Rinai sudah merencanakan hal ini sejak beberapa hari sebelum ulang tahun Ksatria sebulan yang lalu.Awalnya memang ada berbagai macam ketakutan di dalam kepalanya. Apakah ia bisa benar-benar pergi sendiri? Bagaimana kalau nanti ada laki-laki yang menyentuhnya? Apakah Rinai bisa melawan?Tapi ketika ia uraikan pro dan kontranya mengenai rencana mendatangi Ksatria ke Jakarta di hari ulang tahunnya, lebih banyak poin di bagian pronya. Rinai juga telah berkonsultasi pada psikolog yang menanganinya, ayahnya, hingga budenya.Dan mereka mengatakan, sebenarnya kalau Rinai sudah berpikir sampai sejauh ini, ia telah siap.Ayahnya sempat menawarkan untuk mengantar Rinai sampai di Jakarta. Tetapi, Rinai pikir ia harusnya sudah bisa benar-benar tiba di Jakarta sendiri.Jadilah kemarin Rinai tiba di Jakarta dengan selamat—tanpa merasa cemas, panik, atau bahkan menangis karena terpaksa berdekatan dengan lelaki saat di tempat umum.“Jadi kamu kapan sampai di Jakarta?”Pertanyaan itu mengembalikan Rin
Pagi itu Ksatria bangun karena ada sesuatu yang memberatkan lengannya hingga kram.Lelaki itu membuka kedua matanya, mengerjap pelan untuk membiasakan matanya dengan cahaya matahari yang menelusup masuk dari sela tirai yang terbuka.Setelah kesadarannya terkumpul hampir setengahnya, Ksatria menunduk dan menemukan Rinai yang tidur beralaskan telapak tangannya. Pantas saja tangannya terasa kram.Ada jarak di antara mereka, sepanjang lengan Ksatria yang terbentang karena perempuan itu menimpa telapak tangan Ksatria sebagai bantalnya.Walau begitu, Ksatria tidak menarik tangannya. Ia biarkan saja kebas itu mengaliri tangannya lebih lama lagi, asal mimpi ini tidak langsung menguap.Ada Rinai di ranjangnya dan sedang tertidur nyenyak. Ini mimpi, bukan?Tidak mungkin Rinai kembali ke Jakarta. Iyakan?Ksatria terus mengamati wajah Rinai di hadapannya dan bersyukur karena kini wajahnya tak setirus terakhir kali mereka bertemu.Hal ini tentu jadi satu tanda kalau kondisi Rinai sudah jauh lebih
“Kalau di dunia ini sisanya cuma Chris Evans sama aku, kamu pilih siapa?”“Kayaknya kamu nggak habis minum alkohol atau makan magic mushroom, tapi kenapa pertanyaan kamu kayak halu gini ya?”Ksatria tergelak hingga mendongakkan kepalanya, selagi Rinai hanya bisa menggeleng dan mengambil sepotong pizza yang mereka pesan untuk makan siang hari ini.Heran, kenapa Ksatria menanyakan hal yang jawabannya sudah jelas?“Aku serius padahal lho,” beri tahu Ksatria lagi. “Jadi kamu pilih siapa kalau di dunia ini cuma nyisa kita berdua, Yang?”“Chris Evans-lah. Gila kali kamu, itu satu-satunya kesempatan aku ketemu sama dia,” jawab Rinai dengan berapi-api. “Sedangkan sama kamu, aku ketemu dari bayi. Jadi ngapain aku pilih kamu?”Ksatria berdecak kesal dan ganti Rinai yang tertawa setelahnya. Rinai pun meledek Ksatria. “Makanya, kalau nggak mau sakit hati denger jawabanku, nggak usah nanya.”“Aku kan cuma tiba-tiba kepikiran aja,” sungut Ksatria. Tangan lelaki itu hendak mengambil potongan terakhi
