“Kamu kapan balik ke Jakarta?”
Ksatria baru saja melangkah masuk ke area yang hampir benar-benar menjadi sebuah rumah kaca dengan banyaknya tanaman di sana, ketika ditodong pertanyaan tersebut oleh Sandy. “Baru juga hari Minggu, Om.”
“Kan besok Senin.” Sandy lanjut mengelap daun tanamannya yang lebar-lebar. “Emang kamu nggak kerja.”
“Cuti, Om.”
“Jangan kelamaan,” tambah Sandy lagi. Nada bicara Sandy bukan nada memerintah atau menghardik. “Kasihan papamu, repot karena Bos Kecil-nya menghilang.”
Ksatria meringis.
“Perlu bantuan?”“Kamu mau bantu aku rapiin pakaian dalamku?”Rinai langsung melempar tote bag kosong yang tadi ia bawa ke wajah Ksatria hingga lelaki itu tertawa keras. Perempuan itu berjalan masuk ke kamar tamu yang ditempati Ksatria dan membuka pintunya lebar-lebar, supaya sang ayah tidak khawatir.Di lantai, Ksatria sedang berusaha melipat bajunya dengan rapi (setidaknya serapi yang ia bisa), lalu memasukkannya ke koper kecil milik Rinai yang dipinjamkan kepadanya.Ksatria datang ke Jogja tanpa persiapan, jangankan koper, sehelai baju pun tidak ia bawa.Jadilah ba
“Udah sampai di apartemen?”“Belum, sebentar lagi nih.”“Kalau gitu ngapain telepon aku?!”Seruan galak itu bukannya membuat Ksatria takut, melainkan hanya tertawa senang ketika mendengarnya.Lelaki itu sudah menyetir untuk waktu yang cukup lama. Tapi jika dibandingkan dengan perjalanannya saat dari Jakarta ke Jogja beberapa hari yang lalu, perjalanan pulang ini lebih pelan dan lebih… tenang.Setiap kali Ksatria beristirahat di sela-sela waktu perjalanannya, Ksatria akan menelepon Rinai seperti apa yang perempuan itu sarankan padanya. Pesan terakhir
“Kamu masih nggak mau ketemu Om Haydar sama Tante Leona?”Ksatria menaruh ponselnya di sebelahnya, karena ia sudah mengaktifkan mode loudspeaker, maka ia tidak perlu menempelkan ponsel tersebut ke telinganya lagi.Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi ketika Ksatria duduk bersila di sofa sambil menatap televisinya yang volumenya ia atur sampai ke yang paling rendah.Lelaki itu mengambil ebi furai yang baru selesai ia goreng, kemudian ia tiup perlahan karena masih lumayan panas. Shahia memberikannya stok frozen food yang lumayan banyak, jadi pagi ini ia memutuskan untuk menggoreng ebi furai dan ekado untuk sarap
Ksatria pikir, waktu berjalan lambat ketika ia sedang tidak bersama Rinai. Akan tetapi, tahu-tahu sudah dua bulan berlalu sejak Ksatria pulang dari Jogja.Juga sejak ia memutuskan kalau ia butuh bantuan.Butuh berpikir sehari semalam bagi Ksatria untuk memutuskan langkah besar ini, di mana pada akhirnya ia tahu ia butuh bantuan orang lain untuk menghadapi masalahnya.Ksatria sadar kalau ia dan Rinai memiliki hubungan yang merupakan hubungan terserius pertama (dan ia harap juga yang terakhir) baginya. Ksatria tidak pernah dan tidak akan memikirkan perempuan lain untuk mengisi posisi Rinai saat ini.Dan jika ia memang serius, Ksatria tahu
Bos Besar: Selamat ulang tahun, anaknya Papa.Bos Besar: Besok bisa pulang ke rumah? Kita makan bareng buat merayakan ulang tahun kamu. Atau mau di restoran favorit kamu?Ksatria menimbang-nimbang ponsel di tangannya. Sementara itu, keriuhan di ruang makannya jadi terdengar samar-samar seiring dengan pikiran Ksatria yang melanglang buana.Apartemennya masih ramai meski sudah satu jam berlalu sejak pesta kejutan untuknya berlangsung. Niat tidurnya tentulah pupus, apalagi setelah melihat Rinai meskipun hanya lewat video call.Ksatria menepati janjinya u
Ksatria memilih untuk ke halaman belakang rumahnya, melalui jalan kecil yang ada di samping garasi. Yang biasanya selalu dilewati Rinai ketika Rinai masih tinggal di belakang rumahnya.Ingatan itu sendiri membuat Ksatria tersenyum begitu saja.Di awal-awal kepergian Rinai dari Jakarta, Ksatria merasa kalau hari-harinya jadi sepi dan mengenang kehadiran Rinai di rumah ini, hanya membuat Ksatria jadi merasa ngilu di hatinya.Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, Ksatria jadi bisa tersenyum saat mereka ulang kenangannya dengan Rinai.Mungkin ini yang disebut dengan bagaimana rasanya ketika kita ikhlas dalam menjalani sesuatu.
Beruntung acara makan malam itu berlangsung menjelang akhir pekan. Jadi Ksatria tidak perlu mengajukan cuti untuk merenung seharian di apartemennya.Sebenarnya kedua orangtua Ksatria menawarkan lelaki itu untuk menginap di rumah daripada menyetir malam-malam. Namun, Ksatria menolak dengan halus dan beruntung, mereka menghargai keputusan Ksatria.Malam itu, setelah sekian lama Ksatria tertidur tanpa merasa tenang (kecuali ketika ia sedang kelelahan, saat di Jogja bersama Rinai, atau setelah kembali dari konsultasi rutinnya), Ksatria tertidur dengan lelap dan tanpa bermimpi yang aneh-aneh.Mereka sudah saling memaafkan.Meski tentu, tidak
“Kali ini aku berdoa supaya Rinai cepet balik ke Jakarta, biar kamu nggak berkeliaran untuk minta makan kayak gini.”“Amin.” Dengan khidmat, Ksatria ikut mengaminkan harapan yang Shua ucapkan dari hati yang paling dalam tersebut.Shua menghela napas dan mencoba mengikhlaskan serundeng buatan ibunya yang kini tinggal tersisa setengah stoples. Padahal serundeng itu baru dikirim ibunya kemarin dan Shua pikir cukup untuk jatah makannya maksimal dua minggu lagi.Minggu siang ini Shua tengah meliburkan diri setelah bekerja gila-gilaan sebulan belakangan. Maka dari itu, hari ini ia ada di apartemen ketika Ksatria mengetuk pintunya dengan dalih ingin meminta makan.Sebenarnya Shua sudah ingin menendang Ksatria, tapi ia ingat pesan Rinai yang menitipkan Ksatria padanya saat perempuan itu memutuskan untuk pergi ke Jogja. Dengan terpaksa, ia menampung Ksatria serta memberinya makan.“Mau?” Ksatria menawarkan serundeng yang sejak tadi ia kuasai kepada Shua.Dua piring nasi sudah Ksatria habiskan