“Kalau di dunia ini sisanya cuma Chris Evans sama aku, kamu pilih siapa?”“Kayaknya kamu nggak habis minum alkohol atau makan magic mushroom, tapi kenapa pertanyaan kamu kayak halu gini ya?”Ksatria tergelak hingga mendongakkan kepalanya, selagi Rinai hanya bisa menggeleng dan mengambil sepotong pizza yang mereka pesan untuk makan siang hari ini.Heran, kenapa Ksatria menanyakan hal yang jawabannya sudah jelas?“Aku serius padahal lho,” beri tahu Ksatria lagi. “Jadi kamu pilih siapa kalau di dunia ini cuma nyisa kita berdua, Yang?”“Chris Evans-lah. Gila kali kamu, itu satu-satunya kesempatan aku ketemu sama dia,” jawab Rinai dengan berapi-api. “Sedangkan sama kamu, aku ketemu dari bayi. Jadi ngapain aku pilih kamu?”Ksatria berdecak kesal dan ganti Rinai yang tertawa setelahnya. Rinai pun meledek Ksatria. “Makanya, kalau nggak mau sakit hati denger jawabanku, nggak usah nanya.”“Aku kan cuma tiba-tiba kepikiran aja,” sungut Ksatria. Tangan lelaki itu hendak mengambil potongan terakhi
Ksatria menatap pantulan dirinya di cermin, memastikan kalau hari ini ia sudah terlihat rapi dan minimal tidak memalukan kalau digandeng oleh Rinai.Setelah yakin dan merasa kalau cermin di kamarnya bisa muntah saking seringnya Ksatria bercermin hari ini, Ksatria keluar dari kamarnya dan bergegas menuju tower Shua.Semalam, mereka menikmati sisa hari bersama anggota VIP Club yang lain dan benar-benar ramai. Ksatria senang karena Rinai bisa terlihat kembali benar-benar nyaman dan rileks di tengah sahabat-sahabatnya.Meski tidak ingin berpisah dari Rinai, nyatanya semalam Ksatria pulang ke unitnya sendiri, membiarkan Rinai kembali menginap di apartemen Shua
“Ah, aku bakal kangen banget sama kamu." Shua memeluk Rinai dengan erat. "Hati-hati ya. Kalau udah sampai di Jogja, kabarin aku.""Iya, pasti kok. Makasih ya udah mau nampung aku selama di Jakarta." Rinai balas memeluk Shua dengan lebih erat.Shua terkekeh. "Daripada buang-buang uang di hotel, kan mendingan kamu nginep di sini.""Kan bisa nginep di tempatku," celetuk Ksatria yang berdiri di samping Rinai, menyaksikan sejak tadi bagaimana keduanya seperti enggan berpisah di hari kepulangan Rinai ke Jogja.Shua mendelilk pada Ksatria. “Aku nggak yakin kalian bakal tidur beneran kalau Rinai nginep di sana lagi.”
Ksatria tersenyum saat merasakan ada sesuatu yang tiba-tiba menempel di bahunya. Tanpa menoleh, ia sudah tahu kalau yang baru saja menyentuh bahunya adalah Rinai.Lebih tepatnya kepala Rinai.Mereka sudah duduk berjam-jam dan mengobrol selama itu, sampai kemudian Rinai yang berhenti bicara lima menit lalu, kini sudah terkulai di bahu Ksatria dengan mata terpejam.Ksatria menaikkan selimut yang sudah membentang menyelimuti tubuh Rinai. Beruntung ia memilih kereta dengan dua kursi berdampingan begini.Tadinya Ksatria ingin memilih kereta yang fasilitasnya lebih nyaman. Tetapi, kursinya yang formasinya satu-satu itu membuat Ksatria menguru
Bukan Ksatria Baja Hitam: Udah sampai apart, Yang. I miss you!Rinai Prawara: Ganti baju terus tidur gih.Rinai Prawara: Miss you too.Rinai tersenyum seraya membaca kembali pesan yang ia kirim kepada Ksatria siang tadi ketika lelaki itu sudah sampai di Jakarta.Hari sudah sore dan beranjak malam, tapi Rinai masih berada di toko karena masih mengerjakan sisa pekerjaannya… sambil memikirkan Ksatria.Meski Rinai hanya sebentar berada di Jakarta, tapi waktu yang singkat itu membuatnya memikirkan banyak
Ksatria memijat pelipisnya dengan perlahan, sebelum kemudian ia menjatuhkan kepalanya ke atas lipatan tangannya. Ia masih punya waktu setengah jam lagi dan harus memutuskan dengan cepat, ingin tidur atau makan di sisa waktu istirahatnya.“Makan,” gumamnya. “Makan lima menit, sisanya merem,” lanjutnya lagi.Dengan tak berselera, Ksatria bangkit dari kursi kerjanya dan mengambil kotak makanan delivery yang sebelumnya diantar oleh office boy kantor.Pekerjaan Ksatria sedang banyak-banyaknya pasca libur panjang di akhir pekan kemarin. Sudah tiga hari ini Ksatria lembur dan di apartemen pun, ia masih menghabiskan waktunya untuk bekerja.
“Jadi gimana? Aku perlu ke Jakarta nggak?”Ksatria tertawa, tawaran itu terdengar menggiurkan dan menggoda di telinganya—si lelaki yang kalau kata Nara sialan, haus sentuhan Rinai. Dirawat oleh pasangan saat sakit adalah semacam blessing in disguise.“Nggak gimana-gimana, Yang.” Walau begitu, Ksatria mencoba untuk menjawab dengan jujur. “Aku nggak sakit parah, kamu nggak usah maksain ke Jakarta, oke? Belum seminggu juga sejak kamu balik ke sini kok.”“Beneran?”“Bener, Yang.” Ksatria mencoba meyakinkan Rinai seraya duduk bersandar di lengan sofanya. Tatapannya te
“Lagi tidur Ksatria-nya, Nai.” Leona menengok ke arah pintu kamar Ksatria yang terbuka setengah.Dari ruang tengah, Leona bisa melihat lampu tidur yang menyala di sisi ranjang dan Ksatria yang tertidur pulas.“Oh, syukurlah. Udah mendingan ya kondisinya, Tante?”“Udah sih, meskipun kayaknya masih kelihatan lemes. Tante ajak ke rumah sakit, dia malah nggak mau.”Rinai tertawa kecil di seberang panggilan tersebut. Leona terlampau khawatir dan Rinai bisa membayangkan, seperti apa penolakan Ksatria ketika tadi Leona menawarkannya untuk pergi ke rumah sakit.“Mang