Ksatria menatap pantulan dirinya di cermin, memastikan kalau hari ini ia sudah terlihat rapi dan minimal tidak memalukan kalau digandeng oleh Rinai.Setelah yakin dan merasa kalau cermin di kamarnya bisa muntah saking seringnya Ksatria bercermin hari ini, Ksatria keluar dari kamarnya dan bergegas menuju tower Shua.Semalam, mereka menikmati sisa hari bersama anggota VIP Club yang lain dan benar-benar ramai. Ksatria senang karena Rinai bisa terlihat kembali benar-benar nyaman dan rileks di tengah sahabat-sahabatnya.Meski tidak ingin berpisah dari Rinai, nyatanya semalam Ksatria pulang ke unitnya sendiri, membiarkan Rinai kembali menginap di apartemen Shua
“Ah, aku bakal kangen banget sama kamu." Shua memeluk Rinai dengan erat. "Hati-hati ya. Kalau udah sampai di Jogja, kabarin aku.""Iya, pasti kok. Makasih ya udah mau nampung aku selama di Jakarta." Rinai balas memeluk Shua dengan lebih erat.Shua terkekeh. "Daripada buang-buang uang di hotel, kan mendingan kamu nginep di sini.""Kan bisa nginep di tempatku," celetuk Ksatria yang berdiri di samping Rinai, menyaksikan sejak tadi bagaimana keduanya seperti enggan berpisah di hari kepulangan Rinai ke Jogja.Shua mendelilk pada Ksatria. “Aku nggak yakin kalian bakal tidur beneran kalau Rinai nginep di sana lagi.”
Ksatria tersenyum saat merasakan ada sesuatu yang tiba-tiba menempel di bahunya. Tanpa menoleh, ia sudah tahu kalau yang baru saja menyentuh bahunya adalah Rinai.Lebih tepatnya kepala Rinai.Mereka sudah duduk berjam-jam dan mengobrol selama itu, sampai kemudian Rinai yang berhenti bicara lima menit lalu, kini sudah terkulai di bahu Ksatria dengan mata terpejam.Ksatria menaikkan selimut yang sudah membentang menyelimuti tubuh Rinai. Beruntung ia memilih kereta dengan dua kursi berdampingan begini.Tadinya Ksatria ingin memilih kereta yang fasilitasnya lebih nyaman. Tetapi, kursinya yang formasinya satu-satu itu membuat Ksatria menguru
Bukan Ksatria Baja Hitam: Udah sampai apart, Yang. I miss you!Rinai Prawara: Ganti baju terus tidur gih.Rinai Prawara: Miss you too.Rinai tersenyum seraya membaca kembali pesan yang ia kirim kepada Ksatria siang tadi ketika lelaki itu sudah sampai di Jakarta.Hari sudah sore dan beranjak malam, tapi Rinai masih berada di toko karena masih mengerjakan sisa pekerjaannya… sambil memikirkan Ksatria.Meski Rinai hanya sebentar berada di Jakarta, tapi waktu yang singkat itu membuatnya memikirkan banyak
Ksatria memijat pelipisnya dengan perlahan, sebelum kemudian ia menjatuhkan kepalanya ke atas lipatan tangannya. Ia masih punya waktu setengah jam lagi dan harus memutuskan dengan cepat, ingin tidur atau makan di sisa waktu istirahatnya.“Makan,” gumamnya. “Makan lima menit, sisanya merem,” lanjutnya lagi.Dengan tak berselera, Ksatria bangkit dari kursi kerjanya dan mengambil kotak makanan delivery yang sebelumnya diantar oleh office boy kantor.Pekerjaan Ksatria sedang banyak-banyaknya pasca libur panjang di akhir pekan kemarin. Sudah tiga hari ini Ksatria lembur dan di apartemen pun, ia masih menghabiskan waktunya untuk bekerja.
