“Ini bukan kencan kan?”
“Idih!” Ksatria menatap Nara seakan-akan lelaki itu baru saja kehilangan kewarasannya ketika bertanya apakah makan siang mereka kali ini adalah kencan atau bukan. “Otakmu nyangkut di mana sampai bisa-bisanya nanya begitu?”
Nara mendengus. “Lagian aneh banget ngajak makan cuma berdua doang begini.”
“Karena yang lain pada nggak bisa,” tukas Ksatria dengan cepat. “Lagipula kalau makan di luar ternyata enak berdua. Jadi kalau aku perlu ke toilet, aku nggak perlu khawatir mejaku tiba-tiba ada yang nempatin.”
“Sialan, jadi aku di sini cuma bu
“Tahun ini nggak bikin parfum lagi buat kadonya Mbak Rinai, Pak?”Ksatria tak langsung menjawab. “Hmmm,” gumamnya pelan. “Bikin nggak ya? Saya juga masih mikir-mikir.”Saat ini Ksatria tengah berada di lab meskipun jam kerja sudah berakhir. Bukan tanpa alasan, ia baru saja berdiskusi dengan Sandara, salah satu nose andalan Heavenly & Co untuk membahas proyek mereka yang akan datang.Sandara memang tahu mengenai kedekatan Ksatria dan Rinai, ia juga yang dulu membantu Ksatria dalam menentukan formula yang tepat untuk parfum Kiss The Rain.“Bikinin aja yang aromanya perpaduan
“Kamu nggak mau ikut ke Jogja?”“Pengen sih, tapi udah ada janji sama klien di minggu itu.” Shua terus mengobrak-abrik ruang kerja di butiknya selagi menjawab pertanyaan Ksatria. “Aku nitip barang aja buat Rinai.”“Barang apa?”“Beberapa baju sama makanan.”“Oke.”“Dan….” Shua langsung terkesiap pelan ketika menemukan apa yang sejak tadi ia cari. “Ini dia!”“Apa sih—aduh, Janar, jangan tarik rambut Om dong.” Ksatria mengaduh ketika Janar yang se
Ksatria tidak pernah benar-benar menyukai kegiatan bernama pulang ke rumah. Termasuk hari ini.Sudah hampir dua puluh menit Ksatria berdiam diri di mobilnya dan masih berpikir apakah ia harus keluar dari mobilnya atau tidak. Suara Ten2Five yang masih mengalun memenuhi mobilnya membuat Ksatria mengingat Rinai yang sangat menyukai lagu berjudul ‘You’ tersebut.Tangan Ksatria bergerak mengambil ponsel dari atas dashboard dan masih tidak mendapati pesan dari Rinai. Komunikasinya dengan Rinai yang terakhir adalah tadi malam, saat mereka membicarakan soal rencana pertemuannya dengan Haydar dan Leona hari ini.Rinai masih terus menyemangati Ksatria a
Rinai menghela napasnya ketika mengamati wajah Ksatria yang sudah beberapa bulan ini tak ia lihat secara langsung.“Kamu nggak mau makan, Nai?”Rinai menoleh dan mendapati sang ayah berdiri bersandar di kosen pintu kamarnya. “Nanti aja, Pa,” jawab Rinai. “Tadi aku sarapannya kan telat juga, masih kenyang.”“Masih kenyang atau khawatir sama Ksatria?”Rinai meringis mendengar tebakan jitu ayahnya.“Tadi Papa udah telepon Mas Haydar, ngasih tahu kalau Ksatria di sini dan pingsan,” beri tahu Sandy kepada anaknya. “Mereka khawatir, tapi leg
“Tenang aja, Ksatria udah mulai membaik kok.”Rinai bicara seraya melirik ke arah rumah kaca Sandy yang sudah mulai terlihat wujudnya setelah proses pembangunan yang sangat cepat.Dari jendela samping rumahnya ini, Rinai bisa melihat dengan jelas bagaimana Ksatria berada di antara barisan rak berisi tanaman Sandy dan Sandy sibuk menjelaskan mengenai tanamannya satu per satu.Ayahnya itu memang terlihat sangat bahagia jika membicarakan tanaman-tanamannya.Kini hari sudah menjelang sore. Ketika Sandy tadi siang pulang dan menemukan Ksatria sudah bangun, lelaki paruh baya itu menyambut Ksatria dengan senang dan santai seperti b
“Kamu kapan balik ke Jakarta?”Ksatria baru saja melangkah masuk ke area yang hampir benar-benar menjadi sebuah rumah kaca dengan banyaknya tanaman di sana, ketika ditodong pertanyaan tersebut oleh Sandy. “Baru juga hari Minggu, Om.”“Kan besok Senin.” Sandy lanjut mengelap daun tanamannya yang lebar-lebar. “Emang kamu nggak kerja.”“Cuti, Om.”“Jangan kelamaan,” tambah Sandy lagi. Nada bicara Sandy bukan nada memerintah atau menghardik. “Kasihan papamu, repot karena Bos Kecil-nya menghilang.”Ksatria meringis.
“Perlu bantuan?”“Kamu mau bantu aku rapiin pakaian dalamku?”Rinai langsung melempar tote bag kosong yang tadi ia bawa ke wajah Ksatria hingga lelaki itu tertawa keras. Perempuan itu berjalan masuk ke kamar tamu yang ditempati Ksatria dan membuka pintunya lebar-lebar, supaya sang ayah tidak khawatir.Di lantai, Ksatria sedang berusaha melipat bajunya dengan rapi (setidaknya serapi yang ia bisa), lalu memasukkannya ke koper kecil milik Rinai yang dipinjamkan kepadanya.Ksatria datang ke Jogja tanpa persiapan, jangankan koper, sehelai baju pun tidak ia bawa.Jadilah ba
“Udah sampai di apartemen?”“Belum, sebentar lagi nih.”“Kalau gitu ngapain telepon aku?!”Seruan galak itu bukannya membuat Ksatria takut, melainkan hanya tertawa senang ketika mendengarnya.Lelaki itu sudah menyetir untuk waktu yang cukup lama. Tapi jika dibandingkan dengan perjalanannya saat dari Jakarta ke Jogja beberapa hari yang lalu, perjalanan pulang ini lebih pelan dan lebih… tenang.Setiap kali Ksatria beristirahat di sela-sela waktu perjalanannya, Ksatria akan menelepon Rinai seperti apa yang perempuan itu sarankan padanya. Pesan terakhir