“Kamu masih nggak mau ketemu Om Haydar sama Tante Leona?”
Ksatria menaruh ponselnya di sebelahnya, karena ia sudah mengaktifkan mode loudspeaker, maka ia tidak perlu menempelkan ponsel tersebut ke telinganya lagi.
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi ketika Ksatria duduk bersila di sofa sambil menatap televisinya yang volumenya ia atur sampai ke yang paling rendah.
Lelaki itu mengambil ebi furai yang baru selesai ia goreng, kemudian ia tiup perlahan karena masih lumayan panas. Shahia memberikannya stok frozen food yang lumayan banyak, jadi pagi ini ia memutuskan untuk menggoreng ebi furai dan ekado untuk sarap
Ksatria pikir, waktu berjalan lambat ketika ia sedang tidak bersama Rinai. Akan tetapi, tahu-tahu sudah dua bulan berlalu sejak Ksatria pulang dari Jogja.Juga sejak ia memutuskan kalau ia butuh bantuan.Butuh berpikir sehari semalam bagi Ksatria untuk memutuskan langkah besar ini, di mana pada akhirnya ia tahu ia butuh bantuan orang lain untuk menghadapi masalahnya.Ksatria sadar kalau ia dan Rinai memiliki hubungan yang merupakan hubungan terserius pertama (dan ia harap juga yang terakhir) baginya. Ksatria tidak pernah dan tidak akan memikirkan perempuan lain untuk mengisi posisi Rinai saat ini.Dan jika ia memang serius, Ksatria tahu
Bos Besar: Selamat ulang tahun, anaknya Papa.Bos Besar: Besok bisa pulang ke rumah? Kita makan bareng buat merayakan ulang tahun kamu. Atau mau di restoran favorit kamu?Ksatria menimbang-nimbang ponsel di tangannya. Sementara itu, keriuhan di ruang makannya jadi terdengar samar-samar seiring dengan pikiran Ksatria yang melanglang buana.Apartemennya masih ramai meski sudah satu jam berlalu sejak pesta kejutan untuknya berlangsung. Niat tidurnya tentulah pupus, apalagi setelah melihat Rinai meskipun hanya lewat video call.Ksatria menepati janjinya u
Ksatria memilih untuk ke halaman belakang rumahnya, melalui jalan kecil yang ada di samping garasi. Yang biasanya selalu dilewati Rinai ketika Rinai masih tinggal di belakang rumahnya.Ingatan itu sendiri membuat Ksatria tersenyum begitu saja.Di awal-awal kepergian Rinai dari Jakarta, Ksatria merasa kalau hari-harinya jadi sepi dan mengenang kehadiran Rinai di rumah ini, hanya membuat Ksatria jadi merasa ngilu di hatinya.Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, Ksatria jadi bisa tersenyum saat mereka ulang kenangannya dengan Rinai.Mungkin ini yang disebut dengan bagaimana rasanya ketika kita ikhlas dalam menjalani sesuatu.
Beruntung acara makan malam itu berlangsung menjelang akhir pekan. Jadi Ksatria tidak perlu mengajukan cuti untuk merenung seharian di apartemennya.Sebenarnya kedua orangtua Ksatria menawarkan lelaki itu untuk menginap di rumah daripada menyetir malam-malam. Namun, Ksatria menolak dengan halus dan beruntung, mereka menghargai keputusan Ksatria.Malam itu, setelah sekian lama Ksatria tertidur tanpa merasa tenang (kecuali ketika ia sedang kelelahan, saat di Jogja bersama Rinai, atau setelah kembali dari konsultasi rutinnya), Ksatria tertidur dengan lelap dan tanpa bermimpi yang aneh-aneh.Mereka sudah saling memaafkan.Meski tentu, tidak
