupa akan insiden Rolls Royce beberapa waktu lalu. Hingga Nicko bersikeras mengatakan kalau ia bukanlah direktur Richmond. "Kau tak perlu menyembunyikan jati dirimu lagi Tuan Muda Lloyd. Apa kau lupa dengan kejadian beberapa waktu lalu?" tanya Sabrina. Nicko hanya menyipitkan mata mendengar pertanyaan dari perempuan ini. "Memangnya berapa orang yang punya Rolls Royce di Westcoast Town? Bahkan berapa orang yang punya di negeri ini? Bukankah saat itu kau memintaku dan suamiku yang mengaku-ngaku memiliki mobil itu untuk menunjukkan kuncinya? Namun saat kami ketahuan
Nicko masih mencoba untuk tersenyum tatkala mendengar pertanyaan menyelidik yang dilontarkan Sabrina. Dalam hati ia memuji teman lama Josephine dan mengatakan kalau perempuan ini sangat kritis dan detail dalam mengingat sesuatu."Hmm sepertinya perempuan ini tak bisa kuanggap remeh," pikirnya."Bagaimana Tuan Muda, apa Anda ingin mengatakan sesuatu?""Aku mendengar percakapan suamimu dengan ketiga temannya. Mereka terdengar berang dan memaki karena dipecat tiba-tiba. Maka dari itu aku menggunakan kejadian ini untuk menjadikan senjata mengalahkan suamimu dan sahabatnya yang mencoba untuk menggoda istriku," jelas Nicko, tapi lagi-lagi ia ditertawakan oleh Sabrina.Sabrina mulai membelai dagu dan lehernya sendiri, kemudian pada dadanya dan menciptakan gerakan sensual di hadapan Nicko. Kemudian ia pun mendekat pada sosoknya yang bersandar pada dinding, dan berbisik."Kau tak pandai berbohong, Sayang.""Apa mak
"Baik Tuan Muda," kata seorang petugas keamanan."Silakan ikut kami Nyonya," kata salah seorang dari mereka dengan sopan dan berharap perempuan di depan mereka bersikap kooperatif.Lidah perempuan ini mendadak kelu, saat kedua lengannya dipegang oleh dua petugas. Bibirnya ingin sekali memanggil Nicko yang saat itu melenggang meninggalkan dirinya."Hih apa-apaan kalian, singkirkan tangan kotor kalian dariku. Aku ini sahabat dari Istri Tuan Muda kalian. Apa kalian ingin kehilangan pekerjaan?" ancam Sabrina yang malah membuat dirinya terlihat bodoh.Melihat Sabrina yang berontak, kedua petugas yang mengapitnya pun terpaksa untuk mencengkeram lengannya lebih kuat."Sialan kalian sudah mulai berani ya. Kau tahu aku akan membuat kalian kehilangan pekerjaan karena telah menyakitiku!" lagi-lagi Sabrina mengancam.Petugas berkepala plontos yang bernama Paul akhirnya buka suara."Jika memang Anda kenal
Sabrina memperhatikan kertas itu lagi. Kemudian ia pun memandang ke arah dua petugas yang berdiri di belakangnya bergantian.Kedua mata indahnya mulai berkaca-kaca. Dengan sikap memelas ia pun mencoba untuk meminta belas kasih.Tentu saja Sabrina tak ingin ada yang mengetahui tentang skandal yang ia buat. Dengan menandatangani surat pernyataan sama saja ia menyerah kalah, dan ia tak bisa memikirkan langkah selanjutnya.Sabrina berencana untuk mengadakan gencatan senjata sementara. Sambil menunggu waktu, ia akan meminta orang suruhannya untuk menghapus rekaman cctv kejadian dalam lift tadi."Bagaiamana Nyonya? Atau Anda memang betah berada di sini?" tanya Tuan Nelson lagi."Hei, kau harusnya bersyukur karena Tuan Muda masih memaafkanmu, tidak mengirimmu ke penjara. Atau kau memang lebih suka ada di penjara," walker, rekan Paul kali ini angkat bicara."Tuan Muda berencana melaporkanku?" tanya Sabrina mencoba
Seorang pria dengan pakaian rapi langsung menghampiri Sabrina, begitu melihat sosoknya berjalan dengan iringan petugas. Wajah perempuan yang tengah hamil muda itu tampak lesu dan kusut."Sabrina, Istriku," panggilnya."Erick, kenapa kau ada di sini?" tanya Sabrina sedikit merasa gugup.Erick tak menjawab pertanyaan sang istri, tapi ia melepaskan jas nya dan memakaikan pada tubuh sang istri."Kau pakai ini ya agar tak ada lagi yang melihatmu berpakaian begitu kusut," katanya kemudian menggandeng sang istri untuk naik ke mobil.Sedikit aneh bagi Sabrina mendapati suaminya berada di sini tiba-tiba. Namun sepertinya ia tak lagi mampu untuk mencari jawaban bagaimana laki-laki yang belum lama menikahinya ini hadir."Mungkin kebetulan Erick ada di sini, atau ia melacak keberadaan ponselku karena khawatir akan diriku dan janin dalam kandunganku."Sesekali sang suami meliriknya dengan tatapan yang aneh
Erick membelokkan mobilnya ke arah kiri. Jalur yang tak biasa dilewati mereka jika pulang ke rumah. Tentu saja hal ini semakin membuat Sabrina emosi."Kita akan kemana Erick?" tanyanya dengan nada tinggi. Namun suaminya tetap saja bergeming.Mobil lamborghini yang dikemudikan Erick pun terus saja melaju sampai akhirnya tiba di sebuah rumah yang cukup dikenal Sabrina. Sebuah rumah dengan pekarangan yang tak terlalu luas dan ditumbuhi pagar kayu di depannya.Rumah ini adalah milik orang tua Sabrina, tempat tinggal masa kecilnya dulu. Selama pernikahannya dengan Erick, ia hanya berkunjung kemari senanyak dua kali. Sabrina terlalu sibuk dengan lingkungan sosialita barunya.Bukan karena Erick atau kelurga suaminya melarang dirinya untuk bertemu orang tua kandungnya. Namun Sabrina sendiri yang sibuk dengan kegiatan sosialita. Pesta di sana sini, berbelanja ataupun kegiatan amal untuk mendapatkan foto yang cantik."Turunlah!"