"Rinai beneran ninggalin kamu berdua sama Rengga?""Iya." Ksatria menyuapi Rengga yang menerima suapannya dengan riang. "Kenapa?""Wah... kasihan Rinai nanti pas pulang," jawab Yogas dari seberang sana. "Menurut pengalamanku setelah lihat temen-temen kita, bapak dan anak kecil yang ditinggal sama istrinya pasti akan bikin kekacauan.""Aku nggak bikin kekacauan," tampik Ksatria, setengah keki. Enak saja Yogas bicara seperti itu! Maksudnya Ksatria dan Rengga bisa jadi biang onar sampai Rinai pusing, begitu?!“Lagipula kamu juga ditinggal Shua!” sambung Ksatria. “Nggak usah jemawa gitu!”“Tapi aku nggak pernah separah Badai dan Ipang.”“Halah, itu kan karena Tuhan belum nunjukin aibmu aja!”
"Berhenti cengar-cengirnya, bisa nggak? Kamu nggak takut dikira kurang waras sama orang lain kah?"Ksatria menggeleng tanpa pikir panjang. Tangannya meraih tangan Rinai yang ada di atas meja, tapi perempuan itu dengan iseng menarik tangannya menjauh dari Ksatria."Aku nggak takut, soalnya nggak peduli kata orang." Ksatria masih saja nyengir saat menjawab Rinai. "Aku seneng banget.""Aku juga."Ah, senang sekali mendengar dari bibir Rinai secara langsung kalau ia juga senang.Ksatria merekam senyum di wajah Rinai dengan latar belakang dinding Huize Trivelli yang dipenuhi figura dan hiasan dinding lawas lainnya.Sore ini Rinai mengajak Ksatria ke sebuah restoran yang bisa dibilang cukup tersembunyi di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Restor
Rinai melangkah keluar dari lift dengan perasaan rindu. Wah, ternyata ia lumayan rindu datang dan bekerja di sini, di Heavenly & Co. Dari perusahaan keluarga Ksatria ini juga, tumbuh kecintaan Rinai terhadap wewangian dan semua proses menyangkut wewangian."Mbak Rinaiii!"Rinai terkekeh melihat bagaimana hebohnya Fiona saat melihat dirinya. Ia merentangkan tangan dan Fiona yang segera keluar dari mejanya langsung menyambut Rinai ke dalam pelukan."Kangen deeeh," kata Fiona sambil mengeratkan pelukannya pada Rinai. Rinai sendiri tertawa mendengarnya. "Apa kabar? Sehat, Mbak?""Sehat kok. Kamu sendiri?""Sehattt, Bos Kecil jarang lembur soalnya, hehehe."Rinai tertawa dan merenggangkan pelukan mereka. Setelah menikah dengan Ksatria, h
Kehidupan sebagai orangtua baru bukanlah hal yang mudah.Ksatria belajar banyak hal dari pengalamannya selama enam bulan ini bersama Rengga, anak pertamanya dengan Rinai. Pengalaman Ksatria saat ikut menyaksikan bagaimana tumbuh kembang anak-anak sahabatnya, nyatanya hanya sebagian kecil daripada apa yang harusnya ia lakukan."Rengga ganteng, anaknya Papa yang ganteng juga... tidur yuk...." Ksatria masih menimang-nimang tubuh mungil Arengga Cakra Abimayu di dalam dekapannya. Anaknya yang biasa dipanggil Rengga itu masih menangis, meski tangisannya sudah tidak sekeras tadi. "Kan minum susu udah... dibawa keliling kamar udah... sekarang waktunya bobo yuk? Ikut Mama tidur... siapa tahu ketemu di mimpi."Omongan panjang lebar Ksatria kali ini ternyata berhasil meredakan tangis anaknya. Kini, tangisan Rengga semakin memelan. Anaknya itu mulai mengerj