“Kali ini aku berdoa supaya Rinai cepet balik ke Jakarta, biar kamu nggak berkeliaran untuk minta makan kayak gini.”“Amin.” Dengan khidmat, Ksatria ikut mengaminkan harapan yang Shua ucapkan dari hati yang paling dalam tersebut.Shua menghela napas dan mencoba mengikhlaskan serundeng buatan ibunya yang kini tinggal tersisa setengah stoples. Padahal serundeng itu baru dikirim ibunya kemarin dan Shua pikir cukup untuk jatah makannya maksimal dua minggu lagi.Minggu siang ini Shua tengah meliburkan diri setelah bekerja gila-gilaan sebulan belakangan. Maka dari itu, hari ini ia ada di apartemen ketika Ksatria mengetuk pintunya dengan dalih ingin meminta makan.Sebenarnya Shua sudah ingin menendang Ksatria, tapi ia ingat pesan Rinai yang menitipkan Ksatria padanya saat perempuan itu memutuskan untuk pergi ke Jogja. Dengan terpaksa, ia menampung Ksatria serta memberinya makan.“Mau?” Ksatria menawarkan serundeng yang sejak tadi ia kuasai kepada Shua.Dua piring nasi sudah Ksatria habiskan
“Kamu udah terima hadiah yang aku kirim kan?”“Udah, kamu udah nanyain hal yang sama sejak seminggu yang lalu, Yang.”“APA?” Ksatria yang tengah berjalan menuju ruangannya, sampai berhenti melangkah ketika mendengar jawaban Rinai. “Coba ulang lagi, Yang!”Rinai mendesis kesal. “Nggak tahu!”Ksatria tertawa, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Fiona yang sepertinya baru datang dan masih merapikan mejanya, menyapa Ksatria dengan ramah seperti biasa.“Kebiasaan, ngambek,” ledek Ksatria.“Kamu tuh yang lebay tiap dipanggil ‘Sayang’.”“Bukan lebay. Soalnya langka banget kejadian kamu manggil aku begitu. Jadinya aku selalu kaget,” kilah Ksatria.Lelaki itu memasuki ruang kerjanya dan menaruh tasnya di tempat biasa.Sudah sebulan berlalu sejak ulang tahun Ksatria dan hari ini adalah hari ulang tahun Rinai.Seminggu yang lalu, Ksatria mengirim hadiahnya untuk Rinai ke Jogja. Lelaki itu takut kalau ia mengirimnya di dekat hari ulang tahun Rinai, malah sampainya tak sesua
Rinai sudah merencanakan hal ini sejak beberapa hari sebelum ulang tahun Ksatria sebulan yang lalu.Awalnya memang ada berbagai macam ketakutan di dalam kepalanya. Apakah ia bisa benar-benar pergi sendiri? Bagaimana kalau nanti ada laki-laki yang menyentuhnya? Apakah Rinai bisa melawan?Tapi ketika ia uraikan pro dan kontranya mengenai rencana mendatangi Ksatria ke Jakarta di hari ulang tahunnya, lebih banyak poin di bagian pronya. Rinai juga telah berkonsultasi pada psikolog yang menanganinya, ayahnya, hingga budenya.Dan mereka mengatakan, sebenarnya kalau Rinai sudah berpikir sampai sejauh ini, ia telah siap.Ayahnya sempat menawarkan untuk mengantar Rinai sampai di Jakarta. Tetapi, Rinai pikir ia harusnya sudah bisa benar-benar tiba di Jakarta sendiri.Jadilah kemarin Rinai tiba di Jakarta dengan selamat—tanpa merasa cemas, panik, atau bahkan menangis karena terpaksa berdekatan dengan lelaki saat di tempat umum.“Jadi kamu kapan sampai di Jakarta?”Pertanyaan itu mengembalikan Rin
Pagi itu Ksatria bangun karena ada sesuatu yang memberatkan lengannya hingga kram.Lelaki itu membuka kedua matanya, mengerjap pelan untuk membiasakan matanya dengan cahaya matahari yang menelusup masuk dari sela tirai yang terbuka.Setelah kesadarannya terkumpul hampir setengahnya, Ksatria menunduk dan menemukan Rinai yang tidur beralaskan telapak tangannya. Pantas saja tangannya terasa kram.Ada jarak di antara mereka, sepanjang lengan Ksatria yang terbentang karena perempuan itu menimpa telapak tangan Ksatria sebagai bantalnya.Walau begitu, Ksatria tidak menarik tangannya. Ia biarkan saja kebas itu mengaliri tangannya lebih lama lagi, asal mimpi ini tidak langsung menguap.Ada Rinai di ranjangnya dan sedang tertidur nyenyak. Ini mimpi, bukan?Tidak mungkin Rinai kembali ke Jakarta. Iyakan?Ksatria terus mengamati wajah Rinai di hadapannya dan bersyukur karena kini wajahnya tak setirus terakhir kali mereka bertemu.Hal ini tentu jadi satu tanda kalau kondisi Rinai sudah jauh lebih