Diam-diam Catherine memperhatikan sosok adik iparnya yang tengah merawat tanaman. Lagi-lagi, laki-laki itu menyuguhkan pemandangan yang sulit untuk ditolak pesonanya.
Cuaca yang panas membuat Nicko melepaskan t-shirt sambil merapikan tanaman. Kembali memperlihatkan pahatan otot perutnya yang sempurna."Kenapa kau begitu mempesona. Kenapa aku harus terlambat menyadari hal ini," pikir Catherine yang semakin lama semakin tergoda oleh pesona adik iparnya.Kedua mata kebiruannya kini mulai sedikit turun dan memperhatikan pinggang Nicko hingga ke bawah. Tanpa sadar ia mulai tergoda dengan bulu-bulu halus yang ada di sana.Sedikit terpejam, Cathy membayangkan kepalanya bersandar pada dada Nicko yang bidang."Kau pasti selalu merasa nyaman berada dalam pelukannya, Jo," pikir Cathy."Rasanya aku ingin berada di posisimu. Berada dalam pelukannya sambil memainkan jemari pada tubuh yang sempurna itu," batinnya.Raina masih menggenggam erat dokumen terakhir dari Richmond. Kemudian menggoyang-goyangkannya sedikit."Apa benar yang kulihat ini? Aku memang sudah menduga hal ini sejak lama," pikirnya.Ia tampak begitu bahagia dengan apa yang ditemukan pada dokumen Richmond. Tanda tangan yang tertera di sana membawa ingatannya kembali pada waktu awal masa kuliah dulu.Beasiswa yang diberikan oleh Paman Roberto membuatnya harus belajar ekstra keras dibanding kawan sebayanya. Boleh dikatakan ia hampir tak punya waktu untuk bersenang-senang seperti yang lainnya.Saat itu tempat yang paling indah bagi Raina adalah perpustakaan. Tempat ia bisa menghirup aroma khas dari buku, dan bertemu seorang yang bernasib sama dengannya. Bedanya, mahasiswa itu melakukannya untuk mendapat tambahan uang.Mahasiswa itu bekerja paruh waktu dua kali seminggu di perpustakaan kampus. Latar belakang mereka yang mirip membuat mereka pun saling akrab satu sama
Nicko segera membersihkan diri dan bersiap untuk pergi. Kali ini ia akan menemui Raymond Evans, dan kembali mengurus keluarga Windsor."Huh, ada-ada saja permintaan keluarga ini," gumamnya kemudian.Catherine segera beranjak dari tempatnya berdiri begitu mendapati adik iparnya mulai masuk. Tak ingin dirinya ketahuan kalau telah mengintip dan menjadikannya bahan fantasi."Semoga saja dia tidak tahu kalau aku memperhatikannya sejak tadi," pikir Catherine.***Suasana kantor sedikit berubah begitu Bos Besar Richmond masuk. Para karyawan wanita mulai memperhatikan penampilan meraka dan berharap untuk bisa dilirik oleh si Bos. Meskipun mereka semua telah melihat cincin yang melingkar di jari manis Direktur, tapi sepertinya tak dianggap."Selamat Siang, Tuan Muda," sapa seorang karyawan yang berpapasan dengannya.Sepertinya ia memang sengaja melakukannya, karena saat melihat sang Direktur dari kejau
Raina masih mempelajari seluk beluk perusahaan Blanc. Mencari celah agar bisa menemui Nicko sang Direktur.Kedekatannya dengan Nicko di masa lalu membuatnya yakin kalau ia bisa mencoba meminta bantuan teman lamanya itu."Apa Nicko bisa bantu aku ya? Kasihan Paman jika usahanya semakin merosot. Punya anak satu-satunya tak bisa diandalkan. Ia malah menghambur-hamburkan uang dan berselingkuh dengan sekretarisnya," pikirnya.Sementara di sana ....Nicko masih duduk di kursi kebesarannya sambil memutar-mutar ponsel. Sesekali benda pipih itu ditempelkan di dagu dan berpikir.Panggilan dari seorang kawan lama sukses untuk membuat kacau pikirannya."Raina ... Raina, sepertinya aku harus berbicara dengannya. Ini tak bisa dibiarkan," pikirnya.Ia kembali memperhatikan nomor yang tertera saat kawan lamanya menelepon."Huh, ini bukan nomor pribadi, ini nomor perusahaan Blanc, apa ia bekerja d
Raina tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat menangkap sosok laki-laki muda yang duduk sambil menikmati minuman dingin. Pemuda yang mengenakan celana jeans sobek pada lutut, kaos dan juga jaket jeans seperti vokalis band rock.Tak ada rasa canggung atau enggan bagi Raina mendekati sosok pemuda itu. Ia justru melenggang santai dan mengambil tempat di hadapannya."Nicko, kau ternyata tak berubah ya?" tanyanya."Eh, kau Raina. Kau mau pesan apa?" tanya Nicko ramah."Hmm masih sama seoerti favoritku dulu, fish and chips.""Itu saja, pesan apapun yang kau mau. Aku yang akan mentraktir. Bukankah dulu kau sering melakukannya padaku?" kata Nicko."Tentu kau yang harus mentraktir, kau kan sudah menjadi direktur perusahaan raksasa," canda Raina yang menciptakan tawa diantara mereka berdua.Mereka berdua pun saling membicarakan tentang masa lalu mereka. Saat mereka masih kuliah dulu, meskipun Rai