Mungkin jika dibandingkan dengan lelaki sebayanya, Ksatria telah melalui hari persalinan lebih banyak dibanding orang-orang di luar sana.Ksatria pernah beberapa kali ikut menemani sahabatnya yang menanti kelahiran buah hati mereka dengan harap-harap cemas. Jadi ia sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bagaimana biasanya seorang calon ayah menghadapi situasi seperti ini.Dulu, Ksatria akan mencatat di dalam hatinya bahwa ia akan melakukan A atau tidak akan melakukan B kalau suatu hari ia akan mendampingi istrinya melahirkan. Tapi lihatlah saat ini….Pengetahuan yang Ksatria simpan, entah hilang ke mana saat harinya sebagai calon ayah baru datang.“Kacau banget kelihatannya.” Yogas datang sambil tertawa. Tangan lelaki itu menyodorkan segelas kopi hangat yang langsung d
Ksatria menatap nanar ke arah laptopnya, di mana terpampang fotonya dan Rinai di SUBO saat mereka masih sebagai kekasih. Lelaki itu mengembuskan napasnya, sebal karena lima menit yang lalu, formulir untuk RSVP ke SUBO besok telah ditutup alias reservasinya sudah penuh.Padahal Ksatria ingin sekali ke sana. Sejak semalam lelaki itu sudah membayangkan bagaimana indahnya makan siang dengan menu yang tidak ia tahu apa (karena memang begitu sistem di Subo, mereka tidak punya menu pasti), sambil mendengarkan lagu-lagu gubahan Glenn Fredly dan The Bakuucakar lewat piringan hitam.Hal itu memang sudah pernah ia dan Rinai lakukan. Tapi Ksatria tiba-tiba terpikirkan ingin mengulangi lagi salah satu momen kencan manisnya dengan sang istri."Pak Ksatria....""Hmmm?" Ksatria bergumam asal tanpa mendongak untuk me
Menjelang ulang tahun Rinai, Ksatria selalu excited dan bingung di waktu yang sama.Hadiah apa yang kira-kira dibutuhkan dan akan disukai Rinai? Apa Rinai akan tersenyum lebar saat menerima hadiah darinya?Pertanyaan-pertanyaan sejenis masih sering mampir di kepala Ksatria, meskipun sudah puluhan kali ia mencari hadiah untuk Rinai alias sudah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan momen yang sama.Siapa bilang Ksatria tidak pernah berpikir keras jika harus memberikan hadiah untuk sahabat slash istrinya itu?Karena selalu ingin memberikan yang terbaik dan sebisa mungkin memang berguna juga disukai Rinai, Ksatria selalu berakhir dengan kebingungan sendiri dan berpikir sangat keras untuk waktu yang lama.Seperti sekarang ini.
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria melangkah menuju rumah Rinai sambil berpikir mau makan siang dengan apa hari ini—ayam penyet sambal cabai hijau atau soto daging dengan tambahan kikil dan babat yang terlihat tidak sehat, tapi melenakan.Baru sampai di teras, pintu rumah Rinai tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terlihat cantik dengan midi skirt hitam dan blus longgar berwarna baby pink. Ada pita di rambutnya dan hal itu memberi tahu Ksatria kalau sahabatnya ini sedang senang.Iya, Rinai kerap kali mengenakan jepitan berhias pita tersebut hanya saat sedang senang.“Baru mau kupanggil,” sapa Ksatria. “Udah siap? Yuk.”“
[Ksatria dan Rinai, di tahun ketiga mereka kuliah.] Ksatria mengetukkan jemarinya di stir mobil, mencoba bersabar menunggu Rinai yang belum juga keluar dari rumahnya. Lelaki itu mengecek jam di tangannya. Memang sih, masih ada satu setengah jam lagi sebelum kelas dimulai. Tapi biasanya Rinai sudah akan menyuruh Ksatria menyetir ke kampus dengan alasan tidak ingin datang mepet dan mendapat kursi tidak strategis di kelas."Ke mana sih dia?" gerutu Ksatria. Lelaki itu akhirnya tidak tahan menunggu dan bergegas keluar dari mobilnya yang masih parkir di halaman rumah.Pandangan Ksatria mengedar ke sekitar dan setelah merasa aman (tidak ada pegawai rumahnya yang berkeliaran di sekitar), Ksatria mengeluarkan kotak rokok dan lighter-nya dari saku celana jeans