Raina mengambil minuman dingin dan menegaknya. Ia masih terkejut dengan apa yang didapati barusan. Sahabat semasa kuliah adalah keturunan seorang Lloyd.Perempuan berkulit gelap itu pun menunduk dan mengetuk-ngetuk dinding gelas. Membiarkan uap es menyentuh kulit jemarinya, sambil menundukkan kepala dan menghembuskan napas panjang.Perlahan ia mengangkat kepala dan menatap laki-laki di seberangnya dalam-dalam. Kemudian ia pun menggelengkan kepala."Kau ini ya," balasnya, dan membuat Nicko mengernyitkan dahi."Candaanmu ini sungguh lucu. Bukankah kau dulu pernah bilang kalau kau tinggal bersama keluarga angkatmu yang memperlakukanmu sebagai pelayan?" tanya Raina kemudian menutup mulut dengan telapak tangan karena menahan tawa.Kini giliran Nicko yang menghembuskan napas panjang."Panjang ceritanya, entah bagaimana aku akan memulainya.""Aku punya waktu," balas Raina.Sambil sedikit
"Silakan Raina!" kata Nicko membukakan pintu mobil dan membiarkan sahabatnya turun.Selama di perjalanan, mereka berdua sama-sama tak bicara. Raina sibuk dengan pikirannya sendiri. Mencoba menerka-nerka sikap dan cerita dari sahabatnya."Mobil seperti ini, apakah mungkin milik seorang direktur Richmond? Atau sebenarnya Nicko hanyalah seorang sopir?" tanyanya dalam hati."Namun jika ia seorang sopir, bagaimana mungkin ia bisa menandatangani dokumen pembatalan kerjasama dengan Blanc? Tapi kalau ia ditektur, kenapa mobilnya jelek sekali?"Sementara Nicko sendiri diam karena memang memberi waktu untuk sahabatnya berkutat dengan pikirannya sendiri. Semuanya telah ditunjukkan oleh Raina dari ekspresi wakahnya yang menegang.Raina melihat ke sekeliling dan tampak kagum dengan bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya. Ia sering mendengar tentang Richmond group, tapi baru kali ini ia melihat kantor perusahaan berkelas itu seca
Wajah Raina mendadak kaku saat mendapati sahabatnya mengucapkan kalimat itu. Meskipun dalam hati ia tersenyum karena Nicko tak lupa dengan janjinya.Lagi-lagi pemuda yang penampilannya tak pernah berubah itu memberikan kejutan untuk yang kesekian kali. Membuatnya teringat akann hari kelulusannya, saat Nicko satu-satunya orang yang datang di hari istimewa itu.Keluarga angkat Raina telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, setahun sebelum ia lulus. Sementara pamannya sibuk dengan perusahaan."Kau masih mengingatnya Nick?" tanya Raina."Tentu saja. Memangnya kau sudah lupa ya? Atau jangan-jangan kau sudah tidak menganggapku lagi?" balas Nicko dengan menunjukkan wajah yang pura-pura tersinggung.Raina pun melambaikan kedua tangannya di depan dada dan mengatakan tidak. "Bukan begitu, mana mungkin aku melupakanmu."Nicko pun mencondongkan badannya hingga lebih dekat dengan perempuan di seberangnya.
Hari sudah gelap saat Raina datang ke kediaman Blanc. Saat itu di ruang duduk terlihat Armando yang tengah berbicara dengan ayahnya.Pria berkulit tanning ini langsung menutup hidungnya begitu melihat sosok Raina masuk."Hmm bau busuk apa ini?" tanyanya dengan maksud menyindir Raina.Perempuan berambut panjang itu pun langsung mengambil tempat duduk di dekat pamannya yang terlihat dingin."Dari mana saja kau Raina?" tanya Roberto dengan nada tegas.Meskipun Raina bukan darah dagingnya, tapi Roberto begitu menyayangi gadis ini. Terlebih semenjak adiknya tiada, Raina menjadi tanggung jawabnya. Roberto yang masih kolot tentu saja akan mencari tahu kemana saja ia hari ini."Pasti dia bersenang-senang dengan kekasih gembelnya itu," sindir Armando.Sepertinya Roberto telah sedikit terpengaruh oleh putranya, hingga ia memandang keponakannya dengan tatapan yang menyelidik."Apa kau sudah